Waktu berlalu begitu cepat ketika tidak ada yang menyadarinya.

Matsuno bersaudara kini sudah besar dan tidak lagi memiliki masalah dengan panggilan 'nii-san' terhadap yang lebih tua, meskipun jaraknya hanyalah beberapa menit. Tetapi itu adalah sebuah perubahan yang cukup positif sebab mereka bisa kian akrab.

Banyak hal yang tentunya berubah. Osomatsu belum tahu apa yang mengganjal pikirannya belakangan, tapi ia sadar bahwa itu karena Ichimatsu. Bukan karena dia telah melakukan sesuatu yang buruk padanya, tetapi saudaranya itu tidak lagi sama seperti dulu. Kini adiknya lebih suka bergaul dengan binatang daripada manusia.

Tadinya Osomatsu pikir itu wajar, menunjukkan kasih sayang kepada hewan. Namun makin lama, semuanya tidak seperti yang ia perkirakan. Ichimatsu kian menjauh, dan menjauh dari semua saudaranya.

Osomatsu khawatir.

Apakah dia telah berbuat sesuatu yang salah? Tapi belakangan mereka bahkan tidak bertengkar. Ia jadi bingung apa yang harus dilakukannya. Mengajak Ichimatsu bicara? Tapi ia takut salah kata. Semuanya begitu menyulitkan.

Osomatsu mencari ide dengan pergi ke luar rumah setelah itu. Siapa tahu ia bisa mendapatkan inspirasi. Mereka memang sedarah, tapi Osomatsu ternyata tidak begitu tahu mengenai Ichimatsu. Adiknya itu juga tidak pernah bercerita jika dirinya mengalami sesuatu. Apa sebenarnya terjadi hal yang buruk padanya?

Akhirnya ia duduk di bangku taman, menikmati pemandangan meski hatinya tidak bisa tenang. Ia terus melamun dan dipenuhi kebingungan hingga akhirnya Totoko lewat di dekatnya. Padahal biasanya dia sangat bersemangat bertemu gadis itu, tapi entah kenapa hari ini dia ingin diam saja.

Totoko yang lewat memang melihat Osomatsu. Ia tampak lesu, padahal biasanya tak seperti ini. Karena penasaran, Totoko pun melambaikan tangan di depannya.

"Osomatsu, kau gak apa-apa?"

" … "

"Ilermu jatuh, tuh."

"Oh?" Osomatsu menoleh. "Ada apa?"

Totoko langsung berjalan mundur, menjauh. Tanpa pikir panjang ia pun berlari meninggalkan Osomatsu sendirian karena mengira dirinya mengalami fatamorgana. Osomatsu tampak seperti orang lain! Sangat mengerikan!

Osomatsu masih bertopang dagu, menikmati semilir angin yang membelai helai hitamnya. Suasana yang sejuk agak membuat kantuk. Hingga ia kemudian teringat akan sesuatu. Jangan-jangan …

… perutnya sekarang keroncongan karena lapar.

Ah, tidak! Bukan itu!

Soal Ichimatsu, sepertinya ia tahu kenapa. Setelah menelisik memorinya (entah kapan dia melakukannya), Osomatsu teringat memang ada suatu waktu ia agak memaksa Ichimatsu. Yakni ketika dulu mereka berlatih untuk memanggil saudara yang lebih tua dengan sebutan 'nii-san'. Jangan bilang kalau benar karena itu.

Osomatsu hanya ingin memberikannya semangat, tapi ia tidak tahu apakah Ichimatsu benar-benar mengucapkan panggilan itu secara tulus atau tidak karena ia-lah yang terus mendorongnya hingga ke batas. Bisa jadi … Ichimatsu hanya melakukan itu untuk membuat semuanya selesai dengan cepat.

Dia selalu seperti itu.

Payah sekali. Kenapa Osomatsu terlambat menyadarinya? Apa karena itu sudah lama? Atau karena dia masih anak-anak sehingga tidak begitu menganggapnya masalah yang penting? Dia memang benar-benar buruk! Bisa-bisanya memaksa Ichimatsu saat itu.

Kalau dipikir-pikir, Ichimatsu juga tidak pernah menunjukkan raut bahagia ketika memanggilnya 'nii-san'. Osomatsu merasa gagal sebagai saudara tertua. Dia harus meminta maaf pada Ichimatsu, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.

Mencari topik pembicaraan dengan Ichimatsu sekarang lumayan sulit karena ia tidak lagi tertarik pada manusia. Memilih untuk selalu mencintai kucing jalanan yang diam-diam selalu ia berikan keripik sarden. Osomatsu sudah tahu itu sejak lama, tapi tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang akan mengancam hubungan persaudaraan mereka.

