Boboiboy Fanfiction proudly present

"BINTANG"

a oneshoot story by Aprilia Hidayatul

Genre : Family Hurt Comfort


Luar angkasa begitu menakjubkan untuk dipandang apabila malam tiba. Hamparan luas kanvas hitam kebiruan itu tampak ramai dengan taburan kelap-kelip bintang membentuk konstelasi. Terlebih jika keberuntungan sedang berpihak, mungkin dapat melihat hujan meteor yang indah.

Ah, berbicara tentang bintang dan luar angkasa ia teringat pada satu sosok. Sang Astrophile dengan kecintaannya akan segala hal berbau astronomi dibalik sikap cueknya. Dia akan berceloteh tentang ledakan besar ketika bintang telah tua yang disebut Supernova, kabut bersinar di langit cerah bernama galaksi atau paling nyeleneh dia pernah percaya jika makhluk luar angkasa itu ada.

Akan tetapi, semua itu merupakan perkataannya ketika kecil dulu. Karena itu pula dia selalu menambah pengetahuannya akan astronomi. Tiada hari tanpa tidak berceloteh soal benda langit hingga terkadang membuat para saudaranya muak. Namun, tak ada yang berani menegur.

Kapan lagi bungsu dari tujuh bersaudara itu banyak bicara?

Jika tidak salah ingat, ia pernah berkata perihal salah satu rasi bintang paling disukai. Ketika malam tiba akan segera berlari keluar tanpa peduli angin malam menerpanya. Yang pasti, pesona pemandangan di atas sana jauh lebih menarik baginya. Dengan semangat membara telunjuknya terangkat dan tetuju pada satu arah. Mereka semua ikut melihat hal apa yang begitu menaeik perhatiannya.

"Kak, lihat! Itu bintang paling dekat dengan Tata Surya kita bernama Alpha Centauri!" katanya semangat. Ia kemudian melihat rasi bintang lain. "Wow rasi bintang Scorpion memang tidak pernah tidak indah. Setiap malam cerah selalu terlihat paling dekat. Aku bahkan merasa dapat meraihnya," lanjutnya.

Sang kakak tertawa kecil. "Itu tidak mungkin, Solar."

"Kan hanya merasa saja, Kak Hali. Lagi pula jarak mereka sebenarnya saling berjauhan, bahkan ada yang sampai ratusan juta tahun cahaya untuk ditempuh manusia. Meskipun aku yakin itu tidak mungkin dilakukan. Tapi, aku suka kalau sudah berbicara tentang mereka, Kak." Solar kembali memakukan atensinya pada langit. Manik perak dibalik kacamata itu berbinar seakan ada harsa terpancar di sana.

Halilintar memerhatikan raut bahagia sang adik. Kedua sudut bibirnya tertarik hingga kurva kecil timbul di sana. Kemudian, ia ikut memandang langit yang sama dan ikut memerhatikan.

Ternyata benar perkataan Solar. Warna hitam legam tidak selamanya tanpa arti, kini netra delimanya dimanjakan kerlipan dari taburan bintang bersama sang Chandra yang menjadi penguasa malam. Untuk kali ini, pemahamannya sama dengan Solar. Tak heran juga kenapa adiknya sesenang itu.

"Tapi, Kak Hali. Ada satu rasi bintang yang sangat aku sukai?" Solar kini menghadapkan seluruh tubuhnya pada sang Kakak.

"Apa?" tanya Halilintar tenang.

Entah penglihatannya yang salah atau memang binar dari manik perak itu sedikit meredup? Baru saja akan bertanya memastikan, suara Solar kembali menginterupsi.

"Kalau Kakak melihat ke arah langit Utara, kamu akan menemukan satu rasi bintang yang unik. Biasanya sering digunakan sebagai penunjuk arah ketika malam. Namanya rasi bintang Ursa Minor."

Keduanya kembali memandang pada bumantara hitam kebiruan. Solar masih lanjut berkisah tentang sang Ursa Minornya.

"Ursa Minor itu salah satu rasi yang dibentuk oleh tujuh bintang. Di antara ketujuhnya ada satu yang amat terang seakan menjadi pemimpin bagi lainnya. Ia disebut bintang Polaris," tutur Solar.

"Polaris juga dikenal sebagai bintang yang tak pernah terbit atau pun tenggelam. Karena letaknya berada tepat pada poros bumi. Di mana ketika bumi berotasi tak berpengaruh sama sekali."

Halilintar pernah dengar itu dari tontonannya ketika membuka salah satu channel YouTube. Meski penjelasan dari sana cukup dipahami, tetapi Halilintar lebih senang jika Solar yang berkisah.

