Waktu itu, Hinata-sensei yang menangis terisak terlihat begitu wajar dimata rekan-rekannya. Beliau menangis di upacara kelulusan sekolah. Waktu dimana para guru melepaskan anak didik mereka setelah ditempa tiga tahun lamanya.
Acara yang berlangsung beberapa puluh menit yang sering kali berubah menjadi terlalu mengharu biru, bahkan bagi Kurenai-sensei yang sudah bertahun-tahun mengalami momen yang sama seperti ini, masih sesenggukan menahan tangis. Antara bahagia dan rasa kehilangan yang bercampur aduk di hati.
Hinata tentu merasakan hal yang sama seperti guru lain. Tapi penyebab utama sang guru muda menangis adalah sesosok pemuda tanggung yang melangkah maju ke podium aula untuk mendapat surat kelulusan. Si biang onar bernama Naruto Uzumaki, yang melintas tanpa mau menoleh ke wali kelasnya.
Kepada Lirikan-Lirikan Rahasia
Naruto by Masashi Kishimoto
Tidak mengambil keuntungan apapun atas fic ini
standar warning applied
Dipercaya menjadi wali kelas siswa-siswi tahun terakhir adalah sebuah tantangan sekaligus beban tersendiri, baru satu tahun Hinata resmi menjadi seorang pengajar. Menjadi guru bahasa inggris di almamaternya dulu. Dan mengajar murid senior yang akan mengikuti ujian kelulusan justru membuatnya ketar ketir khawatir.
Kekhawatiran yang datang dari murid-muridnya mungkin tertular juga padanya.
Pengharapan semula wanita berusia dua puluh tiga tahun itu adalah semua akan berlalu selancar yang dia inginkan, bekerja keras agar tiap anak didiknya mendapat universitas yang diinginkan atau menggapai apa yang benar-benar mereka citakan. Murni memiliki niatan seperti itu.
Jadi ketika dia mengetahui belakangan, bahwa si sumber masalah yang sudah terkenal sejak kelas satu ternyata ada di kelas yang dia bimbing. Hinata hanya bisa menghela napas lelah.
Semoga Naruto tak membuatnya kerepotan kali ini.
Hinata berdoa tiap kali dia berkunjung ke kuil.
.
.
.
"Jadi ku mohon, Hinata-sensei. Kau bisa memanggilnya untuk berhenti membolos dipelajaranku, atau hal lain mengingat kau adalah wali kelasnya. Aku masih menolerir karena ini tahun yang penting agar dia bisa lulus dan melanjutkan sekolah. Tapi kalau dia tetap berlaku seperti tahun-tahun sebelumnya, aku tak bisa berjanji akan semudah itu meluluskannya."
"Baik, Kakashi-sensei." Hinata membungkuk kikuk ketika Kakashi pamit pergi untuk mengajar setelah selesai menyampaikan uneg-unegnya mengenai Naruto.
Dalam sebulan pertama, sudah tiga guru yang mengeluhkan perbuatan nakal anak itu. Hinata memijat pelipisnya yang berdenyit. Kewajibannya selaku wali kelas Naruto mau tak mau harus membuat pemuda tanggung itu bersikap seperti seharusnya.
Dengan tekad bulat agar murid yang dia bimbing lulus dengan mudah dan bisa menggapai apa yang diinginkan, Hinata memilih cara yang disampaikan Kurenai-sensei ketika gadis itu datang padanya untuk berkonsultasi menangani Naruto.
Mendekatinya.
Ya, bukan dalam artian melenceng. Tapi untuk mengetahui apa penyebab sang murid seringkali membolos dan tak mempedulikan pelajaran yang ada.
Hingga untuk hari ini, misinya untuk mendekati Naruto dimulai.
.
Menyusuri koridor yang sepi mengingat ia berjalan di tengah jam pelajaran, membuat suara sepatu yang menyentuh lantai menggema sepi. Berniat menuju ruang seni rupa dimana informasi yang dia dapatkan menyatakan kalau pemuda yang tengah dia cari berada di sana.
Berdiri memandangi pintu ruang seni rupa yang tertutup dan tak menunjukan adanya eksistensi hidup yang berada di dalamnya, Hinata membuka pintu itu setelah terdiam selama setengah menit.
Bersorak dalam hati ketika siswa yang tengah dia cari sedang sibuk mencoret kanvas di meja samping jendela besar.
"Uzumaki-san?" panggilnya.
Yang dipanggil tersentak, tak sadar bahwa ada orang lain yang masuk ke ruangan favoritnya ini. Melirik Hinata sebentar, dia mengabaikan kehadiran gurunya sendiri. Pasti setelah ini dia diminta untuk kembali ke kelas dengan sebelumnya diberi nasehat ini itu.