Tapi, apakah dia masih bisa tenang sekarang? Tentu saja tidak. Osomatsu harus segera memikirkan cara untuk mengobrol dengannya. Bila demikian, maka bukan tidak mungkin dirinya juga aka mengetahui beberapa hal yang selalu dipendam oleh Ichimatsu.

Lagipula, Osomatsu bukanlah cenayang yang bisa mengetahui isi hati seseorang tanpa harus bertukar kata. Itu lebih mengerikan, bisa-bisa nanti dia akan menguasai dunia dengan mudah.

Oke, mari sudahi berkhayalnya dulu.

Sekarang pertanyaannya, kapan dia akan melakukannya? Lagi-lagi Osomatsu menemui masalah baru. Kalau seperti ini terus, maka tidak akan ada ujungnya. Mungkin dia harus mengamati Ichimatsu selama beberapa waktu dulu sebelum memutuskan kapan saat yang tepat untuk mengatakannya.

Osomatsu pun pulang dengan beribu pikiran yang tidak pasti—hiperbola sedikit tidak apa, lah. Karena ia juga tidak tahu berapa banyak yang sedang ada di otaknya sekarang. Ia membuka pintu kamar dan menemukan Ichimatsu yang sedang memakai pakaian Karamatsu.

Kenapa dia melakukannya?

Osomatsu melirik ke arah Karamatsu yang masih tertidur dan Ichimatsu yang melihat dengan panik ke arahnya. Jika ini adalah hari biasa, Osomatsu mungkin akan menggodanya dan bercanda. Tetapi, dia ingin mengenal Ichimatsu yang berbeda dari yang dulu. Jadi ia mengikuti saja alurnya.

Lain waktu, mereka juga kebagian tugas mengurus rumah serta berbelanja bersama karena tidak sengaja membuat ibu marah. Tepatnya, Osomatsu diseret oleh Ichimatsu supaya mau ikut dengannya. Si sulung sempat khawatir karena ia tidak tahu apa-apa soal ini, tapi beruntungnya Ichimatsu bisa diandalkan. Dia bahkan lebih paham mengenai pekerjaan rumah tangga daripada dirinya.

Osomatsu merasa lega setelah itu, sebab baginya Ichimatsu masih terlihat normal. Meski kadang-kadang aura kegelapan mengelilinginya, tetapi dia sebenarnya adalah orang yang sama, tetaplah saudaranya.

Apa sih yang dia khawatirkan?

Selesai berbelanja, tentu saja mereka harus memasak. Matsuno bersaudara berusaha keras untuk itu karena belum pernah mencoba sebelumnya.

"Kita mau masak apa untuk makan malam?" Tanya Karamatsu.

"Mungkin jangan yang sulit dulu karena ini baru pertama kali kita mencobanya." Saran Choromatsu.

Tidak ada yang menolaknya, jadi mereka semua setuju atas ide itu. Lagipula, bila langsung mencoba masakan yang rumit, justru akan jadi bumerang untuk diri mereka sendiri. Setidaknya, harus sesuatu yang enak supaya ibu mau memaafkan mereka, bukan?

Mereka kemudian mencari-cari referensi di internet untuk membuat menu yang sederhana dan lumayan mudah. Setelah memilah, mereka pun akhirnya segera membagi tugas. Ichimatsu mendapat bagian memasak karena tidak ada yang mau melakukannya. Sedangkan yang lain akan cuci piring dan membantu menata meja.

"Tunggu, kalau aku sendirian itu agak keterlaluan," kata Ichimatsu. "Choromatsu-nii-san, kau temani aku."

"Eh, jangan, Ichimatsu. Nanti aku akan mengacaukannya."

Choromatsu tidak membuat alasan, sebenarnya. Ia memang hanya takut jika hasilnya tidak sesuai ekspektasi. Bagaimanapun, ini harus berhasil untuk merebut hati ibu kembali dan ia tak ingin semuanya rusak karena dirinya yang terlalu gugup.

"Kalau begitu, Jyushimatsu?" Karamatsu melirik. Sebab kebetulan adiknya itu yang ada di dekatnya.

"Aku sih gapapa, tapi apa Ichimatsu-nii-san percaya padaku?"

Enggak, batin lima orang lainnya secara serempak. Dilihat dari manapun, Jyushimatsu tidak tampak seperti dia bisa membantu memasak. Mereka semua sepakat dalam hal ini.

