Happy reading, Minna-san!
Keadaan apartemennya yang mengilap membuat dahinya berkerut.
Apakah semalam dia berjalan dalam tidurnya dan membersihkan seluruh kekacauan yang ia dan Ino perbuat?
Atau jangan-jangan ada pencuri memasuki rumahnya?
Tidak, tidak mungkin. Untuk apa pencuri membersihkan rumah yang hendak ia rampok?
Sakura membuka kulkas, tangannya yang hendak mengambil air es berhenti ketika sudut matanya menangkap sesuatu yang seharusnya tak ada di sana.
Sebuah notes ditempelkan pada kotak thinwall yang berisikan anmitsu.
Ohayo, Saku-chan
Semoga kau memiliki tidur yang cukup
Aku membawakan makanan kesukaanmu dan buah ume segar
Makanlah untuk meningkatkan moodmu, atau bawa camilan itu untuk dimakan di kantor
P.S
Semoga harimu menyenangkan
Aku mencintaimu
Pesan itu membuatnya lupa akan tujuannya membuka kulkas. Dengan tergesa dia mengambil ponselnya yang masih setia berada di atas meja.
Namun, tak seperti dugaannya. Tak ada pesan maupun telepon masuk dari pria Hatake yang semalam singgah tanpa sepengetahuannya.
Sakura mendesah. Mau sampai kapan sebenarnya Kakashi ingin jeda dalam hubungan mereka?
Sakura benar-benar tak tahan. Dia menekan tombol telepon pada nomor Kakashi.
Nada tunggu terdengar lama. Sakura menggigiti kuku ibu jarinya dengan tak sabar. Nada tunggu panggilan berakhir dengan suara operator yang memintanya untuk meninggalkan pesan suara.
Astaga, apakah pria itu belum bangun? Atau sengaja tak mau mengangkat telepon darinya?
Lalu, apa maksud Kakashi semalam datang ke apartemennya dengan makanan kesukaannya di saat dia tidur? Apakah Kakashi sengaja datang di jam-jam ia terlelap agar tak perlu bertatap muka dengannya?
Ah, dia paling tak suka jika disuruh menerka-nerka.
Notifikasi pesan masuk terdengar dari ponselnya.
Ohayo, Cherry
Jangan lupa sarapan agar kau memiliki energi untuk bekerja hari ini
Maaf aku tak mendengar teleponmu, aku akan sibuk seharian ini, jadi sampai jumpa
Aku mencintaimu
Tunggu, apa maksudnya sampai jumpa? Apakah Kakashi akan menemuinya?
Tentu Kakashi akan menemuinya, bukan? Mereka hanya sedang break sejenak, bukan putus, dan semoga tidak.
Sakura mengetikkan balasan pada layar ponselnya.
Ohayo
Kau juga jangan melewatkan makan siangmu
Aku merindukanmu
Sakura memandangi kursor yang berkedip di akhir kata yang ia ketikkan. Haruskah ia mengirimkan pesannya? Tak ada salahnya memberi tahu Kakashi bahwa ia merindukan pria itu bukan?
Sakura menekan tombol dengan gambar pesawat kertas, kemudian meletakkan kembali ponselnya.
Sakura bersiap-siap untuk berangkat kerja di hari Senin yang konon katanya menjadi hari paling menyebalkan di seluruh dunia.
"Kakashi sudah menghubungimu lagi?"
"Ya."
"Sungguh?"
Sakura melempar tatapan malas pada gadis pirang di hadapannya itu. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan memberikannya pada Ino.
"Bacalah." Ucap Sakura menjawab kebingungan yang nampak di wajah Ino.
Ino menyambut uluran ponsel Sakura.
"Astaga, manisnya." Ujar Ino setelah membaca pesan Kakashi keras-keras yang disambut desisan Sakura yang menyuruhnya memelankan suaranya.
"Lihat, dia memberimu sticker yang sangat lucu."
Sakura segera merebut kembali ponselnya dari tangan Ino untuk melihat sticker yang dimaksud Ino. Setahunya, Kakashi hanya membaca pesannya tadi tanpa membalas apapun. Dia bahkan mengacuhkan Ino yang menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti Sai pria dingin dan polos.
