No reply for now.
Happy Reading! :D
Chapter 295: (Don't Googling) Sickness and (Fifty Gallons of) Soup
Suatu hari yang sangat sepi di sebuah rumah, Naya dan Edgar berbulan madu sementara anak kembar mereka bersama orang tua Edgar.
Suasananya setenang kuburan, dan biasanya akan disambut dengan baik. Tapi bagi anak laki-laki tertentu, ini mungkin hanya akhir dari dunia.
Edward berjalan melewati ruang tamu sambil mengerang keras. "KENAPA SANGAT TENANG?! Aku bisa mendengar pikiranku sendiri yang, jika kau bertanya, hanyalah lagu favorit Kak Edgar yang diputar berulang-ulang!"
Desisan yang keras segera mengikuti pernyataannya, Chilla memberinya tatapan tajam dari sofa tempat dia duduk. "Edward, diamlah. Chilla berusaha memastikan Salem beristirahat."
Edward melirik ke tempat di sebelahnya. Benar saja, ada Salem di sofa, terlihat kurus dan tampak hidup seperti hantu. Cowok berambut spiky itu mendengus dan tersentak sedikit setelah menyadari dirinya tertidur.
"Ada apa dengannya?" Edward bertanya.
"Itu yang Chilla coba cari tau. Salem pasti sakit, tapi Chilla tidak yakin apa itu." Chilla menghela nafas sambil meletakkan buku kedokterannya ke samping, dia memiringkan kepala dan meletakkan tangan di dagu. "Mungkin radang tenggorokan? Atau mungkin karena sakit kepala yang parah? Chilla harus melakukan beberapa pemeriksaan."
"Chilla, ini hanya-" Salem yang serak langsung terbatuk-batuk, dia meletakkan tangannya di tenggorokan dan meringis kesakitan. Rasanya seperti ada pisau yang menggores kerongkongannya.
Gadis pirang itu mengalihkan pandangan tajamnya ke arah cowok berambut spiky itu. "Lihat?! Ini sebabnya Salem harus berhenti bicara dan istirahat sementara Chilla mencoba mencari cara untuk mengobatinya."
"Aku bisa bantu!" sela Edward dengan senyum ceria di wajahnya, matanya berbinar membayangkan bisa membantu.
Chilla bertepuk tangan penuh semangat, matanya sendiri berbinar. "Itu ide yang bagus, Edward!"
Wajah Salem berubah menjadi ngeri. Dia meraih lengan Chilla dan salah satu tangannya berulang kali membuat gerakan horizontal di depan leher, berusaha mati-matian memberi sinyal pada Chilla kalau itu ide yang buruk.
Tapi Chilla tidak mendengarkan, dia terlalu senang mendapat bantuan. Dia kemudian memasang wajah serius. "Baiklah, Edward! Pertama-tama, kita harus mencari tau apa yang salah dengan pasien kita. Kita bisa melakukannya dengan mempelajari gejalanya dan merujuknya ke sumber yang kita miliki!"
"Apa yang kalian berdua lakukan?" panggil suara seorang gadis dari seberang ruangan.
"Oh, Rina!" Wajah Chilla berseri-seri. "Hai! Salem sakit."
Rina melirik Salem yang memegangi wajahnya seperti ingin mati. "Aku bisa melihatnya. Ada apa dengan dia?"
"Itu yang aku tanyakan!" seru Edward. "Kami tidak tau, jadi kami mencoba mencari tau."
"Kita bisa mencari gejalanya di internet!" usul Rina.
"Cilla tidak tau." Chilla mengetukkan jari ke pipinya. "Internet tidak selalu dapat diandalkan dalam hal informasi medis."
"Oh, ayolah!" Edward bersandar pada gadis pirang itu sambil memberinya tatapan mata anak anjing sedih yang paling menyedihkan yang bisa dia tunjukkan. "Aku mohon~?"