"Todomatsu?"

Ichimatsu tidak punya pilihan lain. Karena sebenarnya Karamatsu dan Osomatsu sudah ia masukkan ke daftar hitam pribadinya untuk urusan ini. Setelah mengamati seharian, Karamatsu hanya bagus dalam mencuci piring dan Osomatsu … apa ia masih perlu mengatakannya?

Todomatsu tampak senang. "Baiklah, Ichimatsu-nii-san! Tolong arahkan aku, ya!"

Bisa ditebak, mungkin Todomatsu berencana akan foto-foto makanan ketika siap dihidangkan. Sangat mudah dibaca.

Karamatsu tiba-tiba angkat bicara, "Tapi, brother, bisakah kita bergantian memasaknya? Entah kenapa aku merasa kalah jika tidak melakukan itu sendiri. No regret!"

Walau Ichimatsu agak tidak setuju, tetapi perkataan Karamatsu juga ada benarnya. Mereka ber-enam yang bersalah, jadi semuanya harus membantu memasak walau tidak banyak. Selain itu, rasanya juga akan lebih menyenangkan bila mereka berhasil menghidangkannya untuk sang ibu.

"Kalau begitu, kalian cukup membantu sedikit-sedikit saja supaya aku juga tidak kebingungan. Aku khawatir dapur akan meledak bila membiarkan kalian semua." Ujar Ichimatsu.

"Yayy!" Jyushimatsu melompat kecil. "aku tidak sabar untuk memasak~"

"Pokoknya jangan berlebihan, ingat itu." Kata Choromatsu.

"Terima kasih, brother!" Karamatsu berseru girang.

Osomatsu mengangkat tangan. "Bolehkah aku mundur?"

Tatapan tajam dilayangkan semua orang.

"GAK!"

"Kalian bersemangat sekali, ya ampun."

Osomatsu tidak bisa lolos sekarang. Hiks. Dia benar-benar malas melakukan ini. Osomatsu hanya ingin rebahan saja seharian! Dia masih lelah karena tadi juga berbelanja membawa banyak barang. Lalu kenapa Ichimatsu tidak terpengaruh sama sekali?

Walau Ichimatsu bilang begitu dan mereka sudah mencapai kesepakatan, nyatanya dia menyuruh saudara-saudaranya melakukan hal lain. Seperti mencuci panci kotor, membersihkan meja, menyiapkan mangkuk dan sebagainya. Jujur saja ia tidak keberatan memasak karena ada Todomatsu yang membantunya walau tidak banyak. Sejak awal dia juga tidak begitu berharap, jadi ya sudahlah.

Lagipula, saudara-saudaranya tidak cocok mengerjakan bagian ini. Ia khawatir makanannya justru akan jadi beracun dan membunuh semua orang saat disantap. Ichimatsu tidak bisa membiarkan itu terjadi! Karena itu dia harus memastikan keselamatan semua orang.

"Sayurnya sudah kupotong, Ichimatsu-nii-san. Tapi bolehkah aku pergi ke toilet sebentar?"

"Oke." Balas Ichimatsu.

Setidaknya hasil potongan sayurnya tidak buruk, jadi ia akan membiarkan Todomatsu membuat alasan untuk kabur. Kenapa dia tahu? Todomatsu tidak bilang 'aku akan kembali', bukan? Atau mungkin ini hanya pikiran buruknya saja.

Lagipula, dia juga sudah lumayan terbantu karena tengah menyiapkan bumbu. Walau ia agak sedikit tidak yakin karena hanya melihat resep dari internet, tapi semoga saja rasanya enak.

Waktu terus berjalan dan kini Ichimatsu hanya perlu menggoreng telur. Ia sudah memanaskan minyak dan mulai memecah telurnya, kemudian menunggu untuk matang di satu sisi terlebih dahulu menggunakan api yang kecil. Bila terlalu besar, pasti nanti jadi cepat gosong dan matangnya belum merata. Kalau begitu nanti tidak bisa dimakan.

Osomatsu yang sudah selesai bersih-bersih meja kini menghampiri Ichimatsu dan mengamatinya yang sedang menggoreng telur. Ichimatsu tidak apa selama Osomatsu tidak mengganggunya. Benar saja, si sulung hanya diam dan melihat selama beberapa menit, sebelum akhirnya berkata,

"Ichimatsu, kau sangat pandai dalam urusan rumah tangga dan memasak. Kau suatu saat pasti bisa jadi istri yang baik. Hahaha."

Hening.

Tidak ada yang tertawa selain kakak tertua.