"Namun, bukan itu maksud dari penjelasanku."

"Lalu, apa?" Halilintar penasaran. Binar sendu dari netra adiknya kembali terbayang di kepala.

"Ursa Minor itu adalah kita. Tujuh bintang itu adalah kita saling bergandengan yang tidak akan pernah dilepaskan. Lalu, Polaris itu adalah Kakak."

Halilintar tertegun. Ia bukan hanya tersentuh pada setiap prasa yang dilontarkan sang adik. Tetapi juga pada sebutan tujuh bintang. Itu adalah analogi tentang mereka berdua bersama ... lima adiknya.

Rentetan kenangan muncul silih berganti di kepalanya bak kaset rusak. Dari tawa ceria Taufan, senyuman dan wajah lelah Gempa, teriakan semangat Blaze, Ais yang tertidur sembari dengan boneka paus dalam dekapannya serta tingkah kekanakan dari Duri. Segalanya tampak sangat indah hingga kobaran api meluap-luap menggantikan.

Jelas sekali dalam ingatannya ketika bus yang membawa kelima saudaranya meledak karena kebocoran tangki bahan bakar. Saat itu, Halilintar dan Solar terpaksa berada di bus berbeda ketika akan melakukan perjalanan wisata. Namun, siapa yang tahu jika kejadian mengerikan itu justru menimpa mereka berlima.

Dan apa yang ia lakukan saat itu? Ia merasa seluruh tenaganya tersedot dengan paksa. Tubuhnya meluruh jatuh ke bawah. Ia berteriak sekuat tenaga berharap jika mereka masih dapat diselamatkan. Tidak mungkin ada yang selamat dari ledakan serta kobaran api sebesar itu. Namun, salahkan ia berandai?

Ia dan adik bungsunya menjadi saksi di mana kehilangan berlangsung tepat di depan mata. Tak pernah ia bayangkan jika lima saudaranya direnggut dalam satu waktu yang sama. Sejak hari itu, Halilintar telah kehilangan sebagian besar jiwanya.

Kemurungan terus mendera hingga ia hampir melupakan keberadaan Solar jika saja adiknya itu tak menghampirinya di kamar. Kemudian tanpa aba-aba sebuah kepalan tangan mendarat keras pada pipinya.

Itu tidak sakit. Sungguh. Karena yang lebih sakit adalah ketika melihat Solar yang membentaknya keras bersama air mata bercucuran di wajahnya.

"KAKAK BODOH! KAKAK SIALAN! KAKAK BAJINGAN!"

"BUKAN HANYA KAMU YANG MERASA SEDIH, SIALAN! AKU JUGA! KAK OCHO SAMA! TAPI KENAPA KAMU MALAH NAMABAHIN!"

"JANGAN BIKIN YANG LAIN CEMAS HANYA KARENA KAMU LAGI TERPURUK, KAK!"

"KAKAK JANGAN TERUS-TERUSAN BEGINI! MEREKA YANG SUDAH BERADA DI ATAS SANA NGGAK AKAN SUKA!"

Halilintar tak bersuara selama adiknya itu memarahi, memaki bahkan sesekali kembali melepaskan satu pukulan telak pada wajahnya. Sampai akhirnya tubuh ringkih itu perlahan bangkit, lalu tangannya bergerak merengkuh tubuh adiknya masuk ke dalam dekapannya.

Solar masih berusaha untuk tetap meninju, pelan dan tak bertenaga. Ia sudah lelah menangis sambil berteriak. Kini, seluruh air matanya tumpah dalam dekapan sang kakak. Menumpahkan segala emosinya yang dipendam.

Gemetaran. Itulah yang dirasakan Halilintar saat mengelus punggung rapuh Solar.

"Maaf."

"Kenapa aku punya kakak sulung sebodoh ini..."

"Iya, aku memang bodoh."

"Kak Hali harus ingat. Mereka nggak pergi, Kak. Mereka masih bersama kita. Coba sekali saja keluar rumah terus pandangi langit malam. Mereka ada di atas sana, setiap malam."

"Kakak mengerti."

"Kanvas hitam itu bukan berarti tak indah. Kakak hanya kurang sadar saja ..."

Suaranya terdengar serak, tetapi Halilintar dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Solar.

"Iya, Kakak tahu. Kakak minta maaf," bisik Halilintar pelan.

"Kak Hali, kenapa kau menangis?"