Naruto sudah hafal sikap para gurunya. Tak ada yang berbeda sejak dia kelas satu.
Menarik napas dalam-dalam hingga akhirnya mendekat ke tempat sang murid, Hinata duduk di samping si pemuda bengal.
"Bagus," gumamnya spontan ketika melihat lukisan yang dibuat Konohamaru.
Membuat pemilik manik biru menoleh, "Tak perlu berpura-pura memujiku, Sensei."
"Walau aku tak begitu mengerti tentang lukisan, tapi menurutku lukisan yang kau buat bagus. Meski sepertinya lukisan ini terlihat menyedihkan. Ada apa dengan rantai berduri yang menjerat manusia dalam lukisan ini?" Hinata menunjuk yang dia maksud.
"Bukan apa-apa. Aku hanya ingin melukisnya seperti itu."
"Benarkah? Kupikir ada pesan khusus dibalik itu semua." Hinata berhenti sejenak, " seperti ... Kau tahu? Manusia yang terkekang, manusia yang terlilit aturan-aturan dan ingin bebas. Dan lainnya yang memiliki arti serupa."
"Jangan sok tahu, sensei."
"Itu bukan kata-kata yang harusnya kau tunjukan pada gurumu, Uzumaki."
Si jabrik kuning mendecih, kentara sekali merasa terganggu dengan kedatangan wali kelasnya.
Lagi-lagi Hinata menghela napas, "Sekarang jam pelajaran. Kau bisa melanjutkan lukisanmu setelah pulang sekolah."
Yang diminta bergeming.
"Kenapa?" tanya gadis bersurai panjang itu kemudian.
Naruto menengok, mengernyit tanda tak mengerti apa yang sedang gurunya tanyakan.
"Kenapa tak menghadiri kelas dan berakhir disini? Ini tahun terakhirmu. Kau tak bisa menyia-nyiakan waktumu dengan bersikap keras kepala seperti ini. Hobi melukismu bisa kau lakukan setelah pulang sekolah, kan?"
"Sensei tak tahu apa-apa. Berhentilah seolah kau tahu segalanya."
"Karena itu aku bertanya kenapa. Orang-orang tak akan mengerti jika kau tak mengatakannya."
"Aku tak mencoba untuk membuat orang lain mengerti."
"Kau keras kepala, Uzumaki."
Dan tak ada balasan lagi. Naruto bersikap seolah dia tak beradu argumen dengan sang guru.
"Sebelum nantinya kau menyesal, pikirkan baik-baik untuk menata semangatmu belajar. Ada waktu ketika kau merindukan masa sekolahmu setelah kau lulus nanti."
Hinata bangkit berdiri, menyentuh pundak muridnya, dan melambaikan tangan pelan, "Ku harap besok kau menghadiri kelasku."
Dan pintu ruang seni rupa tertutup. Meninggalkan Naruto yang mengacak surai kuningnya dengan kasar.
.
.
.
Helaan napas panjang dilakukan Hinata ketika dia berdiri di depan kelas dan tak mendapati eksistensi si pembuat masalah, Naruto.
Pelajarannya dilalui dengan lancar. Anak didiknya tak ada yang bermasalah kecuali Naruto. Mencoba tak peduli dan membuat muridnya berakhir tak lulus jelas bukan keinginan Hinata.
Tapi, rasa sangsi menggerogoti Hinata ketika melihat tanggapan Naruto atas percakapan mereka kemarin.
Mencoba mengerti siswa seperti NAruto mungkin akan sulit diawal, mengingat ini adalah pengalaman pertamanya menghadapi siswa nakal seperti pemuda tanggung itu.
Dua jam pelajaran bahasa inggris yang menjadi jatahnya hari ini di kelas 3-2 selesai dengan cepat, melangkah pergi dari kelas yang mulai diisi dengan celotehan para siswa ketika pergantian jam pelajaran. Hinata memutuskan untuk menemui Naruto kembali. Lagipula masih ada jeda tiga jam sebelum pelajarannya di kelas lain dimulai.
Ruang seni rupa dibuka tanpa permisi. Mengharuskan Hinata mengerjap bingung untuk sejenak karena bukan Naruto yang duduk sendirian di samping jendela, melainkan Deidara-sensei dan siswa-siswi yang sedang dia ajar.
"Kenapa, Hinata-sensei?" Tanya Deidara memulai.
Hinata menggeleng-geleng kaku, menyampaikan permintaan maaf yang diselingi dengan senyum gugupnya yang biasa. Beralasan dia salah masuk kelas dan kemudian berpamitan pergi.