Osomatsu berniat bercanda, sebenarnya. Ia bosan karena mereka ber-enam terlalu fokus pada pekerjaan hingga belum mengobrol selain yang penting. Ia pikir Ichimatsu akan marah, atau kesal karena digoda. Tetapi reaksi Ichimatsu ada di luar dugaannya.

Ichimatsu tidak sengaja menjatuhkan panci teflon yang ia pegang, menatap Osomatsu sebentar sebelum kemudian lari tunggang langgang ke luar ruangan. Osomatsu bengong dan bingung, apa yang sebenarnya terjadi?

"Wow, Osomatsu-nii-san," Todomatsu yang datang dari luar dan terhenti di depan pintu berujar—tunggu, sejak kapan dia di sana? Ah, itu tidak penting sekarang. Tapi Osomatsu menunggu apa yang akan ia katakan selanjutnya.

"Apa, Todomatsu? Aku cuma bercanda dengannya." Osomatsu berusaha membela dirinya sendiri. Nyatanya dia memang hanya berniat seperti itu. Tetapi tatapan tajam Todomatsu begitu menusuk, dilanjutkan dengan kalimat,

"Kau benar-benar sampah."

Todomatsu melihat panci teflon yang terjatuh, serta kompor yang masih menyala. Beruntung telurnya tidak ikut keluar, jadi Todomatsu segera mengambilnya dan melanjutkan acara menggoreng telur dari Ichimatsu. Meninggalkan Osomatsu yang syok karena dibilang 'sampah' oleh saudara termuda.

"Aku? Kenapa?" Osomatsu loading.

Karamatsu dan Jyushimatsu langsung menyeret Osomatsu ke ruangan lain, menghajar dan menggelutinya. Menahan tangan dan kaki kakak mereka sembari menekannya kuat-kuat supaya tidak bisa kabur. Dia harus diberi pelajaran!

"Kalian mau membunuhku, ya?!" Osomatsu tercekik akibat perbuatan mereka. Adik-adiknya sangat kuat hingga ia sulit melepaskan dirinya. Apa mereka sedang kerasukan sesuatu sekarang?

"Osomatsu-nii-san gak boleh bercanda kaya gitu sama Ichimatsu-nii-san!" Jyushimatsu yang biasanya gesrek bahkan mengatakan hal yang mirip dengan Todomatsu.

"Benar, dasar payah! No plan!" Karamatsu bahkan juga menyalahkannya.

Choromatsu tidak ikut Karamatsu dan Jyushimatsu, tetapi ia hanya mengatakan,

"Kau adalah sampah yang tidak bisa didaur ulang , Osomatsu nii-san."

"TIME OUT! TIME OUT!" Osomatsu masih berusaha terlepas. "Jelaskan dulu padaku apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa aku tidak boleh bilang begitu pada Ichimatsu!"

Todomatsu datang menyusul setelahnya. Ia melihat ke arah Osomatsu sekilas, kemudian tersenyum sambil memberikan jari tengah. Seolah mengatakan lebih baik si sulung lenyap saja sekalian.

Osomatsu syok melihat Todomatsu yang biasanya selalu manis sampai bersikap demikian. Apakah candaannya sungguh buruk kali ini? Tapi dia tidak tahu di mana salahnya. Apa seperti ketika dia memaksa Ichimatsu untuk mengucapkan nii-san ? Ia tidak pernah menyadarinya sampai hari ini.

Osomatsu pun akhirnya berhenti melawan.

Apakah dia benar-benar … sejahat itu?

"Tolong katakan padaku, semuanya. Aku mungkin tidak menyadari kesalahanku dan kenapa aku tidak boleh bicara begitu pada Ichimatsu?"

Melihat Osomatsu mulai lembut, mereka pun akhirnya melepaskan dirinya. Sekarang ia berdiri berhadapan dengan saudara-saudaranya. Sementara yang lain saling memandang. Tapi keheningan ini tidak bisa berlangsung lama-lama. Choromatsu pun akhirnya berdehem dan berkata,

"Sebenarnya, ini adalah masalah kalimat yang kau ucapkan. Bukan apa, tapi siapa yang mengucapkannya."

Osomatsu masih tidak mengerti. "Maksudnya?"

"Dia jadi begitu karena kau yang bicara! Do you understand?!" Karamatsu tanpa sengaja juga menaikkan suaranya sampai Osomatsu kaget.

"Tunggu, jadi aku yang salah?" Osomatsu masih berusaha mencerna apa yang dijelaskan oleh saudara-saudaranya.

