"Lo udah gila, ya?!"

Yaya menghela napas begitu panjang. Ia terduduk lemas di kursi taman, tempat yang Ying pilih setelah menariknya paksa pergi seperti pelaku pencurian. Di depannya Ying sudah siap mengeluarkan semua amarahnya yang sudah tak bisa lagi ditahan.

"Gue nggak habis pikir sama lo asli!" oceh Ying memulai omelannya. Yaya diam di tempatnya seolah pasrah dengan semua makian Ying untuknya.

"Yaya, woi! Lo ga kerasukan, 'kan?" tanya Ying karena bingung melihat sahabatnya yang malah menatap kosong ke depan.

"Ying..." panggil Yaya pelan.

Dengan cepat Ying duduk di samping Yaya, menghadap pada cewek itu dengan tatapan serius.

"Strawberry smoothies gue belum gue minum sama sekali..." ujar Yaya, kemudian ekspresinya berubah sedih seperti anak kecil.

Tentu saja itu menambah emosi Ying. Jika saja Yaya bukan temannya, Ying bersumpah sudah melemparnya ke jurang.

"Lo bener-bener ya!" seru Ying sebal. Bagaimana bisa cewek di sebelahnya ini malah memikirkan minuman setelah menjatuhkan harga dirinya barusan? "Yaya, sadar bego! Lo barusan mohon-mohon sama Boboiboy! Lo amnesia apa gimana, sih?!" cerocos Ying gregetan.

Yaya tak menanggapi ucapannya dan terus melamun. Karena sudah lelah, Ying akhirnya ikut diam sambil meredakan emosinya. Sungguh, ia tak mengerti apa yang ada di pikiran Yaya. Ying tahu cewek itu sedang berusaha mencari tahu teka-teki tentang seseorang yang pernah menjadi tutornya. Tapi Ying benar-benar tak menyangka Yaya akan sebodoh ini.

"Gue nggak akan nyerah, Ying." celutuk Yaya tiba-tiba.

Ying mengangkat alisnya. Cewek yang sudah menjadi sahabatnya dari SMP itu menghadap ke arahnya, tatapannya yang sendu sudah terbang entah kemana dan digantikan dengan tatapan penuh keyakinan.

"Gue harus berhasil ngebujuk dia ikut olimpiade, biar gue punya banyak kesempatan buat terus deketin dia. Sekalipun gue harus sujud di depannya."

"Udah ga beres nih anak." gumam Ying seraya geleng-geleng kepala.

Yaya menoleh padanya dengan dramatis. "Ini satu-satunya cara, Ying. Gue yakin Boboiboy adalah orang yang gue cari."

Tiba-tiba saja Yaya menggenggam tangannya dengan kuat. Ying seketika kaget, ia berusaha melepaskan genggaman tangan Yaya tapi Yaya menahannya.

"Lo harus bantuin gue. Ya? Pleasee," pintanya dengan puppy eyes.

Ying menghela napas gusar. "Lo tuh–"

"Please, my friend! Lo tau 'kan udah sefrustasi apa gue cari tahu semua ini? Apalagi tadi gue liat secara langsung kalung itu..."

Mendengar keluhan Yaya membuat Ying membelalakkan matanya. "Tadi lo ngomong apa?"

"Apa?" tanya Yaya bingung. "Gue frustasi?"

"Bukan!" balas Ying gemas. "Sesudahnya!"

Yaya ngelag sebentar sebelum tersadar kembali. "Oh, kalung Boboiboy?"

Ying mengangguk cepat. "Lo beneran liat tadi?"

"Iya. Nggak terlalu jelas, sih." jawab Yaya ragu. "Tapi gue yakin banget bandul kalung itu sama persis punya gue."

"Jadi... beneran Boboiboy orangnya?"

Yaya mengangkat bahunya. Keduanya terdiam dengan praduga di pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Yaya kembali bersuara.

"Makanya, gue harus cari tau lagi tentang itu."

.


.