Pertanyaan Solar menyadarkan kembali Halilintar dari kenangan pahit dalam kepalanya. Kepalanya ditolehkan pada sang adik yang kini melihat ke arahnya. Netra perak dibalik kacamata itu terlihat cemas.

"Aku apa? Menangis?" Tangan kanan terangkat menyentuh pipi. Benar saja, terasa hangat dan basah. Itu air mata.

Solar mengangguk. "Kamu mikirin apaan sih sampai menangis begitu, Kak?"

Sembari mengusap air mata di wajahnya, Halilintar membalas. "Bukan apa-apa. Hanya kenangan pahit tentang kejadian lampau."

"Sudah kubilang jangan sering dipikirkan. Ingatlah kalau mereka masih bersama kita kok. Kanvas-"

"-Kanvas hitam bukan berarti tak indah, hanya saja tidak sadar saat kerlipan bintang di atas sana. Mereka ada bersama kita menjadi bintang di langit yang setiap malam. Itukan yang ingin kamu katakan?" potong Halilintar saat melihat wajah sebal Solar.

Bibir Solar dicemberutkan. "Seenaknya banget motong omongan orang." Lalu, raut wajahnya normal kembali dan kini matanya memandang ke atas langit lagi. "Benar, mereka tetap ada di dalam hati dan tak pernah pergi meninggalkan kita. Itu juga alasan kenapa aku sesuka itu dengan bintang. Mengingatkan bahwa aku selalu bersama mereka," tukasnya.

Kejadian lampau itu mungkin menyakitkan. Tetapi, Halilintar tidak bisa terus-terusan jatuh dalam kubangan keterpurukan. Ia masih punya adik bungsunya yang harus diperhatikan. Juga, mengenang tentang semua saudaranya dengan menatap bintang setiap malam.

Agaknya ia akan menjadi penyuka astronomi seperti Solar kalau begini jadinya. Tapi, ia tidak menyesal.

"Solar."

"Apa?"

"Kamu jangan tinggalin Kakak ya?"

Solar menatap Halilintar aneh. Namun, ia tetap menjawab. "Tentu saja."

Dan Halilintar berharap jika itu memang benar.

•••

Tiga hari kemdian.

"Kakak, aku pamit keluar dulu. Pinjam motor ya!" Solar berteriak dari pintu depan rumah sambil menjepit roti bakar di antara mulutnya.

"Mau ke mana!?" Halilintar berteriak dari arah dapur.

"Ada keperluan sebentar! Gak lama kok! Assalamualaikum!"

"Oke! Wa'alaikumussalam!"

Setelah itu, terdengar deru mesin motor dinyalakan dan perlahan menghilang. Halilintar menaruh pisau yang digunakan untuk memotong sayuran. Ia memasukkan sayuran tersebut ke dalam wadah dan bersiap untuk memasak.

Hingga tak berapa lama kemudian suara dering dari telepon rumah berbunyi. Halilintar bergegas meninggalkan dapur menuju ruang keluarga. Tanpa berpikir lagi, ia segera menerima panggilan tersebut.

"Halo?"

"Apakah benar ini dengan kediaman keluarga mendiang Amato?" Suara pria dewasa memasuki rungunya. Seketika hal tersebut memunculkan kerutan di kening Halilintar.

"Iya, benar."

"Kami ingin mengabarkan bahwa saudara bernama Boboiboy Solar mengalami kecelakaan lalulintas. Saat ini sedang dilarikan—"

Dugh!

Telepon itu terjatuh ke atas lantai, membuat orang di seberang sana berbicara beberapa karena cemas. Namun, sama sekali tak terdengar oleh sosok yang kini berdiri mematung. Tubuhnya membeku. Netra delima itu membulat tak percaya.

"Solar ... tidak!"

Halilintar segera mengambil kunci mobil dan berlari ke garasi. Ia masuk ke dalam mobil kemudian menjalankannya dengan kecepatan tinggi tanpa peduli pada apa pun selain memastikan keadaan sang adik. Sepanjang perjalanan bibirnya tanpa henti menggunakan kalimat yang sama.

"Solar baik-baik saja. Solar baik-baik saja. Dia tidak mungkin meninggalkan gue sendirian."

Namun, kenyataannya apa? Yang netranya lihat ketika tiba di rumah sakit adalah tubuh seseorang sudah terbujur kaku di atas kasur rumah sakit dengan selembar kain putih menutup seluruhnya dari kepala hingga ujung kaki. Halilintar membeku. Ia kembali merasa jika seluruh jiwanya seakan tertarik keluar untuk kedua kalinya.