"Benar." Balas Todomatsu tanpa ampun, dengan latar api yang menyala-nyala di bagian belakangnya. "setidaknya pikirkan dulu apa yang mau kau bicarakan, Osomatsu-nii-san. Aku jadi kasihan melihatmu."

Osomatsu sweatdrop. "Ba-baiklah. Tapi kenapa jadi aku yang salah ketika mengatakannya?! Aku gak ngerti bagian itu. Jadi semua orang boleh bercanda begitu padanya tapi aku tidak?"

Karamatsu, Jyushimatsu dan Todomatsu mengangguk bersamaan. Osomatsu paham, sepertinya memang harus begitu. Ia jadi penasaran sekarang, apa alasan sebenarnya Ichimatsu tidak suka dengan candaan itu?

"Tapi kenapa?"

Todomatsu berdehem, "Soal itu, Osomatsu-nii-san harus tanyakan pada Ichimatsu sendiri. Kami tidak berhak ikut campur."

Karamatsu, Choromatsu dan Jyushimatsu mengiyakan. Membuat Osomatsu makin merasa bersalah. Padahal Osomatsu hanya ingin lebih mengenal adiknya yang satu itu, tetapi kenapa malah jadi begini? Mungkin dia yang memang benar-benar sampah.

Osomatsu tidak pernah tahu apapun tentangnya.

Berbicara dengan Ichimatsu sekarang sangat sulit semenjak kejadian itu.

Osomatsu berkali-kali menyapanya, berharap mereka bisa bicara barang sebentar saja. Akan tetapi, Ichimatsu selalu menghindar darinya. Seperti pura-pura tidak dengar atau tiba-tiba berbalik arah.

"Ah, aku harus memberikan makan kucing."

"Oh, Jyushimatsu! Kau tadi bilang apa?"

Osomatsu berusaha memaklumi, karena peristiwa itu juga pasti berdampak begitu besar bagi Ichimatsu. Memberikannya waktu mungkin akan mencairkan sedikit ketegangan di antara mereka, jadi ia mencoba bersabar.

Tapi Osomatsu masih belum memahami mengapa dia menjadi salah ketika mengatakan candaan kala itu. Ia tahu Ichimatsu memiliki hati yang rapuh, tapi petunjuk yang diberikan oleh adik-adiknya yang lain justru tidak mengarah pada kesimpulan tersebut. Dia memang harus mendengarnya sendiri supaya mengerti alasan yang sesungguhnya.

Tapi, serius. Ini sudah dua minggu berlalu dan mereka belum bicara sama sekali. Ichimatsu bahkan pindah posisi tidur, ke bagian ujung. Padahal kadang-kadang Ichimatsu tidak keberatan berada di sebelah Osomatsu. Hal ini membuat lelaki itu merasa sedikit sedih karena menjauh dari adiknya.

Namun, bukannya ini terlalu lama? Apapun alasannya, mereka harus segera bicara. Karena itu, sekarang Osomatsu berniat menahannya. Ia mengatakan pada yang lain (kecuali Ichimatsu, karena dia baru saja pergi ke toilet) bahwa memerlukan ruang, karena pasti Ichimatsu akan menggunakan banyak alasan demi bisa menghindarinya.

"Kenapa kami harus ikutan mengurus masalahmu?" Tanya Choromatsu malas.

"Brother, Osomatsu-nii-san, apa kau yakin tidak akan tertelan oleh aura kegelapan miliknya?" Karamatsu justru mengkhawatirkan hal lain.

"Kau yakin ini bakal sukses?" Jyushimatsu langsung menanyakan hal yang sedang tidak ingin dipikirkan oleh Osomatsu.

"Tapi Osomatsu-nii-san tidak bisa bicara dengan Ichimatsu-nii-san bila terus seperti ini. Kita harus sedikit membantu." Todomatsu memberikan jawaban yang sangat bijak. Sebenarnya, dia malas jika nanti harus melihat drama yang akan terjadi. Dia jamin itu akan datang sebentar lagi.

"Oh, begitu, ya. Kalau seperti itu, apa boleh buat. Kami hanya membantumu kali ini." Kata Choromatsu.

Karamatsu membenahi posisi kacamata hitamnya yang entah sejak kapan sudah ada di wajahnya. "Baiklah, kita akan ke luar rumah hari ini, brother."

"Osomatsu-nii-san, semoga gagal!" Seru semuanya dengan kompak.

"Kalian ini niat menyemangatiku gak, sih?!"


