Kuroko no Basuke Fanfiction
Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi
I just borrow his Chara
Warning!
As you know, there will be so much typo, AU, OOC, and so much more.
Read first, and please give me your Review.. It's my pleasure...
Pemeran utama :
Akashi Seijuurou
Kuroko Tetsuya
Please Enjoy..
UNDEFINED
Chapter 3: Mulai saat ini
"Akashi, apa kau sudah yakin dengan keputusanmu itu? Tidakkah tindakan yang kau ambil itu terlalu tergesa-gesa?"
Dengungan dari pendingin ruangan terdengar jelas di pendengaranku. Dua lemari kaca besar di ruangan Pelatih Shirogane yang berisi piala-piala hasil kemenangan Tim Basket berdiri gagah. Pelatih Shirogane duduk di bangkunya yang membelakangi jendela, sehingga aku tidak dapat melihat jelas ke arah beliau karena silau.
"Ha'i. Saya sudah memikirkan keputusan saya dengan matang," kataku mantap. Beliau terlihat seperti sedang berusaha menahan helaan napas yang seolah berkata 'Aku tidak habis pikir. Kau sedang sakit ya, Akashi?'
"Akashi, Bapak sudah mendengar perihal saudaramu yang kecelakaan. Bapak turut prihatin, karena dari yang Bapak dengar saudaramu juga masih belum sadar dari koma. Tapi kau tidak harus membuat keputusan seperti itu," katanya lagi. Mungkin pelatih Shirogane sedang berusaha membujukku untuk berubah pikiran. Sayangnya, aku sudah tidak berminat untuk berpikir ulang.
"Ini sudah keputusan saya. Ayah saya sudah mengurus surat pindah sekolah," jelasku. Pelatih Shirogane menutup matanya, mungkin beliau sedikit ingin mengalihkan perhatiannya dari murid yang tidak masuk akal sepertiku.
Aku menunggu pelatih Shirogane mengatakan sesuatu. Beliau terus diam untuk beberapa saat sambil memejamkan mata. Lalu akhirnya, ia menatapku. "Begitu rupanya. Baiklah Akashi, kalau itu memang sudah keputusanmu Bapak rasanya sudah tidak bisa mencegahmu lagi." Pelatih Shirogane mengatakannya seolah terpaksa.
Aku tidak bisa menyalahkannya. Ini memang keputusan yang berat baginya. Pasti beliau berpikir tentang Tim Basket Rakuzan dan tiga kompetisi nasional tahun ini yang akan diselenggarakan. Yah, jika aku mengingatnya juga aku akan merasa sangat berat dengan keputusanku. Bahkan kadang ada godaan untuk berubah pikiran.
"Arigatou gozaimasu."
"Bapak mungkin akan mengumumkan kabar ini secepatnya pada Tim Basket dan memilih ketua baru. Namun, Bapak berharap kau mau memberitahu kepindahanmu kepada anggota inti. Mereka pasti ingin mendengar kabar ini darimu sendiri," sarannya.
Saran yang merepotkan.
"Ha'i. Akan saya usahakan."
Pelatih Shirogane menatapku dengan iris coklat tuanya. Setiap kali ekspresinya serius, beliau jadi tampak lebih tua dihadapanku.
"Sebenarnya Bapak berharap kau bisa ikut dalam kompetisi Interhigh tahun ini. Tim Rakuzan bisa menjadi tim yang kuat dengan kau di dalamnya," katanya lagi.
Sebenarnya aku pun ingin turut berpartisipasi dalam ajang kompetisi basket nasional tahun ini. Aku ingin bermain bersama dengan Tim Basket Rakuzan selama tiga tahun dan memimpin mereka menuju sebuah kemenangan. Tapi kadang ada harapan yang tidak sejalan dengan kenyataan. Ada sebuah janji penting yang harus kutepati saat ini.
Aku harus menyelamatkan Tetsuya. Aku harus tahu apa yang selama ini disembunyikan olehnya. Aku harus tahu hal itu. Apapun masalah Tetsuya, aku harus menyelesaikannya.
"Sumimasen."
Pelatih Shirogane menggeleng. "Tidak perlu minta maaf jika ini memang menjadi pilihanmu."
.
.
.
"Uso! Sei-chan, nande?" Mibuchi Reo.
"Oi Akashi, apa kau serius?" Eikichi Nebuya.
"Yah, bakalan sepi dong Tim Basket kalau Akashi pindah." Hayama Koutaro.