Boboiboy memarkirkan vespanya di parkiran sekolah yang sudah hampir penuh. Lima menit lagi bel berbunyi, cowok itu dengan segera melepas helm dari kepalanya. Langkahnya yang lebar melewati koridor-koridor sekolah yang sangat ramai oleh siswa. Tak butuh waktu lama, ia sudah tiba di kelas dan menemukan kedua temannya melambaikan tangan untuknya.

"Oi! Sore basket yok? Di rumah gue." ucap Fang.

Boboiboy mengangguk setuju sambil menaruh tasnya di kursi. "Boleh."

"Bola sepak aja, kek. Gue kan gabisa main basket anjir." protes Gopal. Wajahnya merengut kesal karena Fang tak mau mendengarkannya sedari tadi.

"Dih. Siapa juga yang ngajak lo? Gue mau latihan sekalian, bentar lagi kan turnamen." sela Fang.

Gopal mencibir kesal. Boboiboy yang menontonnya terkekeh geli. Sebagai anggota ekskul basket, Fang memang ditunjuk menjadi tim perwakilan sekolah untuk turnamen antar sekolah yang akan diadakan sebentar lagi. Karena terbatasnya waktu latihan di sekolah, Fang sengaja mengajak Boboiboy untuk membantunya latihan. Meski tidak terlalu jago bermain basket, namun Boboiboy masih dapat dikatakan bisa menguasainya.

"Lo masih inget 'kan cara mainnya?" tanya Fang kemudian.

Boboiboy mengangguk. "Dikit, sih. Udah lama juga gue ga main basket."

"Bisa lah lo mah. Lo apa sih yang nggak bisa?" balas Gopal enteng. Boboiboy memutar matanya malas.

"Eh, ada! Dia gabisa pacaran sama cewek, ya 'kan?" celetuk Fang.

"Anjir lo!" semprot Boboiboy.

Gopal tertawa. "Oiya, hahaha! Lupa gue. Lo 'kan dari dulu gapernah pacaran!"

"Hahaha, bener! Sama cewek aja cuek, gimana mau pacaran?"

"WOI!"

Gopal dan Fang terbahak puas. Boboiboy merengut kesal, tahu semakin ia protes maka semakin besar tawa keduanya terdengar. Ia memilih diam membiarkan dua setan itu puas tertawa, meski memang fakta itu sedikit membuatnya gondok karna 100% benar. Kalau dirinya belum pernah pacaran.

"Seenggaknya gue lebih baik dari lo yang berkali-kali nembak cewek tapi ditolak terus." balas Boboiboy telak pada Gopal yang seketika menghentikan tawanya. "Dan lo yang gonta-ganti cewek tiap bulan dengan pesona lo yang tai ayam itu." ucapnya pada Fang.

"Si anjir."

Boboiboy hanya memasang wajah tanpa dosa. Memangnya kenapa kalau ia sama sekali belum pacaran? Apakah itu suatu dosa yang besar? Tidak juga, 'kan?

"Woi, Boboiboy!"

Suara seseorang membuat perhatian ketiganya teralih. Boboiboy menoleh ke arah pintu dan menemukan Yaya berjalan menghampirinya dengan pandangan lurus padanya.

"Tapi kayaknya, sesuatu yang nggak diduga akan terjadi sebentar lagi." sindir Gopal dengan senyum penuh arti untuknya.

Boboiboy mengernyit tak mengerti sampai kedua teman bangkenya pergi. Yaya sudah sampai di kursinya, terus menatapnya sampai membuatnya mengangkat alis bingung.

"Apaan? Gue udah bilang kemaren gue nggak mau ikut olimpiade." kata Boboiboy lebih dulu.

Yaya sudah menebak cowok itu akan mengatakannya. Ia kemudian mengangguk mengerti sebagai balasan ucapan Boboiboy.

"Pak Kasa manggil lo."

Boboiboy mengernyit. "Sekarang?" Yaya mengangguk. Hal itu membuatnya menebak apa yang ingin disampaikan Pak Kasa. Mungkinkah hukumannya?

"Dan sama gue." tambah Yaya.

"Hah?" Boboiboy mulai bingung.

"Ayo. Gue tunggu di depan."