Ichimatsu baru saja kembali dari toilet dan hendak melanjutkan tidurnya sebentar lagi. Entah kenapa ia merasa begitu mengantuk hari ini. Mungkin karena kemarin ia memberi makan kucing di luar, atau sebab menghindari Osomatsu.

Tentu saja dia menghindarinya setelah kejadian itu, bukan?

Ichimatsu biasanya tidak akan memikirkan hal-hal yang tidak penting. Tetapi ketika Osomatsu mengatakannya, tubuhnya bereaksi sebelum ia ketahui. Tak sengaja mengingat insiden di mana ia berpura-pura menjadi Karamatsu dan membuat alasan bahwa ia menyukai kakaknya supaya bisa pergi dan tidak ketahuan. Hari itu memang berakhir baik, dan ia cukup lega.

Tentu saja Ichimatsu menyukai saudaranya, mana mungkin dia membenci mereka. Walau kelakuan Osomatsu mungkin memang kadang patut dipertanyakan, tetapi Ichimatsu tidak ada masalah dengan itu. Ia sudah terbiasa sejak dulu.

Saat memikirkan itu kembali, wajahnya terasa agak panas. Bisa-bisanya dia melakukan semacam konfesi begitu, tapi keadaan sedang darurat dan ia tak ada pilihan lain waktu itu. Ia berusaha melupakannya, sebenarnya cukup berhasil karena kesibukan mereka sehari-hari, entah bermain, minum dan sebagainya.

Sampai Osomatsu mengatakan hal itu kepadanya.

Ichimatsu bahkan masih terus terngiang dengan kalimat tersebut. Osomatsu bilang dia akan bisa jadi istri yang baik … apa dia tak ada pilihan kata lain yang lebih bagus? Hanya bisa membuat Ichimatsu merasa malu.

Ichimatsu membuka pintu kamar, menemukan hanya ada Osomatsu di dalam. Entah yang lainnya ke mana, dia juga tidak terlalu peduli. Mereka pasti sedang ada di luar, bermain atau apalah. Pasti nanti juga akan kembali.

"Ichimatsu," Osomatsu berjalan mendekat, kemudian menahan tangannya sebelum si empu berusaha kabur lagi. "kita harus bicara."

"Apa? Lepaskan aku, Osomatsu-nii-san!"

"Tidak sampai kau bicara denganku, Ichimatsu!"

Situasi saat ini tidak menguntungkan Ichimatsu. Tak ada siapapun di sini sekarang. Ayah dan Ibu biasanya juga mengabaikan sikap anak-anak mereka, mengira itu hanyalah permainan semata.

Osomatsu terlihat begitu serius, membuat Ichimatsu juga jadi sedikit gugup. Apa yang terjadi padanya hari ini? Lalu apa yang mau ia tanyakan? Ichimatsu tidak siap jika diberi pertanyaan sulit. Ia tak tahu harus apa.

"Kita duduk dulu."

Ichimatsu diam, karena pergelangan tangannya sekarang terasa sakit. Ia mencoba melepaskan diri sejak tadi, tapi entah dari mana munculnya kekuatan Osomatsu saat ini. Apakah karena dia adalah saudara tertua sehingga memiliki tenaga yang paling kuat?

Ichimatsu tidak menyerah, ia berusaha menarik tangannya juga hingga posisi mereka bergeser. Mereka berkali-kali hampir jatuh karena itu. Baik Osomatsu maupun Ichimatsu, tidak ada yang ingin mengalah satu sama lain. Keduanya kemudian berakhir di sebuah sofa, di mana Osomatsu mendorong adiknya supaya tidak ada jalan keluar baginya.

Rasa kesal Osomatsu terus bertumpuk selama dua minggu ini. Ia akhirnya tidak mampu menahan dan berteriak pada Ichimatsu.

"Kenapa kau terus menghindariku belakangan ini?!"

Osomatsu marah. Sangat marah. Emosinya sudah tidak bisa lagi dibendung dan akhirnya dikeluarkan semua.

"Aku tidak—"

"Jangan berusaha menyangkalnya, Ichimatsu!"

"O-Osomatsu-nii-san," Ichimatsu berusaha memanggilnya, tapi kakaknya itu masih belum puas.

"Kau tahu apa yang aku pikirkan?! Kukira kau butuh waktu supaya kita bisa berbicara seperti biasanya kembali. Aku menunggu dan terus menunggu, tapi kau sangat keterlaluan!"

" … "

"Apa kau juga terpaksa ketika memanggilku dengan sebutan nii-san? Jika iya, katakan saja!"