"Tapi kenapa mendadak sekali?" Mibuchi Reo lagi.
"Sumimasen minna, tapi ini sudah keputusanku." Akashi Seijuurou, aku.
Lapangan indoor Tim Basket SMA Rakuzan tampak sepi, hanya ada empat orang yang sedang berbincang di tengah pinggir lapangan. Ada aku, Mibuchi Reo, Eikichi Nebuya dan Hayama Koutaro. Berbicang–atau lebih tepatnya aku yang memberitahu mereka–tentang kepindahanku.
"Tapi Interhigh akan diadakan dalam beberapa bulan lagi! Kenapa sangat mendadak?" Mibuchi Reo lagi. Aku juga jadi ingin bertanya pada Tetsuya, kenapa ia melakukan percobaan bunuh diri dengan begitu mendadak. Salah satu helaian rambut panjang dari Mibuchi Reo diselipkannya ke belakang telinya. Bibirnya yang terlihat agak tebal dari bibir laki-laki kebanyakan itu dikerucutkannya, alisnya bertaut dan ia tampak bingung juga sebal.
"Sumimasen, tapi ini sudah keputusan finalku," kataku lagi, entah untuk keberapa kalinya hari ini.
"Tapi atas dasar apa kau mau pindah sekolah?" tanya Eikichi Nebuya, salah seorang kakak kelasku yang merupakan seorang maniak otot. Entah latihan macam apa yang selama ia jalani sampai bisa membentuk otot seperti itu.
"Ada sebuah alasan pribadi," jawabku seadanya. Mereka bertiga tampak tidak puas dengan jawaban yang kulontarkan. Wajar saja, jika aku juga adalah salah satu dari mereka maka aku juga akan berwajah seperti itu, sayangnya saat ini aku sedang tidak mau disuguhi wajah keberatan seperti itu, karena aku juga ingin memasang wajah keberatan di depan Tetsuya dan memaksanya bicara.
"Alasan pribadi?" beo Hayama Koutaro.
"Ya, dan tidak bisa kujelaskan secara rinci," putusku.
Aku sedikit menyesali karena menurutku aku terlalu banyak bicara di depan mereka. Kini mereka menatapku dengan penasaran. Terkutuklah mulut yang terlalu banyak bicara ini.
Mibuchi Reo tampak ingin buka suara lagi namun aku sudah berbicara. "Maaf, masih ada surat yang harus diurus mengenai kepindahanku. Aku duluan," kataku dan tanpa menunggu respon mereka (dan aku memang tidak mengharapkan respon mereka sama sekali), aku berjalan keluar dari lapangan basket indoor.
Baru saja aku berjalan beberapa langkah menjauh dari sumber segala keingintahuan yang tidak bermutu, suara berat seseorang mengagetkanku.
"Kudengar kau akan pindah sekolah," katanya.
Jika aku ini tidak mampu menahan emosiku, mungkin aku akan melompat kaget mendengar suara berat itu. Kulihat Mayuzumi Chihiro sedang bersandar di belakang pintu lapangan.
"Mayuzumi-san," sapaku. Jujur saja, jika melihat Mayuzumi Chihiro aku selalu teringat Tetsuya, tapi versi lebih dewasa, lebih dingin dan lebih tinggi. Rambutnya berwarna abu-abu tua, dengan bola mata yang senada dengan rambutnya. Yang membuatku teringat Tetsuya ketika bersamanya adalah karena mereka berdua sama-sama memiliki hawa keberadaan yang tipis dan minim ekspresi. Dan mereka sangat menyukai karya sastra.
"Jadi, yang kudengar itu benar?" tanyanya lagi, tidak menggubris sapaanku.
"Kurasa kau tidak perlu mengecek kebenaran soal itu."
Bolehkan aku pergi sekarang juga? Diinterogasi oleh orang dengan keberadaan tipis adalah hal terakhir yang ingin kulakukan hari ini. Ia masih menatapku dengan mata sipitnya. Rambut abu-abunya sudah agak terlalu panjang dan nyaris menutupi alisnya. Oke, tidak penting.
"Jika tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, boleh aku pergi? Masih banyak surat yang harus kuurus mengenai kepindahanku," kataku akhirnya, tidak tahan dengan situasi yang membuang waktu.