Chilla bersenandung gugup beberapa saat, sebelum akhirnya mengalah sambil menghela nafas. "Baiklah. Tapi sekali ini saja!"
Edward segera tersenyum bahagia dan mengepalkan tangannya sambil berseru riang.
Salem merosot di sofa, dia sangat ingin berada dimana saja kecuali di sini.
Setelah beberapa menit, kedua anak itu fokus mencari melalui internet (Edward) dan buku teks (Chilla) tentang penyebab penyakit Salem sementara Rina hanya duduk di meja tanpa melakukan apapun untuk 'dukungan moral'.
Waktu terus berjalan, dan setelah lima belas menit mencari, Chilla dengan lelah mendongak dari bukunya dan melihat Edward tampak seperti akan menangis tersedu-sedu. Dia mati-matian berusaha menahan air matanya dan tubuhnya gemetar.
Chilla segera menghampiri untuk menghiburnya. "Ada apa, Edward?"
Anak itu terisak keras sebelum semua air mata yang ditahannya tumpah. "Kak Salem akan mati~!"
Chilla berkedip kebingungan. "Hah? Apa?"
Edward terisak dan jatuh ke pelukan Chilla. "A-Aku mencarinya dan-dan katanya dia mengidap kanker..."
Chilla menghela nafas pelan dan menepuk punggung Edward. "Tidak, Edward. Salem tidak mengidap kanker."
"Tapi- Tapi internet-"
"Internet salah, Edward."
"Aku tidak tau." Rina terkekeh. "Dia mungkin benar, Salem kelihatan sudah mati bagiku."
"Rina tidak membantu!" teriak Chilla padanya, dia kemudian mengalihkan perhatiannya kembali pada Edward. "Jangan dengarkan Rina, Edward. Rina hanya menjadi meanie."
"Ya- Hei!" Rina langsung memprotesnya saat itu juga.
Edward menjauh dari Chilla, air mata masih menggenang di sudut matanya. "J-Jadi, Kak Salem tidak akan mati?"
"Tidak."
"Ya."
Kedua gadis itu berbicara pada saat yang sama, dan Chilla menatap tajam ke arah Rina.
"Salem tidak akan mati, mungkin hanya sakit kepala parah." Chilla menunjuk ke arah cowok yang pingsan di sofa itu.
"Tapi dia tampak mati!" Edward menangis tersedu-sedu.
Rina menepuk kepala Edward. "Jangan khawatir, dia selalu terlihat seperti itu."
Chilla mengambil tisu dari kotak tisu di atas meja dan menggunakannya untuk menyeka air mata Edward. "Kenapa Edward tidak membantu Chilla merawat Salem?"
"Oke." Edward berhenti menangis. "Jadi, apa yang pertama harus aku lakukan?"
"Kenapa tidak memulainya dengan memberikan kompres dingin?" usul Chilla sambil bangkit dan menggandeng tangan Edward untuk membantunya berdiri. "Itu akan membantu menurunkan demamnya."
"Oke! Aku akan segera kembali!" Edward segera meninggalkan ruang tamu dan berlari menyusuri lorong menuju kamar mandi.
Rina menoleh ke Chilla. "Apa kau yakin ini ide yang bagus? Kau tau bagaimana dia ketika ditugaskan melakukan sesuatu. Ingat saat dia mencoba membantu Arta berkebun? Anak malang itu terbaring di tempat tidur selama berhari-hari."
"Jika kita tidak pernah memberinya kesempatan atau mengajarinya dengan benar, dia tidak akan pernah belajar." Kedua gadis itu dikejutkan oleh Salma yang muncul entah dari mana, dia menyilangkan tangan sambil melihat ke lorong tempat Edward menghilang. "Dia hanya mencoba yang terbaik, dia ingin membantu."
"Salma, dia membakar dapur!" seru Rina.
"Karena ada orang tolol yang seharusnya mengawasinya tapi perhatiannya teralihkan!" Salma mendengus.