"Woi–"

Yaya sudah terlanjur bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kelas. Boboiboy berdecak kesal. Apa lagi ini? Kenapa Yaya selalu membuatnya kesal sekaligus kebingungan?

"Pak Kasa kenapa manggil gue? Jawab dulu!" desak Boboiboy ketika sudah berada di depan Yaya.

Yaya kemudian berjalan tenang menuju ruang guru. Ia tak membalas ucapan Boboiboy yang berusaha menyamakan langkahnya yang terbilang cepat.

"Yaya!"

"Apasih lo bawel banget? Nanti juga lo tau!" seru Yaya kesal. Lalu kembali berjalan meninggalkan Boboiboy yang hanya bisa melongo.

"Woi, Yaya tunggu!" teriak Boboiboy seraya mengejarnya.

Sesampainya di ruangan Pak Kasa, Yaya masuk dan duduk di kursi diikuti Boboiboy. Pak Kasa yang melihat keduanya menyunggingkan senyum tipis.

"Pak Kasa kenapa manggil saya? Mau kasih hukuman, ya?" tanya Boboiboy langsung.

Yaya mendelik padanya. Boboiboy menatapnya polos karena tidak tahu apa-apa.

"Oh, ya. Hukuman itu tidak jadi." ucap Pak Kasa menjawab pertanyaannya.

Boboiboy melebarkan matanya. "Serius, Pak? Bapak tumben baik banget." komentar Boboiboy.

Pak Kasa hanya tersenyum lalu memberikan tatapan penuh arti pada Boboiboy. "Sebagai gantinya, kamu ikut olimpiade."

Perkataan itu langsung membuat Boboiboy terdiam seketika. Ia menatap ke arah Yaya yang juga menatapnya. Jadi ini maksud cewek itu?

"Kemarin bapak sudah meminta tolong pada Yaya, dan katanya kamu nggak mau? Boleh bapak tau kenapa?"

Boboiboy melempar tatapan tajamnya pada Yaya sebelum menatap Pak Kasa lagi.

"Saya nggak tertarik, Pak."

"Kenapa?"

"Karena..." Boboiboy menggantung ucapannya karena ragu. Ia menghela napas sebentar. Lalu kembali melanjutkan. "Karena saya tidak mau menjadi saingan seseorang."

Pak Kasa terdiam dengan dahi berlipat. Ia sama sekali tak mengerti ucapan Boboiboy. Sementara Yaya menundukkan sedikit tatapannya atas perkataan Boboiboy barusan.

"Olimpiade memanglah sebuah perlombaan, dan pastinya akan menciptakan persaingan. Persaingan itu tentu harus persaingan sehat, bapak penasaran kenapa kamu menganggapnya seperti itu?"

Boboiboy menghela napas. Ia tentu tak bisa mengutarakan semuanya pada sang wali kelas. "Maaf, Pak. Tapi saya benar-benar tidak tertarik. Bapak boleh memberikan hukuman saja pada saya. Terimakasih."

Setelah mengucapkan itu, Boboiboy bangkit dan keluar dari ruangan. Pak Kasa hanya tercengang melihatnya. Yaya pamit pada Pak Kasa dan segera menyusul Boboiboy keluar. Ia harus meluruskan ini semua agar tak menjadi panjang.

"Boboiboy, tunggu!" seru Yaya ketika menemukan punggung Boboiboy sudah lumayan jauh dari ruang guru. Ia dengan cepat mengejar cowok itu dan menghalangi jalannya. Mau tidak mau Boboiboy berhenti, lalu melempar tatapan ketus padanya.

"Lo mau apa lagi?" tanyanya dingin.

Yaya mengatur napasnya sebentar sebelum berbicara. "Dengerin gue dulu. Gue tau orang yang lo maksud tadi adalah gue." ucap Yaya. Boboiboy membuang wajahnya, membiarkan cewek di depannya kembali berbicara. "Gue minta maaf soal itu. Gue yang memulai duluan semuanya, gue yang membuat dinding tinggi persaingan itu. Lo bebas mau bilang gue apapun, karena udah ngajak lo balik lagi dengan gatau diri sekarang. Gue bakal terima itu."