Aku melangkah menjauh dari lapangan indoor ketika aku melihat bahwa Mayuzumi ingin mengatakan sesuatu lagi padaku. Oke, cukup tanya jawabnya hari ini. Aku tidak mau menerima pertanyaan apapun mengenai kepindahanku. Sengaja aku memperlebar langkah supaya bisa keluar dari teritorial dimana pertanyaan berkemungkinan merongrongku.
.
.
.
Apartment itu bukanlah apartment yang baru. Itu merupakan apartment yang sengaja dibeli Otou-sama untuk aku jika aku ingin berkunjung ke Tokyo dan menjenguk Tetsuya serta Okaa-sama.
Dibantu oleh beberapa orang yang bekerja di Jasa Pengantar Barang, aku memasukkan beberapa kardus yang berisi peralatan-peralatan yang kubutuhkan selama aku tinggal disini.
Apartment itu masih sama seperti terakhir kali aku mengunjunginya. Catnya masih berwarna putih, dan barang-barang masih berada di tempatnya. Hanya saja, yang membedakan adalah debu yang cukup tebal di lantai maupun di meja, menandakan bahwa sudah cukup lama apartment ini tidak dihuni.
Wajar saja, terakhir kali aku mengunjungi apartment ini adalah ketika Otou-sama membelinya dan hanya memperlihatkannya sejenak padaku sebelum kami kembali ke Kyoto karena Otou-sama harus menghadiri rapat. Yah, kurang lebih seperti itu.
Setelah Jasa Pengantar Barang pergi, aku harus berkemas sendiri mengeluarkan semua barang-barangku. Dan itu cukup memakan waktu lama jika kau mengerjakannya sendirian. Hingga hari menjelang petang, aku baru saja selesai merapikan seluruh apartment dan juga barang-barangku.
Aku duduk di meja belajar dan mengeluarkan secarik kertas.
Kertas itu adalah memorandum yang terselip di dalam buku Tetsuya. Satu-satunya petunjuk dan mungkin saja alasan dibalik tindakan Tetsuya. Sebenarnya sejak aku kembali ke Kyoto, tidak sekalipun aku meninggalkan memorandum itu. Kertas yang sudah lecek ini terus-menerus kubawa bahkan ketika aku di sekolah.
Rasanya sangat salah jika aku meninggalkan memorandum itu. Rasanya memorandum itu seolah-olah bisa menghilang di depan mataku jika aku tidak membawanya bersamaku.
Kutatap lagi tulisan yang terdapat di memorandum itu.
Kuroko Tetsuya adalah seorang pengkhianat.
Tidak ada yang berubah. Masih sama tulisannya. Bahkan setelah aku membolak-balikkan kertas ini berkali-kali, mencari hal-hal ganjil, tetap tidak kutemukan sesuatu aneh. Satu-satunya yang aneh hanyalah kalimat di dalam memorandum itu.
Untuk kesekian kalinya aku meremas lagi memorandum itu. Rasanya ingin mengalirkan seluruh emosiku pada kertas yang bahkan tidak kuketahui kebenarannya. Aku kembali berpikir untuk kesekian kalinya, apa mungkin Tetsuya pernah berkhianat?
Tapi berkhianat terhadap apa? Atau siapa?
Kurasakan kepalaku berdenyut nyeri karen aku terlalu keras memutar otak untuk membuat beberapa kemungkinan. Percuma, tidak kudapatkan satu hal pun jika aku tetap duduk diam di meja belajar tanpa melakukan sesuatu.
Jadi aku bangkit dari meja belajar, mengambil sebuah mantel berwarna coklat tua dari lemariku dan keluar dari apartment.
.
.
.
"Diantara merk yang ini dan ini mana yang lebih bagus untuk cat rambut?" tanyaku sambil menimang dua cat rambut biru muda beda merk.
Tokyo sudah malam, namun itu tidak memadamkan ramainya Shibuya di malam minggu. Bahkan rasanya semakin malam maka Shibuya akan semakin ramai. Orang-orang tampak sangat menikmati malam minggu mereka. Aku bisa melihat ada orang yang menghabiskan malam minggu bersama dengan teman-teman, keluarga, kekasih atau bahkan hanya sekedar berjalan-jalan sendiri.
Aku mendecih pelan. Seharusnya aku juga bisa menghabiskan malam minggu berdua bersama dengan Tetsuya. Kami bisa berjalan bersama di perempatan Shibuya, mengunjungi tiap restoran hanya untuk sekedar mencicipi satu menu favorit, pergi ke Game Center, atau hanya sekedar membeli sebuah buku sastra dan berbincang seru di balkon rumah sambil menatap sibuknya Tokyo.
