Ini adalah hari yang cerah.
Jyushimatsu memutuskan pergi latihan, bahkan meski ramalan cuaca mengatakan akan hujan. Ia pulang dalam keadaan basah kuyup dan langsung ke kamar. Saat itulah, ia melihat saudara-saudaranya sibuk berunding tentang order fiktif dua buah pizza yang tak akan mereka beli.
Jyushimatsu sibuk berdiskusi sampai Osomatsu juga datang. Mereka akhirnya berdebat soal pizza tersebut dan memutuskan bertanya pada Karamatsu yang sedari tadi tiduran sambil membaca sesuatu.
"Karamatsu, mana yang akan kau pesan?"
"Aku sih terserah kalian, brother. Aku mau pergi ke toilet dulu."
Karamatsu selalu saja seperti itu. Membuat yang lain kesal karena tidak pernah menunjukkan sifat egoisnya sedikit pun. Beramai-ramai mereka pun bertanya pada Karamatsu, memojokkannya agar menjawab. Tapi dia hanya mengatakan,
"Aku hanya mencoba menghentikan pembicaraan bodoh kalian, tahu?"
Semua terdiam. Entah mengapa rasanya begitu mengerikan melihat kilat amarah pada tatapannya. Karamatsu sangat berbeda sekarang dari yang biasanya mereka tahu dalam kehidupan sehari-hari.
Lalu, Karamatsu hampir tidak pernah bersikap setegas itu. Menyatakan apa yang ia suka dan tidak secara terang-terangan. Bahkan Osomatsu yang biasanya tidak peduli jadi tertegun. Benarkah itu Karamatsu? Dia tidak banyak bicara, tapi kalimat itu benar-benar sangat menyakitkan.
Choromatsu dan Todomatsu pun langsung memijat bahunya, berusaha menenangkan Karamatsu. Sementara kakak kedua mereka terus berbicara betapa tidak bergunanya mendiskusikan hal yang tidak nyata. Mereka bahkan tidak membeli pizza-nya. Hari itu, Karamatsu pun resmi memiliki nama panggilan lain, yakni 'Exclusive Matsu'.
" Gak jadi ke toilet?" Tanya Choromatsu untuk menghentikan situasi ini.
Karamatsu menghela napas, tampaknya sudah tahu maksud tersembunyi Choromatsu. "Hah, kau jadi mengingatkanku. Kalau begitu, aku akan pergi sebentar."
Pemuda itu segera keluar dari ruangan dan menutup pintu kembali. Sedangkan kelima saudaranya kini bisa menjadi sedikit lebih lega. Suasananya sedikit tidak enak jadi mereka harus memberikan jeda supaya tidak canggung. Beberapa menit pun bukanlah masalah.
"Karamatsu ternyata bisa marah juga, ya." Osomatsu memulai obrolan. Dia bisa mati bosan jika mereka semua hanya diam. Lagipula, suasananya jadi aneh jika dibiarkan hening terlalu lama, bukan?
"Dia kan manusia, wajar saja." Sahut Choromatsu. Hah, dasar si paling logis.
"Tapi marahnya sangat keren, iya, kan?"
Semua menoleh pada Todomatsu yang memasang wajah tidak berdosa. Seakan-akan yang dia katakan adalah hal yang normal.
"Seriusan, Todomatsu?" Jyushimatsu bertanya.
"Kenapa tidak?"
Todomatsu tampak berbunga-bunga. Mengerikan. Membuat Osomatsu dan yang lainnya ingin muntah. Aura apa yang dikeluarkan oleh si bungsu? Kenapa warnanya jadi merah muda begitu? Tersipu-sipu lagi. Huek.
"Maksudnya kau jadi Karamatsu Boys, begitu?" Tanya Osomatsu, memastikan. Ia ingat adik nya yang satu itu menyebut penggemarnya dengan julukan tersebut.
"Memangnya kenapa?" Todomatsu sewot.
"Tidak bisa!" Jyushimatsu meninggi. "Aku lah Karamatsu Boys yang asli!"
Todomatsu tersenyum, kemudian matanya berubah dan melompat untuk mencekik Jyushimatsu. "Apa katamu?!"