Chilla menghela nafas. "Edward sangat khawatir karena tidak berguna bagi kita. Edward tidak ingin mengecewakan kita. Edward takut menjadi beban. Tidak bisakah kita membiarkan Edward membantu?"
Rina tersenyum lembut. "Ya, kurasa kita bisa."
Salma menghela nafas. "Kita hanya harus memastikan dia tidak melakukan tindakan bodoh. Kau tau bagaimana dia. Kita tidak ingin anak itu terluka karena, entahlah, mencoba mengikat tali sepatu atau semacamnya."
Tepat pada waktunya, Edward kembali dari lorong sambil memegang handuk basah di tangannya. "Aku dapat handuknya! Apa yang harus kulakukan dengan handuk ini?"
"Gampang! Itu untuk membantu menghentikan demam Salem kan? Jadi..." Chilla memberi isyarat agar Edward menjawab.
Edward memerlukan waktu sekitar satu menit untuk memikirkan sebuah jawaban, wajahnya mengerut sambil berpikir. Tapi begitu sebuah jawaban muncul di kepalanya, dia mengangkat tangannya dengan mata berbinar. "Oh oh! Kau menaruhnya di wajah untuk menghentikan demamnya!"
Chila mengangguk. "Benar! Jadi kenapa Edward tidak menaruhnya ke wajah Salem?"
Edward tersenyum dan mengangguk. Dia kemudian mencondongkan tubuh ke samping Salem dan dengan hati-hati meletakkan handuk itu ke wajahnya, kain lembab menutupi kepalanya seperti selimut. Setelah selesai, dia berdiri dan mundur selangkah.
Belum genap satu menit berlalu, Edward sudah gelisah. Salma mengangkat alisnya. "Apa yang membuatmu gelisah, Ed?"
Edward menghela napas dan berulang kali menunjuk ke tubuh Salem yang masih tertidur. "Demamnya tidak kunjung turun! Bagaimana jika aku membuat kesalahan dan kondisinya semakin parah? Chilla, bagaimana jika kondisinya tidak kunjung membaik? Apa aku melakukan kesalahan?"
"Tidak, Edward. Hanya butuh waktu. Demamnya tidak akan langsung turun, itu-"
"Mungkin kurang basah? Ah, aku tau." Edward mengeluarkan botol air dari saku jaketnya, lalu menuangkan semuanya ke handuk yang menutupi wajah Salem. "Ini dia, Kak Salem. Genangan air segar untuk wajahmu."
Melihat ini, ketiga gadis itu langsung menjadi panik. Chilla menutup mulut dengan tangannya, Rina berteriak agar Edward berhenti, sementara Salma segera menerjang ke depan dan meraih lengan Edward untuk menghentikannya menuangkan lebih banyak air. "Apa yang sedang kamu lakukan!?"
Edward menatapnya dengan tatapan kosong. "Mendinginkan dia, memangnya apa yang aku lakukan?"
Salma balas menatap Edward yang benar-benar serius, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia menarik anak itu menjauh dari Salem. "Kau melakukan waterboarding padanya, Ed."
Edward memiringkan kepala. "Apa itu waterboarding?"
Pada titik ini Chilla sepenuhnya memahami kenapa Salem menganggap ini adalah ide yang buruk, tapi dia tidak akan membiarkan Edward bersedih karena dia tidak cukup membantu. "Kenapa Salma tidak menyuruh Edward melakukan hal lain saja?"
'Lebih baik aku memberinya tugas yang tidak akan membunuh Salem.' Salma menghela nafas sambil memijat pelipisnya, dia masih ingat saat Edward mencampurkan semua obat yang dia temukan dan membuat Salem hampir mati karena keracunan obat.
Jadi Salma memutuskan untuk memberi Edward tugas yang gadis itu harap anak itu tidak akan membuat kesalahan. "Edward, kenapa kamu tidak membeli sup saja? Sup selalu membantu orang ketika mereka sakit."
