Senju Tobirama memiliki seorang cucu. Namun meski terlahir dari darah pria terhormat bukan berarti jalan hidupnya akan mudah, keterasingan dan sedikit orang-orang yang benar-benar mencintainya. Begitulah kisah sang cucu Nidaime Hokage, Uzumaki Touya (SI) yang rupanya mewarisi lebih banyak darah Uzumaki ketimbang Senju.
Tahun '37
Shota mondar-mandir di luar kamar perawatan bayi dengan tidak sabar, langkah suara sepatu ninja bergema di lorong rumah sakit. Dia belum tidur, tiga hari lalu Shota mendapat kabar anaknya kembali kritis. Ini sudah ketiga kalinya, bahkan belum enam bulan sejak Tomie…
Tinjunya mengepal erat, suara sarung tangannya berderit karena tekanan yang begitu kuat, hingga tanpa dia sadari beberapa helai rambut merahnya berdiri. Dia menghembuskan napas perlahan, kembali menekan lonjakan cakra sambil kembali terus berjalan meski lebih lambat.
Dewa begitu kejam, pertama mereka mengambil Tomie, dan sekarang berusaha mengambil Touya? Hal terakhir yang Tomie tinggalkan di dunia terkutuk ini…
"Sekarang aku mengerti kenapa ada larangan membuat seorang Uzumaki marah," dia mendengar suara tenang dan Shota berhenti berjalan dan berbalik. Dia seorang sensorik yang handal, sungguh memalukan Shota tidak menyadari seorang mendekat.
"Sakumo," Shota berkata dengan kaku sambil menatap sahabatnya, "Kau sudah kembali."
"Itu hanya misi pengawalan kecil," Sakumo berkata dengan lembut, "Orang-orang rumah sakit harus mengambil rute yang jauh karena tidak tahan dengan luapan cakra mu, Sho."
Shota mencibir, "Mereka terlalu berlebihan."
Sakumo menatapnya dengan sedikit skeptis di matanya saat kepalanya sedikit terangkat ke belakang, "Benarkah itu? bahkan sebelum masuk ke rumah sakit aku bisa merasakan luapan cakra mu teman, beberapa sipil ketakutan bahkan mungkin sekarang kau tidak sengaja membangunkan Mito-sama.
"Mungkin sekarang seisi Konoha siaga karena merasakan lonjakan cakra tiba-tiba," Sakumo berkata dengan nada geli dalam suaranya. Kenangan samar-samar ketika mereka berdua masih anak-anak dan berbuat kenakalan, Sakumo selalu paling tabah untuk menjadi jangkar jika mereka berbuat terlalu jauh, tapi bukan berati Sakumo tidak bisa menikmatinya juga.
Shota membalas tatapan sahabatnya dengan cemberut, tapi tidak ada rasa kekesalan disana, membalas sambil mendengus, "Kita berdua selalu jadi pusat keonaran bukan?"
Sakumo tertawa, "Ya, benar. Meski harusnya mereka memberitahu Nidaime-sama karena anak gadisnya ikut kenakalan kita berdua, mereka takut intimidasi menusuk dari Hokage dan berakhir memilih ke Mito-sama, setidaknya beliau hanya meminta kita berdua menjaga Tomie, selama putri aman, semua tidak masalah."
Shota teringat beberapa kenangan dan ketika wajah ceria Tomie berubah menjadi wajah kuyu dan kesakitan, kenangan itu menjadi buruk.
Sakumo menatap Shota dan bicara dengan nada tenang, "Masih belum ada kabar?"
"Belum," Shota sedikit marah, suaranya begitu dingin.
Sakumo tidak pernah memberi tatapan sendu karena itu selalu membuat Tomie sedih. Keduanya, Shota dan Sakumo selalu memberikan keceriaan kepada putri Nidaime masa kecil Tomie yang jauh dari kebahagian meski ayahnya seorang hokage. Ketiganya berjanji akan selalu mendukung satu sama lain, dan ketika mengingat itu, amarah kembali Shota rasakan, dia belum cukup kuat melindungi Tomie.
Dia berjalan menuju jendela terbuka dan menatap ke arah bukit yang mengukir wajah para Hokage. Meski sudah hampir empat tahun Hiruzen mengambil topi itu, rasanya aneh melihat wajah ketiga terpahat disana, tapi saat Shota bertemu tatapan ukiran Nidaime, Senju Tobirama, emosinya kembali meluap.