Yaya menjedanya sebentar. Ia berharap Boboiboy mau mendengarkannya meski tatapan cowok itu ke arah lain.

"Tapi kalo memang lo keberatan nerima ini karena gue, lo bisa menjadikan yang lain sebagai alasan lo ikut olimpiade lagi. Seperti atok lo. Atau apa aja."

Yaya tahu ucapannya kini sedikit merugikannya. Karena tujuannya mengajak Boboiboy mengikuti olimpiade adalah agar mereka bisa terus bersama, dan ia memiliki kesempatan untuk mencari tahu semuanya.

Namun Yaya tahu kesalahannya dulu membuat Boboiboy memberikan kesan buruk pada olimpiade. Ia harus menerima resikonya terlebih dahulu.

"Bagus kalo lo sadar tentang itu." balas Boboiboy. Ia membalas tatapan Yaya, cewek itu tampak terkejut dengan ucapannya. "Gue bakal pertimbangin dulu, apakah gue harus ikut atau nggak. Dan kalaupun gue ikut, lo yang bakal gua jadiin saingan. Seperti yang lo lakuin dulu. Oke?"

Yaya tertegun di tempatnya. Semua ucapan Boboiboy sukses menancap jantungnya. Ia tak berkata lagi sampai akhirnya Boboiboy pergi meninggalkannya. Yaya mengusap wajahnya frustrasi. Sekarang semuanya menjadi rumit untuknya.

.


.

"Nice shot!"

Gopal berseru dari tempatnya duduk ketika mendapati Fang mencetak gol lagi. Fang bersorak senang, berlari kecil sebentar atas kemenangannya sebelum menyadari Boboiboy masih melamun di tempat Fang merebut bola darinya.

"Boboiboy. Ngapa lo?" tegur Fang. Sesuai tebakannya, cowok itu tampak kaget dan sadar dari lamunannya. "Lo kalo bengong terus kerasukan nanti. Rumah gue banyak penunggunya, ati-ati." kata Fang asal.

"Sembarangan lo." balas Boboiboy. Ia duduk di lapangan luas rumah Fang, menselonjorkan kakinya yang terasa pegal tanpa peduli celananya akan kotor.

Fang menggelengkan kepalanya sebentar dan mengikuti temannya. Tak lama Gopal datang membawakan air dan handuk yang langsung diterima dengan senang hati oleh Fang.

"Lo kenapa? Mikirin utang lagi?" tanya Gopal. Fang menaboknya dengan handuk, sementara Boboiboy tak membalasnya.

"Sakit, bego!" keluh Gopal.

Fang mengacuhkannya dan beralih menatap Boboiboy. "Lo berantem sama Yaya?" tebak Fang.

Boboiboy menatapnya terkejut. "Kok lo tau?"

"Tau, lah. Hari-hari juga lo berantem sama dia." celetuk Gopal. Boboiboy berdecak. Harusnya ia tahu ia mempunyai teman sableng yang tidak bisa diajak serius.

Boboiboy mendengus. "Tapi kali ini dia bikin gue bener-bener kesel."

"Kenapa, tuh?" tanya Fang dan Gopal berbarengan.

Boboiboy terdiam sejenak sebelum menjawab. "Dia ngajak gue ikut olimpiade lagi." jawabnya lalu menghela napas.

"HAH?!"

"SUMPAH LO?!"

Teriakan keduanya membuat Boboiboy refleks memejamkan matanya karena kaget.

"Gausah teriak bangsat." makinya.

"Serius bego! Kok dia bisa ngajak lo olimpiade lagi setelah jadiin lo saingan dia?! Gimana ceritanya?" tanya Fang bertubi-tubi.

"Ya, begitu."

"Heh, tai ayam! Lo kalo cerita jangan setengah-setengah!" semprot Gopal.

Boboiboy berdecak. Ia mengubah posisi duduknya menjadi bersila, tanda dirinya akan menceritakan semuanya. Fang dan Gopal dengan cepat mendekat, pasang kuping sebaik mungkin. Kini ketiganya sudah hampir mirip ibu-ibu komplek yang sedang bergosip.