Osomatsu terengah-engah setelah mengungkapkan isi hatinya. Butuh banyak tenaga untuk itu, dan sekarang ia merasa lega. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama karena ia melihat Ichimatsu di bawahnya seperti sedang menahan tangis. Matanya berkaca-kaca, bahkan mulai tampak laminasi di sudut. Wajahnya juga memerah, berusaha untuk tidak menumpahkan semuanya lebih dulu.

Seolah tersadar, Osomatsu akhirnya memberikan ruang. Ia menyingkir dari atas Ichimatsu dan kemudian mereka duduk bersama. Adiknya itu lalu berusaha menenangkan dirinya sendiri selama beberapa menit. Osomatsu merasa bersalah karena membentaknya seperti itu.

Mereka terdiam. Selama beberapa menit, tidak ada yang bersuara. Membiarkan sunyi menelan keduanya ketika waktu terus berlalu.

Ichimatsu pun mulai menenangkan dirinya, sebab ia pikir bila Osomatsu merasa marah. Dia hanya tidak menyangka bahwa emosi Osomatsu itu sangatlah mengerikan, sehingga membuatnya sedikit takut. Tetapi, tampaknya kakaknya itu juga menyadari hal tersebut. Ichimatsu berpikir apa yang harus dikatakannya pada saudara tertua.

Ichimatsu mengumpulkan keberanian. Dia harus bicara atau masalah ini akan menjadi berlarut-larut. Kesalahpahaman yang tidak segera diluruskan juga akan mengganggu relasi persaudaraan mereka. Lagipula, Ichimatsu sudah menghindarinya selama dua minggu. Walaupun Osomatsu sikapnya seperti itu, dia juga punya batas terhadap kesabarannya. Mereka hanyalah manusia biasa.

Ichimatsu pun menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Osomatsu tadi.

"Aku … tidak merasa terpaksa." Ichimatsu pun melanjutkan, "memanggilmu nii-san, sebenarnya itu sangat membuatku senang."

Osomatsu terkejut ketika mendengar penjelasan Ichimatsu. Apakah dia tidak salah bicara? Atau Osomatsu masih belum kembali ke dunia nyata?

"Benarkah?" Tanya Osomatsu. Apakah Ichimatsu tidak sedang berbohong padanya?

Ichamatsu mengangguk. "Itu benar."

"Tapi kau butuh waktu lama sekali memanggilku dengan sebutan itu, aku agak ragu dengan pernyataanmu."

Osomatsu sebenarnya percaya bahwa Ichimatsu jujur. Namun ia benar-benar ingin menanyakan hal ini juga supaya lebih jelas. Ichimatsu hanya berdehem kecil, kemudian memalingkan wajah.

"Bukan begitu. Aku hanya malu."

"Kenapa kau malu?" Osomatsu masih bingung. Mereka kan bersaudara, apa yang harus dipermasalahkan dari itu? Kata malu sudah kadaluarsa, harusnya.

Ichimatsu segera menoleh ke arahnya dengan wajah yang agak kesal. "Bukankah kau tahu alasannya?! Jangan pura-pura gak inget!"

"Inget gimana kalau kamu gak ngasih tahu?!" Balas Osomatsu sengit.

"Kau benar-benar ingin aku yang ngomong?!"

"Tentu saja. Tolong jelasin semuanya biar aku ngerti, oke?!"

Uhk. Ichimatsu malu bila harus menjelaskannya, tapi jika begini terus maka konversasi mereka takkan mendapatkan titik temu. Maka akhirnya dia pun memberitahukan.

"Waktu … aku pura-pura jadi Karamatsu. Aku bilang sesuatu padamu, kan?"

Osomatsu langsung ingat dengan apa yang dimaksud oleh Ichimatsu. Sebenarnya dia sudah tahu kebenarannya, tapi diam saja. Tentu saja, Osomatsu juga ingat dengan apa yang dibicarakan oleh adiknya itu.

"Maksudmu, soal perasaanmu pada nii-chan?" Tanya Osomatsu dengan nada sedikit menggoda. Sejujurnya Ichimatsu juga cukup kaget ketika mendengar itu. Dia benar-benar tidak ingin ketahuan hingga menggunakan alasan demikian.

Ichimatsu merona. Itu adalah kenangan yang ingin dia kubur jika bisa, dipendam dalam-dalam hingga tak ada yang mampu lagi melihatnya.

"Ukh, hentikan itu."

Osomatsu jadi merasa tidak enak karena Ichimatsu sudah jujur padanya. Dia juga harus melakukan hal yang sama, bukan?

"Sebenarnya nii-chan sudah tahu itu kau."