Edward berkedip. "Kita bisa minta Chilla membuatkan-"
"HELL NO!" Salma langsung menyela. Chilla hanya meringis mendengarnya karena dia mengaku masih belum pandai memasak.
"Kenapa kamu tidak keluar dan membeli sup?" usul Rina.
Edward memberi hormat. "Tentu saja bisa!"
Butuh beberapa menit bagi Edward untuk bersiap-siap berangkat, karena Salma memeriksanya untuk memastikan dia baik-baik saja.
"Apa GPS-mu aktif?"
"Yep yap!"
"Apa sepatumu terikat? Aku tidak ingin kamu tersandung di tengah jalan."
Edward tersenyum lembut. "Aku akan baik-baik saja. Aku hanya akan keluar untuk membeli sup, seberapa buruk itu?"
Chilla menepuk pundak Salma sambil tersenyum menenangkan. "Edward akan baik-baik saja, Salma."
Rina bersandar pada Salma dan berbisik di telinganya. "Dan kalau dia tidak kembali dalam waktu satu jam, aku akan memanggil Jean dan kami akan mencarinya."
Salma menatap ke arah Rina dengan tatapan khawatir lalu kembali ke Edward, dia menghela nafas. "Oke. Tapi tolong, berhati-hatilah."
Edward dengan santai melambaikan tangan. "Baiklah, jangan khawatir."
Dia berbalik dan berjalan keluar rumah sambil mengeluarkan handphone. "Baiklah Google Maps, dimana aku bisa menemukan sup?"
Rendy berjalan ke rumah Edgar untuk mengunjungi Salem. "Hei Sal, aku perlu mengambil beberapa- WOAH-"
Cowok berambut perak itu hampir tersungkur ke lantai ketika tersandung sesuatu yang menghalangi jalannya. Dia melihat ke bawah untuk melihat apa yang membuatnya hampir terjatuh dan terkejut melihat bahwa itu adalah panci besar berisi sup, mungkin menampung sekitar satu galon sup. Melihat ke atas memberinya kejutan yang lebih besar.
Setiap ruang di lantai dan meja dipenuhi panci sup, hampir tidak ada ruang untuk berjalan dengan banyaknya panci yang ada.
"Apa yang-"
"Kak Rendy!" panggil suara familiar dari tengah lautan sup. "Kak Salem sakit!"
Rendy melirik ke arah Edward yang duduk bersila di atas salah satu meja. Pandangannya mengikuti ke tempat yang ditunjuk anak itu. Ada Salem yang (mungkin) pingsan di sofa, meskipun sulit memastikannya mengingat banyaknya panci sup yang diletakkan di sekeliling dan di atas tubuhnya.
Cowok berambut perak itu menghela nafas, dia sudah mulai merasakan sakit kepala yang akan datang.
"Aku bisa melihatnya, tapi kenapa-" Rendy berusaha menavigasi ladang ranjau kaldu. "ada dua puluh miliar galon sup dimana-mana?"
Rendy hampir tersandung lagi ketika ada sesuatu yang menyambar kakinya. Dia menunduk untuk melihat Rina, terkubur di bawah tumpukan panci sup, dengan lemah memegang kakinya.
"Bantu aku..." gumamnya.
Tanggapan Rendy atas permohonannya adalah dengan melepaskan kakinya dan terus berjalan.
"Ini bukan dua puluh miliar." jawab Edward. "Ini baru lima puluh."
Hal ini kembali mendapat desahan dari Rendy yang menatap datar ke arah Edward. Dia akhirnya berjalan ke meja tempat anak laki-laki itu duduk. Keduanya terlibat adu pandang, Rendy menatap Edward dengan letih dan Edward balas menatap dengan senyumnya yang biasa.
"Pertanyaanku adalah..." sela Rina dari lantai. "Dari mana kau dapat semua sup ini?"
"Aku juga ingin mengetahuinya." Salma menambahkan saat dia dan Chilla memindahkan panci sup dari Rina.