"AKH—" Jyushimatsu merasa sesak karena ulah Todomatsu. Udara berhenti masuk ke dalam tubuhnya dan itu membuat tenggorokannya jadi kering. Ia berusaha mendorong, tapi Todomatsu bukanlah lawan yang mudah dijatuhkan.
"O-oi …. " Ichimatsu khawatir. Ia, Choromatsu dan Osomatsu akhirnya mencoba menghentikan tindakan percobaan pembunuhan ini. Todomatsu memang terlihat manis, tapi sifat aslinya sangatlah mengerikan.
"Uhuk … uhuk …. " Jyushimatsu terbatuk-batuk setelah berhasil terbebas dari cengkeraman Todomatsu.
"Lepaskan aku! Urusanku belum selesai dengannya!" Si bungsu masih belum puas mencekik Jyushimatsu karena berani-beraninya merebut gelar Karamatsu Boys darinya.
"Lagian, kenapa sih kau ngebet banget jadi Karamatsu Boys?" Heran Osomatsu sambil berusaha menahannya. Kekuatan Todomatsu tidak bisa diremehkan jadi ia harus tetap fokus.
"Karena aku yang paling dekat dengan Karamatsu nii-san, oke?!" Jawab Todomatsu.
"Hei, kok jadi gitu aturannya?" Choromatsu tidak terima.
"Benar, Todomatsu. Bagaimana caranya kau memutuskan sepihak seperti itu?!" Osomatsu ikut merasa kesal.
Ichimatsu? Dia diam saja. Namun dalam hatinya, ia sudah sangat ingin menenggelamkan Todomatsu ke dasar Palung Mariana. Hingga tanpa sadar menekan erat lengan si bungsu yang tengah ditahannya.
"Aduh, Ichimatsu nii-san!" Pekik Todomatsu karena merasakan sakit yang mendadak.
"Berarti kalau begitu, aku dan kau adalah Karamatsu Boys." Kata Jyushimatsu santai. Tampaknya sudah lupa bahwa tadi dia sempat dicekik oleh saudaranya sendiri.
"Apa maksudnya itu?!" Todomatsu berkedut kesal.
"Yah … semacam perkumpulan? Aku tidak tahu namanya. Tapi bukankah kita semua bisa menjadi Karamatsu Boys bersama-sama? Tidak pernah ada aturan bahwa itu hanya untuk satu orang."
Jyushimatsu memberikan sebuah solusi yang sangat brilian. Membuat Osomatsu dan Choromatsu hampir saja sepakat dengannya. Jika bukan karena Todomatsu berseru,
"Enak saja! Aku adalah Karamatsu Boys nomor satu!"
Osomatsu dan Choromatsu diam sebentar. Kalau dipikir-pikir, ucapan Todomatsu masuk akal. Walaupun mereka mungkin menjadi Karamatsu Boys, tapi keduanya tidak mau disamakan dengan siapapun.
"Tunggu," sela Osomatsu. "Aku adalah saudara tertua, jadi bukankah itu menjadikanku Karamatsu Boys #1?"
Osomatsu memasang wajah sombongnya, menatap rendah sambil menyilangkan lengan dan ganti membuat saudaranya yang lain kesal.
"Tidak bisa!" Seru yang lain secara serempak.
"Harusnya itu aku!" Choromatsu mengeluarkan pendapatnya. "Maksudku, Karamatsu nii-san selalu berusaha membantuku secara nyata walau diam-diam!"
"Hei!" Jyushimatsu tidak mau kalah. "Karamatsu nii-san itu selalu memperhatikan aku, jadi akulah Karamatsu Boys #1!"
"Kalian hanya bisa membuatnya repot, sedangkan aku tidak pernah ada masalah dengan Karamatsu nii-san! Aku lah Karamatsu Boys #1!" Todomatsu benar-benar marah sepertinya.
Mereka berempat bertengkar dan Ichimatsu hanya diam. Tapi ia sudah muak bila tidak bicara apapun dan melihat saudara-saudaranya dengan mudah mengklaim menjadi Karamatsu Boys. Tanpa basa-basi, ia pun mengeluarkan aura kegelapannya dan membuat semua orang terhenti.
"I-Ichimatsu?" Osomatsu ketakutan dan berlindung di balik adik-adik nya yang lain. Tanda ini bukan merupakan hal bagus. Sesuatu telah membangkitkan kemarahan Ichimatsu dan ia tidak tahu bagaimana mengatasinya.
