upacara kedewasaan

sekaiichi hatsukoi © nakamura shungiku

saya tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini

.

.

.

Langkah berat dari seorang pemuda tertangkap oleh seekor kucing berbulu abu-abu. Kedua mata tajamnya yang berwarna gelap memperhatikan saksama penampilan sang pemuda yang cukup sering keluar-masuk di daerahnya. Kucing itu melihat bahwa pemuda itu terbalut setelan jas yang sangat pas bagaikan lapisan kulit kedua. Sepatunya yang bergaya oxford disemir hingga kilaunya memantulkan diri kucing itu dari kejauhan.

Seperti saat-saat lampau, pemuda itu selalu mendatangi tempat sang kucing beristirahat dahulu sebelum mendaki tangga kompleks apartemen 1K. Sang pemuda menghentikan langkah tepat satu kaki dari si kucing, lalu ia berjongkok serta menggapai si kucing dengan tangan besarnya. Si kucing, yang memahami gestur sopan dari sang pemuda, segera berdiri dengan keempat kakinya dan berjalan mendekati tangan yang tergapai di depannya.

Sang pemuda yang bernama Yokozawa itu menyapa kucing abu-abu itu dengan ramah. Kedua mata kelabunya menajam ketika ia berujar muram, "Seandainya kau ini manusia, aku sudah akan bertanya padamu apakah Masamune ada di kamarnya."

Kucing abu-abu itu bertindak seperti kodratnya, menikmati sapuan tangan Yokozawa yang terasa hangat.

"Apakah dia ada di kamarnya, hm?" tak mempedulikan perbedaan spesies di antara keduanya, Yokozawa tak urung bertanya juga pada si kucing abu-abu.

Tahu sang pemuda yang saat ini mengusap-usap bulu badannya seperti meminta jawaban darinya, si kucing abu-abu menyuarakan meongan.

"Dia ada di kamarnya. Mungkin tidur setelah teler baito atau teler karena mencicipi bir yang terlarang untuknya. Dasar…" Yokozawa menahan diri untuk tidak lanjut mengumpat karena ia punya kode etik untuk tidak mengatakan kata kasar di hadapan anak-anak, orang tua, dan hewan.

Seperti sudah cukup dengan urusan menyapa si kucing, Yokozawa menarik tangannya dan bangkit dari jongkoknya. Tubuh pemuda itu menjulang tinggi hingga membayangi seluruh tubuh si kucing abu-abu. Meski ukuran tubuhnya jelas besar mendominasi, sang pemuda tetap bersikap hati-hati dan tidak mengintimidasi di hadapan kucing itu. Itulah mengapa, si kucing abu-abu merespon dengan mengeong ramah tatkala sang pemuda berpamitan dengannya.

Langkah kaki Yokozawa tak lagi berat seperti tadi. Kini, kedua kakinya dipenuhi dengan tekad untuk menggedor atau menendang daun pintu kalau misalnya Takano tidak kunjung menjawab ketukan pintunya. Pemuda itu sudah mengirim chat berkali-kali, meninggalkan pesan suara, bahkan meneleponnya hingga bisa dihitung lebih dari satu tangan.

Semuanya tidak ada yang dijawab oleh Takano.

Masamune? Kau ini mati, ya?

Pikiran tentang nama temannya itu membuat emosi Yokozawa meroket oleh seribu satu alasan yang bergulung di hati.

Tanpa disadarinya, ia telah tiba di depan pintu apartemen Takano. Tidak membuang waktu, Yokozawa menggedor daun pintu itu dengan tiga gedoran yang mengundang teror bagi siapapun yang mendengarnya. Biasanya, Yokozawa akan bersikap lebih bermartabat dari yang ia lakukan saat ini, tetapi ia tak bisa menahan diri jika urusannya tentang Takano.

Beruntung, sebelum Yokozawa berpikir untuk melayangkan tendangan, daun pintu apartemen terkutuk itu berayun terbuka. Dari dalam apartemen 1K itu, Takano Masamune berdiri membuka pintu dengan penampilan yang berkebalikan 180 derajat dari Yokozawa Takafumi. Kaos putih polos berlengan panjang serta celana panjang tidur yang sedikit melorot di area panggul sedikit mengalihkan perhatian Yokozawa. Pemuda bermata coklat keemasan memelototi kawan kampusnya itu seakan Yokozawa datang saat ia sedang menunaikan kegiatan yang sangat penting. Yakni tidur.

"Selamat pagi, Tuan Putri," sapa Yokozawa dengan sikap menantang. Ia bersikap demikian agar tidak fokus pada pelorotan celana Takano. "Apakah Tuan Putri ingin dibantu untuk berdandan? Jangan-jangan Tuan Putri lupa kalau hari ini ada acara yang sangat penting?" tambahnya dengan sarkas.

Meski penampilannya seperti orang bangun tidur, kesadaran Takano sudah cukup tajam untuk membalas pertanyaan Yokozawa. "Iya, acara yang sangat penting. Yaitu tidur. Enyahlah, Yokozawa …" usir Takano dengan suaranya yang parau. Tangannya yang memegang gagang pintu langsung berayun kasar, hendak menutup lagi. Sayangnya, kaki Yokozawa bergerak lebih cepat untuk menghalangi itu.

Ekspresi Yokozawa sama sekali tak terusik meski salah satu kakinya dijepit pintu, "Aku akan pergi kalau kau sudah siap menghadiri upacara kedewasaan di balai kota."

Tangan kanan Yokozawa merogoh selembar undangan resmi dari pemerintah kota dari saku dalam jasnya. Dengan gerakan tangan setengah mengejek, ia melambaikan undangan itu di depan wajah Takano. "Tidak ingat atau pura-pura tidak ingat?" tanyanya dengan nada tajam.

