Pairing : Kakasaku

Regret by Reiki Prasasti
Naruto © Masashi Kishimoto

Happy reading, Minna-san!


"Hah... hah... hah..."

Deru napas tak beraturan yang diselingi dengan erangan penuh hasrat, mengundang imaji liar siapa saja yang mendengarnya.

"Ngghhh... ah!"

Suara feminim dan bariton saling bersahutan.

Derit kasur sesekali terdengar disela suara-suara erotis dari dua insan yang tengah memadu kasih di bawah selimut putih yang menutupi tubuh polos keduanya. Toh, siapa juga yang dapat melihat aksi mereka, mengingat kamar yang menjadi saksi bisu atas peleburan hasrat keduanya itu hanya diterangi lampu tidur yang temaram. Pun sebuah tirai telah menutup satu-satunya akses orang-orang di luar sana yang mungkin terlampau iseng untuk melihat apa yang tengah terjadi di balik jendela kamar apartemen Sakura.

Kakashi tak henti menghujamkan bagian tubuh kebanggaannya itu kepada lorong kewanitaan gadisnya. Sementara bibirnya masih setia bergerilya di setiap bagian tubuh Sakura tanpa melewatkan satu inchi pun.

Sakura memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan yang diberikan tangan besar nan hangat Kakashi pada dadanya. Sebuah desahan lolos dari bibirnya yang sedikit membengkak akibat cumbuan panas mereka tadi, kala jemari Kakashi memelintir nipplenya dengan gemas.

"Akh... Saki... aku hampir sampai..."

Hujaman Kakashi kian mengganas seiring pergerakan tubuh Sakura yang berada di bawah kungkungannya.

Semakin banyak desahan terdengar bersahut-sahutan dari keduanya.

"Ahh... T-Tenzo..."

Satu nama tertangkap telinga Kakashi yang membuat ia tiba-tiba menghentikan seluruh pergerakannya.

Sakura yang belum menyadari apa yang ia ucapkan turut membuka matanya, bingung. Begitu ia melihat tatapan tajam Kakashi yang seolah tengah melaser dirinya, ia tahu, ia telah melakukan kesalahan yang fatal.

"K-kakashi..."

Bahkan dirinya menyadari betapa suaranya bergetar saat memanggil pria yang masih menyatu dengannya.

Tanpa kata, Kakashi menarik tubuhnya menjauh dari Sakura. Disibakkannya selimut menjauh dari tubuh mereka.

Sakura yang wajahnya kini memucat, seolah seluruh darahnya telah tersedot keluar, mendudukkan tubuhnya dengan susah payah. Dia kini sadar sepenuhnya, betapa hubungan mereka telah berada di ujung jurang akibat dirinya.

"Kakashi."

Pria bertubuh jangkung itu tak mengindahkan panggilan kekasihnya. Dia tengah sibuk mengenakan boxernya dan membungkuk untuk memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai.

"Kakashi!"

Panggil Sakura kembali saat Kakashi sudah setengah jalan mengenakan kaos polonya.

"Tunggu, Kakashi!" Sakura yang sudah turun dari kasur kini tengah menahan tangan Kakashi yang hendak berjalan keluar dari kamar.

Mau tak mau Kakashi membalikkan tubuhnya untuk menghadapi Sakura yang masih belum mengenakan sehelai pakaian di tubuhnya. Jika dalam keadaan normal dia akan terangsang, yah sebenarnya tanpa Sakura bertelanjang pun ia tetap terangsang (wajar bukan? Dia lelaki normal yang tertarik dengan wanitanya!), tapi tidak sekarang.

Sungguh, sakit hati yang dia rasakan saat ini melebihi hormon testosteronnya!

"Apa yang kau mau?" Kakashi bertanya dengan dingin membuat nyali Sakura sedikit menciut di hadapannya.

"Kita perlu bicara, Kakashi."

"Apa yang perlu kita bicarakan?"

"Banyak. Kau harus mendengarkanku, kumohon, jangan pergi seperti ini." Sakura memohon.

Dia benar-benar takut kehilangan Kakashi.

