"Bagaimana ini, aku harus jawab apa?" Gempa bergumam sepanjang perjalanan menuju rumahnya, hingga tak sadar dia sudah tiba di depan gerbang kayu rumahnya yang sangat minimalis dari tampak depan.

"Assalamualaikum." Gempa membuka pintu sambil mengucapkan salam, pemandangan ruang tamu yang tumben kosong di sore hari ini, membuat remaja itu sedikit mengerutkan keningnya.

"Waalaikumsalam." Terdengar jawaban salam dari arah ruang makan, Gempa bergegas mendekati ruang makan, menemukan Halilintar ada di sana yang sudah memakai baju santai, sedang menggigit biskuit berwarna coklat muda, sembari memainkan ponselnya.

"Tumben sepi, Kak Taufan mana?" tanya Gempa, tak menemukan keberadaan kakak kedua.

"Main ke rumah Blaze, katanya mau namatin game apalah itu." Halilintar masih memfokuskan pandangannya pada ponsel miliknya.

Gempa terdiam sesaat, artinya hanya ada Halilintar di rumah ini.

"Kak Hali sibuk gak?" Gempa mengambil bangku yang berseberangan dengan kakak tertua.

"Menurutmu?" Halilintar menatap Gempa sembari mengambil kembali biskuit yang tersisa sedikit di toples transparan itu.

Biskuit buatan Taufan memang menjadi selera favorit Halilintar, kapan lagi Halilintar bisa ngemil tanpa takut kemanisan, selera kakak tertuanya hanya bisa ditaklukan oleh Taufan sepertinya.

"Aku mau curhat nih, penting banget." Gempa mengepalkan tangannya di atas meja, melihat gelagat sang adik bungsu, membuat Halilintar benar-benar menaruh perhatiannya pada Gempa.

Masalah apa yang bisa membuat seorang Boboiboy Gempa yang terkenal dengan sikap cowok idaman itu terlihat gelisah, Halilintar jadi tertarik untuk mengetahuinya.

"Baiklah, apa masalahmu?" Halilintar mematikan ponselnya, dan kini sepenuhnya menatap sang adik yang masih lekat dengan seragam sekolahnya.

"Tapi ini jangan sampai Kak Taufan, atau yang lain tahu oke, cuma kita berdua." Gempa memberi peringatan sambil membuka tasnya.

Halilintar mengangkat bahunya, entah tanda acuh, atau terserah. Cukup lama Gempa mengacak tasnya, hingga tangannya itu akhirnya keluar dari dalam tas dengan sebuah benda putih persegi panjang, dan meletakkannya di tengah meja.

Sebuah amplop putih.

"Ini masalah yang membuatmu uring-uringan?" tanya Halilintar tidak percaya, benda yang beratnya tak lebih dari satu kilo itu bisa membuat Gempa menampilkan wajah kusut.

Ekspresi Gempa seperti tidak terima, sungguh amplop itu rasanya lebih dari 10 kg kalau ingin didefinisikan dengan otaknya.

Halilintar mengambil amplop putih itu, apa sih isinya? Paling-paling selebaran lomba, atau pemilihan ketua osis yang akan segera dilaksanakan, harusnya Gempa tidak perlu pusing kan?

Membuka amplop putih itu, manik ruby itu mendapati secarik kertas yang terlipat, tangannya mulai membuka lipatan itu, iris tajamnya membaca tiap paragraf yang ada di sana, tak menyadari Gempa menahan rasa malunya.

"Pft-jadi kau.."

"Kak Hali." Gempa lebih dulu menyela, dengan pipinya yang bersemu merah.

"Oke-oke, jadi karena ini kau merasa cemas? Karena sebuah surat cinta?" Halilintar terbatuk sejenak mengalihkan rasa ingin tertawa melihat Gempa sudah menahan malunya.

"Tentu saja, ini masalah besar!" Gempa menjawab dengan heboh.