"Oh, jadi kau mengakui bahwa kau juga Karamatsu Boys, Ichimatsu nii-san?" Todomatsu menatapnya. Firasatnya mengatakan seperti itu dan Ichimatsu juga tidak membantah pernyataan tersebut. Bagaimana bisa Todomatsu tidak tahu apa yang dia pikirkan? Mereka ini kembar, tahu.
"Hah?! Jadi karena itu dia marah?!" Choromatsu dan Jyushimatsu saling memandang. Ichimatsu hampir tidak pernah berkata apapun soal Karamatsu. Karena itu mereka juga biasanya tidak membahas saudaranya yang satu itu jika tengah bersama karena ia terlihat membencinya. Namun sebuah fakta mencengangkan justru terungkap hari ini.
Osomatsu kaget. "Todomatsu, kau bisa mengerti apa yang ingin dia katakan?"
Drap drap drap
Mereka mendengar suara langkah kaki mendekat dari luar. Segera, kelimanya pun kembali ke tempat masing-masing sebelum saudara mereka pergi tadi. Benar saja, tak lama kemudian, Karamatsu datang lagi.
"Kenapa hening sekali?" Tanya Karamatsu. Ia agak heran ketika melihat saudara-saudaranya hanya duduk dan diam. Apakah telah terjadi sesuatu?
"Karamatsu nii-san," panggil Todomatsu.
"Oh, ada apa?" Mungkin di bungsu ingin meminta tolong lagi? Karamatsu juga tak akan menolaknya, sih. Jadi ia pun mendengarkan permintaannya.
Todomatsu tampak sedikit gelisah, tapi akhirnya ia berkata, "Aku menyukaimu, Karamatsu nii-san!"
Bagai petir menggelegar di siang bolong—tapi sekarang memang sedang hujan, sih—, ucapan Todomatsu seakan mengibarkan bendera perang di antara mereka kecuali Karamatsu. Si bungsu juga mengucapkannya dengan mudah, membuat yang lain merasa iri dan dengki.
"Ah," Karamatsu berkedip, kemudian tersenyum. "Aku juga menyukaimu, brother !"
Guntur menggelegar dengan cukup keras dari arah luar untuk kali kedua. Kali ini Todomatsu yang tersambar, tepat di hatinya. Bro … brother ? Jadi statusnya cuma sebatas itu di mata Karamatsu? Tidak bisa dipercaya! Apakah dia salah dengar?!
Todomatsu hanya sedang denial.
Sementara yang lain melihat pemandangan tersebut sambil menahan tawa. Rasain tuh, Todomatsu! BWAHAHAHAHHHA—begitu batin setan mereka berbicara. Tertawa puas akan nasib mengenaskan Todomatsu yang terkena brother-zone.
"I-iya … "
Todomatsu yang patah semangat menjadi lemas, lemah, lunglai, letih dan lesu. Sepertinya dia terkena anemia. Kepalanya jadi pusing dan memilih merebahkan diri di lantai.
"Kau tidak takut masuk angin, brother ?" Tanya Karamatsu melihat saudaranya berada di lantai.
"Hari ini terik sekali, aku sampai kepanasan. Ha … ha … ha …. " Tawa menyedihkan keluar dari mulut Todomatsu, tapi Karamatsu yang dasarnya memang tidak peka hanya berkata,
"Oh. Ya sudah kalau begitu." Kata Karamatsu, mengabaikan bahwa di luar sedang hujan deras. Agak aneh juga, tapi mungkin Todomatsu benar-benar tidak enak badan dan Karamatsu tidak mau mengganggunya.
Todomatsu menutup wajahnya, ingin mengubur dirinya sendiri setelah melakukan konfesi. Sedangkan yang lain masih tertawa dalam hati. Todomatsu sampai nge hang begitu gara-gara Karamatsu. Kapan lagi mereka bisa melihat ini?
Sisa empat orang pun saling menatap satu sama lain. Seolah-olah ada kilatan listrik di antara mereka; aku yang akan menjadi Karamatsu Boys #1!
"Sebenarnya, aku juga sangat menyukaimu, Karamatsu."
Osomatsu segera mencuri start duluan. Masalah begini adalah hal sepele! Lihat saja, Todomatsu akan menangis setelah melihat dirinya berhasil. Saudara tertua itu memang memiliki kepercayaan diri yang terlalu tinggi.