Benar saja, sebuah sticker bergambar maskot dari aplikasi perpesanan asal negara tetangga yang dikelilingi gambar hati merah ada di room chat mereka. Apakah itu berarti hubungan mereka terselamatkan?
Sakura benar-benar berharap banyak untuk saat ini. Terlebih dengan berbagai perlakuan Kakashi sejak semalam.
"Omong-omong, kukira kalian sudah berbaikan, melihat kau membawa bekal makan siang." Komentar Ino sembari memakan ramen yang dia pesan di kantin karyawan.
"Kakashi membawa banyak makanan semalam saat aku tidur."
"Jadi kalian tak bertemu?"
"Tidak."
"Sayang sekali, kukira kau belum tidur semalam." Gumam Ino dengan suara rendah yang sayup-sayup masih dapat didengar telinga Sakura.
"Apa katamu, Pig?" Tanya Sakura.
"Eh, tidak, bukan apa-apa."
Sakura mengedikkan bahunya, tak ambil pusing dengan perkataan Ino.
Beberapa saat kemudian, keduanya menyudahi makan siang mereka dan bersiap untuk kembali bekerja.
Hari-hari setelahnya tak ada perubahan berarti dalam keseharian Sakura.
Dia bangun di pagi hari, bekerja, pulang ke rumah, dan menghabiskan waktu dengan melihat sosial media atau menonton televisi.
Kakashi tidak mendatangi apartemennya lagi setelah kunjungannya di Minggu malam lalu, saat ia tidur. Pun tak menghubunginya sama sekali. Membuat balon harapan yang telah mengembang dalam dadanya beberapa hari lalu kian mengempis hari demi hari, seiring absennya kehadiran Kakashi baik secara langsung maupun tak langsung dalam hidupnya.
Kegundahan yang sempat sirna kembali hadir menggelayuti diri Sakura.
Sakura melihat ke arah kalender mini yang berada di atas meja riasnya. Dia telah menandai hari ini dengan bulatan dan gambar sketsa yang membentuk karikatur kepala Kakashi.
15 September.
Hari ulang tahun pria perak kesayangannya itu.
Apa sebenarnya yang dipikirkan Kakashi tentang hubungan mereka? Apakah dia benar-benar ingin berakhir dengan Sakura? Kami-sama tolong berikan petunjuk akan masa depan hubungannya dengan Kakashi.
Pertanyaan-pertanyaan yang tak ada habisnya dalam benak Sakura itu selalu berujung permohonan kepada Tuhan.
Yah, bukankah memang manusia hanya dapat memohon dan meminta kepada Tuhan. Mau sebesar apapun usaha yang dikerahkan, jika Tuhan tak berkehendak tetap tak akan terjadi bukan.
Sebuah ide hinggap di kepalanya. Ide yang sempat dia pikirkan di awal renggangnya hubungan mereka beberapa waktu lalu.
Jika Kakashi tak mendatanginya, maka biarkan ia yang mendatangi Kakashi.
Dan dengan pemikiran itu, Sakura menuju kamar mandi dengan bersenandung.
Sakura berjalan menapaki tanah yang memisahkan antarmakam yang kebanyakan hanya dipasangi sebuah batu nisan sebagai penanda.
Saat ini dia tengah berada di Zōshigaya Reien, tempat peristirahatan terakhir dari Tenzo Yamato. Banyak tokoh-tokoh terkenal yang juga dimakamkan di sana, sehingga tak heran banyak orang mengunjungi lingkungan pemakaman itu untuk berziarah.
Sakura meletakkan bunga krisan yang dibawanya, bunga yang umum dibawa oleh orang-orang yang melakukan ziarah kubur, sebab semasa hidup Tenzo tak pernah menyukai bunga. Lelaki itu alergi dengan serbuk-serbuk sari yang ada pada bunga.
Dia juga meletakkan osenkou, yang dia beli tadi dan sudah ia bakar ujungnya terlebih dahulu, pada pot yang telah disediakan, yang baru ia sadari di dalamnya sudah terdapat senkou yang masih tersisa seperempatnya.
Di sebelah pot tempat osenkou, terdapat satu buah gelas sake yang berisikan minuman beralkohol itu.