Lalu, dimana Naruto?
Si manik putih bulan jelas tahu kalau dia bersikap abnormal ketika dengan sibuknya bertanya pada murid-murid lain tentang keberadaan Naruto. Mendapat berbagai jawaban berbeda, menuju tempat yang ditunjukan dan tak mendapatkan hasil. Hinata mencoba opsi terakhir.
Gudang belakang sekolah. Tempat sepi yang jarang digunakan.
Hinata berjalan cepat-cepat melintasi jalan penghubung panjang antara gedung sekolah dan gudang. Melirik ke kanan kiri untuk melihat kemungkinan Naruto tertangkap retina mata.
Sampai di gudang dan mendapati Naruto yang duduk dilantai luar gudang tanpa sadar membuat Hinata mengembuskan napas penuh kelegaan.
"Kau disini rupa— Ya, Tuhan!" Hinata memekik, baru menyadari wajah penuh luka dan lebam manik biru itu. "Ada apa denganmu, Uzumaki? Kau berkelahi? Cepat ke ruang kesehatan. Lukamu harus segera diobati."
Si pemuda menepis tangan Hinata yang mencoba membantunya berdiri dan membawa dia ke ruang kesehatan, "Aku tak mau, Sensei."
"Tapi lukamu harus segera diobati. Bagaimana bila nanti infeksi?"
"Aku tak peduli."
Hinata menatap anak didiknya, merasa kehabisan akal dan kecewa pada dirinya sendiri. Mungkin perlakuannya tak cukup berkenan pada Naruto, hingga pemuda itu masih sesulit ini terbuka padanya.
Sang sulung Hyuuga tak berkata lagi, dia berbalik pergi dan dengan sedikit berlari menjauhi gudang tempat NAruto berada.
Luka muridnya harus diobati, tak peduli bagaimana reaksi penolakan Naruto nanti, dia akan membawa beberapa obat-obatan dari ruang kesehatan dan memaksa pemuda keras kepala itu.
Sementara perginya Hinata diiringi pandangan intens Naruto dan decihan pelannya.
Butuh beberapa menit lepas dari tatapan curiga Kabuto-sensei dan pertanyaan-pertanyaan ingin tahu ketika Hinata meminta beberapa obat, plester dan kapas untuk dibawa. Berkelit dengan tak cukup bagus, akhirnya gadis itu bisa lolos juga.
Kembali ke tempat Naruto berada masih dengan berlari dan wajah panik luar biasa, tanpa permisi, si manik putih pucat mencoba mengobati luka muridnya.
Anehnya, Naruto tak menolak seperti bayangan awal Hinata.
Dengan telaten luka yang dialami Naruto diberi obat.
Tersenyum setelah selesai, Hinata duduk di depan pemuda itu.
"Kau kenapa?"
Naruto terdiam. Wali kelasnya kali ini benar-benar mengganggu.
"Aku bicara padamu, Uzumaki."
Masih diam.
"Naruto?"
"Aku berkelahi. Apa kau puas, sensei?"
Hinata mengerjap. Okey, setidaknya Narutou mulai mau bicara dengannya meski dengan nada ketus yang dikeluarkan.
"Kau tidak mengikuti kelasku hari ini," ujar Hinata langsung. "Apa karena ini?"
"Menurutmu?"
"Lalu kenapa kau berkelahi?"
"Kau terlalu banyak bertanya, sensei."
"Karena aku ingin tahu, sementara kau tak mau menjelaskan sama sekali."
Tak ada balasan lagi dari Naruto. Seperti biasa.
Hinata memutuskan untuk menyudahi konversasi mereka. Berdiri dari posisi duduknya semula, surai indigo itu pergi sembari menepuk pelan pipi Naruto yang memar, menimbulkan ringisan pelan dari si kuning jabrik dan dibalas dengan tawa mohon maaf Hinata.
"Berhenti berkelahi. Kau membuatku khawatir, mengerti?"
.
.
.
Tepat satu bulan setelah Hinata mencoba menggali lebih jauh latar belakang Naruto. Bertanya pada teman-temannya tak cukup mampu mengalirkan informasi yang Hinata mau.
Masih sulit membuat Naruto membuka diri, Hinata hampir putus asa.
.
Satu minggu setelah libur musim panas selesai, si surai panjang indigo harus merelakan waktunya sedikit lebih lama di sekolah untuk mengecek pekerjaan rumah yang dia tinggalkan pada siswa-siswanya selama libur panjang itu. Jam enam sudah lewat, matahari sudah tenggelam beberapa menit yang lalu. Lampu sekolah sudah dinyalakan. Hanya tinggal Hinata dan beberapa guru yang masih berdiam di kantor.