Ya, harusnya kami bisa. Tapi lagi-lagi karena tindakan Tetsuya yang tidak pernah bisa kuprediksi, luntur semua impian itu.
Kini aku hanya berdiri seorang diri di sebuah salon kecantikan, menimbang cat rambut sambil diamati oleh seorang lelaki berwayah kemayu. Ini lebih dari sekedar menyedihkan. Sungguh, apalagi ketika aku melihat beberapa pemuda melirikku sekilas dan lelaki kemayu dihadapanku berkali-kali mengerling genit ke arahku. Ini sangat menyeramkan.
Aku bisa menebak apa yang ada dipikiran mereka, namun aku tidak mau memikirkannya. Jika aku tidak ingat alasanku berada disini, maka kupastikan aku tidak akan pernah mau lagi menginjakkan kaki di salon kecantikan untuk alasan apapun. Mencoba menghitung sabar dalam hati, aku menatap lelaki kemayu dihadapanku.
"Dua-duanya bagus. Hanya berbeda merk dan harga," jelasnya. Ia menatapku sampai membuatku risih. "Omong-omong, rambut merahmu sudah bagus, kenapa ingin mengecatnya?" tanyanya.
Aku megangkat bahu acuh. "Hanya untuk mengganti suasana. Disini menjual softlens?"
Lelaki itu menggeleng. "Kalau mencari softlens ada di toko optik yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sini. Hanya dua blok," jelasnya. Aku mengangguk paham.
"Mana yang lebih tahan?" tanyaku lagi.
Dia tampak berpikir sejenak. "Tergantung kau mau memakainya dalam rangka apa. Tapi biasanya cat rambut seperti ini kuat dan hanya bisa dihilangkan dengan pelunturnya atau kau memanjangkan rambutmu," jelasnya.
Oke, dia tidak menjelaskan pertanyaanku. Aku melihat lagi kedua cat rambut beda merk itu. Aku ini orang yang payah dalam memilih. Biasanya yang akan memilihkan sesuatu untukku adalah Tetsuya atau Okaa-sama. Dan, disaat seperti ini aku benar-benar berharap Tetsuya ada disini dan memberikan sarannya.
"Omong-omong, kau baru di Shibuya ya? Aku belum pernah melihatmu disini," katanya.
Apa setiap orang yang baru di Shibuya harus memberitahumu bahwa mereka berada di Shibuya? "Bisa dibilang begitu."
"Kau punya pacar?" tanyanya lagi. Aku mengangkat pandanganku sekilas untuk mengekspresikan betapa frontalnya pertanyaan itu.
Okelah jika orang yang bertanya seputar kisah cintamu adalah seorang perempuan, tapi jika kau ditanya oleh seorang lelaki kemayu itu bukanlah hal yang menyenangkan.
"Kupikir itu bukan urusanmu," kataku masih sambil melihat cat rambut. Jika aku tidak ada urusan, maka sudah lama aku meninggalkan tempat menyeramkan ini.
"Memang, tapi kau tampan. Aneh jika kau tidak memiliki kekasih," katanya. Aku mengernyit. Apa setiap orang tampan harus memiliki kekasih? Maaf, aku bukan tipe yang seperti itu. Satu-satunya yang ada dipikiranku hanyalah bagaimana caranya agar Rakuzan menjadi juara dan Tetsuya.
"Oke. Aku beli dua-duanya," kataku pada akhirnya. Yah, sesampainya di apartment aku bisa langsung mencoba cat rambut tersebut dan menentukan mana yang lebih coock untukku. Bukan masalah besar.
Ia mengambil kedua botol cat rambut tersebut dan menghitung berapa banyak uang yang harus kuserahkan padanya untuk mendapatkan cat tersebut.
"Semuanya 5000 yen," katanya. Aku mengeluarkan dompetku dan mengambil lima lembar 1000 yen dan menyerahkannya.
Ia menghitung kembali uang yang kuserahkan sebelum ia menyerahkan dua boto cat yang dibungkus dalam sebuah kantong plastik. "Uangnya pas."
Kuraih kantong plastik tersebut dan beranjak keluar sebelum ia kembali bersuara. "Jika kau tidak tahu cara memakainya, aku bisa memakaikannya untukku," katanya disertai dengan kedipan.