Reflek Sakura melihat ke sekelilingnya, mencari-cari figur yang sangat dia hafal. Melupakan alasan ia mengunjungi makam mantan tunangannya itu, Sakura berdiri dan berlari di antara makam yang ada. Sebisa mungkin mempertahankan kesopanan dalam tiap langkahnya di antara mereka yang telah tiada.
Ketika ia bertemu dengan seorang penjaga makam yang terlihat sekali hendak menegurnya, Sakura sudah lebih dulu mengajukan pertanyaan dengan napas yang tersengal.
"Su-sumimasen... apa-apakah Anda melihat... hah... seorang pria... hah... berambut perak barusan?"
Masih dengan napas yang terengah-engah, Sakura memandang sang penjaga makam dengan mata berbinar, menanti jawaban.
"Ya, Nona."
"Ke arah mana dia pergi?" Tanya Sakura yang sudah berhasil mengendalikan napasnya.
Penjaga makam itu menunjuk jalanan yang berada di belakangnya. "Dia keluar dan menaiki taksi ke arah selatan, baru saja."
"Menaiki taksi? Baru saja?" Pekik Sakura.
Sekali lagi, gelembung harapan di dalam dirinya pecah.
"Ya." Penjaga makam itu kembali berkata, "Dan tolong jangan berlarian di area pemakaman, Nona."
"Ah, sumimasen, hontou ni sumimasen." Sakura meminta maaf seraya membungkukkan badannya dengan sudut sembilan puluh derajat nyaris sempurna.
Penjaga makam itu berlalu dari hadapan Sakura.
Sakura menegakkan tubuhnya. Dalam hati merasa kecewa. Andai dia lebih cepat sampai beberapa menit saja, dia pasti bisa bertemu dengan Kakashi.
Jika Kakashi pergi dengan berjalan kaki, mungkin masih ada kesempatan untuknya mencari jejak Kakashi di sekitar pemakaman. Tetapi pria itu pergi dengan sebuah taksi yang membuat tak ada kesempatan Sakura untuk menyusulnya.
Dengan langkah gontai ia berjalan keluar dari pemakaman. Lebih baik kembali ke apartemen dan mengistirahatkan tubuh letihnya dan pikirannya yang penuh dengan berbagai pertanyaan yang dipicu oleh sebuah informasi yang begitu mengejutkan dirinya. Informasi yang ia dapat kala ia berniat mengunjungi Kakashi.
Sakura berjalan memasuki lobby sebuah hotel bintang 5 di pusat kota Tokyo, dekat Tokyo Midtown, tempat Kakashi bekerja tiga tahun belakangan menjadi manajer.
Dia hendak menanyakan keberadaan Kakashi pada seseorang yang berada di balik meja resepsionis ketika sebuah tepukan pada pundak menghentikan langkahnya. Sakura membalikkan badan dan langsung berhadapan dengan seseorang yang dikenalnya.
"Iruka-senpai!"
"Hai, Sakura." Sahut pria berkulit eksotis dan rambut terkuncir itu. "Sedang apa kau di sini?"
"Aku hendak bertemu Kakashi, apakah dia ada?"
Iruka memasang tampang bingung. "Bukankah Kakashi sudah mengundurkan diri pekan lalu?"
"Eh?"
"Dia sudah tak bekerja di sini, Sakura. Mulai pekan ini."
"Hontou ni?"
"Ya..." Jawab Iruka yang memanjangkan vokalnya masih dengan tampang bingung. "Kau tidak tahu? Kukira kau yang memintanya berhenti menjadi manajer hotel. Yeah, kuakui dedikasinya pada pekerjaan memang patut diacungi jempol, tapi kurasa dia juga harus memperhatikan kehidupan pribadinya, termasuk kau."
Sakura tak begitu memperhatikan perkataan Iruka. Pikirannya sudah jauh meninggalkan raganya.
Mengingat pertemuannya dengan Iruka yang tak ia duga membuat Sakura meletakkan dahinya pada kaca jendela taksi yang ia tumpangi. Desahan lelah yang entah ke berapa kalinya keluar dari mulutnya.
Sakura merogoh tasnya untuk mengambil ponselnya saat notifikasi pesan masuk terdengar.