"Ayolah Gempa, ini hanya surat cinta monyet dari siswi di sekolah kita, kenapa kau harus merasa cemas?" bingung Halilintar, karena dirinya sudah berpengalaman dengan surat cinta seperti ini, dirinya merasa Gempa terlalu berlebihan dengan secarik kertas yang ditulis beberapa paragraf itu.

"Karena di surat ini seorang wanita menaruh harapan padaku, bagaimana bisa aku tenang sementara ada wanita yang menunggu keputusanku pada perasaanya." Gempa mengambil kertas itu dan menunjukan paragraf yang berjumlah 6 itu.

"Anak ini terlalu serius," batin Halilintar melihat Gempa menatap cemas pada surat ini.

"Kenapa kau meminta pendapatku soal ini, kau pikir aku ahli cinta?" tanya Halilintar sejenak.

"Kenapa tidak meminta pendapat seseorang yang lebih ahli, mungkin Taufan?" Halilintar tahu saudara kembarnya itu dicap playboy di sekolah karena rutin membalas surat cinta yang datang padanya, walau pada akhirnya Taufan tidak pernah mengajak siapapun pacaran.

"Daripada mendapatkan jawaban, aku pasti akan diledek habis-habisan oleh Kak Taufan." Gempa sedikit bersungut membayangkan kakak keduanya memandangnya jahil ketika tahu hal ini.

"Pasti Kak Taufan akan bilang 'Ciee adek ku sudah mulai ditaksir', 'kiw-kiw balas dong Gem', atau 'balas saja, aku tidak bisa menyukaimu karena aku terlalu baik untukmu'." Gempa menirukan suara Taufan yang sedikit cempreng membuat Halilintar menahan tawanya.

"Kak Hali, aku sungguh-sungguh ingin membalas surat ini dengan baik, tanpa harus menyakitinya," gumam Gempa pelan.

"Tetap saja kenapa harus aku? Aku tidak mau terlibat dalam cinta monyetmu ini," decak Halilintar merasa Gempa memberatkan masalah sepele.

"Karena aku tahu Kak Hali yang paling pintar soal masalah cinta monyet ini, di sekolah sih lagaknya kaya gak tertarik masalah percintaan, tapi diam-diam di luar sekolah …"

"Hah ... apa maksudmu?" sungut Halilintar cepat.

"Sendirinya aja lagi terlibat cinta monyet, bukannya kak Hali juga sedang dekat dengan siswi dari sekolah lain." Gempa memandang Halilintar dengan wajah jahil.

"Jangan berani kau menceritakan cerita itu pada siapapun, apalagi Taufan, aku tidak akan mengampunimu." Halilintar melotot tajam.

"Ya, tergantung, jadi bagaimana?" Gempa terkekeh jahil, kenapa sifat Taufan tiba-tiba muncul pada sang bungsu.

"Baiklah-baiklah, asal mulutmu bisa terkunci rapat, awas saja!" Halilintar menyandarkan punggungnya ke kursi belakang, menghela napas sejenak, bagaimana bisa rahasia yang dia jaga rapat-rapat diketahui oleh Gempa.

Sungguh! Apa Gempa memata-matainya, Halilintar tidak akan mengampuninya kalau itu benar, tapi mari kita selesaikan masalah surat cinta ini dulu.

"Memiliki rasa suka itu normal, dan harus. Jadi kau tidak perlu terlalu panik ketika ada seseorang yang menyukaimu, hanya tentang bagaimana kau membalas perasaanya saja," ucap Halilintar.

Gempa memandang surat itu sejenak. "Tapi Kak Hali, aku bahkan tidak punya perasaan padanya, bagaimana bisa aku membalas perasaan cintanya, dengan perasaanku ini?" bingung Gempa terlihat seperti anak puber.

"Tidak ada yang memintamu memaksakan perasaan yang sama untuk membalas surat itu, kau bisa membalasnya dengan apa yang ada dalam hatimu, ya kalau tidak suka bilang tidak, kalau suka ya bilang suka," jelas Halilintar.

"Aku masih bingung, aku takut dia sakit hati Kak, mana tega aku menyakiti perasaan perempuan," ucap Gempa mengacak rambutnya.

