percakapan singkat
emma © kaoru mori
saya tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini
.
.
.
Stevens membuka daun pintu ruang kerja Tuan Besar Jones dengan lebar, mempersilakan Nyonya Besar Jones melewatinya dengan sikap penuh hormat. Sang nyonya besar, Aurelia, membalas sikap Stevens, kepala pelayan sekaligus sekretaris pribadi suaminya, dengan senyum penuh penghargaan. Aurelia melangkah pergi meninggalkan ruang kerja sang suami untuk segera memanggil anak-anaknya.
Pagi ini, Aurelia ingin mengajak semua putra-putrinya untuk jalan-jalan di pusat kota. Setelah hampir sedekade tak pernah menginjakkan kaki di London, tentu saja ada banyak sekali perubahan yang terjadi pada kota itu. Meski ibukota bukanlah tempat favorit sang wanita, ibukota adalah satu-satunya kesamaan antara dirinya dan anak-anak. Kelima keturunannya lahir di London dan secara eksklusif dibesarkan di kota tersebut. Itulah mengapa, ia sengaja mengajak anak-anak untuk memandunya berkeliling di pusat kota.
Setelah berpamitan pada suaminya, kini ia berjalan di tengah koridor untuk mencari tahu apakah anak-anak sudah berdandan dan siap berangkat. Dengan jumlah anak yang cukup banyak, Aurelia harus mengatur segalanya dengan rapi agar kelima anaknya bisa ikut semua. Beruntung bagi Aurelia, saat ini mayoritas anak-anaknya sudah besar dan bisa kooperatif, membuat wanita itu yakin kalau semuanya bisa ikut.
Kecuali kalau mereka sudah punya janji yang telah mendahului.
Atau menghilang tak menampakkan batang hidung sejak kemarin.
Aurelia hanya bisa menggelengkan kepala dengan pelan tentang situasi anak-anaknya. Lebih spesifiknya, tentang situasi putra tertuanya.
Saat ia berada di ruang kerja Richard, Stevens datang ke sana untuk mengabarkan kepulangan William setelah seharian lebih menghilang entah ke mana. Setelah mendengar pengumuman itu, Aurelia berhasil mencegah Richard untuk berderap ke kamar William untuk menginterogasi anak itu.
Menurut sang suami, kepergian William kemarin seakan telah diatur agar ia tak perlu menghadiri acara makan malam dengan kedua calon mertuanya. Tentu saja, dengan calon mertua dengan kelas tinggi seperti Viscount Campbell dan Viscountess Campbell, absennya William pada acara semalam dapat dinilai sebagai tindakan kurang ajar. Karena itu, Richard tak sabar untuk menginterogasi, menegur, dan memerintahnya untuk tidak mengulangi hal itu lagi.
Aurelia memang sama-sama merasa kecewa dengan sikap kurang ajar putranya, tetapi ia merasa punya cara yang lebih baik untuk melakukannya. Mengetahui temperamen putranya yang akan menyerang balik bila diinterogasi, akan lebih baik bila William didekati dengan cara yang lebih lembut.
Itulah mengapa, anak pertama yang akan ia cek kesiapannya adalah putra sulungnya, William.
Wanita itu mengetuk pintu kayu ek tebal yang menjadi pintu kamar sang putra. Dengan lembut ia meminta izin si empunya kamar agar bisa masuk.
"Silakan masuk, Ibu," samar-samar ia mendengar suara William memberikan izinnya. Aurelia segera membuka pintu kamar. Di dalam kamar itu, tersaji pemandangan putranya yang baru sibuk mengancingkan rompi jas. Rambut pirang pemuda itu masih berantakkan, anak poninya masih terlihat basah dan menggantung di atas dahi.
"Habis mandi, William?" Aurelia membuka percakapan dengan nada keibuan. Ia masih tak percaya kalau putra sulung yang ia titipkan tanggung jawab menjaga adik-adiknya telah tumbuh besar menjadi sosok yang begitu tinggi dan sangat tampan. Tak hanya itu, William juga memiliki kharisma yang mengingatkan Aurelia pada hari di mana ia bertemu dengan ayah anak itu; setiap kali William datang ke suatu ruangan, ia selalu menarik perhatian semua orang di ruangan itu.
Tidak heran kalau ada banyak perempuan muda tergila-gila pada putra pertama keluarga Jones tersebut. Meski Aurelia posisinya jauh di utara Inggris sana, ia tahu betul reputasi pesona William. Terutama karena wanita itu mengenal dua perempuan muda yang sama-sama mencintai putranya.
"Ah," kedua mata William seakan enggan bertemu tatap dengan mata ibunya. Anak itu terlihat sedang menyembunyikan sesuatu. "Aku sudah mandi di rumah … kolegaku, tetapi setelah sampai sini, rasanya jadi ingin mandi lagi."
Dengan bijak, Aurelia tidak mengorek lebih lanjut. Ia hanya perlu melakukan apa yang dilakukan sebagai ibu. "Itu karena kau tidak membawa baju ganti saat pergi mendadak dan menginap di rumah kolega bisnismu, bukan? Padahal semalam kau dicari Lady Campbell," tutur Aurelia sembari mengutarakan teguran halus.
William mungkin bisa lancar berbohong di depan adik-adiknya, tetapi ia jelas tak bisa melakukannya di depan ibunya. Apalagi karena sang ibu mengetahui rahasia terbesarnya.