Aku meringis menahan mual. "Tidak terimakasih." Aku segera melangkah keluar dari salon itu.
.
.
.
Sesampainya di apartment aku langsung membaca petunjuk penggunaan cat rambut yang baru saja kubeli. Setelah kubaca, ternyata tekhiknya tidak begitu sulit. Kau hanya harus mengoleskan cat secara rata keseluruh permukaan rambut, terutama pangkal rambut yang menempel pada kulit kepala.
Setelah selesai membaca, aku langsung mempraktekkan apa yang sudah kubaca. Kuambil kuas yang berada di dalam botol cat tersebut dan segera kuwarnai seluruh rambutku menggunakan cat tersebut. Au beruntung mendapatkan warna cat rambut yang sama, jadi aku tidak harus malu karena warna cat yang belang dan nantinya akan menimbukan kecurigaan.
Tidak sampai dua jam, aku selesai mewarnai rambutku. Kini aku adalah Akashi Seijuurou dengan rambut berwarna biru muda. Sudah hampir menyerupai Tetsuya, hanya saja mataku masih berwarna merah dan tidak besar.
Kulirik softlens yang tergeletak di sisi washtafel dan kuambil.
Aku mendesah. ini pertama kalinya aku memakai softlens. Aku tidak memiliki penyakit minus atau silinder, jadi aku tidak pernah memakai kacamata atau softlens sebelumnya. Tapi kali ini untuk pertama kalinya aku mencoba memakai softlens.
Jika kalian bertanya pendapatku, sebenarnya aku sedikit merasa seram pada orang-orang yang hobi memakai softlens. Maksudku, ketika mereka memakainya, mereka harus menyentuh mata mereka. Dan itu seram sekali. Aku membayangkan orang yang menyentuh mata saja sudah bisa membuatku bergidik, dan sekarang aku akan melakukan hal itu.
Tadi, ketika berada di toko optik, aku sudah berusaha berlatih bagaimana cara memasang softlens, apalagi softlens yang kubeli merupakan softlens yang diameternya lebih besar dari diameter mataku. itu karena bola mata Tetsuya yang lebih lebar dari mataku.
Kucuci tanganku dan mengeringkannya. Aku tidak mau mataku iritasi karena mataku yang tidak steril ketika memasang softlens dan mengakibatkan semua yang telah kususun berantakan. Pelan, kuambil softlens kananku dan dengan tangan sedikit gemetar kupasang di mata kananku.
Sensasi yang sedikit dingin mengahampiri mata kananku.
Dan kulakukan itu untuk mata kiriku juga.
Aku mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan kondisi mataku yang terasa sangat penuh karena adanya softens. Setelah aku merasa cukup pas, aku kembali menatap bayanganku.
Kini aku tidak merasa Akashi Seijuurou yang memandangiku. Aku merasa Tetsuya sedang berdiri dihadapanku. Aku cukup puas, karena kami terlihat mirip.
Aku tersenyum.
Mulai saat ini, aku bukanlah Akashi Seijuurou, namun aku adalah 'Kuroko Tetsuya'.
To Be Continued
A/N: Pertama-tama, maafkan saya yang sudah lama tidak update cerita ini. Fuh, rasanya mungkin cerita ini sudah menjadi jamur kaki di folder Fanfiction. Yah, tapi kondisi saya memang tidak memungkinkan untuk meng-update cerita. Ujian Sekolah dan intensif UN sedang berlangsung, apalagi pemerintah sedang dalam percobaan CBT, dan itu sangat merepotkan sekali, karena setiap TO satu hari jadi satu mata pelajaran dan itu berlangsung selama dua minggu! (Oke, ini gak nyambung sih, tapi biarlah author ini sesekali mengungkapkan isi hati #huek)
Ini juga update ditengah-tengah Ujian Sekolah. (T_T)
Kepada segenap reviewer, maafkan saya yang belum bisa membalas review kalian karena waktu saya dihabiskan hanya untuk membuka soal-soal.
Maafkan jika chapter ini tidak berkenan di hati kalian atau mungkin malah mengecewakan, karena secara pribadi, saya tidak ingin membuat alur cepat dan cenderung lambat (karena ini bukan oneshot). Di chapter ini saya mencoba berpikir seperti Akashi (?) jika diposisikan dalam keadaan seperti itu.
Nah, setelah saya ceramah panjang lebar dan tidak bermutu dan gak ada gunanya, seperti biasa...
Kritik, saran dan komentar selalu diterima.