Memutuskan untuk menyelesaikannya besok, Hinata pamit pulang kepada sisa guru yang memilih melanjutkan pekerjaan mereka.
Melintasi koridor sepi dan hawa dingin yang menyambut sedikit membuat Hinata merinding ngeri. Sepi yang menghampiri di pecah pada obrolan beberapa siswa yang ternyata masih berada di sekolah.
"Sedang apa kalian? Siswa seharusnya tak boleh ada di sekolah sampai malam seperti ini," tegur Hinata pada empat siswa yang dia kenali sebagai murid kelas tiga, "Pulang dan belajarlah."
"Kami habis belajar kok, Sensei." Si surai oranye yang terlihat paling tinggi diantara ketiga rekannya menjawab, sedikit membuat Hinata terkejut karena jawabannya disertai seringai.
"Sudah malam. Sebaiknya kalian pulang dan berhati-hati."
"Baik Sensei."
Mulanya biasa, Hinata tak curiga apa-apa. Tapi ketika kelereng bak bulannya menangkap sedikit luka gores di salah satu wajah murid-murid tadi, dan darah yang keluar dari tangan mereka. Perasaan Hinata langsung tidak enak. Entah mengapa pikirannya langsung tertuju pada Naruto.
Apalagi siswa-siswa yang berpapasan dengannya tadi berlalu dari arah menuju ruang seni rupa. Tempat dimana Naruto sering berdiam diri untuk melukis.
Dibayangi perasaan was-was yang mencengkram, Hinata berlari tanpa mempedulikan sepatu hak tinggi dan napasnya yang memburu.
Ruang seni rupa ada di depan mata. Ruang gelap yang ada tak menyurutkan niat Hinata untuk membuka. Lampu dinyalakan. Dan pekikan Hinata menjadi suara yang kemudian terdengar.
Di sudut ruang seni rupa yang berantakan, Naruto terkapar tak berdaya dengan banyak luka melebihi terakhir kali mereka bertemu. Kanvas yang memuat lukisan seorang manusia terantai sudah terbelah menjadi dua, dirobek paksa dan dituangi cat minyak dengan asal.
"Kami-sama, apa yang terjadi padamu?"
Bergegas menghampiri Naruto yang meringis kesakitan dan berkali-kali memegangi pipinya yang berdarah.
"Kau mau tahu Sensei kenapa aku sering membolos?" Naruto yang berbicara tiba-tiba menghentikan sejenak perhatian Hinata pada luka-luka di tubuh pemuda itu, "Karena aku tak mau menjadi dokter seperti yang ayah dan kakek inginkan. Aku tak mau. Bagaimana bisa seorang dokter menangani pasien sementara pikirannya tak ingin dan tertuju pada hal lain? Lihat. Aku ingin menjadi pelukis, tapi bakatku tak ada dalam bidang itu. Aku juga tak bisa bergaul dengan benar. Lalu, untuk apa aku sekolah, Sensei? Bukankah itu hanya membuang waktuku saja?"
Hinata tak tahu apa yang dia pikirkan saat itu, hampir tak bisa berpikir dengan benar, yang dia tahu Naruto jelas tak seperti yang dia bicarakan. Lukisan sang murid memiliki keindahan tersendiri. Bagaimana bisa lukisan yang dibuat seindah itu, dikatakan tak memiliki bakat?
Secara spontan memeluk anak didiknya, Hinata sedikit menaikan nada suaranya ketika berbicara, "Kau memiliki banyak hal baik dalam dirimu. Setiap orang memilikinya. Dan kau pun tak berbeda, jangan menganggap rendah dirimu sendiri. Bangkit berdirilah, ada banyak orang yang siap membantumu. Termasuk aku."
Naruto terdiam, didekap erat oleh seorang guru dan merasakan suhu hangat yang menguar dari tubuh mungil Hinata membuat perasaan asing yang tak pernah dia rasakan menyerang. Menyadari sang guru yang kemudian menangis yang alasannya tak diketahui oleh Naruto sendiri. Serta bahu gemetar Hinata yang bisa dia rasakan. Pemuda bermanik biru itu merasa diperhatikan dan dikhawatirkan dengan begitu banyaknya.
Perlakuan yang keluarganya pun tak pernah dilakukan pada dia. Masa bodoh pada keinginan anaknya sendiri, tak mau mendengarkan kemauan Naruto, tak bisa memberikan saran ketika dia butuh masukan.