"Apa yang harus kudengarkan?" Sorot mata Kakashi tak kalah dingin dari nada bicaranya.

"Bukankah semua sudah jelas? Kau tak perlu menjelaskan apapun lagi kepadaku, sebab aku sudah tahu bahwa sekeras apapun usahaku, aku tetap tidak akan bisa menggantikannya di hatimu."

Kakashi melepaskan genggaman tangan Sakura. Dia berlalu dari hadapan Sakura tanpa memberi kesempatan pada Sakura untuk mengejarnya.

Ayunan pintu yang dibanting dengan keras menimbulkan debaman, bersamaan dengan Sakura yang kehilangan tenaganya untuk tetap berdiri. Detik berikutnya dia telah berlutut memeluk dirinya sendiri.

Isak tangisnya telah memenuhi kamar yang belum ada sepuluh menit lalu dipenuhi suara-suara panas akan gairah masa mudanya dan Kakashi.

Pagi datang terlalu cepat bagi gadis berambut pink keluarga Haruno itu yang masih bersembunyi di balik selimutnya.

Matanya yang bengkak enggan untuk membuka.

Semalam ia menangis hingga tertidur tanpa memedulikan angin dingin dari AC di penghujung musim panas yang berangin.

Bulan September, bulan kelahiran pria yang semalam meninggalkannya begitu saja. Dia tak menyalahkan Kakashi. Sebab dia sadar bahwa dialah yang bersalah.

Toh, lelaki mana yang tak marah saat wanitanya menyebut nama pria lain di tengah kegiatan bercinta mereka. Tentu saja semua orang akan marah jika berada di posisi itu, tak peduli lelaki atau perempuan.

Sakura menggeliat.

Dalam gerakan lambat, dia turun dari kasurnya dan melangkahkan kakinya dengan gontai ke arah kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.

Sakura memutar keran untuk menyalakan shower. Mandi air dingin di pagi hari akan menyegarkan tubuh dan matanya yang terasa pegal. Semalam ia mencoba untuk menghubungi Kakashi dan hanya mendapatkan balasan dari operator bahwa nomor kekasihnya itu sedang berada di luar jangkauan.

Di saat seperti ini, ingin rasanya Sakura membolos kerja, tapi mengingat tumpukan naskah yang masih harus dia tinjau dan harus selesai dalam bulan ini membuatnya mau tak mau harus datang ke kantor. Mungkin hari ini dia akan lembur. Atau pulang tepat waktu untuk mendatangi Kakashi di tempat kerjanya?

Sakura menggelengkan kepala.

Berbagai skenario dari yang memungkinkan untuk terjadi hingga suatu kemustahilan berseliweran dalam benaknya sejak semalam.

Dia tahu, dia sangat bersalah kepada Kakashi. Namun, dengan penuh kesadaran dia pun mengakui fakta bahwa dia merindukan mendiang mantan tunangannya.

Tenzo Yamato.

Lelaki pertama yang membuatnya jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Bahkan di awal kepergiannya, Sakura sama sekali tak memiliki nafsu untuk makan dan melakukan kegiatan lain. Dia bagai mayat hidup yang menjalani hari seperti robot yang telah diatur.

Lelaki dengan bola mata cokelat yang memancarkan keteduhan pada setiap tatapannya. Lelaki dengan segudang sabar tiada batas dalam menghadapi segala ketidakstabilan emosi Sakura yang saat pertama mereka bertemu itu masih berusia belasan.

Suaranya yang dalam dan tenang, caranya mengatur nada bicara, serta bagaimana ia mengendalikan sikapnya di segala situasi tanpa sadar telah membuat Sakura membuka hatinya setelah pengalaman pahit cinta pertamanya pada bungsu Uchiha, yang berakhir dengan penghianatan pria itu dengan sahabatnya sendiri.

Yamato hadir di hidup Sakura, menawarkan berbagai obat atas segala sakit yang hatinya rasakan.

Segala usaha Yamato untuk mendapatkan hati Sakura telah membuahkan hasil seperti yang pria itu inginkan. Bahkan Yamato dapat membuat Sakura bahagia semudah ia bernapas.