Ketika yang lain geram dan Osomatsu hahahihi, jawaban dari Karamatsu pun terucap,
"Tentu saja, brother! Kau adalah yang tertua, tidak mungkin aku tidak menyukaimu, brother!" balasan itu diiringi dengan senyuman mengkilat dan juga jempol darinya.
KRATAK
Hati Osomatsu pecah berkeping-keping hingga tidak lagi berbentuk. Karamatsu bahkan menyebut ia sebagai 'brother' sebanyak dua kali. Kenapa Karamatsu tidak peka? Padahal dia mengatakannya dengan sangat jelas, kan?!
"Osomatsu nii-san, sebaiknya kau duduk saja, ya." Todomatsu mendadak muncul di sampingnya sambil memijat bahunya. Berikut dengan senyum mencurigakan—lebih tepatnya, sebuah seringai.
"TIDAKKKKK!"
Selepas kekalahan Osomatsu, kini giliran Choromatsu yang maju. Ia tidak bisa menggunakan kalimat yang sama, kan? Itu namanya adalah plagiasi. Jadi Choromatsu pun memikirkan dengan baik apa yang akan ia katakan pada Karamatsu sekarang.
"Karamatsu nii-san … " panggilnya pelan. Bermaksud sopan. Todomatsu dan Osomatsu tidak pernah memikirkan sisi yang ini, bukan? Untuk bisa diakui, maka adab itu sangatlah penting. Kedua saudaranya tadi memang tidak berguna! Lihatlah bagaimana dia akan menunjukkannya!
"Ya?" Karamatsu menoleh padanya.
"Sebenarnya, aku ingin mengatakan sesuatu."
"Katakan saja."
"Aku … merasa jika memiliki ketertarikan padamu. Bagaimana denganmu? Apakah memiliki pandangan yang sama denganku?"
Osomatsu dan Todomatsu membatin, kampret! Bisa-bisanya Choromatsu menggunakan senjata pamungkas seperti itu. Konfesi mereka jadi biasa-biasa saja ketika dibandingkan, bukankah ini tidak adil?!
"Todomatsu, siapkan tali." Kata Osomatsu.
Todomatsu mengangguk. "Roger."
Apa yang mau kalian rencanakan?
Karamatsu tampak berpikir sejenak. Sepertinya dia serius mempertimbangkan hal ini. Hingga akhirnya jawaban itu keluar dari mulutnya,
"Sebenarnya, aku juga tertarik padamu, brother. Tapi bukan dalam batas tinggi ataupun rendah, ya tengah-tengah saja."
KRATAK (2)
Choromatsu tertegun, lalu jatuh pingsan. Jasadnya segera dibawa oleh Osomatsu dan Todomatsu yang membawa tandu entah dari mana. Kemudian disingkirkan dengan segera dari hadapan saudara mereka. Mission completed.
Ichimatsu jadi ngeri sendiri melihatnya, begitu pula dengan Jyushimatsu. Kini hanya mereka berdua yang tersisa. Apakah mereka juga harus mengatakannya, atau lebih baik diam saja?
"Aku tidak tahu my brother sangat antusias. Kalian lapar, ya? Bagaimana kalau kita beli sesuatu, brother ?" Tanya Karamatsu. Hujan juga tampaknya sudah mulai mereda.
"Tidak juga." Kata Ichimatsu, tapi sambil memalingkan wajahnya.
"Aku juga." Sahut Jyushimatsu.
"Oh, ya sudah. Padahal aku bisa membelikan kalian sedikit makanan."
"E-eh, tidak perlu."
Ichimatsu dan Jyushimatsu merasa tidak enak pada Karamatsu sekarang. Harus apa setelah ini? Mereka bisa saja berhenti, tetapi bukankah itu terlalu pengecut? Tapi jika ingin maju … apakah mereka akan bernasib sama seperti Todomatsu, Osomatsu atau bahkan Choromatsu yang sudah …
"Aku belum mati, woi!" Seru Choromatsu sambil bangkit dari pingsannya.
"Ngagetin aja!" Todomatsu menyuruhnya berbaring lagi dan mendorong, dibantu oleh Osomatsu. Pasien harus istirahat, iya, kan? Kalau bisa jangan sampai dia terbangun lagi.