Sakura, kenapa kau tak memberi tahu Kaa-san kalau Kakashi akan datang?
Dan lagi, mengapa kau tak ikut?
Bukankah sudah lama sejak kepulanganmu terakhir kali?
Tidakkah kau merindukan Kaa-san dan Tou-san?
Pulanglah hari Minggu besok, Kaa-san akan memasak semua makanan kesukaanmu
Jangan lupa bawa calon suamimu
Pesan dari ibunya itu berhasil membuat dahi lebarnya berkerut.
Dia makin tak paham dengan apa yang terjadi saat ini.
Pertama, Kakashi keluar dari pekerjaan yang dicintainya setengah mati itu, tanpa memberi tahu Sakura. Kedua, Kakashi mengunjungi makam Tenzo, lagi-lagi tanpa memberitahunya. Dan sekarang, ternyata Kakashi mengunjungi orang tuanya dan tanpa sepengetahuannya pula.
Sebenarnya apa yang ada dalam kepala perak pria itu?
Apa yang diinginkan putra tunggal keluarga Hatake itu?
Mengapa Kakashi seolah memberinya harapan, namun di saat yang bersamaan juga menghancurkan harapannya?
"Nona, apakah benar ini alamatnya?"
Pertanyaan dari supir taksi membuyarkan lamunan Sakura. Dia melihat ke luar jendela dan melihat gedung apartemennya.
"Ah, ha'i, arigato gozaimasu." Ujar Sakura seraya menerima kembali uluran kartunya dari supir taksi.
Sakura membuka pintu taksi dan melangkah keluar. Dia berjalan seperti orang linglung, masuk ke dalam gedung apartemen. Memasukkan pin pada pintu apartemen dan membukanya. Suara denting peralatan makan saling beradu membuatnya seketika waspada.
Sakura mengendap-endap masuk hendak menangkap basah siapapun yang memasuki apartemennya tanpa ijin.
"Ah, kau sudah pulang, Saki?"
Demi melihat sepasang manik heterokrom itu, Sakura seolah berhenti bernapas. Tanpa sadar ia menjatuhkan tas dan ponsel yang ada dalam genggamannya.
Kakashi buru-buru mendekati Sakura dan mengambil ponsel serta tas yang gadis itu jatuhkan.
"Kakashi?"
Si empunya nama heran dengan reaksi gadisnya itu yang jauh dari dugaannya. Dia kira Sakura akan memberi pelukan hangat saat melihat dirinya. Atau kemungkinan buruknya, Sakura akan memaki dan memukulinya atas sikapnya belakangan ini. Namun reaksi Sakura yang seperti melihat hantu membuatnya terheran-heran.
"Ya, ini aku. Kakashi, kekasihmu, pria yang paling keren sedunia." Ujarnya bergurau, mencoba mencairkan suasana.
Detik berikutnya Sakura menjatuhkan dirinya dan berlutut, menangis seperti anak kecil yang kehilangan permennya.
"Hey, Sakura, ada apa? Ap-apa yang terjadi? Mengapa kau menangis?"
Panik menyerang Kakashi hingga dia gelagapan.
Kakashi turut berjongkok dan memastikan keadaan fisik Sakura. Siapa tahu kekasihnya itu baru saja mengalami kecelakaan atau apa yang membuatnya menangis.
Tangis Sakura makin menjadi mendengar pertanyaan Kakashi membuat pria itu semakin panik.
"Tunggu, aku akan menelepon polisi."
Saat Kakashi hendak berdiri, Sakura menarik tangannya membuat Kakashi kembali berjongkok.
Sakura kini menengadahkan kepalanya menatap Kakashi yang sedikit lebih tinggi darinya. "Ja-jangan... jangan pergi."
Ucapannya itu sukses membuat Kakashi melongo, detik berikutnya pria itu tersenyum seraya berkata, "Ya, Sakura, aku tak akan pergi."
Tangan kanan Kakashi yang bebas ia gunakan untuk membelai lembut puncak kepala Sakura. "Aku tak akan pergi, Cherry. Percayalah."
Saat berikutnya, Kakashi telah mendekap tubuh Sakura yang masih bergetar dalam tangis.
