Bumble Trouble 02
by
acyanokouji
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Warning: OOC, typo(s), crack couple, plot hole(s)!
.
.
.
"Mau ciuman sebelum turun?"
"Hah?" Hinata terdiam mendengar kata-kata yang keluar dari pria jade itu. Seolah seperti menaiki motor bersama Toneri, dirinya merespon cepat dengan bingung. "Kubilang, apa kau mau berciuman?" Gaara memperjelas pertanyaannya.
Masih menggenggam tote bag-nya, Hinata mengeratkan genggaman. "Aku..." Hinata mengalihkan pandangan usai hampir tiga puluh detik terdiam. Butuh tiga puluh detik lagi untuknya berpikir dengan pikiran yang penuh. Sebelum akhirnya Hinata kembali menoleh dan berkata, "tidak?"
Wajah kebingungan jelas tergambar pada pemiliki iris amethyst itu. "Begitu?" Gaara menanggapi dengan tenang. "Baiklah." Pria itu menatap lurus, memalingkan pandangan dari Hinata. "Hah?" lagi, seolah budek, Hinata merespon pelan.
"Kenapa? Bukankah kau menolakku?" Gaara berbalik lagi pada Hinata. "Tidak. Maksudku..." Hinata merendahkan pandangannya sebentar. Memikirkan hal-hal yang terjadi dalam tiga jam ini. "Kenapa tiba-tiba?"
"Bukankah aku sudah bilang?" dahi Hinata sedikit mengerut, melihat raut wajah Gaara yang tak berubah. "Kau adalah tipeku sekarang. Aku tertarik sebagai seorang laki-laki padamu. Jadi, kupikir ingin memperjelas jika kita memiliki ketertarikan yang sama."
"Dengan berciuman?"
"Ya."
Tatapan Gaara yang tak gentar membuat Hinata mempertanyakan lagi apa yang ia lakukan. Bukannya tidak pernah, hanya saja diajak ciuman saat pertemuan pertama agaknya... "Apakah aku bukan tipemu?" Gaara kembali bicara. "Menurutku, aku wangi. Dan kukira kita bersenang-senang malam ini."
"Tentu saja. Aku senang berbincang denganmu. Kau menyenangkan. Tapi tetap saja, berciuman agaknya terlalu terburu-buru."
"Oke." Gaara hanya merespon singkat. Melihat pria di sampingnya kembali mengalihkan pandangan ke depan, otak Hinata bekerja cepat. Menyuruhnya untuk segera menjauh. "Aku akan turun." Hinata meneguk ludah, membetulkan tote bag-nya, dan bersiap membuka pintu. "Selamat malam, Gaara."
Samar saat Hinata turun, ia bisa mendengar sahutan pelan pria itu berkata, "Ya." Tanpa melambaikan tangan perpisahan, Hinata berjalan memasuki gang menuju flat. Masih dengan pemikiran yang penuh, Hinata merebahkan diri usai membersihkan diri. Melirik gawainya yang tak memiliki pemberitahuan terbaru, Hinata menatap langit-langit sambil terlentang.
Di antara pasangan-pasangannya yang lain, pertemuan pertama dengan Gaara adalah yang paling berkesan sejauh ini. Ia mengingat lagi tindakan kecil Gaara padanya. Obrolan mereka yang menyenangkan selama di kafe. Tapi kemudian ia dibuat bingung dan sedikit tersinggung dengan sikap Gaara di mobil tadi. Apa Gaara melihatnya hanya sebatas itu? Apa perhatian kecilnya hanya pura-pura? Apakah akan berakhir lagi? Harinya yang padat ditutup dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak berujung.
.
.
Senin ini Hinata pergi bekerja di sore hari. Ketika bangun, ia mendapati pesan dari Sai yang ternyata masih ingin menjaga komunikasi dengannya. Membicarakan aktris favorit Sai sembari makan siang, Hinata membalas dengan berusaha menunjukkan ketertarikan. Ting. Sebuah pesan masuk. Sambil meneguk air, Hinata membuka pesan yang membuatnya sedikit membelalak.
'hai hinata. kau benar. aku sudah memikirkannya, mungkin memang aku cukup terburu-buru. maaf jika sikapku membuatmu tak nyaman. kuharap kita masih bisa bertemu.'
Meneguk air sedikit terburu, Hinata bergerak gusar saat membaca pesan dari Gaara. Bingung dengan dirinya yang merasa lega dan senang, Hinata mengetuk-ngetukkan jarinya di meja makan. Berpikir keras bagaimana harus membalas Gaara.