"Kemarin sore dia ke cafe gue, untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Gue kira dia cuma mau mampir aja, ternyata dia nganterin surat dari Pak kasa yang isinya permintaan kepala sekolah untuk gue ikut olimpiade tahun ini."

Fang dan Gopal mengangguk-angguk paham. Boboiboy kembali melanjutkan ceritanya.

"Gue langsung tolak kan, karena gue emang nggak tertarik. Dan tadi pagi, Pak Kasa manggil gue sama dia, ternyata buat bahas ini lagi. Gue bilang ke Pak Kasa kalau gue emang gak tertarik, terus Yaya ngejar gue dan bilang kalo dia minta maaf soal sikap dia dulu. Tapi tetep aja, itu ga bikin gue mau setuju ikut olimpiade, justru gue malah semakin kesel sama dia. Gue akhirnya bilang ke dia, gue bakal pertimbangin dulu. Dan kalo emang gue mau, gue bakal jadiin dia saingan kayak yang dia lakuin ke gue dulu." cerita Boboiboy panjang lebar.

"Bjir." komentar Gopal.

Fang memundurkan badannya dan mulai berpikir keras.

"Gue ngerti semua cerita lo. Tapi kenapa lo mau balas dendam Yaya soal jadiin saingan itu?" tanya Fang.

"Ya karena gue kesal sama dia, lah. Gue mau dia merasakan apa yang gue rasain dulu." jelas Boboiboy.

Gopal ikut berpikir keras. Cowok itu mengusap dagunya seperti profesor yang ingin membuat penemuan baru.

"Tapi ya, bukannya perlombaan itu wajar kalo ada persaingan? Yaya menganggap lo saingan karena emang bener kan, kalian lagi lomba. Terus kenapa lo kesel?" tanya Gopal serius.

Boboiboy terdiam sebentar atas pertanyaan itu. "Karena gue gapernah nganggep dia saingan gue." jawabnya pelan. "Dan ketika gue menemukan fakta bahwa dia jadiin gue saingan, gatau kenapa gua gabisa terima itu."

Fang dan Gopal saling berpandangan. Tatapan mereka mengisyaratkan bahwa apa yang mereka pikirkan adalah hal yang sama.

"Lo... jangan-jangan lo suka sama Yaya?"

"Apasih goblok."

.


.

"Gue bakal pertimbangin dulu, apakah gue harus ikut atau nggak. Dan kalaupun gue ikut, lo yang bakal gua jadiin saingan. Seperti yang lo lakuin dulu. Oke?"

Yaya menggelengkan kepalanya berkali-kali agar ucapan Boboiboy pagi tadi pergi dari pikirannya. Cowok itu benar-benar sukses membuatnya bingung. Rencana yang sudah ia susun rapi terpaksa perlu dibongkar ulang. Yaya harus memikirkan strategi baru lagi untuk menjawab semua pertanyaannya.

"Boboiboy. Gue harus apa buat ngadepin lo?" gumam Yaya seraya menatap langit-langit kamarnya. Ia menghela napas. Kepalanya menoleh ke arah nakas di samping tempat tidurnya. Ada sebuah kalung berbandul petir di sana yang selalu ia simpan sebaik mungkin.

Yaya meraihnya dengan tangan kanan. Bandul itu ia pegang di depan wajahnya untuk ditatapnya lamat-lamat. Mengusapnya dengan pelan sementara pikirannya berusaha mengingat kembali bagaimana kalung ini tiba di tangannya.

"Ini apa, Paman?" tanya Yaya saat guru kesayangannya memberikan sesuatu padanya.

Gurunya tersenyum. "Kalung khusus untuk Yaya. Kalung ini paman buat untuk kamu dan anak paman."

"Oh, ya? Siapa anak paman? Yaya mau bertemu!" seru Yaya. Puncak kepalanya diusap lembut, membuat Yaya nyaman dan terus tersenyum ceria.

