Kuroko no Basuke Fanfiction

Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi

I just borrow his Chara

Warning!

As you know, there will be so much typo, AU, OOC, and so much more.

Read first, and please give me your Review.. It's my pleasure...

Pemeran utama :

Akashi Seijuurou

Kuroko Tetsuya

Please Enjoy..

UNDEFINED

Chapter 2: Pertanyaan

Aku sebenarnya tidak begitu ingat apa yang terjadi setelah Tetsuya menjatuhkan diri dari lantai dua. Yang kuingat hanyalah suara teriakanku, Okaa-sama yang berderap masuk ke kamar kami dan beberapa saat kemudian memanggil ambulans. Lalu mungkin beberapa petugas medis mengangkat Tetsuya ke dalam mobil ambulans sementara aku dan Okaa-sama menyusul sesaat setelah mereka membawa pergi Tetsuya.

Ya, secara garis besar mungkin seperti itu yang terjadi. Lalu sementara tim dokter berusaha untuk menyelamatkan Tetsuya, aku dan Okaa-sama duduk berseberangan di ruang tunggu. Dan sudah sejak tiga jam yang lalu lampu di atas ruang operasi tidak ada tanda-tanda akan berubah menjadi warna merah dari hijau.

Tiga jam yang terasa sangat lambat seperti melata.

Tak satu pun percakapan keluar diantara aku dan Okaa-sama. Beliau duduk tegak di kursi sementara aku sendiri sebenarnya tidak begitu ingat dengan jelas apa saja yang kupikirkan sedari tadi. Mungkin hanya berkisar pertanyaan-pertanyaan yang tidak jadi terangkai dan berdoa agar Tetsuya bisa diselamatkan.

Saat itu aku hanya tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi ke depannya.

.

.

.

"Kepalanya mengalami benturan yang sangat keras ketika menghantam semen. Ia tidak mengalami gegar otak parah saja sudah merupakan sebuah keajaiban," jelas salah satu dari dokter yang turun tangan menangani Tetsuya.

"Lalu kapan Tetsuya akan sadar?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari Tetsuya yang terbaring lemas dan tidak sadarkan diri di ranjang ICU di rumah sakit ini. Sebenarnya saat ini aku masih sedikit linglung dan berpikir mungkin sebentar lagi Tetsuya akan bangun. Kejadian itu terasa begitu cepat sampai aku tidak sempat berpikir.

"Menurut perkiraan mungkin Kuroko Tetsuya akan mengalami koma selama satu dua hari. Tapi kita akan terus memantau perkembangannya," jelas dokter itu lagi. Lalu ia seperti mencatat sesuatu dan memberikan lembaran itu pada perawat di sebelahnya.

"Baiklah. Kalau begitu kami permisi dulu," pamitnya sambil membungkuk singkat. Okaa-sama balas membungkuk dan ikut berjalan keluar dari ruang ICU. Mungkin beliau ingin mengurusi pembayaran rumah sakit. Aku ditinggal sendiri bersama dengan Tetsuya yang entah kapan akan sadar.

Bersamaan dengan pintu ICU yang ditutup, keheningan seketika melanda ruangan seluas 5x5 itu. Ya, ruang yang cukup besar dan mewah jika untuk ditinggali seorang yang koma.

Dengungan dari pendingin ruangan terasa jelas di pendengaranku. Bunyi statis dari monitor yang berada di sebelah ranjang Tetsuya terasa sangat menyakitkan ketika aku mendengarnya. Ruangan yang serba putih ini juga membuat mataku sakit dan berkedut jika memandangi dindingnya terlalu lama. Bau obat-obatan yang pekat menusuk hidungku dan membuatku mual.

Semuanya tampak sangat menyakitkan di hadapanku saat ini.

Di atas satu-satunya ranjang di ruangan besar itu, tidurlah Tetsuya dengan damai. Begitu damainya sampai aku heran sendiri, apa ia tidak memikirkan bahwa aku juga nyaris mati begitu sadar akan kejadian lalu?

Dengan langkah berat, aku berjalan sampai jarakku dan ranjang Tetsuya hanya terpisah beberapa senti saja. Dalam jarak sedekat ini, kuamati seluruh fisik Tetsuya yang tidak pernah terlihat lagi selama nyaris satu tahun.

Kulitnya masih sama, putih pucat. Rambutnya juga masih sama, masih berwarna biru muda. Warna yang selalu menjadi favoritku. Badannya memang tergolong kecil dan kurus untuk remaja lelaki yang masih dalam tahap pertumbuhan. Tapi itu semua bukanlah masalah. Lalu, apa yang menjadikannya begitu berbeda dengan Tetsuya yang dulu sangat kukenal?