"Tidak apa. Aku pun ingin kita berkenalan lebih jauh dengan pelan-pelan." Akhirnya Hinata membalas setelah lima menit mengetik dan menghapus berkali-kali. Sepuluh menit kemudian, saat Hinata selesai membereskan makan siangnya, pesan masuk datang lagi dari Gaara.
Pria itu mengirimkan sebuah foto berlatar lapangan olahraga dengan pesan lanjutan menyertai, 'aku sedang melihat latihan tiger'. Tentu saja pesannya sukses membuat Hinata bersemangat. "Benarkah? Apa ada Akamichi Chouji? Bagaimana penampilannya?" dimulai dari situ, mereka kembali berbincang seolah tak ada kejadian canggung kemarin malam.
Gaara pandai membawa pembicaraan. Ia tidak hanya menceritakan aktivitasnya seharian, ia pun balas bertanya tentang Hinata. Lebih banyak membahas hobi mereka yang sama, tanpa sadar mulai membuka hati lebih jauh lagi. Bahkan keesokan harinya, Hinata mengabari Gaara saat baru tiba di tempat kerja saat sore hari.
Ting. Hinata jadi lebih bersemangat tiap mendengar dering pemberitahuan dari gawainya. Di sela-sela pekerjaanya, Hinata berusaha mencuri waktu untuk membalas.
'Hi Hinata'
'Apakah malam ini kita jadi bertemu?'
Pesan dari seseorang bernama Sasuke membuat Hinata teringat jika ia memiliki janji pada orang lain. Tersadar lupa menanggapi pesan tiga hari lalu, Hinata cepat-cepat membalas.
"Tapi aku baru selesai bekerja pukul sepuluh malam. Apa kita perlu mengatur ulang jadwalnya?"
'Boleh aku tahu tempatmu bekerja?'
"Dekat mall Shibuya."
'Ada restoran eropa yang buka 24 jam di dekat situ'
'Kebetulan aku pun sedikit lembur hari ini'
'Mau bertemu di sana?'
"Hinata, bisa kau ambilkan ukuran M untuk baju ini?" Ino datang saat Hinata baru saja duduk untuk melirik gawainya. Dengan sebuah mini dress berwarna kuning di tangannya, Ino meminta Hinata pergi ke tempat menyimpanan sementara ia melayani pelanggan lain.
'Kau tidak suka makanan eropa?'
Setelah beberapa puluh menit, Hinata baru bisa kembali melihat gawainya. Pesan baru didapatkannya dari Sasuke. "Tidak, aku tidak masalah." Hinata membalas cepat pesan Sasuke dan beberapa pesan masuk lainnya.
'Baiklah. Sampai bertemu, Hinata'
.
.
Hampir tengah malam. Hinata yang lupa bersiap meminjam baju milik Ino di toko. Pukul sepuluh lewat dua puluh enam malam, Hinata tiba di restoran eropa tempatnya akan bertemu seseorang bernama Sasuke. Sedikit terkejut dan menyesal, Hinata mengagumi restoran mewah yang baru pertama kali ia lihat di Tokyo.
"Permisi, aku kemari untuk bertemu dengan Sasuke."
"Atas nama Sasuke."
Hinata menoleh saat mendengar ucapan pria di sampingnya. Seingatnya lelaki itu datang setelahnya. Lalu, saat menghampiri meja informasi di depan, siapa kira ternyata mereka adalah orang yang akan saling bertemu.
"Kau Hinata?" setelah saling bertatapan beberapa saat, pria di depannya bicara lebih dulu. "Iya." Tubuh Sasuke yang lebih jangkung dari bayangannya membuat Hinata tersadar. Ditambah suaranya yang dewasa, mengingatkan Hinata akan perbedaan usia mereka. "Kalau begitu, kita masuk bersama?"
Diantar oleh pelayan menuju salah satu meja di dekat jendela, Hinata menyadari penampilannya yang agak sedikit salah kostum. Blouse bercorak bunga dengan rok span. Sudah jelas Hinata tidak cocok dengan nuansa eropa yang elegan.
"Apa kau sudah akan memesan?" saking sibuknya memerhatikan pakaian pengunjung lain, Hinata melamun hingga akhirnya pria jangkung di seberang mulai bicara. Oh, Hinata lupa sudah tiga menit mereka duduk dan melihat-lihat daftar menu. Sadar waktu kian larut, Hinata membaca sembarang. "Polenta."