Nahas, Kami-sama tak berminat untuk membiarkan dua anak Adam itu bersama lebih lama.

Yamato meninggal dalam sebuah kecelakaan tunggal saat pria itu mengemudi sendirian, hendak memberi kejutan untuk anniversary mereka yang kelima. Dia mengemudi dari Tsubame, Prefektur Nigata, setelah sebelumnya meninjau lokasi pembangunan resort dan villa di Pulau Sado.

Yamato memang berhasil mengejutkan Sakura, namun dengan cara yang tak pernah mereka harapkan.

Getaran singkat serta sebuah suara berbunyi "ding!" yang berasal dari ponsel Sakura yang ada di atas meja riasnya mengalihkan atensinya. Sakura mematikan hair dryer dan meletakkannya sebelum meraih ponsel untuk melihat siapa yang mengiriminya pesan sepagi ini. Dalam hati ia berharap bahwa pesan itu dari Kakashi.

Harapannya terkabul.

Segera ia membuka pesan yang ternyata berisi beberapa baris kalimat yang hampir memenuhi layar ponselnya itu. Kedua bola matanya bergulir dari kiri ke kanan seiring kata demi kata ia baca.

Hei, Saki, kuharap kau tak menangis semalam.
Maafkan sikapku yang sama sekali tidak gentle, kurasa aku masih harus berlatih mengendalikan emosiku.
Aku tahu, sejak awal kau sudah memperingatiku tentang perasaanmu pada Tenzo, dan aku pun sudah menyanggupinya dulu.
Aku menyadari bahwa ternyata aku senaif itu. Berharap kau bisa melupakan Tenzo dan mencintaiku seutuhnya selayaknya aku mencintaimu.
Namun aku tak menyesal. Sebab bersamamu adalah masa-masa terindah dalam hidupku. Masa yang kuharap bisa terus terjadi hingga kemudian hari.
Entahlah, apakah harapanku bisa terwujud?
Ada banyak hal yang harus dibenahi dalam hubungan ini.
Aku tak memaksa dan tak menuntutmu untuk melupakan Tenzo, aku menghargai segala kenanganmu dan dia. Bagaimanapun, Tenzo tetaplah teman baikku. Dan kau adalah wanita yang paling kucintai.
Kurasa kita hanya butuh waktu sejenak untuk saling berintrospeksi.
Hanya sejenak.
Kelak saat kita bertemu lagi, kuharap kita masih merasakan dan mengupayakan hal yang sama.

P.S:
Aku selalu mencintaimu.

Sakura meletakkan kembali ponselnya. Layarnya masih menyala, menampilkan ruang obrolannya dengan Kakashi.

Dia tak tahu hendak merespon apa. Ulu hatinya merasakan nyeri saat membaca kalimat terakhir pesan Kakashi. Tidak, bukan bagian Kakashi mengatakan ia selalu mencintainya, bukan. Namun bagian "masih merasakan dan mengupayakan hal yang sama".

Bagaimana jika mereka sudah tak lagi merasakan hal yang sama? Atau bagaimana jika Kakashi tak lagi mau memperjuangkan hubungan mereka?

Ah! Ingin rasanya ia mengenyahkan segala pemikirannya tentang Kakashi saat ini, segala kemungkinan akan masa depan hubungannya.

"Jidat, kau tidak pulang?"

Sebuah tepukan pada bahunya, diikuti pertanyaan dari sebuah suara yang sangat ia kenal.

Orang itu mendudukkan dirinya pada kursi yang ia ambil dari meja kerja Naruto, rekan sesama editor Sakura. Rambut pirang yang hampir selalu dalam keadaan ponytail itu mengayun lembut mengikuti gerakan kepala si empunya.

"Tentu pulang, Pig. Setelah satu naskah ini selesai." Gumam Sakura menjawab pertanyaan sahabatnya itu tanpa mengalihkan pandang dari layar komputernya.

Ino berdecak, dia mencondongkan tubuh ke arah Sakura untuk melihat lebih dekat pada monitor.

"Yeah, aku akan menunggumu kalau begitu."