"Berhenti menatapku seolah aku hantu, Saki."
Kini Sakura dan Kakashi tengah duduk berhadapan di meja pantry. Di antara mereka telah tersusun rapi makanan yang beberapa di beli Kakashi dalam perjalanannya menuju apartemen Sakura, dan sebagian lainnya ia masak tadi di apartemennya.
"Dan makan makananmu sebelum dingin."
Sakura menggeleng. Meski begitu dia membawa sesendok penuh suapan ke dalam mulutnya. Dia masih tak percaya dengan penglihatannya.
Kakashi dalam balutan kemeja slim fit hitam dan rambut peraknya yang menantang gravitasi. Kakashi yang menyendok sop miso dengan terong dan rumput laut. Kakashi yang berlatarkan dapur mini apartemennya.
Segala sesuatu yang dilihatnya saat ini masih terasa seperti mimpi baginya.
"Kashi..."
"Hn?"
Kakashi mengalihkan pandangnya pada Sakura.
"Ada apa, Cherry?" Tanya Kakashi kala Sakura tak mengatakan apa-apa.
"Tidak, hanya memastikan bahwa ini bukan mimpi."
Kakashi tersenyum mendengarnya. Dia mengambil sebuah tisu untuk mengelap bibirnya dan tanpa aba-aba mendekati Sakura, mendaratkan sebuah kecupan di dahi.
Sakura mengerjap.
Peristiwa barusan begitu cepat hingga dia tak sempat mempersiapkan dirinya. Sakura menoleh dan sedikit menengadahkan kepalanya. Dilihatnya Kakashi yang tersenyum begitu manis hingga kedua matanya membentuk bulan sabit.
"Aku bisa memberimu ciuman-ciuman lain sampai kau menyadari ini bukan mimpi, Saki."
"Eh?"
"Dan lagi, kau benar-benar tak mau mengucapkan selamat ulang tahun untukku?" Tanya Kakashi.
"Ah!" Sakura memekik seraya menepuk jidatnya.
Dia segera bangkit dari kursinya dan berjalan cepat menuju kamar, menerbitkan tatapan penuh tanya pada wajah bingung Kakashi.
Tak berapa lama Sakura keluar dari dalam kamar dengan kedua tangannya berada di balik punggung. Kakashi menyedekapkan tangannya kala melihat senyum Sakura saat berjalan ke arahnya.
"Otanjoubi omedetto, Kashi-koi." Sakura berucap seraya mengulurkan sebuah kotak hitam dengan pita merah yang tidak begitu besar.
Kakashi menerima kotak itu. "Kukira kau melupakan hari ulang tahunku, Saki." Ucapnya. "Boleh kubuka?"
"Tentu. Bukalah."
Kakashi membuka tutup kotak itu dan seketika menganga takjub melihat apa yang ada di dalamnya. "Sakura... i-ini..."
"Yah, aku sebenarnya bingung hendak memberimu apa, kau sudah memiliki semua yang kau inginkan bukan. Dan aku teringat ucapanmu saat itu yang bilang bahwa kau sangat menyukai karya Jiraiya-sama. Jadi... yeah, seperti yang kau lihat."
"Ini..."
Kakashi telah meletakkan kotak itu pada kursi yang sesaat lalu diduduki Sakura. Dia mengangkat beberapa buku yang ditulis penulis favoritnya itu. Di antaranya adalah karya-karya awal dari sang penulis legenda itu yang tak ia miliki. Sangat susah mencari buku yang sudah terbit belasan tahun lalu. Dua lainnya merupakan karya terbaru. Semua buku itu memiliki tanda tangan Jiraiya di lembar pertama.
"Sakura..."
Kakashi kehilangan kata-katanya.
Sejurus kemudian dia membawa Sakura dalam dekapannya. "Domo, domo arigato."
Sakura tersenyum di dalam pelukan Kakashi. Dia balas memeluk pria itu dan memberikan belaian penuh kasih pada punggungnya.
Sakura mengambil sebuah mochi yang dibawa Kakashi.
Sudah menjadi tradisi di hari ulang tahun wajib terdapat mochi. Hal yang terkadang Kakashi keluhkan karena pria itu sangat tidak menyukai makanan manis, berbanding terbalik dengan Sakura.