Hatiku terasa hancur ketika mengingat pertemuan yang seharusnya menjadi sangat menyenangkan. Kami sudah nyaris tidak bertemu selama satu tahun belakangan ini dan sebenarnya aku sudah menyusun seluruh rencana yang akan kuhabiskan berdua bersama dengan Tetsuya. Tapi seperti biasa, Tetsuya selalu mempunyai cara untuk menggagalkan rencana serta membuatku tidak bisa lebih kaget lagi di sepanjang kami bersama.

Kusentuh tangan pucatnya yang terasa hangat di genggamanku. Setidaknya aku masih bisa merasakan denyutan nadi yang masih mengalirkan darah ke seluruh tubuh Tetsuya. Aku bisa bersyukur karena itu. Tapi itu hanyalah sebagian yang sangat kecil dari seluruh harapanku saat ini.

"Tetsuya, kau kenapa…?" lirihku.

Apa yang sebenarnya terjadi padamu, hingga kau melakukan hal nekat seperti ini? Bahkan dalam genggamanku pun Tetsuya tidak bergeming. Ia hanya tetap tidur dan seolah-olah melupakanku.

Mungkin aku terlalu terhanyut dalam perasaanku yang tidak menentu, sampai Okaa-sama menepuk bahuku, memberitahu bahwa kami harus segera meninggalkan ruang ICU.

"Kau bisa menjenguk Tetsu besok lagi," kata Okaa-sama. Aku ingin protes dan masih ingin tinggal. Namun kilatan lelah di mata Okaa-sama dan Kepala Perawat yang sudah mengusir kami secara haluslah yang membuatku mengurungkan niatku.

Dengan pelan kulepas genggamanku dan berjalan menjauh dari ranjang Tetsuya. Sampai kami keluar dari ruang ICU dan pintu ditutup secara perlahan pun, aku masih tidak mengalihkan pandanganku dari saudara kembarku yang masih tertidur damai.

.

.

.

Wangi vanilla yang kental masih mendominasi kamar milik Tetsuya. Bedanya kali ini si pemilik kamar tidak akan tidur di kamarnya.

"Sei, air mandinya sudah kusiapkan," suara Okaa-sama kudengar dari depan kamar mandi yang ada di lantai dua, namun aku tidak berniat untuk menanggapinya.

Sejak pulang dari rumah sakit, Okaa-sama lebih diam dari sebelumnya dan mulai kembali menenggelamkan diri di antara pekerjaannya yang menumpuk. Aku berjalan menuju meja belajar Tetsuya dan duduk di kursinya. Seluruh buku pelajaran disusun rapi berdasarkan hari, ukuran dan abjad. Benar-benar tipikal Tetsuya.

Sesaat setelah kembali dari rumah sakit, kesadaranku seperti mulai memulih. Aku tidak merasa linglung lagi dan hanya mencoba merangkai pertanyaan-pertanyaan di kepalaku. Kenyataan bahwa Tetsuya melakukan aksi percobaan bunuh diri sudah mulai kuterima sebagai sebuah kejadian nyata meski aku sebenarnya tidak ingin mempercayai hal itu.

Kuambil salah satu buku pelajaran Tetsuya secara acak dan kubuka lembaran buku itu, yang ternyata adalah buku matematika. Setelah pikiranku mulai kembali jernih dan tidak sekosong sebelumnya, aku kini mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya telah terjadi dalam kurun waktu enam bulan belakangan.

Lembar per lembar kubuka buku Tetsuya. Tidak ada satupun yang aneh dari catatannya. Masih putih dengan tulisan tangan rapi Tetsuya. Tidak ada coretan. Tidak ada robekan buku. Tidak ada tanda-tanda bahwa Tetsuya mengalami pembulian. Semuanya normal.

Kuambil lagi buku yang lain dan aku membolak-balik halamannya. Sama, tidak ada satupun yang aneh dari catatan Tetsuya. Benar-benar normal. Kutaruh lagi buku Tetsuya di tempat semula. Lalu aku menghempaskan diri di punggung kursi. Pikiranku menerawang jauh. Jauh, ke masa kecil kami yang selalu dihabiskan berdua.