"Hah? Apa?"

Ichimatsu pikir dia salah dengar, namun raut wajah Osomatsu yang tenang membuatnya kian malu. Jadi kakaknya tahu dia menyamar sebagai Karamatsu dan ikut bersandiwara? Astaga. Mau ditaruh di mana wajahnya setelah ini?

"Iya," Osomatsu mengangguk. "Aku tahu."

"Nii-san, kenapa gak ngomong kalau gitu?!" Balas Ichimatsu.

"Hahaha, mukamu lucu sekali, Ichimatsu. Tentu saja nii-chan bisa membedakan kalian semua. Kita sudah bersama dari kecil, oke?"

Ichimatsu membuang muka, tapi Osomatsu memaksanya untuk menatap dirinya. Tangannya menahan kedua pipi sang adik dan berkata,

"Jangan marah begitu."

"Aku gak marah."

Osomatsu ingin bercanda dengan bilang, "Apa karena aku tidak membalas perasaanmu?". Tetapi ia ingat pesan dari saudaranya yang lain agar tidak berkata sembarangan soal ini pada Ichimatsu. Hatinya sangat rapuh dan Osomatsu tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Terlebih itu karena dia yang mengatakannya.

"Baiklah, aku minta maaf soal candaanku ketika kita memasak. Apa kau sudah memaafkan nii-chan?" Osomatsu kembali ke topik utama.

"Entahlah, aku tidak tahu."

"Hei, aku sudah minta maaf!"

"Jangan paksa aku!"

Osomatsu melepaskan tangannya. "Maaf, aku tidak bermaksud …. "

" … "

Osomatsu tidak tahan dengan keheningan ini, jadi ia akhirnya bicara. "Ichimatsu, selain minta maaf, sebenarnya aku juga mau bilang sesuatu."

"Bilang saja." Balas Ichimatsu, tampaknya tidak tertarik. Tidak bisa dibiarkan, Osomatsu harus berusaha.

Osomatsu menarik napas, kemudian mengembuskannya kembali. "Soal waktu itu ketika kau menyamar sebagai Karamatsu. Hah, sebenarnya aku hanya ingin kau mengatakannya langsung padaku, sebagai Ichimatsu."

"Apa maksudmu?" Ichimatsu menatapnya.

Osomatsu agak ragu, tetapi demi membuat hubungan mereka membaik, ia pun mengucapkan, "Ichimatsu adalah Ichimatsu, kau tidak perlu jadi orang lain. Aku … lebih suka kau yang seperti itu."

" … "

"Karena menurut nii-chan, tidak ada yang bisa menggantikan Ichimatsu." Sambung Osomatsu, kemudian melempar senyum ke arahnya.

Ichimatsu memandanginya sambil terpaku. Jadi sebenarnya Osomatsu tidak mempermainkannya ketika ia menyamar sebagai Karamatsu. Kakaknya hanya menunggu, kapan ia akan bicara yang sebenarnya. Tetapi Ichimatsu lebih memilih untuk menyembunyikan semua sampai akhir. Dia tidak pernah memikirkan masalah ini bila dilihat dari sudut pandang Osomatsu.

"Osomatsu-nii-san kecewa karena aku gak jujur waktu itu?" Ichimatsu bertanya langsung kepadanya. Dia merasa juga harus tahu apa yang dirasakan Osomatsu saat itu.

Suara kekehan terdengar. "Gak juga, itu lumayan menyenangkan. Tapi aku harap, Ichimatsu mau lebih terbuka denganku."

"Kenapa harus begitu?" Heran Ichimatsu. Selama ini Osomatsu tidak pernah mempermasalahkan dirinya yang bergaul dengan hewan.

Osomatsu tiba-tiba menggenggam tangannya. "Karena kau bukanlah orang lain bagiku."

Ichimatsu tersentak, begitu terkejut. Osomatsu sudah mendengar semuanya, tapi kenapa sikapnya tidak berubah? Ia pikir kakaknya mungkin akan menatapnya aneh setelah tahu apa yang ia sembunyikan. Ternyata tidak sama sekali, masih seperti biasanya.

"Apa kau … tidak berbohong, Osomatsu-nii-san?" Ichimatsu tidak mau terlalu berharap, jadi harus memastikan apakah perkataan Osomatsu sungguhan atau tidak. Bisa jadi ia sedang bercanda seperti biasanya.

Osomatsu menatapnya lurus, bertukar pandang dengannya dan mengulas senyum.

"Bukankah kau yang paling tahu jika nii-chan tidak bisa berbohong, Ichimatsu?"