Hinata bisa melihat alis Sasuke yang sedikit menyatu. "Oh? Itu saja?" Sasuke memastikan, Hinata mengangguk. "Apa kau suka olahan daging, Hinata?" anggukan didapatkan oleh Sasuke lagi. "Kalau begitu, boleh aku memesan untukmu?" perempuan indigo itu sedikit meneguk ludah. Apa iya terlalu kentara norak? Bersikap lembut, Hinata mengiyakan.
Kemudian Sasuke mengangkat tangannya, memanggil pelayan. "Satu pork souvlaki, satu grilled meat platter, satu polenta, dan... wine?" Sasuke melirik Hinata untuk memastikan. "Orange juice." Kalau yang ini Hinata sudah pasti mengerti. Restoran manapun pasti menyediakan olahan jus. "Satu orange juice dan satu blue ocean." Sasuke melanjutkan pesanan dengan tenang, seolah-olah sering datang ke restoran itu. Tak lama, pelayan pergi meninggalkan mereka berdua. Diam-diam Hinata lega karena Sasuke tetap memesan menu yang asal ia sebut.
"Maaf tiba-tiba memesan tambahan. Kupikir kau lelah seharian bekerja. Semoga sepiring daging bisa membuatmu bertenaga." Sasuke mengawali obrolan. Seperti sifatnya, Hinata berkata tidak keberatan dan malah berterima kasih. "Aku sudah memastikan ini, tapi kau benar masih mahasiswa seperti yang tertera di bio akunmu?"
"Tentu saja. Apa ada yang salah?" wajah dingin Sasuke membuat Hinata tidak bisa menerka pikiran pria itu terhadapnya. Ia sadar diperhatikan. Tapi kalau jadi Sasuke pun jelas Hinata akan memerhatikan dirinya yang dengan mencolok memakai blouse bercorak bunga warna-warni.
"Tidak. Aku hanya khawatir karena ada perbedaan usia yang cukup terlihat. Boleh aku tahu jarakmu paling jauh dengan mantan pacarmu?" to the point. Hinata yakin Sasuke adalah seseorang yang benar mencari pasangan. "Um... Beberapa bulan?" Hinata berkata ragu.
Sudah jelas ada gurat kecewa sekilas di wajah lelaki itu. "Kuharap aku tidak membuatmu tak nyaman. Setidaknya selama makan malam ini." Hinata mengangguk mantap. Meskipun raut lelaki itu agak lebih sulit diterka, nadanya yang tulus terdengar bersungguh-sungguh.
"Permisi, tuan, nona. Satu orange juice, satu blue ocean, satu pork souvlaki, satu grilled meat platter, dan satu polenta."
Hinata menatap terpukau setiap pesanan yang ditaruh di atas meja. Utamanya pada menu makanan yang Sasuke pesan. Dalam hati, ia ingin menertawakan pesanannya yang paling sederhana.
"Mungkin kau sudah tahu, polenta itu olahan tepung jagung. Jika kau tidak keberatan, kau bisa memakannya dengan lauk yang sudah kupesan."
Tentu saja aku akan memakannya! Hinata bersorak dalam hati. Sudah jelas berkenalan dengan Sasuke adalah sesuatu yang baru dalam hidupnya. Biasanya pasangannya hanya akan mengajaknya ke sebuah kafe atau tempat makan menengah yang bisa ia raih dengan uang sakunya. Mungkin ini pesona lelaki dewasa?
"Hinata, boleh kutahu tujuanmu memakai aplikasi kencan?"
Pertanyaan klasik. Sudah pasti Hinata sering dengar. "Tentu saja, jika bisa aku ingin punya pasangan, 'kan?" Hinata melempar balik pada Sasuke. "Benar. Sudah pasti kita semua ingin punya pasangan." Demi Tuhan, Hinata sepertinya melihat sebuah senyuman kecil dan tipis yang hilang dalam kedipan mata.
"Jika usia bukan masalah untukmu, apa kau punya kriteria khusus dalam mencari pasangan?"
Semenjak ditanya Gaara tempo lalu. Hinata jadi mulai menyiapkan jawaban atas pertanyaan ini. "Secara fisik aku ingin punya pasangan yang lebih tinggi dariku, menjaga kebersihan diri, dan wangi. Jika bisa aku ingin menemukan orang yang tenang, mendengarkanku, setia, dan... sopan?" di seberang Sasuke sedang memotong makanannya sembari mengangguk-angguk.
"Kalau Sasuke-san sendiri, orang seperti apa yang kau cari?"
"Sasuke-san?"