Bunyi gesekan kertas sesekali terdengar di antara suara-suara dari televisi.
Saat ini keduanya tengah bersantai di sofa. Kakashi yang duduk dengan menyilangkan kakinya yang bertengger di atas meja seraya membaca salah satu buku yang dihadiahkan Sakura tadi. Sementara gadis bermarga Haruno itu merebahkan kepalanya di paha berotot milik prianya. Mulutnya sibuk mengunyah mochi yang ia ambil.
"Apakah tulisan Jiraiya-sama sehebat itu sampai kau tak memedulikanku sedari tadi?"
Reflek tangan kiri Kakashi ia alihkan untuk membelai surai Sakura. "Tentu tidak, Saki."
"Kakashi, kenapa kau tak memberitahuku tentang kunjunganmu ke rumah orang tuaku?"
Pertanyaan Sakura itu sukses membuat Kakashi menutup buku yang tengah dibacanya. Diletakkannya buku itu pada meja, di sebelah piring tempat mochi berwarna-warni itu berada.
"Maafkan aku tak memberitahumu, Sakura. Kau marah?" Kini atensinya sepenuhnya tertuju pada Sakura.
Sakura menggeleng, dia masih memandangi televisi. "Aku hanya... bingung."
Tiba-tiba Sakura beranjak dari posisi tidurnya, mendudukkan diri dan bersila di atas sofa, menghadap ke arah Kakashi.
"Bingung?"
"Ya..." Sakura berbicara dalam nada lambat, "Dengan kau yang meminta jeda setelah kesalahanku malam itu. Lalu sikap diammu setelah kau diam-diam datang kemari saat aku tertidur. Bahkan keputusanmu untuk berhenti dari hotel tanpa membicarakannya padaku."
Sakura mengambil jeda sebelum melanjutkan perkataannya. "Kakashi, bolehkah aku bertanya, seberapa penting kehadiranku dalam hidupmu?"
Kakashi menghela napas mendengar pertanyaan Sakura. "Kau sangatlah penting bagiku, Sakura. Aku bahkan tak mampu menggambarkan seberapa pentingnya hadirmu dalam hidupku."
Mereka berdua tahu, cepat atau lambat mereka akan sampai di situasi ini untuk menjelaskan segala hal yang mengaburkan hubungan mereka.
"Lalu, apakah kau sudah memutuskan berapa lama lagi jeda yang kau minta?"
"Kurasa itu sudah jelas bukan, Sakura." Kakashi menaikkan sebelah alisnya. "Tak ada lagi jeda atau apapun itu mulai hari ini, jika kau juga menginginkan kita untuk tetap bersama sebab perasaanku kepadamu tak pernah berubah. Malah makin bertambah setiap harinya, kurasa."
Sakura diam, menunggu Kakashi yang terlihat sedikit salah tingkah.
"Ano, sebenarnya alasan aku mengunjungi orang tuamu adalah untuk meminta izin mereka." Kakashi merogoh saku belakang celananya, sesaat kemudian sebuah kotak kecil berada dalam genggamannya.
"Sedari tadi aku berpikir kapan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Dan kurasa sekaranglah waktunya. Maaf aku tak mempersiapkan sesuatu yang lebih romantis."
Hening melanda keduanya, sebelum Kakashi berdeham dan melanjutkan ucapannya
"Haruno Sakura, apakah kau mau menghabiskan sisa waktumu bersamaku selamanya? Jika menurutmu selamanya terlalu lama, maka aku akan meminta seumur hidup bersama. Menua dalam canda tawa dan berbagi kasih sayang setiap harinya."
Kakashi membuka kotak yang ia bawa. Sebuah cincin berhiaskan batu zamrud, senada dengan kilauan pupil Sakura.
Gadis itu membeku, tak menyangka pada apa yang ada di hadapannya. Terlalu banyak kejutan yang ia terima hari ini. Dia kini mulai memahami maksud dari calon suami yang dikatakan ibunya dalam pesannya tadi.
Kakashi mengambil tangan kanan Sakura. Saat ia tak mendapat penolakan dari gadisnya, tangannya yang lain mengambil cincin dari dalam kotak dan memasangkannya pada jari manis Sakura.