Sebagai kembar tidak identik, banyak yang tidak percaya bahwa kami adalah kembar. Banyak orang yang mengatakan bahwa kami adalah kakak adik yang usianya berjarak satu tahun. Lagipula memang tidak salah jika orang beranggapan seperti itu. Tetsuya terlahir dengan kondisi fisik yang lebih lemah dariku dan lebih kecil dari anak-anak sebayanya.

Tapi justru dengan begitu aku bisa terus melindunginya. Dan aku memang sangat ingin melindungi adikku.

Nyaris semua buku pelajaran Tetsuya sudah kubuka dan tetap tidak ada yang aneh. Jika bukan pembulian, lalu apa yang menyebabkan Tetsuya berbuat hal seperti itu? Bunuh diri tanpa alasan? Tidak. Tetsuya bukanlah orang dengan pemikiran sempit seperti itu. Kutaruh lagi buku catatan sejarah milik Tetsuya.

Merasa tidak akan mendapat apapun, aku bangkit dari kursi dan berjalan menyusuri nakas di sebelah tempat tidur Tetsuya. Kubuka laci nakas yang tidak terkunci itu dan saat itu juga mataku terpaku pada sebuah buku tulis bersampul coklat polos.

Dengan bingung dan penasaran, kuambil buku itu. Cover buku itu polos. Hanya sampul berwarna coklat tanah. Tidak ada nama atau keterangan buku apa ini. Sempat terlintas di benakku bahwa buku yang saat ini kupegang adalah sebuah buku harian. Tapi, entahlah, aku juga bisa menebak dengan benar apakah ini buku harian atau tidak. Tidak aneh membayangkan Tetsuya memiliki buku harian, mengingat ia memiliki minat tersendiri pada sastra.

Aku hampir membuka buku itu jika secarik kertas tidak jatuh dari dalam buku. Aku menatap carikan kertas putih yang teronggok di depan kakiku. Sepertinya Tetsuya menyelipkan carikan kertas itu. Mengesampingkan rasa penasaranku pada buku coklat itu, kuraih carikan kertas yang sempat jatuh itu.

Kertas itu dilipat dua. Kubuka lipatannya dengan sedikit tidak sabar dan aku membaca isinya.

Itu sebuah memorandum yang berlambang SMA Teikou, tempat Tetsuya bersekolah. Aku tidak terkejut atau bingung mendapati memorandum itu. Tapi yang membuatku tidak mempercayai penglihatanku adalah sebaris kalimat yang ditulis disana.

Kuroko Tetsuya adalah seorang pengkhianat

Seluruh kehidupanku rasanya tersedot untuk masuk ke dalam kalimat di dalam memorandum itu. Mataku masih terfokus pada sebaris kalimat singkat itu. Jantungku dipaksa untuk memompa lebih banyak darah lagi karena adrenalinku berpacu cepat. Isi perutku rasanya jungkir balik dan kepalaku terasa kosong.

Singkat, namun memiliki banyak makna ketika aku membaca kalimat itu berulang-ulang.

Kuroko Tetsuya adalah seorang pengkhianat. Pengkhianat. Seorang pengkhianat.

Apa? Apa maksud dari kalimat ini? Siapa yang menulis? Kenapa ada nama Tetsuya? Apa yang sudah Tetsuya lakukan sampai ia disebut pengkhianat? Apa ia mempunyai masalah?

Apakah memorandum ini adalah penyebab Tetsuya berniat mengakhiri hidupnya? Tapi kenapa? Memorandum itu tanpa sadar kuremas kuat di dalam kepalan tanganku sementara aku terus-menerus berpikir dan menerka-nerka.

Percuma. Aku bahkan tidak mampu mengartikan apapun dari sebaris kalimat itu. Sebaris kalimat itu mengandung arti yang sangat banyak. Sebanyak hal-hal yang tidak pernah kuketahui tentang Tetsuya selama ini.

Aku mencoba mengingat-ingat di setiap E-mail yang Tetsuya kirim, di sudut mana ia pernah mengatakan bahwa ia memiliki masalah serius dan ada yang menganggapnya sebagai pengkhianat. Namun aku sadar, tidak pernah sekalipun Tetsuya menceritakan masalah yang sedang dialaminya.

Disetiap isi E-mail, ia pasti selalu bercerita panjang lebar tentang kesehariannya dan dalam sudut pandang yang menyenangkan, seolah ia memang menjalani kehidupan dengan sangat menyenangkan. Tapi, dari semua itu, yang paling bodoh adalah aku. Aku yang bodoh dan percaya sepenuhnya pada semua kejadian yang Tetsuya ceritakan. Aku yang terlalu bodoh dan selalu mempercayai seluruh kebohongan Tetsuya.