"Ah, maaf. Karena perbedaan usia, kukira kau ingin aku lebih sopan?"
"Oh, baiklah." Sasuke kembali terlihat tenang. "Aku ingin menemukan seseorang yang menghargaiku."
"Menghargai apa?"
"Menghargai aku."
"Iya, maksudku... apa yang perlu dihargai?"
"Aku."
Rasa-rasanya Hinata seperti sedang dikerjai. Inginnya berdebat sedikit lebih lama, tapi Hinata memilih lanjut mengambil daging panggang untuk mengisi perutnya. "Di usiamu, apa kau keberatan dengan pasangan yang sibuk?"
"Hmm..." Hinata berpikir sambil memotong daging. "Sibuk bagaimana?" belum Sasuke menjelaskan, Hinata sudah kembali bicara. "Selama dia tetap mengabariku saat akan sibuk atau memberi penjelasan yang menenangkanku, kurasa tidak masalah. Toh kita sudah di usia yang memang semestinya mengharuskan kita sibuk, 'kan?" Hinata mengedikkan bahu, kemudian melahap dagingnya.
Selanjutnya obrolan mereka mengalir begitu saja. Sasuke lebih banyak bertanya tentang penyesuaian dan referensi mereka tentang sebuah hubungan. Rasanya seperti jauh membicarakan masa depan. Tanpa sadar melupakan sesuatu yang dasar.
Ting. Hinata membuka layar gawainya sembari meregangkan tubuh. 'Terima kasih sudah meluangkan waktumu, Hinata. Maaf membuatmu pulang larut. Selamat istirahat dan menikmati waktu liburmu besok.'
Hinata melirik jam, pukul satu kurang tujuh belas menit dini hari. Ia dan Sasuke menyelesaikan makan malamnya nyaris jam dua belas malam. Selalu bersih-bersih sampai rumah, Hinata membalas saat sudah bersiap akan tidur. "Tentu, terima kasih atas traktiranmu, Sasuke-san. Kau juga jangan lupa istirahat." Jika ada yang penasaran, tidak ada hal berarti yang terjadi selama perjalanan pulang. Tidak seperti sebelumnya tentu.
Ting
'kau libur besok hinata?'
"Oh, dari Gaara!" Hinata berseru. Memiringkan tubuhnya, ia mulai membalas dengan semangat. "Tidak. Aku libur hari rabu."
'ah ya sekarang sudah rabu. my bad' Hinata tersenyum kecil tanpa sadar. 'karena jelas tidak bisa sarapan bersama, mau makan siang bersamaku nanti?'
"Kemana?"
'kakakku membuka restoran india di distrik edogawa. mau mencobanya?'
"Boleh"
'okay, kujemput jam 1? semoga tiba setelah jam makan siang berakhir'
"Baiklah"
.
.
"Selamat siang, Hinata." Sebuah senyum kecil terlihat di wajah Gaara ketika Hinata memasuki mobil. "Siang, Gaara." Hinata menutup pintu dan memakai sabuk pengaman. Setelahnya, ia menoleh pada Gaara yang tak kunjung menyalakan mesin mobil.
Iris amethyst dan jade bertubrukan. Meskipun tidak selembut tatapan Sai, entah mengapa Hinata senang menatap pria dengan alis tipis itu. "Kau terlihat cantik hari ini."
Tiba-tiba? Hinata sedikit tersentak karena pujian Gaara. "Terima kasih." Hinata jelas cukup sering mendengarnya, apalagi ketika bertemu Sai lalu. Tapi, dipuji oleh Gaara rasanya ada yang berbeda.
Brak. Gaara turun terlebih dahulu saat mereka tiba di parkiran blok toko Edogawa. Lelaki itu berjalan memutar, membukakan pintu mobil untuk Hinata. "Hati-hati, berpeganganlah padaku." Gaara mengulurkan tangannya. Hari ini ia membawa mobil jip merahnya. Karena melihat Hinata agak kesusahan saat naik, Gaara berinisiatif membantunya turun.
"Terima kasih." Hinata menerima uluran tangan Gaara. "Ke sini?" Hinata melihat deretan toko di Edogawa. "Ya, ayo." Dengan mulus, Gaara meraih lengan Hinata untuk digenggamnya.
Hinata mengikuti langkah Gaara. Mereka terlibat perbincangan kecil sepanjang jalan menuju restoran khas India di ujung blok. Setibanya di depan restoran, Hinata bisa melihat antrian yang agak panjang di depan pintu masuk. "Ramai sekali." Hinata berkomentar kecil. Mengira ia akan ikut mengantri, Gaara malah langsung membawanya masuk dan duduk di sebuah meja yang bertuliskan 'telah dipesan'.