Merasa tak ada gunanya menutupi, dengan hati-hati William menjawab, "Maafkan aku, Ibu. Kemarin aku ke Haworth dan perbincangan dengan kolegaku sangat … menarik, sehingga mereka menawariku menginap semalam."
Sebelum Aurelia sempat bereaksi, William buru-buru menambahkan, "Aku akan menulis surat permohonan maaf kepada Lady Campbell segera." Setelah berkata demikian, pemuda itu langsung menyelesaikan proses mengancing rompi, kemudian menyibukkan diri dengan memasang cufflink di pergelangan tangan.
Wanita paruh baya itu sangat tahu kalau koneksi William di Haworth hanya ada dua di sana. Jika yang satu, yakni dirinya, tidak perlu ditemui sejauh itu hingga harus menaiki kereta pagi dan repot-repot menginap, maka William pasti menemui yang satunya lagi.
Ternyata, putranya sangat serius untuk menjalin lagi hubungan yang sempat terputus dengan dia.
Aurelia dan Richard tahu kalau hati William tidak berlabuh kepada calon tunangannya, Eleanor Campbell. Putranya itu digiring menjadi pasangan Nona Campbell karena tekanan keadaan. Richard berpikir bahwa kehidupan pernikahan akan membuat karakter William menjadi mapan, maka sang kepala keluarga Jones bersikeras menjodohkan putranya, yang telah ia didik mati-matian sebagai seorang gentleman, untuk menjadi lelaki yang pantas menikahi seorang perempuan bangsawan.
Yang Richard sepertinya lupakan adalah: di sisi lain, William juga bersikeras untuk menyeimbangkan tanggung jawab sebagai penerus keluarga sekaligus mempertahankan dia sebagai pendampingnya. Entah itu dalam diamnya, di dalam hatinya, atau seperti (yang mungkin) saat ini sedang William lakukan, dalam perbuatan.
Aurelia tahu bahwa ia akan menyerahkan keputusan final di tangan William. Anak itu sudah dewasa dan bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Selaras dengan keinginan Richard, Aurelia juga yakin bahwa kehidupan pernikahan akan menegakkan kedewasaan dalam diri William. Hanya saja, Aurelia berharap lebih bahwa putra sulungnya bisa berbahagia dalam prosesnya. Jika kebahagiaan tersebut diraih dengan memilih dia, maka ia akan mengizinkan hal itu terjadi.
Ia mengizinkan hal itu terjadi karena wanita itu tahu pengaruh positif dari kehadiran dia pada hidup William.
Menata ekspresi wajahnya agar terlihat tenang, Aurelia pun menasihati, "Kalau begitu, bereskan apa yang seharusnya kau bereskan, William." Setelah mengatakan hal itu, wanita itu mengatakan kalimat tambahan, "Itu berarti, kau tidak bisa Ibu ajak jalan-jalan bersama adik-adikmu," simpul Aurelia ringan.
"Ibu mau jalan-jalan bersama mereka?" ulang William. Parasnya mendadak cerah seperti baru saja mengingat sesuatu. "Wah, mereka semua akan senang sekali. Terutama Vivian. Kusarankan Ibu mengajaknya ke Harrods, dia sudah beberapa kali merengek padaku untuk melihat Harrods yang baru saja selesai renovasi."
"Terima kasih atas sarannya, William." Aurelia berjalan mendekati sang putra, kemudian berhenti ketika sudah berdiri cukup dekat. Tahu dengan apa yang hendak sang ibu lakukan, William merendahkan tubuh agar pipinya bisa dicium oleh Aurelia.
Mendaratkan kecupan penuh sayang pada pipi sang putra, Aurelia bisa mencium harum krim cukur yang berpadu dengan sabun dan aroma khas putranya. Aroma seorang lelaki dewasa yang hendak melangkah ke jenjang kehidupan berikutnya.
Tangan kanan Aurelia meraih pucuk rambut pirang William, menyisir rambut dan kulit kepala dengan afeksi yang kuat. Dalam hati, wanita paruh baya itu begitu senang, karena William yang hampir berusia seperempat abad masih bersedia menerima gestur kasih sayangnya dengan terbuka.
Bahkan di tengah tempaan kehidupan dewasa, putranya ini masih begitu penuh cinta.
Mengantarkan ibunya ke pintu kamarnya, William menyatakan rasa sesalnya, "Kapan-kapan aku ikut bergabung sama kalian semua. Seperti nasihat Ibu, aku harus mengurusi hal yang harus kubereskan."
Kedua mata hijau Aurelia mengunci milik Wiliiam yang serupa dengan miliknya. Ada api tekad membara di sana.
"Semoga sukses, Nak," pamit Aurelia memberikan dukungan. Setelah itu, wanita paruh baya itu meninggalkan putranya. Tujuan berikutnya adalah mendatangi Grace. Ia tahu kalau putrinya tadi berinisiatif mengadakan jamuan teh sederhana bersama adik-adiknya di ruang keluarga, sehingga Aurelia akan turun menuju ke sana.
Menunggu hingga sang ibu telah menghilang dari pandangan, barulah William kembali ke dalam kamarnya. Nasihat ibunya terngiang-ngiang di kepala, mengingatkannya bahwa ia harus segera mengirim surat seperti yang dijanjikan tadi.
Hanya saja, surat tersebut berganti alamat. Bukan kepada Lady Campbell, tetapi kepada Nona Campbell.