Takano memutar bola matanya. Dengan jengah, ia bertukas, "Kurasa aku menghancurkan undangannya dengan paper shredder bersama brosur-brosur promo yang tidak penting ."

Yokozawa sudah tahu kalau temannya ini sering bertingkah kurang ajar, akan tetapi ia masih saja kaget bila Takano mengakui perbuatannya itu dengan tanpa beban. "Masamune! Itu undangan resmi dari walikota! Kalau kau menghancurkannya, nanti kau tidak bisa registrasi ulang!" serunya tidak percaya.

"Turunkan volume suaramu, Yokozawa! Nanti tetanggaku protes," desis Takano. Gurat wajahnya terlihat marah saat ia melanjutkan perkataan, "Aku tidak peduli dengan upacara itu. Toh, itu cuma prekursor pesta minum-minum perdana bagi yang belum pernah minum. Karena aku sudah pernah minum, tak ada alasan untukku untuk menghadirinya. Pergilah sendiri, Yokozawa. Aku mau tidur!"

Kali ini, Yokozawa mengerahkan tangannya yang tak memegang undangan untuk menahan daun pintu. Dengan keras kepala, ia takkan membiarkan Takano mengurung diri dan menyepi pada hari libur yang penting ini.

"Kau tidak mau memanfaatkan hari ini untuk berbelanja promo istimewa? Hari ini, ada banyak diskon khusus muda-mudi yang merayakan kedewasaan tahun ini. Termasuk kafe langgananmu," Yokozawa menawarkan hal yang sulit ditolak oleh mahasiswa minim dana seperti Takano.

Takano mulai tergoda, tetapi ia terlalu gengsi untuk mengakuinya. Alih-alih menjawab langsung, ia memilih jalan berputar, "Kopi kesukaanku adalah kopi hitam. Tidak ada gunanya membeli kopi hitam diskon karena aku tahu rasanya bakal lebih encer daripada kopi hitam harga asli." Tangan Takano yang mencengkram gagang pintu ia tarik kuat, sengaja menantang kekuatan Yokozawa secara terbuka.

"Baiklah!" Yokozawa tidak bisa berkutik kalau Takano memberikan alasan sevalid itu. Ia harus menggunakan taktik berikutnya. "Bagaimana kalau kuberitahu kalau toko pakan kucing eksklusif yang dahulu kau ceritakan juga mengadakan diskon seijin no hi? Aku tak peduli kalau kau membuat dirimu busung lapar, tapi jangan kau biarkan Sorata sama-sama menderita bersamamu. Kalau kau adalah majikan yang baik, belilah pakan di sana supaya Sorata bisa perbaikan gizi!"

Tawaran kedua tersebut membuat Takano melepaskan cengkraman dari gagang pintu. Ia mungkin bukan manusia berbudi luhur kepada sesamanya, tetapi ia bersumpah akan menjadi majikan terbaik yang Sorata miliki. Apalagi, beberapa minggu ini Takano merasa telah mengabaikan kebutuhan kucing peliharaannya. Barangkali, ia bisa menggunakan promo diskon yang ditawarkan Yokozawa untuk menebus kesalahannya kepada Sorata.

Merasakan gelagat temannya yang akhirnya mengalah, dengan kekuatan penuh Yokozawa menerobos masuk ke dalam apartemen Takano. Mengabaikan Takano yang masih berada di genkan, Yokozawa langsung melayangkan perintah seperti seorang ibu yang mengultimatum anaknya untuk pergi menemani berbelanja. "Mandi dan bersiap-siap dengan setelan jasmu. Kita akan berangkat ke sana."

Melihat Yokozawa yang langsung melesat ke arah lemari pakaiannya, Takano pun menunjuk lokasi setelan jasnya sebelum lemarinya diringsek oleh temannya. Yokozawa menuruti petunjuk Takano, menemukan setelan jas berwarna senada dengan miliknya tergantung di pojok lemari, dan langsung melemparnya ke arah ranjang. "Kau pakai itu," perintahnya dingin.

Menyadari betapa seriusnya Yokozawa bila tak lagi memanggilnya dengan nama panggilan, dengan buru-buru Takano mematuhi perintahnya. Namun, sebelum kakinya menginjak lantai kamar mandi, ia segera menanyakan sesuatu, "Apakah kita tetap harus datang ke balai kota?"

Tanpa diduga, Yokozawa justru bertanya balik, "Apa kau mau ke sana?"

Takano menggelengkan kepala, "Tadi aku bilang kalau aku tidak mau, 'kan? Masih tidak mau."

Yokozawa menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Kalau ia tidak salah, perayaan upacara kedewasaan bukanlah sesuatu yang wajib dihadiri. Itu artinya, tidak akan ada penalti yang menghantui mereka berdua kalau absen pada upacara nanti.

"Kalau begitu, kita tetap akan mengenakan setelan jas. Supaya karyawan toko pakan itu mengira kita datang sehabis upacara. Selain itu, waktu upacaranya baru akan selesai tiga jam lagi, sehingga kita baru bisa datang ke sana kurang lebih tiga jam lagi. Kita akan beli sarapan dulu. Kali ini, kau yang traktir," titah Yokozawa tanpa ampun sambil mengacungkan jari telunjuk tepat ke arah hidung Takano.

Sama sekali tidak terintimidasi oleh sikap Yokozawa, dengan berani Takano menyeringai lebar. Wajahnya yang kuyu karena dibangunkan sebrutal itu menjadi cerah.

"Terima kasih, Yokozawa. Kau benar-benar ibu yang baik," goda Takano dengan sengaja.

Tawa renyah dari seorang pemuda di apartemen 1K yang sempit itu berkumandang, diikuti oleh lemparan botol toner yang melayang dari tangan pengunjung apartemen itu.