"Tolong aku!"
Namun seperti biasanya, hal itu dianggap tidak terlalu penting. Kini Karamatsu hendak berlalu dan mengambil bacaannya, tetapi tiba-tiba Jyushimatsu menahannya.
Padahal Jyushimatsu bisa mengatakannya dengan mudah, tetapi setiap melihat mata Karamatsu, ia jadi mengurungkan niatnya. Ini lebih sulit daripada bayangannya!
"Ada apa, Jyushimatsu?"
"Ma-maukah kau … " mata Jyushimatsu berputar-putar sekarang karena panik. " … jalan denganku, Karamatsu nii-san?"
"Woi, apaan tuh?!" Protes Osomatsu, Todomatsu dan Choromatsu. Jyushimatsu brengsek! Beraninya mengucapkan kalimat seperti itu!
"Jalan?" Karamatsu bertanya ulang.
"I-iya."
Jyushimatsu tidak tahu lagi. Dia benar-benar bingung! Tapi intinya dia sudah mengatakan apa yang harus dikatakannya. Aduh, kepalanya jadi pusing sekarang.
Karamatsu mengangguk, "Boleh, sih."
Jyushimatsu hampir saja berseru bahagia kalau saja tidak dilanjutkan dengan kalimat,
"Tapi sekarang sedang hujan, brother. Kita tidak bisa jalan-jalan atau akan jatuh sakit!"
Jyushimatsu memegang kepalanya, kemudian berteriak-teriak tidak jelas sebelum akhirnya bergabung bersama Osomatsu cs. Akhirnya, kini hanya tersisa Ichimatsu sebagai pemain terakhir. Solo yolo. Begitu menegangkan sekaligus menakutkan.
"Lah, tinggal Ichimatsu?" Osomatsu menatap remeh. "memangnya dia bisa melakukannya?"
"Dia tidak mungkin bisa, hahaha." Balas Todomatsu.
"Benar, probabilitasnya mencapai minus." Choromatsu turut berbisik.
Jyushimatsu ikutan mengejek. "Heee~ Ichimatsu nii-san itu ternyata payah, ya."
"Hahahahahaha!"
Tawa mereka terdengar memenuhi ruang. Karamatsu tidak peduli, tetapi Ichimatsu tak bisa abai. Hanya saja, ia tidak tahu harus berkata apa. Lagipula, bukankah dia ini membenci Karamatsu? Lalu kenapa dirinya harus konfes, hah?! Ini sangat menggelikan!
"Hei, Ichimatsu."
"Apa—"
Semua terjadi begitu cepat. Ketika wajah Karamatsu mendadak mendekat, membuat jantung Ichimatsu berdetak sangat hebat. Pipinya mulai terasa panas, merasakan kedekatan yang tiba-tiba menghampiri.
Karamatsu memang keren, apalagi jika dilihat dari jarak sedekat ini. Membuat Ichimatsu jadi bingung. Apa yang terjadi padanya sekarang? Tetapi, manusia itu memiliki refleks yang kadang sulit dikendalikan. Lalu, selanjutnya, tanpa sadar ia berkata,
"Aku … aku suka kamu."
Suara hujan masih terdengar walau tidak sederas tadi. Ichimatsu melihat Karamatsu kian mendekatkan wajahnya. Sepertinya bukan hanya suara hujan, tapi juga debaran di dadanya terdengar amat keras. Osomatsu cs sudah ketar-ketir dan takut mereka akan kalah. Mereka pun memukul tatami sambil menyumpahi Ichimatsu.
"Ichimatsu, kami tidak akan pernah memaafkanmu!"
Dalam suasana yang terbilang cukup mendukung itu, Karamatsu berbisik ke telinga Ichimatsu.
"Maaf, aku mau mengambil selebaran pizza-nya, brother."
Ichimatsu ngehang.
Osomatsu cs diam sebentar, sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut.
Namun Karamatsu tidak mengerti dan hanya menarik selebaran pizza yang mereka bicarakan tadi dari tindihan tangan Ichimatsu. Tentu saja Karamatsu tidak melupakan apa yang disampaikan oleh Ichimatsu tadi.
"Oh, brother. Kau jangan khawatir. Aku juga menyukaimu!"