"Nanti ya, paman akan mempertemukan kalian."

"Paman bohong. Sampai sekarang paman belum mempertemukan kita." gumam Yaya sendu. Diletakkannya kalung itu di dadanya sambil memejamkan mata. Berharap ia kembali ke masa-masa itu. Dimana masa kecilnya sangat menyenangkan karena ditemani guru favoritnya.

Yaya baru akan tenggelam dalam mimpi ketika mendengar suara seseorang di luar kamarnya. Ia dengan cepat bangkit, berlari ke lantai bawah untuk dilihatnya sosok sang ayah baru saja pulang.

"Ayah!"

Yaya langsung memeluk sosok yang amat dirindukannya itu. Sang ayah mengusap punggungnya sekilas dan melepaskan pelukan mereka.

"Kenapa ayah baru pulang sekarang? Kan Yaya udah kangen." kata sang anak.

Ayahnya tersenyum. "Maaf, kerjaan ayah banyak banget jadi terlambat pulangnya."

Yaya memanyunkan bibirnya. Meski begitu ia tak marah lagi pada ayahnya.

"Kamu udah makan? Kita makan bareng, ya?"

Mendengarnya Yaya langsung tersenyum. "Siap, bos!" katanya seraya memasang gaya hormat. Yaya tidak menyadari ia masih menggenggam kalung itu sehingga terlihat ketika ia meletakkan tangannya di dahi.

"Yaya, bukannya ayah sudah bilang untuk tidak menunjukkan kalung itu di depan ayah?" ucap ayahnya dengan nada datar namun mampu mengintimidasinya.

Yaya buru-buru menyembunyikan kalung itu di belakang punggungnya. Ia menundukkan kepala karena tak berani menatap langsung sang ayah.

"Maaf."

"Simpan sekarang. Ayah tidak mau melihatnya."

Ayahnya kemudian berlalu begitu saja. Yaya menghela napas lega, menggenggam kalung itu erat seolah tidak mau kehilangannya. Ia berusaha mengerti alasan ayahnya meski ia tak pernah diberitahu dengan jelas. Karena selama ini Yaya menganggap, ayahnya tidak ingin mengingat lagi pada sosok gurunya, yang memang merupakan mendiang temannya sendiri.

.


.

"Atok bilang, orang yang selalu mesan strawberry smoothies itu teman dekat ayah? Siapa, Tok? Om Pian kah?"

Tok Aba menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Setelah menata makanan di meja, pria paruh baya itu menarik kursi untuk duduk di hadapan sang cucu yang sudah penasaran.

"Bukan. Dia teman perempuan ayahmu."

Boboiboy melipat dahinya. "Perempuan?"

Tok Aba mengangguk. Sementara ia mengunyah ikan sambal buatannya, Boboiboy tenggelam dalam pikirannya sendiri. Memorinya tak menyimpan sosok itu, padahal saat ia kecil dahulu ia sering bermain dengan teman-teman ayahnya.

"Boboiboy mengenalnya, Tok?"

Tok Aba menggeleng. "Saat kamu lahir, dia pindah ke Amerika karena bekerja di sana. Dan terakhir dia ke sini adalah saat–"

Ucapan Tok Aba terhenti tiba-tiba. Boboiboy mengangkat alis kebingungan ketika melihat sekilas wajah Tok Aba yang berubah sendu.

"Saat apa, Tok?"

"Atok lupa. Maaf." lanjutnya sambil tersenyum.

Boboiboy memanyunkan bibirnya kesal. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak bertanya lagi dan mulai menyantap makan malamnya, tanpa tahu ekspresi Tok Aba terlihat sedih di depannya.

"Ah, ya. Lusa kamu berangkat kemah, 'kan?" tanya Tok Aba mengalihkan topik. Sang cucu kembali menatapnya sambil mengunyah.

"Ha'ah, lah. Boboiboy baru ingat."

Tok Aba terkekeh geli. Sifat pelupa cucunya memang benar-benar turun dari ayahnya. "Untuk berjaga-jaga, bawa obat kamu, ya?"