Ino kembali menghenyakkan tubuhnya pada kursi Naruto.

"Tak perlu, Pig. Aku bisa pulang sendiri."

"Tidak. Kau butuh teman untuk saat ini."

Sakura menghela napas. Ia sedang tak memiliki tenaga ekstra untuk mendebat sahabatnya itu. Meski Ino sering kali membuatnya kesal, terkadang gadis Yamanaka itu bisa menjadi teman yang baik, terutama di saat seperti ini.

"Akan lebih berguna bagiku jika kau mau menyumbang tenaga untuk membantuku mengecek naskah ini."

Ino mengangkat tangannya dengan telunjuk mengarah atas dan bergoyang ke kanan dan ke kiri secara konstan.

"No, no. Untuk yang satu itu tentu aku tak akan menemanimu." Ujarnya disambut dengan dengusan Sakura.

Matahari beringsut turun kembali ke peraduan, seiring jarum jam pendek dengan perlahan menunjuk ke angka enam. Ino sudah menyibukkan diri dengan set manicure minimalis yang ia bawa kemana-mana, membiarkan Sakura yang masih fokus pada aplikasi pengolah kata di hadapannya.

Jam kerja mereka sebenarnya berakhir pukul lima, namun seperti yang sudah Sakura duga tadi pagi bahwa dia butuh lembur agar pekerjaannya tak semakin menggunung.

Saat istirahat siang tadi dia sudah menceritakan kepada Ino bahwa Kakashi meminta jeda dari hubungan mereka. Namun dia belum menceritakan secara detail tentang penyebabnya.

Entah apa dia sanggup menceritakannya.

Kursor Sakura sampai di halaman terakhir. Dia sengaja menekan tombol titik dengan keras saat dia telah selesai mengubah kalimat terakhir naskah yang seharusnya dia kirim pagi tadi. Untunglah kepala divisinya, Ibiki-san, sedang dinas ke luar kota dan memberinya kelonggaran waktu hingga besok.

Sakura membunyikan buku-buku jarinya yang telah bekerja tanpa henti sejak makan siang tadi, yang sebenarnya sesekali berhenti sejenak untuk minum. Dia kini mengarahkan kursor pada aplikasi peramban web untuk mengakses email demi mengirimkan naskah yang baru saja ia selesaikan itu kepada Ibiki-san.

"Kau sudah selesai?" Ino bertanya seraya mengangkat kepalanya, mengalihkan pandang dari kuku-kukunya yang mengkilap.

"Ya. Aku tak sanggup jika harus terus memandangi huruf-huruf yang hampir membuat mataku juling."

"Tapi huruf-huruf itu juga yang membuatmu bisa membayar sewa apartemen, Sakura."

Sakura mengedikkan bahunya. Dia lebih memilih mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan kantor secepat mungkin daripada menanggapi perkataan Ino yang tak akan ada habisnya jika ia respon.

Ino berjalan mengekor di belakang Sakura menuju lift. Sebenarnya mulutnya sudah gatal untuk melontarkan segala pertanyaan yang otaknya buat sejak ia mendengar curahan hati Sakura saat makan siang tadi. Namun, dia tahu, dia harus menahan diri. Terlebih melihat Sakura yang sudah seperti mayat hidup seharian ini. Terlihat lemas, tak bertenaga dan tak berenergi dalam menjalani hari.

Suasana di dalam Tokyo Metro selalu ramai di jam-jam para pekerja pulang. Beruntungnya Sakura dan Ino mendapatkan tempat untuk duduk. Mereka mengisi perjalanan pulang dengan saling berdiam diri. Sakura dengan sebuah novel di tangannya, dan Ino sibuk dengan ponselnya yang ia gunakan untuk berkirim pesan kepada Sai, kekasihnya.

Tokyo Metro berhenti di Stasiun Aoyama-itchome.

Sakura berdiri, diikuti oleh Ino. Keduanya melangkahkan kaki turun dari kereta. Terus berjalan keluar dari stasiun, melewati beberapa minimarket, toko buku, dan toko bunga milik keluarga Ino.