Ketika masih kecil, kami pernah membuat sebuah janji. Janji bahwa tidak boleh ada hal yang ditutupi oleh masing-masing dari kami. Janji bahwa kami akan terus terbuka satu sama lain, tidak ada kebohongan. Dengan adanya janji itu, aku jadi lebih mudah melindungi Tetsuya dan terus berada di sampingnya.

Tapi sekarang aku sudah tidak tahu lagi apa arti dari janji kami. Aku tidak tahu keadaan yang sesungguhnya dari Tetsuya, aku tidak sadar bahwa selama ini ia berbohong padaku, dan yang paling buruk dari semuanya, aku tidak mampu melindungi Tetsuya.

Mungkin jika ada kandidat, aku akan memasukkan diriku menjadi salah satu nominasi kakak terburuk sepanjang masa.

.

.

.

Aroma rumah sakit belakangan ini selalu membuatku mual dan selalu menjadi makanan keseharianku. Mungkin para perawat sudah mengenaliku yang datang berkunjung setiap hari selama satu minggu. Dan selama satu minggu juga tidak ada perkembangan berarti dari masa kritis Tetsuya.

Tetsuya tetap tidak terbangun.

"Bukankah Anda berkata bahwa Tetsuya akan bangun dalam waktu satu sampai dua hari? Kenapa ia masih tidak terbangun?"

Dokter tua yang belakangan ini memegang Tetsuya hanya memandangku tanpa daya, seperti aku memandangnya dan berharap ia bisa mmbangunkan Tetsuya.

"Entahlah. Kadang ada beberapa prediksi yang meleset dari waktu perkiraan. Seharusnya Kuroko Tetsuya sudah sadar, tapi dalam beberapa kasus ada pula yang tidak sesuai prediksi seperti ini," jelasnya.

"Lalu, apa yang terjadi pada Tetsuya? Kenapa prediksi Anda meleset?"

Dokter itu hanya memandang ke arah Tetsuya yang masih terlelap. "Banyak faktor. Mungkin saja benturan yang ia alami terlalu keras sehingga tubuhnya masih terlalu syok. Atau, mungkin saja 'alam bawah sadar'nya menolak untuk terbangun lagi. Mungkin karena tekanan yang dialaminya membuatnya tidak berniat untuk bangun. Biasanya itu terjadi pada banyak kasus koma yang berkepanjangan, sama halnya seperti bunuh diri," jelas dokter itu panjang lebar.

Aku menatap Tetsuya.

Tekanan.

Ya, Tetsuya pasti mengalami tekanan. Tekanan itu pasti bersumber pada memorandum yang kutemukan di dalam buku coklat itu. Itu pasti yang membuat Tetsuya tidak ingin terbangun lagi.

Dokter tua itu pamit beberapa saat kemudian. Aku menggumamkan 'terimakasih' dan setelah pintu tertutup, aku menggenggam tangan pucat Tetsuya yang semakin lama tampaknya semakin pucat, seperti aku yang baru menyadari bahwa sejak aku berkunjung sinar matanya tidak lagi seperti dulu.

Tetsuya, sebenarnya apa yang terjadi padamu? Apa yang kau sembunyikan dariku? Apa yang membuatmu tidak jujur padaku? Kenapa kau tidak pernah menceritakan apa yang terjadi padamu selama ini? Sungguh, Tetsuya sudah dengan sukses membuatku menjad kakak yang paling buruk.

"Aku ini kakak yang buruk ya…"

Kugenggam makin erat tangan yang terkulai tak bergerak itu. "Tetsuya, aku sekarang tidak tahu apapun tentangmu, tapi aku akan menyelamatkanmu."

To Be Continued


A/N: Terimakasih untuk para reviewer dan para pembaca yang sudah mau meluangkan waktu untuk meninggalkan jejak di fict ini berupa review, favorite dan follows. Saya benar-benar berterimakasih. Kepada segenap reviewer yang login, sudah saya balas di PM masing-masing, semoga jawaban saya memuaskan.

Nah, maafkan saya jika chapter dua ini lebih singkat dari chapter yang pertama dan mungkin (barangkali) mengecewakan. tapi saya berusaha untuk memperbaikinya di chapter depan (mungkin). Saya sebenarnya tidak menyangka bahwa respon para pembaca akan seantusias itu. Baiklah, semoga aja chapter dua ini gak begitu mengecewakan deh...

Kritik, saran dan komentar selalu diterima.