"Boboiboy udah sembuh kok, Tok." sela Boboiboy.

"Atok tahu. Tapi apa salahnya untuk membawanya?" tanya Tok Aba balik.

Boboiboy menghela napas sebelum akhirnya mengangguk. Ia sebenarnya tidak ingin membawa obat itu karena merasa tak memerlukannya lagi.

"Tapi, Tok–"

"Kamu sudah jarang bertemu Pak Koko Ci, 'kan?" tanya Tok Aba tiba-tiba.

Boboiboy langsung menunjukkan ekspresi terkejut. Tok Aba kemudian menghela napas, tampak kecewa dengannya. Sementara ia sendiri berusaha menyingkirkan rasa terkejutnya untuk menjelaskan pada Tok Aba.

"Atok. Boboiboy beneran udah sembuh. Nggak ada lagi gejala-gejala itu saat Boboiboy–"

"Baiklah. Atok paham." potong Tok Aba. Boboiboy terdiam, ia memandangi sang atok di depannya dengan tatapan menyesal. "Atok hanya khawatir saja. Kalo memang begitu, atok bisa lega sekarang." lanjutnya seraya tersenyum.

Boboiboy tak membalasnya dan hanya menatap Tok Aba yang mulai melanjutkan makan. Ada banyak hal yang ingin ia jelaskan lagi agar Tok Aba yakin padanya, namun Boboiboy menelan kembali ucapannya dan ikut melanjutkan makannya.

Setelah selesai makan malam, Boboiboy pamit ke kamar terlebih dahulu karena harus menyelesaikan tugasnya. Tersisalah Tok Aba di sana, memandangi punggung sang cucu yang kian menjauh berjalan ke lantai dua.

Tok Aba menghela napas panjang. Membereskan meja makan sebentar sebelum masuk ke kamarnya. Entah kenapa, matanya langsung tertuju pada sebuah foto yang sengaja ia pajang di nakas. Foto berisi dirinya, Amato, dan juga Boboiboy yang masih sangat kecil.

Senyum sedih seketika terbit di bibirnya. Bagaimana dirinya menjadi saksi perjalanan ayah dan anak itu yang merupakan keluarga satu-satunya. Amato yang harus meninggal di usianya yang terbilang masih muda, dan Boboiboy yang harus tumbuh tanpa kasih sayang orang tua.

Tok Aba ingat, bagaimana hancurnya ia mendengar kabar rumah sang anak kebakaran sampai merenggut nyawanya. Yang membuat dirinya makin hancur adalah menemukan fakta Boboiboy juga berada di sana, dan harus menghadapi traumatis yang amat parah karena kejadian itu.

Bayangan masa kecil sang cucu yang harus melewati traumatis seketika muncul di kepalanya. Belum lagi menghadapi pihak kepolisian yang meminta Boboiboy menjadi saksi atas kejadian itu. Tentu Tok Aba menentangnya. Sudah cukup ia melihat Boboiboy tersiksa karena mentalnya yang kacau balau. Ia akhirnya memutuskan untuk membungkam media agar tidak membawa-bawa Boboiboy lagi pada kasus itu.

Tapi itu semua ternyata tidaklah cukup. Boboiboy tetap tak sembuh dari traumanya yang kian mendalam. Dengan tekad bulat, ia memutuskan membawa sang cucu ke kampung halamannya, Pulau Rintis. Tempat tenang yang jauh dari kota dan berharap mampu menyembuhkan luka Boboiboy, meski sebagai gantinya ia tak bisa mengungkap kebenaran yang sebenarnya terjadi pada hari itu.

Tok Aba menghela napas sekali lagi. Kedua matanya menatap wajah Amato yang terlampau bahagia dalam bingkai foto. Di keheningan malam itu, ia berbisik lirih.

"Maafkan Ayah, Nak."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

tbc

a/n:

tbh gue sebenernya ngga pengen buat konflik yang terlalu berat buat ff ini. tpi kayanya malah melebar luas ya hahaha semoga ga aneh deh alurnya

thank you yg udah review ya, gue jadi semangat lanjutin hehehehe