Hari ini cuaca panas.

Byun Baekhyun bermandikan peluh. Baju pendek kuning telah basah kuyup di area punggung dan ketiak. Tidak beda jauh dengan celana training yang becek berlumpur di garis betis. Wajah yang pagi tadi tampak bersih, kini sudah bercampur debu dan tanah.

Tidak usah dibayangkan, Baekhyun tahu seberapa busuk aroma tubuhnya saat ini. Ia bahkan terlalu malu untuk berdiri di depan kaca dan melihat tubuhnya yang bau matahari. Namun, ini bukanlah sumber masalah bagi Baekhyun.

Lelaki 25 tahun itu menyebutnya kerja keras.

"Baekhyun! Kamu lagi apa?"

Sampai akhirnya sumber masalah yang sebenarnya muncul.

Dalam jarak kurang dari 7 meter tampak seorang lelaki datang bersama motor matic-nya. Jejaka berkulit tan yang mengenakan kaos putih dilapisi oleh denim yang sengaja tak dikancing. Kaki panjang dibungkus jeans hitam semata kaki.

Secara keseluruhan ia tampan.

Jadi, kenapa si tampan ini rela datang ke sawah?

"Mau apa Mas ke sini?"

Baekhyun menatap sewot saat melihat lelaki jangkung itu turun dari motor. Dengan hati-hati melompati anak sungai yang lebarnya setengah meter. Kaki beralaskan converse mahal menginjak tanah becek pertanian.

"Mau ketemu kamu." Si jangkung menjawab setelah ia sampai di hadapan Baekhyun yang jongkok di depan jejeran pohon timun setinggi 1,5 meter. "Hari ini saya mau ke kota ketemu teman. Kamu mau ikut? Atau mau dibelikan sesuatu?"

Oh, ternyata mau pamer.

"Enggak, saya masih sibuk di sawah. Enggak punya waktu main." Baekhyun membuang tatapannya ke rumput liar di dekat jempol kaki. Kali ini nada suaranya dibuat agak tinggi yang mengesalkan. "Saya bukan Mas Chanyeol yang bisa jalan-jalan setiap hari."

Buru-buru lelaki bernama Chanyeol itu melambaikan tangan panik. Tubuhnya yang menjulang ikut berjongkok di samping Baekhyun. "Bukan begitu maksud saya, Baekhyun. Saya cuma mau ajak kamu, barangkali kamu mau ikut. Ini pun cuma rapat sama pelanggan baru, kok."

Caping dari anyaman bambu di lepas. Baekhyun mengusap dahi hingga rambut yang berkeringat.

"Iya, Mas. Paham."

Kali ini ia menoleh, menatap wajah Chanyeol yang bersih dan terawat. Kulitnya pun bagus, tidak tampak satu jerawat di mukanya. Diam-diam meringis saat melihat betapa jauhnya perbedaan diantara mereka. Baekhyun si dekil dan Chanyeol si pangeran tampan.

Pucuk kepalanya yang kotor di usap. "Lain kali jangan judes-judes, ya. Senyum sedikit pasti tambah cantik."

Baekhyun berjengit, ia menunduk. Caping bambu yang sudah pudar warnanya dicengkram kuat-kuat. Manik mata fokus tak fokus pada butir biru pupuk Fosfat yang ada di dekat pohon timun. Menggunduk dalam jumlah yang sedikit.

"Ya sudah. Semangat kerjanya, ya, Cantik."

Sebelum Baekhyun sempat bereaksi, pipi gembulnya yang kotor telah dicubit gemas.

Sang pelaku segera berlari. Tawa girangnya yang khas menggelegar, membuat beberapa orang di sawah menoleh penasaran. Kurang dari semenit kemudian tubuh jangkung menghilang dari jalan setapak persawahan.

Baekhyun mengusap pipinya sendiri. "Dasar berandalan," umpatnya pelan dengan senyum tipis di wajah.

"Hyun, ini ada titipan dari Hanah."

Baekhyun masih duduk di sadel sepeda onthel. Ia belum turun dan menapakkan kaki di teras saat Ibu tiba-tiba muncul dari bilik pintu. Caping dan perkakas tani pun belum sempat diturunkan.

"Hah?" Selembar amplop warna pink bermotif bunga mawar diterima Baekhyun. "Ini apa?"

Sepeda onthel cokelat disandarkan ke tembok samping pintu. Baekhyun mengambil duduk di kursi panjang dari bambu depan jendela utama. Amplop warna merah muda di balik berulang kali.

Sudah lama sekali sejak Baekhyun menerima surat terakhirnya.

"Coba buka. Ibu penasaran juga sama isinya." Ibu mendekat. Matanya fokus pada tangan Baekhyun yang membuka stiker love warna merah di belakang. "Hanah kelihatan malu-malu tadi."

Hanah.