Edward menyesuaikan pose duduknya. "Jadi aku memasukkan 'dimana kau bisa menemukan sup untuk orang yang sekarat karena kanker' di Google."
"Edward, Chilla sudah memberitahumu kalau Salem tidak mengidap kanker-"
Anak itu menyuruh Salma diam dan melanjutkan. "Tapi tidak ada hasil! Jadi aku hanya mencoba berteleportasi ke restoran manapun untuk meminta sup! Tapi, uh... Begini, kadang-kadang kemampuan teleportasiku akan kacau saat perhatianku teralihkan, jadi aku berakhir pergi kemana-mana. Tapi kuharap setidaknya salah satu dari mereka punya sup! Tapi ternyata Milk Dipper, Leblanc, dan Tricoloré Cafe tidak punya sup. Jadi aku terus mencari... Sampai aku menemukannya di sana!"
Alis Rendy berkerut. "Kau menemukannya dimana?"
"Rumah Arie!"
Semua orang kehilangan kata-kata.
"Apa dia menyimpannya sejak awal?" Rina bertanya.
Edward menggelengkan kepalanya. "Tidak, tapi Tumma sedang membuat sup saat aku datang, jadi dia mengizinkanku mengambil beberapa untuk dibawa pulang. Tapi, hei! Asal aku dapat sup!"
"Tapi kamu hanya pergi selama satu jam! Bagaimana kamu melakukan semua ini?" Keterkejutan Salma terhadap cerita itu meresap ke dalam nada suaranya.
"Apa penting bagaimana dia mendapatkannya? Masalahnya sekarang kalian punya lima puluh galon sup." Rendy mendorong dirinya menjauh dari meja dan berjalan kembali ke pintu sambil mengambil sepanci sup dalam perjalanan ke sana, dia kemudian mengangkat sedikit panci di tangannya. "Ngomong-ngomong, aku akan mengambil ini."
"Hei! Kak Salem butuh sup itu! Dia akan mati tanpanya!"
"Salem tidak akan mati, Edward!" seru Chilla.
"Dia akan mati jika tidak memakan semua supnya!"
Erangan keras terdengar dari semua orang di ruangan itu.
Rendy mengangkat bahu. "Terserah, aku masih mengambil supnya."
Edward masih tidak puas dan menyilangkan tangan. "Beri aku satu alasan bagus kenapa kau harus melakukannya."
"Uh..." Cowok berambut perak itu melirik sekeliling dengan gugup sebelum tatapannya kembali tertuju pada anak pemarah itu. "Aku juga sakit."
"Oh, begitu?" Wajah Edward berubah dari galak menjadi sedih, bahunya turun dan dia memutar jarinya sambil menatap Rendy dengan tatapan minta maaf. "Maaf, aku tidak tau."
Rina mengangkat alis. "Benarkah? Menurutku kau tidak terlihat begitu sakit."
"T-tidak, aku." Rendy berpura-pura batuk di lengan baju untuk membuktikan maksudnya. "Terkena pilek dan semacamnya."
"Biarkan dia mengambil supnya, Rina! Dia menderita!" seru Edward yang dengan dramatis menunjuk Rendy yang berusaha membuat dirinya terlihat lemah.
Rina mengangkat tangan menyerah. "Baik baik."
"Terima kasih." Rendy berbalik dan meninggalkan rumah.
Begitu Rendy berada di luar, dia menyandarkan panci di pinggulnya dan mengeluarkan handphone untuk mengirim pesan singkat.
Rendy: Aku dapat sup. Kalau ada yang bertanya, bilang saja aku sakit.
Ilia: Hah? Kenapa?
Hendry: Ya, kenapa?
Rendy: Jangan khawatir.
Rendy memasukkan handphone ke dalam saku dan terkekeh. "Edgar akan kelabakan saat dia kembali."
To Be Continue, bukan Torch Burn Cinder (?)...
Yah, itu saja untuk sekarang...
Review! :D