Bukan tanpa alasan Sakura menyewa apartemen di dekat toko bunga sekaligus rumah keluarga Yamanaka. Dia sebenarnya tidak diperbolehkan untuk tinggal sendiri oleh orang tuanya. Tetapi putri tunggal Tuan dan Nyonya Haruno itu teramat sangat ingin hidup mandiri. Sebab saat ia masih tinggal dengan orang tuanya, dia bak putri raja yang segala sesuatunya telah tersedia saat ia membuka mata. Tak mengherankan, karena kedua orang tuanya melalui penantian yang begitu panjang sebelum Kami-sama menganugerahi mereka dengan kehadiran Sakura.

Jadilah dia diperbolehkan tinggal sendiri di tahun keempat kuliahnya dengan catatan dia harus berbagi apartemen dengan Ino, sebab kedua orang tuanya sudah mengenal Ino sejak mereka bersekolah di SMP yang sama dan sering menginap di rumah masing-masing.

Dan ketika mereka lulus, Ino kembali ke rumah orang tuanya. Sakura mendapatkan pekerjaan di Shibuya yang mana cukup jauh jika setiap hari ia harus pulang ke rumah orang tuanya di Taito. Dan dia kembali diperbolehkan tinggal sendiri di apartemen yang kini ia tempati, satu lingkungan dengan rumah keluarga Yamanaka.

"Kaa-san, aku akan menginap di tempat Sakura hari ini, jangan menungguku. Jaa ne." Pamit Ino dari pintu toko bunga kepada ibunya yang berada di kasir.

"Jangan lupa perhatikan makan malammu, Ino. Kau juga Sakura. Kakashi tak akan suka jika kau berubah menjadi seperti Ino."

"Kaa-san!" Ujar Ino seraya menghentakkan kakinya, kesal.

"Selamat bersenang-senang!" Teriak Ibu Ino tepat sebelum Ino menutup pintu toko.

Sakura melambaikan tangannya dari balik jendela toko kepada wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.

"Ayo, kita harus membeli bir dan beberapa camilan untuk malam ini. Kuyakin kau tak memiliki satu pun bir di dalam kulkasmu."

Ino menggamit lengan Sakura setengah menyeret gadis itu.

Keduanya keluar dari minimarket dengan masing-masing membawa sekantong plastik penuh berisi cemilan dan minuman kaleng. Juga ramen instan.

Berbeda dengan saat berada di kereta tadi, kali ini mereka mengobrol sepanjang perjalanan menuju apartemen Sakura. Lebih tepatnya Ino mengoceh dan Sakura mendengarkan, sesekali ia menimpali dengan satu dua pertanyaan yang dijawab Ino dengan panjang lebar.

"Tadaima." Ucap Ino mengucap salam sembari melepas sepatunya.

"Okaeri." Jawab Sakura yang juga tengah berusaha melepaskan sepatu ketsnya.

Absennya sepatu bot kulit hitam memberitahunya bahwa Kakashi tidak ada di dalam apartemennya. Sebagian hatinya kecewa, meski dia sudah menduga akan kealpaan Kakashi hari ini.

"Uh, aku tak pernah suka dengan isi kulkasmu, Sakura." Ujar Ino saat dia memasukkan kaleng-kaleng minumam ke dalam kulkas agar tetap dingin.

"Kenapa sih orang-orangan sawah itu gemar sekali dengan makanan kelinci, membuatmu ikut-ikutan seperti kelinci, urgh. Yang aku lihat hanya wortel, brokoli, bahkan ramen instan pun kau tak punya. Hanya ada bahan makanan alami di sini. Sungguh sangat menyakiti penglihatanku."

Ino melanjutkan monolognya tentang sesuatu seperti makanan-yang-layak-untuk-manusia hingga tak menyadari Sakura yang sudah memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.

Di dalam kamar mandi, Sakura melepaskan satu persatu pakaian yang melekat di dirinya.

Sama seperti pagi tadi, dia kini mandi tanpa menyalakan waterheather. Dinginnya udara malam penghujung musim panas tak sedingin hatinya saat ini.