Shota mencengkeram bingkai bawah jendela dengan erat saat kenangan muncul. Beberapa hari sebelum Senju Tobirama berangkat menuju medan perang tanpa tahu itu adalah akhir perjalanan hidupnya, sang Hokage bertemu dengan Shota. Dirinya juga dikirim ke medan perang tapi sebetas cadangan pasukan utama, jauh dari titik pertempuran, meski banyak chunin baru, Hokage bersikeras menempatkan para daun hijau jauh dari jangkauan kejahatan perang.
Aku titipkan Tomie padamu, Sho. Anak gadisku sekarang adalah tanggung jawabmu.
Seolah Hokage tahu dia tidak akan pernah kembali…
Ketika Shota merasakan Sakumo berdiri di sampingnya ikut memandang pemandangan yang sama, dia sedikit menjadi rileks, kemarahan berangsur surut.
"Bagaimana kalau sedikit melepaskan beberapa energi? Misi terakhir yang kuambil terlalu mudah dan seolah tak ada gunanya aku menjadi Jounin sekarang. Kupikir menerima beberapa pukulan Uzumaki akan baik-baik saja."
Bibir Shota sedikit berkerut, "Aku mungkin kelepasan memakai teknik rahasia klanku."
Dia juga menikmati kesempatan itu. Shota selalu merasa lebih kuat ketika memakai beberapa Fuinjutsu untuk bertempur, darah uzumakinya selalu panas. Meski perang sebelumnya adalah panggung generasi Hiruzen, Shota sudah mengukir julukan untuknya, Red Demon begitulah yang dia dengar dari teman-temannya.
Setengah luapan kebahagian itu hilang saat dengan tenang merasakan ketidakberdayaan lagi.
"Para dewa itu kejam," Shota berkata dengan nada pahit.
Sakumo tidak langsung menjawab, diam beberapa saat, lalu berkata.
"Kudengar kalau medan perang sesungguhnya dari para wanita adalah ranjang bersalin. Tomie membawa setengah kemenangan, dia berhasil membawa Touya ke dunia ini…
"Tomie memang tidak selamat, tapi Touya masih berjuang untuk melewati medan perangnya sendiri. Mito-sama pasti juga tidak akan membiarkan cucunya kalah, para tabib terbaik bekerja sama melakukan terbaik. Jika Mito-sama percaya kau harus juga melakukannya Sho."
Shota tidak berkata apa-apa. Tidak ada alasan untuk melakukannya. Tidak ketika mereka berdua tahu, berharap saja terkadang bisa memberikan hasil yang menyakitkan. Orang-orang percaya jika warisan tubuh lemah ibu Tomie mengalir deras dalam darah. Bisikan cemoohan tentang membuat malu warisan Tobirama Senju, ejekan yang selalu Tomie terima karena dianggap lemah dan mempermalukan ayahnya.
Dia nyaris membunuh seseorang kerabat senju Tomie yang dengan pongah menghina Tomie. Jika bukan Sakumo mencoba menenangkannya, Shota sudah membunuh orang brengsek itu. Shota tidak akan pernah mengijinkan siapapun menyakiti Tomie, gadis baik yang menjadi mercusuar ketika dia tersesat. Tomie tidak pantas mendapatkan takdir kejam ini.
Dan seolah dewa ingin terus meledek Tomie dengan melahirkan bayi lemah. Anak mereka berdua.
"Orang-orang boleh bicara sesuka mereka, tapi Touya sudah dua kali menang di medan perangnya sendiri. sekarang dia juga berusaha untuk kembali selamat. dia masih terus berjuang. Kau harus percaya itu Sho."
"Lalu semua kembali ke tangan dewa-dewa brengsek itu. meludah Tomie seenaknya dengan takdir seperti itu. dia… dia harusnya disini, kami membesarkan Touya bersama," Shota berkata dengan tatapan kaku pada sahabatnya. Tomie selalu berdoa dan menambahkan memiliki keluarganya sendiri. Nidaime mungkin pria hebat yang melindungi desa, tapi dia bukan pria hebat untuk anaknya. Tomie berjanji akan memberikan semua cintanya kepada anak-anaknya, memastikan tidak satupun mendapatkan kehidupan yang sama seperti Tomie.
Tak satupun doa itu terwujud.
Tomie selalu berusaha keras untuk tidak membuat ayahnya malu. Tomie berusaha menekuni dunia iryo-nin. Semua tekadnya seolah tidak bernilai di mata para dewa.
Sebelum Sakumo dapat mengatakan apapun, suara pintu berderit terbuka dan Shota bertukar pandang dengan sahabatnya sebelum dia berbalik.
Chiyo-san adalah kepala dokter. Seorang wanita yang juga memiliki beberapa cipratan darah Uzumaki, bibi Mito sendiri yang meminta Nidaime menempatkan Chiyo di rumah sakit ini. Umurnya lebih tua dari bibi Mito dan kemampuan medisnya adalah yang terbaik dimiliki Konoha.