Kedua kakinya melangkah perlahan pada sosok yang terbaring di sana. Tak ada binar dari iris merah itu. Ia terlalu syok hingga tidak sadar jika air mata telah menuruni pipinya. Tatapan matanya sangat kosong. Ketika tiba di sana, kedua tangannya bergerak membuka kain dengan harapan jika bukan sang adik yang ada di sana.

Namun, lagi-lagi itu mimpi belaka. Di depan matanya jelas sekali wajah itu meski pucat, tetapi serupa dengannya. Halilintar kenal betul jika yang ada di depannya adalah figur wajah Solar. Pakaian yang dikenakan juga sama dengan yang Solar kenakan ketika berpamitan padanya tadi pagi.

Halilintar meremas ujung kain putih itu. "Ini keperluan yang kamu maksud itu, Solar? Pergi meninggalkan Kakak sendirian demi bertemu mereka ya. Kamu kejam sekali. Padahal, tadi pamit hanya sebentar. Kenapa sekarang malah bakalan lama? Tega sekali kamu membiarkan Kakak sendirian."

"Ini hukuman karena Kakak itu sering marah padamu, kah? Kalau iya, Kakak minta maaf. Itu bukan berarti Kakak benci padamu atau yang lainnya. Tapi, Kakak sulit mengekspresikan rasa sayang Kakak ke kalian. Sebenci itukah kamu?"

Suara Halilintar berbisik serak. Jemarinya mengelus pelan rambut halus di kening Solar, lalu ia membungkukkan tubuh. Sebuah kecupan dibubuhkan pada kening sang adik.

"Tapi, Kakak sudah nggak bisa marah ke kamu atau melarang apa pun lagi. Jadi, tolong sampaikan maaf ke mereka dan tunggu hingga kita semua berkumpul kembali di sana ya."

Ada yang datang, ada pula yang pergi.

Datang membawa keramaian. Ketika pergi meninggalkan kenangan tak terlupakan.

Malam itu, bumantara sang malam begitu cerah. Kelap-kelip bintang di atas sana meramaikan kanvas hitam kebiruan. Masih sama seperti malam lainnya. Hanya saja, kini sedikit perbedaan ada padanya. Ia tak lagi ditemani sang Astrophile. Tak ada lagi suara berceloteh tentang ruang angkasa atau pun sifat songong yang entah kenapa dirindukan.

Manik delima itu menatap ke atas langit. Di mana sang Chandra bersinar terang bagaimana penguasa malam. Sinarnya terpantul dari bola mata itu. Membuatnya semakin cantik.

"Bintang di langit memang seindah itu ya. Mereka banyak bertebaran, bahkan sang Chandra bersinar terang." Telunjuk kanannya terangkat menunjuk pada satu bintang. "Ah? Apakah itu bintang Alpha Centauri? Ternyata memang sangat dekat jaraknya bahkan paling bersinar terang."

Jemarinya berpindah arah tunjukkan. "Itu rasi bintang sang pemanah Sagitarius, lalu rasi bintang Scorpion si Kalajengking. Dan apakah aku baru sadar jika di sana ada rasi bintang biduk? Ei ternyata memang banyak. Tapi, rasi Ursa Minor masih jadi yang terbaik. Katamu gugusan bintang itu adalah penggambaran dari kita karena jumlahnya ada tujuh. Lalu, Polaris bintang paling bersinar, kan?"

Tanpa di sadari, bulir bening hangat mengalir dari pipinya kemudian jatuh dari atas dagu.

"Kalian ada di sana ya. Tolong tunggu aku sampai kita bersama lagi."

Sang Polaris itu duduk di atas hamparan rumput hijau seraya memejamkan mata. Kini ia menikmati belaian lembut angin malam. Membiarkan rambut hitam lebatnya bergoyang pelan mengikuti ke mana arah angin bergerak.

Polaris itu menunggu. Ia menunggu dengan damai sembari membayangkan mereka yang telah pergi. Namun, bukan berarti meninggalkan dirinya.

Mereka masih ada di sini. Hidup di dalam hati bersama bintang di atas langit malam hingga akhir hayatnya tiba.

•••

Selesai.

Astrophile : sebutan untuk seseorang yang menyukai hal-hal mengenai astronomi.

Ini pertama kalinya membuat oneshoot. Jadi, mohon maaf kalau semisalnya agak aneh atau rancu. Selain itu, maaf juga dalam PUEBI nya. Entah kenapa rasanya aneh. Mungkin karena kekurangan bacaan juga.

Btw, boleh mampir juga ke cerita aku lainnya di akun ini. Semoga menghibur