Sekuat tenaga Sakura menahan air mata agar tak terjatuh seiring dengan guyuran air shower yang telah lebih dulu membasahi tubuhnya. Dia tak mau Ino semakin khawatir dengan dirinya.

Di jam-jam seperti ini, biasanya ia dan Kakashi sedang menyiapkan bahan-bahan untuk makan malam dan memasak bersama. Dia sudah bersama dengan Kakashi hampir setahun, meski belum lama, dia telah terbiasa akan kehadiran Kakashi di sampingnya.

Bohong jika dia bilang dia tak merindukannya. Terlebih dengan adanya masalah di antara mereka yang membuat dia merasa seperti sedang berada di atas kapal yang terombang-ambing di tengah lautan berbadai. Kapal yang sewaktu-waktu dapat ditenggelamkan oleh badai ganas itu.

"Sakura, kau masih lama? Aku sudah lapar. Haruskan aku memasak dahulu?"

Teriakan Ino membuatnya sadar bahwa sedari tadi dia memandangi cermin, meski tak benar-benar menatapnya.

"Tunggu sebentar, aku hampir selesai." Sahut Sakura dari dalam kamar mandi.

Sakura menyudahi mandi sorenya, melilitkan handuk untuk menutupi tubuh semampainya dan keluar dari kamar mandi.

"Ouch! Tidak bisakah kau membawa baju dan memakainya di dalam kamar mandi? Kau menodai mataku."

"Kau juga perempuan Ino." Decak Sakura sebal.

Dia berlalu masuk ke dalam kamarnya. Memilih untuk mengenakan kaos oblong milik Kakashi yang terlalu besar di tubuhnya dan sebuah short pants.

"Kukira kau mau memasak ramen, Ino. Kenapa malah memilih memakan makanan kelinci?" Tanya Sakura saat ia keluar dari kamarnya dan mendapati Ino sedang menggigit sebuah apel di tangannya.

"Kau lama, aku tak bisa menyalakan kompor gas kan, kau tau itu. Dan aku terlalu lapar." Jawab Ino, memberi deathglare kepada sahabatnya itu.

Sakura menepuk jidat lebarnya. Dia lupa kalau kompor listriknya beberapa waktu lalu rusak. Membuat dia untuk sementara beralih pada kompor gas yang memang sudah tersedia sejak awal dia menginjakkan kaki di apartemen ini.

"Maaf Ino, aku lupa memberitahumu tadi." Sakura meringis penuh penyesalan.

Dia berjalan ke arah dapur dan dengan segera mengambil panci dan mengisinya dengan air dari keran wastafel. Ditaruhnya keran itu di atas kompor yang langsung ia nyalakan. Sakura beralih menuju kantong belanja yang ada di atas meja pantry, mengambil dua ramen instan. Dia juga mengambil tiga butir telur serta daun bawang dari dalam kulkas.

Dengan cekatan Sakura memasak ramen dan membuat dashimaki tamago. Dia mengambil dua butir telur lagi saat ia merasa kuah ramen akan lebih enak jika dibuat lebih berisi dengan tambahan telur yang akan dia pecahkan dan aduk bersamaan dengan mie yang sudah lebih dulu masuk.

"Sebaiknya kau membantuku menata meja, Pig."

"Yes, Ma'am." Sahut Ino yang langsung beranjak dari depan televisi.

Dalam waktu singkat, keduanya telah duduk berhadapan dengan sepanci penuh ramen dan sepiring dashimaki tamago di atas meja.

"Kau tak punya mayones atau yang lainnya, Jidat?"

"Ada di dalam kulkas, ambil saja sendiri jika kau mau."

"Ck, baru saja aku hendak memujimu tuan rumah yang baik." Gerutu Ino sembari bangkit dari kursi untuk mengambil mayones.

Ino kembali dengan sebuah mayones berada dalam genggamannya.

"Kau tau, dashimaki tamagoku ini sudah enak tanpa perlu kau tambah dengan mayones." Kata Sakura. Dia mengambil sepotong dan menggigitnya.

"Yeah, segala jenis gorengan harus dimakan dengan mayones atau saus, Jidat."