"Yo, Gaara!" seseorang datang menghampiri. Rambutnya coklat gelap dengan coretan di wajahnya. "Kupikir kau akan datang dengan siapa. Ternyata dengan pacarmu, ya."
Pacar? Hinata menatap Gaara dan pria itu bergantian. Tawa yang dilayangkan pria dengan coretan di wajahnya tak ditanggapi oleh Gaara. Pria merah itu malah sibuk membaca daftar menu tanpa menoleh.
"Berisik. Bawakan saja makanan terbaik yang kau punya, Kak."
Kak? Oh, ini Kakak Gaara? Suara tawa terdengar lagi di antara keramaian. Sosok yang dipanggil kakak oleh Gaara pergi dan menghampiri pelayan. "Tadi itu kakakku yang punya restoran." Hinata ber-oh sambil mengangguk. "Kau tidak keberatan dengan makanan India, 'kan?" kali ini Hinata mengangguk mantap. "Aku selalu penasaran dengan makanan India. Dulu temanku saat sekolah dasar ada yang keturunan India."
Dan itulah pembuka obrolan mereka saat makan siang. Gaara mendengarkan dengan tenang. Setelahnya ia akan ikut bercerita tentang bagaimana kakaknya bisa membuka usaha restoran India. Hari ini restoran penuh meskipun sudah agak lewat dari jam makan siang. Tapi rasanya Hinata bisa mendengar dan mengingat semua obrolannya dengan Gaara siang ini.
"Hinata, bisa kau tunggu di luar? Di sini terlalu ramai. Aku musti berbincang dengan kakakku sebentar." Hinata menurut. Ia keluar lebih dulu dari restoran. Sudah hampir jam empat sore dan masih terlihat beberapa orang mengantri.
Sambil menunggu Gaara, Hinata duduk di bangku. Tak lama ia melihat seekor kucing melintasinya. "Lucu sekali." Hinata menarik perhatian kucing itu untuk mendekatinya. Menyentuh untuk membelai-belainya, mengajaknya bicara.
"Kau suka kucing?" Selang lima menit, Gaara datang. "Ya, aku suka." Hinata menjawab masih sambil membelai kucing putih dengan corak hitam di tubuhnya. "Kucing liar?" Hinata menggelang. "Terlalu bersih untuk kucing liar. Ia juga punya kalung di lehernya." Ia menunjukkan kalung dengan inisial I di leher kucing itu.
"Kau masih ingin bermain dengan kucing?" beberapa detik setelahnya Hinata tersadar. Sepertinya Gaara agak menjaga jarak. "Tidak, sudah selesai." Hinata melepaskan diri dari kucing. Ia bangkit dan mulai mengikuti Gaara yang berjalan. "Kau terlihat sangat penyayang binatang."
"Benarkah? Aku hanya terbiasa saja."
"Kalau begitu mungkin kita bisa pergi ke kebun binatang kapan-kapan."
"Atau mungkin pergi ke kafe kucing? Aku melihatnya satu di dekat restoran kakakmu tadi." Gaara mengangkat sebelah alis tipisnya, berpikir sebentar. "Oke." Lalu, ia kembali meraih tangan Hinata untuk digenggamnya. Entah sejak kapan, Hinata merasa seperti sudah biasa disentuh oleh Gaara. Tak hanya saat berjalan, di mobil pun beberapa Gaara mencuri-curi untuk menyentuhnya. Hebatnya, sentuhan Gaara terasa pas dan natural di matanya.
Kriettt. Hinata membuka kulkas untuk mengambil air seusai tiba di flatnya. Kemudian ia duduk di meja makan. Lagi, sembari meneguk air, ia mengecek gawainya yang selama beberapa jam ini tak ia buka. Ada beberapa pesan dari Toneri yang rupanya mengajak ia makan siang tadi. Masih ada juga pesan dari Sai. Dan satu pesan dari nomor yang tak ia simpan.
"Hey Hina, apa kau pergi ke Edogawa hari ini?" Hinata mengerutkan dahi. Siapa? Ia dilihat oleh siapa? "Tidak mungkin oleh Sai atau Sasuke, 'kan?" baru saja Hinata akan menanyakan informasi si pengirim pesan, pesan lain muncul. Pesan dari seseorang yang dua tahun ini ditakutinya.
'Hyuuga, bagaimana perkembangan bab empat skripsimu?'