"Woi, Ichimatsu! Sadar!" Osomatsu cs masih mengejeknya yang gagal total.
Ichimatsu hanya terdiam. Kemudian ia membalikkan dirinya, membuka hoodie nya dan memeluk lututnya. Karamatsu awalnya membiarkan saja sampai kemudian Ichimatsu tiba-tiba menyerang Osomatsu cs yang tadi menertawainya.
"Maju kalian semua."
Glek!
Aura gelap Ichimatsu begitu besar dan membuat yang lain sempat takut. Tetapi entah bagaimana mereka akhirnya berkelahi lagi. Membuat keributan yang sebenarnya tidak perlu.
"Ini gara-gara kalian mengganggu jadi aku tidak bisa mengatakannya dengan benar!"
"Ngaca, dong! Kau itu cuma denial kalau sudah ditolak, iya, kan?!"
"Tunggu, ini kan gara-gara Todomatsu!"
"Kau benar. Todomatsu adalah penyebab semua ini!"
"GRAHHHH!"
Begitulah yang mereka ucapkan, tetapi Karamatsu tidak bisa mendengar dengan jelas karena suara mereka saling menyahut. Dia tidak tahu apa yang terjadi, makanya dia bertanya,
"Kalian ini kenapa, sih, brother?"
Semua saudaranya berhenti berkelahi detik itu juga. Mereka saling menatap satu sama lain dan mengangguk. Kemudian, berdiri di hadapan Karamatsu dengan tertib. Osomatsu sebagai saudara tertua pun, mendapat kesempatan untuk mewakili adik-adik nya. Dia harus mengatakannya dengan jelas supaya Karamatsu mengerti!
"Karamatsu, kau harus bersiap-siap. Karena mulai sekarang, kami takkan segan padamu lagi." Ia mengatakannya sambil menyeringai.
"Apa maksudnya itu, brother?" Tanya Karamatsu dengan polosnya.
Osomatsu berkedut kesal. "Kau dengar aku, kan! Kami takkan segan-segan lagi—"
"Aku cuma mau belikan kalian pizza. Mau tidak?" Karamatsu memotong kalimat itu dan memandang saudara-saudaranya. Serentak, mereka pun langsung berkata,
"MAU!"
Membelanjakan uang Karamatsu rasanya menyenangkan.
Matsuno bersaudara akhirnya membeli pizza setelah hujan reda. Jalanan masih basah dan mereka berjalan mencari tempat yang ada di selebaran milik mereka. Tempatnya agak jauh, harus melewati turunan serta rel kereta, tapi bukan masalah sama sekali.
Matsuno bersaudara makan dan bercanda seperti biasanya. Enam entitas kembar itu kemudian pulang setelah kenyang dan berjalan beriringan. Aroma petrikor pun juga terasa menyegarkan.
"Ah, pizzanya enak sekali! Makasih, Karamatsu nii-san!" Todomatsu mendadak memeluk lengannya.
Karamatsu berkata dengan bangga, "No problem, brother!"
IT'S A PROBLEM; batin yang lainnya.
"Rasanya tidak enak karena memakai uangmu, tapi terima kasih, ya." Osomatsu tidak mau kalah, memeluk lengan Karamatsu yang satunya. Ia dan Todomatsu kembali menatap dengan kilatan listrik imajiner.
"Bukan apa-apa. Aku senang selama kalian senang."
Choromatsu menendang punggung Osomatsu dengan kakinya. Ia mendekat, tapi tidak menggelayuti lengan Karamatsu. "Tapi uang dari mana itu, Karamatsu nii-san? Kita semua kan NEET."
Jyushimatsu memungut kerah belakang pakaian Todomatsu dan menggantikan posisinya. "Benar. Dari mana kau mengumpulkannya, nii-san?"
" It's a secret, brother." Balas Karamatsu sambil membenahi kacamatanya. Cling.
Sebenarnya itu adalah uang recehan yang selalu ditabungnya selama ini. Ia juga tidak ingin menggunakannya, tapi ketika saudaranya membahas pizza hari ini, ia merasa harus membelikan mereka. Toh, cuma sekali-kali jadi tidak apa-apa.
Ichimatsu tidak tahu harus bilang apa, jadi ia hanya mengatakan. "Kalau begitu terima kasih banyak, Karamatsu nii-san."