"Bagaimana kondisi Touya?" Shota bertanya dengan tidak sabar.
"Anak itu berjuang dengan sangat baik," Chiyo menjelaskan, "Demamnya sudah mereda dan kondisinya perlahan stabil."
Shota bernapas lega.
"Tapi, masih banyak hari ke depan sebelum kita semua yakin," kata Chiyo memperingatkan
"Kita selalu percaya Touya kuat dan bisa melalui ini semua. Dia seorang Uzumaki sejati. Dia terlahir menjadi kuat seperti ayah dan ibunya," Sakumo berkata sambil tersenyum.
Shota memandang ke arah Sakumo, sahabatnya selalu memiliki cara untuk membuat orang bangkit dalam keterpurukan. Dia yang terkendali, selalu bisa menarik kembali Shota. "Anakku akan selamat."
Sakumo tersenyum, "Pergilah, temui putramu, Shota."
Shota berjalan melewati Chiyo dan masuk ke kamar balita di rawat. Saat itu hanya dua perawat dan Touya seorang. Dia melangkah maju, tatapannya lekat-lekat ke ranjang bayi.
Touya begitu damai, tidur, seolah-olah tidak berjuang mati-matian untuk hidupnya selama berhari-hari. Shota mencondongkan tubuhnya ke depan dan dengan lembut membelai kepala putranya, bagus sekali anakku, kamu tumbuh semakin kuat.
Lebih kuat dari yang dia harapkan.
Shota kembali menatap ranjang bayi sebelum meminta kepada para perawat disana untuk menjaga anaknya. Para perawat mengangguk patuh, tahu red demon tidak menginginkan sesuatu yang tejadi kepada anaknya.
Dia meninggalkan rumah sakit dan menyusuri jalan menuju menara Uzumaki yang berada di samping kantor Hokage. Beberapa shinobi yang mengenalnya memberi sapa. Masuk ke lingkungan menara yang dijaga beberapa orang dari anbu, unit baru yang dibentuk oleh ayah mertuanya.
Sejak Shodai meninggal, bibinya tinggal disini. Bibinya ingin menghabiskan sisa umurnya bersama kenangan suaminya. Shota menaiki tangga menuju ke ruang baca, mengikuti jejak cakra bibinya dari sana. Dia berjalan melewati pintu, pandangannya tertuju pada bibinya yang duduk membaca gulungan ditemani cahaya lilin. Sesaat Shota merasa bersalah karena tahu bibi Mito pasti cemas gara-gara dirinya.
"Sho-kun."
Shota tersenyum pada bibinya dan mencium lembut pipi keriput itu. Dia hanya memiliki kenangan buram tentang sosok orang tuanya. Berbeda dengan bibi Mito yang lahir di Uzushio, Shota lahir di Konoha. Ibu Shota rupanya salah satu dayang bibi Mito yang dibawa dari negara pusaran air ketika bibinya bertunangan dengan Shodai. Ibu Shota meninggal ketika dirinya berusia dua tahun sedangkan ayahnya, menurut cerita bibi Mito meninggal ketika dia masih dalam kandungan. Selama ini bibi Mito-lah yang merawat Shota, membesarkan bersama anak-anak kandungnya sendiri sama rata. Tapi Shota tahu karena kesamaan rambut merahnya, bibi Mito lebih perhatian dengannya.
"Apa yang sedang kau baca?"
"Oh… hanya tulisan bodoh Hashi. Pria itu selalu berusaha menulis sebuah pantun romantis untukku, tapi sejak kapan dewa shinobi berbakat dalam romantisme?"
Shota berbagi tawa dengan sang bibi. Meski usianya telah lanjut, energi kehidupan bibinya seolah tak pernah luntur, tak ada satupun waktu yang shota lihat dari bibinya menunjukkan kesedihan. Bibinya selalu ceria dan kuat.
"Touya?" tanya bibi Mito.
"Dia hidup. Dia terus berjuang."
Mito mengangguk, tersenyum, "Dia seorang Uzumaki sejati. Senju dan Uchiha mungkin paling dekat dengan warisan Petapa Rikudo, tapi Uzumaki lebih dekat dengan dewa. Kami bertahan hidup lebih lama dan dicintai alam lebih dalam."
Shota tersenyum dan ikut duduk bersama bibinya, meminta ijin membaca perjuangan keras Shodai merayu bibinya. Benar seperti yang bibi Mito katakan, tulisan Senju Hashirama jauh dari kata-kata cinta. Kali ini dia berusaha untuk percaya.