Mereka menghabiskan makanan dalam diam. Pandangan keduanya tepaku pada layar televisi yang menampilkan sebuah acara semi talkshow yang dibawakan oleh Ryusei Ikuta, adik dari aktor terkenal, Toma Ikuta.

Suara seruputan panjang dari Ino menjadi tanda berakhirnya makan malam mereka yang sangat jauh dari pesan Ibu Ino tadi.

"Gochisousama deshita." Ujar Ino seraya meletakkan mangkoknya.

"Biarkan saja, Jidat. Biar aku yang membereskan meja, kau sudah memasak tadi."

"Sankyu, Pig."

Sakura meninggalkan meja pantry yang memisahkan antara dapur dan ruang santainya, yang sekaligus ia gunakan sebagai meja makan. Dia menghenyakkan tubuhnya pada sofa hitam yang ia beli bersama Kakashi tahun lalu.

Sebagian interior apartemen Sakura berubah setelah ia memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Kakashi, sebagai usahanya mencoba menghapuskan jejak Tenzo agar dia tak selalu mengingat pria bersurai cokelat itu.

Sebenarnya dia sudah mengenal Kakashi jauh sebelum mereka berkencan. Dia mengenal Kakashi di sebuah acara yang diselenggarakan mahasiswa jurusan Tenzo di mana beberapa alumni ikut hadir, Tenzo yang mengajaknya. Kakashi adalah kakak tingkat Tenzo yang sudah bersahabat dekat dengannya dan tiga orang lainnya. Tenzo dan Iruka yang seangkatan, sementara Kakashi, Asuma, dan Gai dua tingkat di atas Tenzo. Mereka berlima pun kerap berkumpul bersama di luar kampus.

"Sedang merindukan Kakashi?"

Kehadiran Ino yang tiba-tiba berada di sampingnya itu mengagetkan Sakura.

"Bisakah kau menghilangkan kebiasaanmu membuat kaget orang itu, Pig?" Gerutu Sakura sembari menerima uluran sekaleng bir dari Ino.

"Ups, sorry." Ujar Ino santai, meneguk bir yang ia bawa untuk dirinya.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah minggu lalu kau baru menceritakan bahwa Kakashi berniat datang ke rumahmu untuk berbicara serius dengan Paman dan Bibi?"

Pertanyaan panjang Ino itu berhasil membuat Sakura mendesah, lelah dan bingung hendak memulai dari mana.

"Aku menanti jawabanmu, Sakura." Kata Ino saat Sakura tak kunjung menjawab.

"Sebenarnya..."

Dan mengalirlah sebuah cerita dari bibir Sakura. Dimulai dari mereka yang sudah merencanakan cuti ke kantor masing-masing untuk mengunjungi keluarga Sakura, serta keluarga Kakashi yang ada di Fukushima.

Mereka bahkan sudah membeli oleh-oleh yang akan dibawa Sakura untuk orang tua Kakashi. Hingga sampai pada saat dimana dia sangat kalut akan rindu yang ia rasakan pada Tenzo dan tanpa sengaja menyebut nama pria itu saat dia dan Kakashi tengah bercinta (yang tentunya ia ceritakan secara singkat).

"Tunggu, kau-APA?!"

Sakura memejamkan matanya mendengar teriakan Ino. Dia sudah mengira akan respon Ino itu.

"Aku tak sengaja, Ino." Ujar Sakura memelas.

"Aku tau, tapi-astaga, Sakura. Kau tak seharusnya melakukan itu, tak peduli sebesar apapun rindumu pada Yamato-senpai. Kini Kakashi kekasihmu, bukan lagi Yamato-senpai."

"Tapi aku benar-benar merindukannya. Kau tau, aku menghabiskan lima tahunku bersama Tenzo, dan dua tahun saat dia mencoba mendekatiku. Kau pikir aku bisa melupakan seluruh perasaanku padanya semudah membalikkan telapak tangan?"

Ino kembali meneguk birnya mendengar penuturan Sakura.

"Di saat aku benar-benar terpuruk dan ada di titik terendahku, hanya Tenzo yang ada di sampingku dan menghiburku." Ujar Sakura lirih.