"Zamrud. Kata orang, batu ini adalah batu cinta. Warna hijaunya melambangkan cinta sejati dan mewakili awal yang baru serta hubungan abadi. Indah, sama seperti matamu yang memancarkan keindahan dan selalu berhasil menenggelamkanku pada setiap tatapannya."
Kakashi mengakhiri ucapannya dengan membawa tangan Sakura yang berhiaskan cincin itu pada bibirnya, memberikan sebuah kecupan pada permata yang menghiasi cincin yang telah terpasang dengan pas di jari manis Sakura.
"Jadi, Sakura." Tatapan mereka saling beradu. "Will you marry me?"
Menahan agar air mata yang telah menggenang di pelupuk matanya itu tak terjatuh, Sakura menganggukkan kepalanya.
Kakashi tersenyum, detik berikutnya dia telah mendekap gadisnya dengan erat.
Mereka berpelukan dalam waktu yang lama.
Sakura berusaha untuk mengendalikan emosinya, namun tak berhasil. Untuk kedua kalinya dia menangis di malam yang sama. Segala kegundahan yang dia rasakan berhari-hari lamanya telah terbayar tuntas dengan gebyar kebahagiaan malam ini.
Mendadak Sakura melepaskan pelukannya. Masih banyak pertanyaan yang harus dia tanyakan pada pria perak di hadapannya itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Kakashi."
Kakashi kembali memasang tampang bingung.
"Kenapa kau berhenti dari hotel? Bukankah kau selalu menolak saat aku memintamu mencari pekerjaan lain yang lebih fleksibel?"
"Ah... " Kakashi menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Yeah, sebenarnya aku mendapat tawaran pekerjaan yang bagus, kau ingat Genma?"
"Pria dengan benda seperti senbon di mulutnya?" Tanya Sakura tak yakin.
"Ya, dia bekerja sebagai full stack developer di perusahaan asing yang ada di Tokyo. Dia memberitahuku ada lowongan pekerjaan di beberapa posisi di sana. Jika kau ingat, aku pernah bercerita kalau dulu aku mengambil short course pemrograman Android. Jadi aku tertarik untuk mendaftar dan yeah, aku lolos."
"Sungguh?" Sakura memekik tak percaya.
Pasalnya ia tahu bahwa perusahaan asing yang dimaksud Kakashi itu adalah perusahaan besar yang tak semua orang bisa bekerja di sana. Tak peduli orang itu memenuhi kualifikasi yang ada. Setahunya ada beberapa faktor lain di luar akademik dan pengalaman kerja saat perusahaan itu merekrut karyawan.
Kakashi mengangguk. "Kuakui menjadi manajer hotel sangat melelahkan. Terlalu banyak menguras waktu, tenaga dan emosi. Dan aku juga tak memiliki banyak waktu untuk menemanimu, meski uang yang kuhasilkan juga banyak, kurasa itu tak sepadan dengan waktu yang seharusnya bisa kuhabiskan bersamamu."
Mereka terdiam.
Dalam benak Sakura, dia tengah memilah kata-kata untuk menanyakan mengapa Kakashi mengunjungi makan Tenzo hari ini. Sebelum dia sempat mengucapkannya, Kakashi telah lebih dulu mengatakannya.
"Aku mengunjungi makam Tenzo hari ini."
Sakura terpekur mendengarnya. Pria di hadapannya itu seperti tahu apa yang tengah ia pikirkan.
"Kupikir, aku harus meminta restunya juga untuk melamarmu. Aku tak mau dia mendatangiku di malam hari untuk menerorku jika aku tak meminta restunya."
Kakashi mengakhiri ucapannya dengan sebuah tawa.
"Omong-omong, apakah kau masih merindukannya, Saki?"
Sakura menggeleng. "Aku merindukannya, namun tidak seperti yang kau pikirkan, Kakashi."
Sakura menelan ludah, sedikit gugup, takut bila perkataannya akan menimbulkan kesalahpahaman lain.
"Sejujurnya, aku juga mengunjungi Tenzo hari ini. Aku hendak mengadukan kepadanya tentang sikapmu belakangan ini, sebenarnya. Agar dia bisa menegurmu di malam hari." Ujar Sakura mengikuti candaan kekasihnya tadi.