Kali ini, entah kenapa Naruto merasa begitu dicintai.
.
.
.
Esoknya, Hinata berangkat ke sekolah dengan dengan mata yang masih membengkak akibat menangis kemarin, mencoba mengompres matanya pun tak cukup membantu. Mengenakan kacamata sebagai pengalih agar mata bengkaknya tak begitu kentara, guru muda itu dikejutkan dengan kehadiran siswa biang onar yang duduk diam di kursi kelas paling pojok, dekat jendela kelas, menumpu kepala pada tangan kirinya, dan ekspresi datar yang sedang menatap Hinata.
Otomatis tersenyum, Hinata memulai pelajaran di pagi hari dengan mood yang lebih baik dari biasanya.
.
.
.
Perubahan Naruto yang begitu mencolok membuat Hinata diberi selamat oleh para guru pengajar kelas tiga, menyampaikan ekspresi kaget yang kata-katanya hampir sama semua, Hinata tak mengerti kenapa harus dia yang diberi ucapan terima kasih dari rekannya yang lain.
Melamun sendiri di tengah-tengah pembicaraan kepala sekolah yang mengumpulkan para siswa kelas tiga di aula sekolah, Hinata tersentak ketika merasa ada yang tengah memperhatikannya.
Menyusuri sudut-sudut aula dan menemukan satu mata biru yang dengan terang-terangan memandangnya dari arah para siswa, Hinata secara spontan mengalihkan haluan pandangnya ketika bersirobok dengan manik Naruto.
Jantungnya yang berdetak gila-gilaan seakan meronta keluar dari balik rusuk. Rasa gelenyar aneh memenuhi perutnya dengan seketika, dipandangi dengan begitu lamat dan tanpa tedeng aling-aling benar-benar membuat Hinata salah tingkah. Untuk gadis seusianya yang belum pernah sekalipun merasakan afeksi menyenangkan jelas membuat jantungnya bekerja ekstra keras menjaga detakannya.
Ah, ayolah, Naruto hanya siswa bermasalah yang mungkin saja sedang melihat ke arah lain, bukan kepadanya.
Memilih menatap sang kepala sekolah yang masih sibuk memberikan wejangan pada murid-muridnya yang sebentar lagi lulus. Hinata dengan sekuat tenaga mengabaikan pandangan intens sang murid bengal.
.
Bukan satu dua kali Hinata memergoki pandangan terlalu lama yang diberikan Naruto terhadapnya. Berpikir hanya kebetulan ternyata tak benar-benar seperti itu. Pada kelas bahasa inggris dimana Hinata mengajar. Naruto, dengan tangan bersidekap, memandangnya secara aneh dan ekspresi muka yang datar.
Atau di pelajaran olahraga yang ketika Hinata melintas, si surai kuning jabrik berhenti di tengah permainan sepakbola hanya untuk menoleh kepadanya.
Dan pernyataan-pernyataan geli guru-guru yang lain tentang keanehan pemuda itu.
"Aku tak tahu harus bagaimana ketika meminta murid-murid kelasmu membuat puisi di kelas sastra klasikku, dan mendapati bahwa puisi yang Naruto ciptakan ternyata berisi pujian-pujian pada seorang wanita. Dia tak mau menjawab siapa gadis yang dia maksud. Tapi kau seharusnya melihat muka memerahnya, Hinata-sensei. Lucu sekali melihat bocah nakal seperti dia kaku seketika dan terlihat begitu tak nyaman mendengar pertanyaanku." Kurenai yang masih tertawa mengenang kejadian yang menurutnya menggelikan hanya dibalas dengan senyum kecut dari Hinata.
Pun tak beda seperti yang dilakukan Hinata ketika mendengar penuturan Deidara-sensei yang melapor padanya tentang perubahan Naruto, "Lukisannya ternyata benar-benar menakjubkan. Aku tak sadar dia sehebat itu sampai saat ini. Tapi rasanya ada yang aneh, dia hampir selalu melukis satu wanita berambut panjang yang berdiri jauh sementara ada pria lain yang hanya berdiri memandangnya. Kupikir dia sedang jatuh cinta, dan perubahannya akhir-akhir ini karena itu."
Hinata masih bisa mengingat kekehan yang dibuat Deidara-sensei saat menyampaikan kalimatnya yang terakhir.
Yang benar saja, mana mungkin Naruto jatuh cinta? Terlebih lagi padanya? Mustahil sekali, kan?
TBC
Cerita ini sudah selesai, hanya tinggal epilognya saja yang masih saya kerjakan,
mungkin akan saya up satu minggu sekali, atau seadanya waktu.
terimakasih