"Bukankah itu risiko menyukai seseorang? Setiap orang berhak mencintai, dan dicintai, perkara menyakiti perasaan akan selalu terjadi dalam sebuah hubungan manusia, dan bukan hanya soal cinta." Halilintar memberikan nasehat yang baik untuk adik puber galaunya ini.

Gempa terdiam sejenak, mencerna ucapan Halilintar untuk sesaat dirinya memang seperti seseorang yang baru pertama kali merasakan perasaan canggung ini, disukai oleh seorang wanita?

Maksudnya yang selama ini Gempa lakukan adalah sibuk dengan berbagai tugas, sekolah, keluarganya, saudaranya, dan sepupunya, mereka bisa memberikan perasaan cinta, dan kasih sayang, namun harus Gempa akui, manusia diciptakan berpasangan, tidak ada yang salah dari menyukai lawan jenis, hanya dirinya saja yang masih berada di lingkup kecil.

"Kak Hali sendiri bagaimana dengan gebetan Kakak? Apa Kak Hali memberikan dia surat cinta, atau modus?" tanya Gempa.

"Hah, kau pikir aku ini Taufan. Aku tidak melakukan itu, aku tertarik dengannya dalam batas wajar, aku ingin mengenalnya sesekali, memang benar rasa menyukai itu terkadang aneh, dan risih, tapi aku pikir usiaku sekarang bahkan belum benar-benar matang, banyak hal yang bisa aku lakukan selain mencintai seorang wanita, atau mengejar wanita yang belum tentu jodohku."

"Membuat sebuah hubungan yang wajar, kemudian belajar, mengejar cita-cita, membanggakan diri sendiri, kenapa dunia fiksi harus terpaku pada satu wanita, karena itu adalah cerita yang bisa di skip kehidupannya, tapi ini adalah kehidupan sesungguhnya, waktu tak bisa di skip, jadi jangan terlalu fokus pada apa yang bisa saja tidak bisa kau miliki."

"Aku menyukai dia, itu memang benar, dan itu cukup. Baik dia, dan aku punya kehidupan panjang yang harus dijalani, namun di sela kehidupan itulah, sesekali aku ingin memastikan, apa perasaanku padanya hanya suka semata, atau arti sebenar dari rasa suka, aku tidak ingin memikirkan apa yang terjadi ke depannya, aku hanya ingin melewatinya, dan menantikannya."

Setelah ucapan panjang itu, terdengar suara tepuk tangan dari Gempa, remaja itu seperti baru mendengarkan cerita sakral yang teramat terjaga dari kakaknya.

"Intinya, rasa suka itu wajar, dan normal," dengus Halilintar.

Gempa memandang kembali ke arah surat itu, sepertinya setelah petuah dari sang kakak tertua, dirinya mulai mendapatkan solusi dari masalah ini.

"Ya kecuali kamu emang gak suka cewek, terus belok, sih," ucap Halilintar datar.

"Astagfirullah, Gempa masih normal ya Kak, aku masih suka cewek kok, karena masih suka cewek makanya Gempa gak mau nyakitin perasaanya," balas Gempa tak terima.

"Ya udah." Halilintar menggerakan tangannya ke depan, mengacak rambut Gempa yang sedikit basah oleh keringat, mungkin karena masih memakai seragam.

"Good luck ya, harus gentle sama pendirian, kalau suka ya suka, kalau gak ya gak, jangan gantungin perasaan seorang wanita," ucap Halilintar diiringi senyum tipis.

Gempa yang melihat tindakan Halilintar, mendapatkan motivasi lebih besar.

"Ternyata adikku ini udah mulai galau masalah cinta, udah gede ternyata." Ucapan Halilintar berikutnya membuat Gempa menatap sebal, dan malu.

"Kak Hali jangan ngeledek, atau nanti aku sebar nama cewek yang kakak suka," ancam Gempa.

"Oh ya … coba saja kalau kau mau aku coret dari kk." Halilintar mengepalkan tinjunya.