"Aku tahu. Ino memberitahuku."
Sakura menatap bingung Kakashi.
"Yah, selama ini aku memantaumu melalui Ino." Imbuh Kakashi seraya meringis, merasa bersalah saat mengucapkannya. "Aku tak mau kau melakukan hal-hal aneh selagi aku tak ada."
Kakashi mengangkat tangan kanannya dan membentuk tanda peace dengan jarinya.
Sakura memukul lengan Kakashi, membuat pria itu meringis kesakitan.
"Kau bisa menghubungiku langsung alih-alih menanyakan kabarku pada Ino, Bakakashi!"
Kakashi berusaha melindungi dirinya dengan mengangkat kedua tangannya untuk menutupi wajah dan badannya dari pukulan Sakura yang bertubi-tubi.
"Hentikan, Saki, kau menyakiti tubuh calon suamimu."
"Kau membuat segala keresahan yang kurasakan menjadi tak berguna, Kakashi no baka! Baka! Baka!"
Kakashi menangkap pergelangan tangan Sakura dan menguncinya.
"Aku minta maaf, Sakura. Setidaknya dengan begitu aku memberimu waktu untuk berpikir. Betapa pun aku mencintaimu, aku tak mau memaksakan perasaanku kepadamu. Kau bebas untuk menentukan jalan hidupmu."
"Aku hanya takut jika harus merasakan hal yang sama, Kakashi." Ujar Sakura perlahan. "Aku benar-benar merasa tak sanggup jika harus merasakannya lagi. Kehilangan."
Kakashi memeluk Sakura seraya mengatakan. "Aku tak akan membiarkanmu merasakannya lagi, Sakura. Percayalah."
Dibelainya kepala pink gadis itu penuh perasaan sayang.
Mereka berpelukan dalam waktu yang lama, berselimutkan suara televisi yang tengah menampilkan iklan.
"Jadi, apakah kau sudah siap menjadi Nyonya Hatake?"
Pertanyaan Kakashi mengundang anggukan kepala Sakura yang masih ada dalam pelukannya.
"Tentu." Ucap Sakura, suaranya sedikit teredam sebelum kemudian ia mendongakkan kepalanya untuk memberi seulas senyum manis kepada Kakashi.
Kakashi tersenyum.
Perlahan ia memajukan diri untuk mengikis jarak di antara keduanya.
Sakura menutup mata kala deru napas Kakashi yang beraroma mint semakin terasa menerpa wajahnya.
Bibir Sakura menyambut sepasang bibir yang teramat sangat ia rindukan. Keduanya bersatu dalam sebuah ciuman sarat akan kerinduan.
Siap untuk malam yang panjang.
End
Serius, saya awalnya hanya berniat membuat one shot ringan yang sekali 'hap' gitu, ternyata ga bisa
Sama seperti saat saya menulis Dekap Asa
Niatnya cuma mau bikin drabble singkat, eh gataunya 800 kata, jadilah ficlet yang lanjutannya saya serahkan pada imaji Minna-san, wkwk
Uchiha Hunza: waahhh, terima kasih banyak #peluk #pukpukpunggung kayaknya saya gabisa deh bikin ending selain hap-end, soalnya di rl udah ngerasain banyak kepahitan, nulis dan baca adalah media buat saya healing #malu serius, di bulan kelahiran saya kemarin saya ditinggal nikah hehe (curcol dikit)
Oh ya, ternyata publish ffn ga seribet itu juga sih, cuma kurang simple aja, lol
Selamat berakhir tahun yaa, yang mau pergi-pergi semoga diberi kesabaran seluas samudra buat ngadepin macet
Yang di rumah aja, semoga diberi penangkal kebosanan, well saya juga mager mau keluar, udah kebayang macetnya gimana T_T
Maaf ya, saya ingkar janji, upnya ga di hari yang sama, tapiiii cuma selisih sehari aja kok, Minna-san, hehe
Terima kasih untuk reviewer dan yang sudah berkenan membaca ff saya yang banyak kurangnya ini
Sehat selalu untuk kita semua #emotsenyumpepsodent
Salam hangat dari saya