Walaupun Ichimatsu masih membencinya, tetapi dia bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Apa yang dilakukan Karamatsu hari ini mengingatkannya kembali ketika mereka masih sekolah. Ichimatsu hanya tidak mau ribut lagi nanti.
Karamatsu tersenyum. "Santai saja, brother. Aku melakukan ini karena aku menginginkannya."
Mereka melangkah bersama-sama. Suaranya begitu banyak dan juga ramai bahkan tanpa harus berbicara. Karamatsu merasa senang, menikmati momen ini. Untunglah waktu itu dia mengatakan isi hatinya, sehingga mereka semua bisa bersama seperti sekarang. Bila tidak … Karamatsu mungkin masih akan berjalan sendirian, tidak memiliki tujuan ataupun mengejar kebahagiaan.
Tapi ia tidak perlu melakukan itu, bukan?
Bagi Karamatsu, suasana ini adalah yang paling membuatnya senang. Mereka berjalan hingga mendekati palang kereta. Tidak ada transportasi yang beroperasi sehingga mereka bisa langsung lewat. Tetapi Karamatsu memilih menghentikan langkahnya dan membuat semua saudaranya heran.
"Ada apa, Karamatsu nii-san?" Tanya Choromatsu.
"Aku jadi ingat, waktu itu kita juga berjalan bersama seperti ini. Aku merasa sangat bersyukur, karena kita tidak terpisah lagi."
Semua langsung diam. Itu adalah kenangan yang cukup menyakitkan. Meski waktu telah berlalu begitu lama, mereka masih merasa berhutang pada Karamatsu. Bila ia tidak ada, entah bagaimana nasib persaudaraan mereka.
"Karamatsu nii-san, kami juga senang bisa bersamamu sekarang."
Karamatsu mengulas senyum ketika mendengar Todomatsu mengatakannya. Saudara lainnya juga mengangguk, membenarkan ucapan tersebut. Karamatsu benar-benar merasa lega, karena semuanya sekarang berada di sini, di tempat yang sama.
Karamatsu berjalan duluan, sedikit maju ke depan dan akan melewati palang. Ia kemudian berbalik sedikit, menoleh kepada semua saudara kembarnya. Persis ketika mereka pulang di hari kelulusan mereka.
"Aku—"
Osomatsu, Choromatsu, Ichimatsu, Jyushimatsu dan Todomatsu terpaku. Seakan mengingat sesuatu dari masa lalu. Karamatsu yang sama, pula kata-kata yang persis di tempat yang sama. Mengingatkan mereka bahwa ia tidak pernah bersikap pilih-pilih pada saudaranya. Baik dulu maupun sekarang.
Karamatsu selalu berusaha untuk adil dan mementingkan yang lainnya terlebih dahulu sebelum dirinya. Bahkan untuk permintaan tolong yang begitu banyak, ia sebisa mungkin tidak ingin menolaknya.
Karamatsu melakukan itu semua demi mereka. Supaya mereka berenam tidak lagi terpecah-pecah seperti sebelumnya. Memberikan perhatian yang sama kepada semuanya meski itu tidak pernah mudah, atau bahkan melelahkan. Tetapi itu mungkin karena rasa takut yang selalu menghantuinya. Mereka benar-benar tidak pernah mencoba memahami itu.
"Hei, Karamatsu." Panggil Osomatsu.
Karamatsu berkedip. "Ada apa, brother?"
Osomatsu tahu bagaimana Karamatsu berpikir sekarang ketika mendengar kalimat itu. "Kau benar-benar keterlaluan. Selalu membagi semuanya sama rata."
Tawa renyah meluncur dari Karamatsu. "Maaf, Osomatsu nii-san. Aku memang selalu seperti itu."
Karamatsu berbalik sepenuhnya dan merentangkan kedua tangannya. Tersenyum di tengah dinginnya udara sehabis hujan. Tidak ada bunga ataupun sesuatu yang menghiasi, tapi sosoknya terlihat lebih indah dari apapun.
Satu per satu dari mereka maju, kemudian memeluk Karamatsu hingga hampir tidak ada spasi yang tersisa. Mereka tertawa dan kemudian melanjutkan perjalanan pulang, dengan langkah-langkah kaki yang membawa serta kebahagiaan.
.
[ "Aku selalu menyayangi kalian semua." ]
.