"Be-bercanda Kak Hali." Gempa janji akan tutup mulut soal rahasia terdalam kakak sulungnya, beneran ini mah.

"Hei tau gak berita yang lagi hot banget!"

"Apaan!"

"Katanya Gempa, itu anggota osis sekbid 2, ditampar cewek loh!"

"Hah yang bener!"

"Iya, tadi aku lihat pipinya merah gitu, sekarang lagi di uks."

"Waduh, kok bisa sampai ditampar sih, apa gara-gara itu?"

"Itu apa?"

"Kan si itu ngasih surat cinta buat Gempa …"

Halilintar yang baru selesai menghabiskan kopi kalengnya dibuat terdiam dengan pembicaraan siswi-siswi yang mengerumuni meja samping, suara yang semakin kecil, yang berarti beritanya semakin hot, sampai tak sadar ada Halilintar di sebelah meja mereka.

Sontak Halilintar langsung berdiri, dan berjalan cepat ke arah uks, yang benar saja! Apa Gempa salah kata sampai bisa ditampar cewek, sudah pasti itu karena apa yang Gempa bicarakan untuk membalas surat cinta.

Apa ucapan Gempa terlalu menyakitkan sampai cewek itu berani nampar orang yang dia suka?

Kalut dalam pikirannya hingga Halilintar tiba di uks, dan benar mendapati Gempa sedang ada di salah satu kursi uks dengan menempelkan kantung air dingin di pipi kanannya.

Mata ruby, dan kuning emas itu bertemu sekilas, tidak ada pembicaraan, keduanya sibuk bertatap mata seperti sedang melakukan kode rahasia.

Mata Halilintar yang memancarkan pertanyaan 'Kok bisa digampar! Kamu balas apa sih? Sia-sia ucapanku kemarin!'

Mata Gempa memincing pelan. 'I-ini beda cerita Kak.'

"Gempa!" Kedua orang yang bermarga Boboiboy itu tersentak dengan suara di belakang, mendapati seorang gadis mengatur napasnya, Halilintar mendelik.

Itu kan Hanna! Cewek yang ngasih surat cinta ke Gempa, yang sekarang dirumorkan menampar Gempa karena surat cintanya ditolak.

"Ini salepnya, aku ngambil dari p3k di ruang olahraga." Hanna mendekat ke arah Gempa, remaja itu berterima kasih.

Mata Halilintar kembali melotot pada Gempa, seperti meminta penjelasan.

"Gini loh Kak …" Gempa mengoleskan salep itu perlahan.

"Ge-gempa, kenapa kau memanggilku ke sini?"

Hanna tidak percaya Gempa memanggilnya sehari setelah dia menyimpan surat cinta itu di meja Gempa, dia pikir surat cintanya itu akan berakhir di sobek seperti surat cinta Halilintar, atau dibalas dengan ucapan 'Aku terlalu baik untukmu, dan kamu bukan tipeku, tapi kalau kamu ngelunjak mau masuk tipeku bayarin hutangku ke mbak kantin dong, plus makan biskut Yaya 10 bungkus.' Seperti surat cinta Taufan.

Gempa terlalu baik untuk tidak mengabaikan surat cinta itu.

"Hanna, aku menerima suratmu, sebelumnya aku berterima kasih karena kamu mau menyukaiku, dan menyempatkan ruang dihatimu untuk menaruh rasa sukamu padaku," ucap Gempa.

Aduh, jawaban Gempa puitis banget, membuat Hanna jadi salting, salah tingkah beneran!

"Tapi aku benar-benar minta maaf, aku tidak bisa membalas perasaanmu, to-tolong jangan sakit hati, aku berusaha untuk membalas surat ini dengan rasa yang sama denganmu, tapi aku belum bisa," lanjut Gempa.

"Tidak apa-apa Gempa, kau tidak perlu seserius ini." Hanna jadi merasa bersalah memberikan surat cinta pada Gempa.