Ino terdiam.

Dia tahu itu. Dan dia selalu merasa bersalah karenanya.

Sebab dialah penyebab di balik segala sakit hati yang dirasakan Sakura. Ya. Dialah yang telah menjadi orang ketiga dan merebut Sasuke dari Sakura. Dia tahu, dia dulu begitu bodoh.

Entah setan mana yang berhasil merasukinya, membuat dia setuju menjadi wanita kedua bungsu Uchiha itu dan bahkan mengorbankan persahabatannya dengan Sakura. Membuat pertemanan mereka renggang selama hampir tiga tahun lamanya.

Betapa bodohnya dia kala itu. Toh akhirnya dia juga merasakan penghianatan itu. Sasuke berselingkuh darinya dengan seorang nurse di rumah sakit tempat Sasuke melaksanakan koas. Membuatnya menghilangkan ego dan rasa malunya, menghubungi Sakura lebih dulu untuk meminta maaf atas kejadian masa lalu.

Untunglah Sakura berhati besar, dan mereka kembali menjalin persahabatan.

"Apakah Kakashi menghubungimu?" Tanya Ino hati-hati.

"Ya."

"Apa katanya?"

"Dia ingin jeda sejenak untuk berpikir."

"Kau balas?"

"Ya. Aku bertanya kepadanya, berapa lama. Namun, dia tak membalas dan tak menghubungiku hingga saat ini."

Ino terdiam. Dia tak tahu harus memberi reaksi seperti apa. Tangannya memutar kaleng bir kedua yang ada dalam genggamannya.

"Ino..." panggil Sakura, "bagaimana jika Kakashi ingin putus? Apa yang harus kulakukan?"

"Jangan berpikir seperti itu, Sakura. Aku tau ketakutanmu, tapi untuk saat ini kau harus menghormati pilihan Kakashi. Aku yakin Kakashi tau konsekuensi berhubungan denganmu, toh dia sahabat Yamato-senpai. Jika dia benar-benar menyayangimu, dia tak akan membiarkanmu terpuruk lagi dan meninggalkanmu. Kau pun juga harus mengendalikan dirimu. Mau sebesar apa perasaanmu pada Yamato-senpai, Kakashilah yang berada di sampingmu saat ini. Kau harus menghargai keberadaannya, Sakura. Kau mencintainya, bukan?"

Sakura mengangguk. Ia tak sanggup berkata-kata mendengar ucapan Ino yang memang benar adanya.

"Baiklah, kau bisa menggunakan pundakku untuk bersandar dan menangis sepuasmu malam ini. Besok libur. Kita akan berkeliling Shibuya dan membeli apapun yang terlihat menarik agar kau sedikit terhibur. Sai bisa menjadi sopir pribadi kita seharian besok."

Mereka melewati malam dengan menceritakan berbagai hal, termasuk menertawakan kekonyolan mereka di masa lalu akibat pria dingin bermarga Uchiha itu.

Meski di dalam hati Sakura begitu merindukan kekasihnya yang baru sehari tak ia temui, seraya berharap akan keajaiban Kami-sama pada hubungan mereka.

TBC


Dashimaki tamago = telur gulung bumbu kaldu ikan.

Halo, Minna-san!

Finally ff kedua saya yang berani saya publish, lol

Maaf untuk segala kekurangan dalam ff ini, terutama di adegan rated M-nya
Oh my! Saya benar-benar amatir, lol
Anw, adegan itu terinspirasi dari kisah nyata yang saya tahu #smirk

Awalnya saya pikir untuk ngejadiin cerita ini one shot, tapi hampir 9k kata haha, dan setelah saya cek puanjaaaaang banget, so akhirnya saya jadikan sebagai two shot biar ga kepanjangan bacanya

Anw, terima kasih buat readers Dekap Asa
Saya belum ada pemikiran buat ngejadiin cerita itu lebih dari sekedar ficlet

Kindly to be a nice reader, anyway DLDR ya!

Salam hangat dari saya
Dan sehat selalu, Minna-san!