Namanya terlalu asing. Baekhyun tak kenal. Tetapi, kenapa gadis itu menitipkan surat cantik seperti ini untuknya? Mereka bukan anak SD yang sukanya berkirim surat. Padahal duduk bersebelahan.

Satu lembar kertas putih dibuka. Tulisan tangan rapi nan indah bertinta hitam mengisi kertas bergaris.

Halo, Baekhyun.

Kamu pasti tidak kenal saya. Tapi tidak apa-apa, dengan begitu saya bisa memperkenalkan diri dengan baik.

Nama saya Hanah.

Dulu kita ada di sekolah yang sama. Saya ingat sekali saat kamu pingsan karena lemparan basket. Waktu itu saya yang jadi penjaga UKS, loh.

Pertama-tama mohon maaf.

Saya tahu kalau menulis di atas secarik kertas itu terlalu pengecut. Tapi memang itulah saya, sekali lagi tidak masalah. Saya dulu hanya terlalu malu untuk datang langsung dan menyapa. Sekarang saya harus berani karena ini kesempatan saya satu-satunya.

Baekhyun, saya suka kamu.

Jangan tanya alasannya karena saya sendiri juga bingung. Saya suka sekali saat kamu tersenyum dan berbincang dengan teman-teman. Jantung saya akan berdebar-debar walau hanya melihat dari jauh. Saya juga gugup saat tidak sengaja berpapasan dengan kamu.

Bagi saya, kamu itu bersinar. Sampai takut kalau mendekat. Jadi, saya hanya berani menikmati dari jauh.

Tetap semangat ya! Ada banyak orang yang semangat karena kamu.

Saya hanya ingin mengungkapkan rasa sebelum menikah dengan seseorang besok pagi.

Semoga kamu tidak merasa terganggu, Baekhyun.

Penuh cinta, Hanah.

"Oh, dia suka sama kamu."

Ibu menjauh dari Baekhyun yang bau asem.

"Ya sudah. Dia mau menikah, kok."

Surat beramplop merah muda ditutup lagi. Hanah memang mau mengungkap rasa. Jadi, kalau memang suka mau apa?

"Ibu kira Hanah mau jadi menantu." Ibu mendengkus kuat, wajahnya yang mulai keriput berkerut kesal. "Ternyata … huh! Terus buat apa juga kirim surat?"

Kedua tangan terlipat di dada. Wajah berpaling, menatap Pak Jun di halaman rumah yang mau mengangkat jemuran gabahnya.

"Ya, mau jujur, Bu." Baekhyun juga tak paham sebenarnya. "Mungkin supaya perasaannya lega? Baekhyun juga enggak kenal dia."

"Kamu enggak kenal?! Hanah itu anak Pak Jae. Ketua RT yang rumahnya di pertigaan jalan besar. Rumah paling besar diantara rumah-rumah lainnya. Kamu enggak tahu?" Ibu menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Jangan-jangan kamu juga enggak kenal Hanah? Dia teman sekolahmu dulu."

Baekhyun lupa.

Ia tidak ingat sama sekali punya teman bernama Hanah. Mungkinkah karena Baekhyun kurang bergaul? Atau memang karena Hanah tidak pernah muncul dideret pertemanannya.

"Oh."

Rasanya agak berbeda. Dulu Baekhyun akan gembira luar biasa saat menerima sepucuk surat. Entah suka atau tidak, Baekhyun senang membaca ungkapan perasaan orang-orang di secarik kertas. Kalau sekarang rasanya jadi terharu. Ternyata masih ada yang tulus menyukainya, ya?

"Terus kamu bagaimana? Teman-teman kamu sudah mau menikah, loh. Anak Ibu kapan?"

Topik ini lagi.

Baekhyun malas sekali mendengarnya. Apalagi saat Ibu melirik dengan mata nyinyir.

"Enggak tahu, Bu."

"Lelaki yang datang kemarin, kamu enggak suka?" tanya Ibu sambil menepuk pahanya. "Atau gadis yang jadi admin toko itu?"

Baekhyun menggeleng. "Belum cocok"

"Kamu mau yang seperti apalagi? Sudah banyak yang kamu tolak tiga bulan ini."

Tidak tahu. Ia tidak mau menjawab! "Nanti juga ketemu." Baekhyun buru-buru berdiri. "Entah kapan."

Kaki setengah berlari masuk ke rumah meninggalkan Ibu yang terperangah.

"Baekhyun! Kamu itu, ya! Pasti kabur terus!"

Suara Ibu terdengar samar-samar saat Baekhyun masuk ke kamar mandi.

"Hari ini kamu masih lolos. Tapi kamu harus ingat kalau Ibu akan tetap tanya nanti."

Lalu suara Ibu benar-benar hilang saat Baekhyun menutup pintu dari bambu yang mulai rapuh.

.

.

.

Bersambung


Halo!!! Aku lagi kangen nih sama FFN. Udah lama banget kayaknya enggak upload cerita di sini.

Apakah penduduk FFN masih banyak kayak dulu?