"Bukan maksudku mengabaikan perasaanmu, tolong jangan mati karena aku menolakmu, atau pasang status 'semua cowok sama aja', aku yakin tidak semua cowok kaya gitu, cuma aku saja yang tidak siap."

Hanna jadi merasa pembicaraan Gempa semakin kacau, ya ampun apa Hanna membuat Gempa trauma dengan surat cinta!

"Gempa aku tidak akan melakukan itu, tidak apa. Aku mengerti jika kau tidak bisa membalas perasaanku, aku hanya ingin mengungkapkan saja, sungguh kau tidak perlu merasa bersalah jika kau tidak bisa membalas perasaanku, aduh Gempa." Panik Hanna.

Gempa yang mendengar itu mulai tersenyum lega, itu juga membuat Hanna tersenyum lega, merasa trauma untuk memberi surat cinta pada si bungsu Boboiboy.

"Kalau kita mulai kenalan pelan-pelan saja bagaimana? Biar aku juga bisa mengenalmu dulu, kita kan jarang ketemu?" Gempa memberikan masukan yang membuat Hanna kaget.

"I-iya, sungguh, tidak apa-apa Gempa." Hanna merasa tak enak hati.

"Kita sa-"

"AWAS MONSTER DATANG!"

"KAK GEMPA AWAS!"

"GEM-GEM AWAS!"

Belum sempat Gempa menyelesaikan ucapannya, teriakan datang dengan suara familiar, namun perhatiannya terfokus pada sesuatu yang hinggap di pipinya, bergerak, dan menggelitik, dari ujung matanya dia bisa melihat warna coklat samar.

"KECOA!" teriak Hanna kaget.

Gempa tak bisa berteriak saking kaget, dan raganya mungkin akan menghilang.

Hingga sebuah suara tamparan hinggap di tangannya, dan di detik-detik itu sang ras terkuat di bumi berpamitan dari pipinya.

Gempa sampai tersungkur ke belakang saking kagetnya.

"Kak Taufan, kok malah tabok kak Gempa!' teriak Blaze.

"Kak Gempa, sadar kak!" Thorn berteriak panik.

"Aduh Gem, aku gak sengaja, jangan pingsan!" panik Taufan.

"Apa ini! Ada penganiayaan di lingkungan sekolah!" suara Pak Tarung menyusutkan nyali mereka.

"Gak pak, ini Kak Gempa jadi korban kurma terbang!" ucap Blaze.

"Banyak alasan, kalian ikut saya. Hanna kamu bawa Gempa ke uks," teriak pak Tarung menjewer telinga Taufan.

"A-aduh pak, saya mau lihat adik saya dulu!"

"Sakit?" tanya Hanna.

"E-enggak," gumam Gempa, jelas bohong, pipinya merah.

"Ke uks, biar aku bantu," panik Hanna.

"Ga apa-apa masih bisa sendiri, tapi boleh deh temenin ke uks," balas Gempa tersenyum tipis.

Halilintar menggeleng tidak percaya dengan cerita yang terdengar absurd itu.

"Terima kasih Hanna," ucap Gempa pelan.

Hanna hanya mengangguk, merasa bersalah, seandainya dia tidak membuat surat cinta itu, pasti Gempa tidak akan berakhir seperti ini.

"Kita saling mengenal dulu saja ya," lanjut Gempa, ternyata masih membahas masalah surat cinta.

"Tidak usah dipikirkan," keluh Hanna lelah dengan sikap serius Gempa.

Melihat itu Halilintar hanya bisa mendengus, Gempa ini terlalu serius di segala situasi. Ya setidaknya Gempa belajar satu hal, menyukai itu bukan hanya bisa menyakiti perasaan, tapi pipi juga.

END

Ini cerita pertama yang saya publishkan di sini, mungkin masih banyak kekurangan jadi bisa berikan kritik dan saran, saya ingin menuliskan cerita Boboiboy dengan alur yang santai setelah lama menulis cerita Boboiboy dengan alur yang begitu berat, so nikmati alur santai di lapak saya ini.