Kuroko no Basuke Fanfiction
Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi
I just borrow his Chara
Warning!
As you know, there will be so much typo, AU, OOC, and so much more.
Read first, and please give me your Review.. It's my pleasure...
Pemeran utama :
Akashi Seijuurou
Kuroko Tetsuya
Please Enjoy..
UNDEFINED
Chapter 4: SMA Teikou
Aku membenarkan letak tas di pundakku sembari melangkah menuju gerbang utama dari SMA Teikou, tempat Tetsuya bersekolah.
SMA Teikou merupakan SMA Swasta terfavorit di kota Tokyo. Terletak di tengah-tengah Tokyo dan menjadikan SMA Teikou menjadi SMA stategis di pusat kota. Meski Swasta, namun peminat siswa tidak kalah dari peminat yang ingin masuk ke SMA Negeri. Setelah gerbang utama, Teikou mempunyai halaman depan yang luas dengan banyaknya pohon sakura berderet menjadi 'pagar'.
Tak berselang lama, aku sampai di bangunan utama. Aku menuju loker sepatu yang berlabel 'Kuroko Tetsuya'. Aku kembali memantapkan hati. Pikiranku berspekulasi lagi. Di dalam bayanganku, mungkin saja loker sepatu Tetsuya diberikan banyak sampah atau sepatunya dicoret-coret, namun ketika aku perlahan membukanya, tidak ada hal-hal seperti bayanganku.
Semua normal.
Hanya ada sepasang sepatu berwarna putih dengan garis biru muda melintang di sisi sepatu. Kupakai sepatu tersebut dan kutaruh sepatu kets-ku di lokernya.
Aku kembali melangkahkan kaki untuk mencari kelas Tetsuya.
Tetsuya pernah bercerita bahwa kelasnya berada di lantai satu dan ia berada di kelas 1-4. Tidak sulit mencarinya karena setelah loker sepatu, koridor sekolah langsung menampilkan deretan kelas untuk murid tahun ajaran pertama.
Kulihat para murid yang juga sedang hilir mudik di sepanjang koridor.
Semuanya terasa normal dan baik-baik saja. Tidak ada tatapan aneh atau tatapan rendah yang mereka perlihatkan pada 'Kuroko'.
"Kurokocchiiii!"
Lengkingan itu bergema di sepanjang koridor hingga telingaku sakit. Siapapun yang berteriak nyaring pastilah orang yang tidak memiliki etika. Aku terus melangkah mencari kelas 1-4 sampai punggungku ditubruk dengan sangat kasar dan sangat keras.
Aku hampir menggigit lidahku karena kaget. Punggungku teras berat dan nyeri serta ada yang memelukku dari belakang dengan sangat kuat hingga aku nyaris tidak bisa bernapas.
"Kurokocchi, aku kangen ssu~" Suara seseorang yang kuketahui baru saja berteriak nyaring dan kini ia berbicara seperti itu tepat di depan telingaku. Aku melepaskan pelukan sepihak itu dan mencoba melihat siapa yang berani-beraninya memeluk 'Kuroko' selain aku.
Yang pertama kali kulihat adalah bahu bidangnya yang berbalut blazer putih dan dasi berwarna biru toska. Aku mendongak untuk melihat wajahnya dan yang kulihat adalah senyumnya yang sangat terang dan bahagia hingga matanya menyipit. Siapa dia?
"Kurokocchi tidak kangen aku ssu?" tanyanya sambil sedikit menunduk menatapku.
Pemuda dihadapanku ini berambut kuning dengan bola mata yang berwarna kuning juga. Persis seperti warna replika dari matahari.
"Kurokocchi? Kok diam saja?" tanyanya lagi.
Apa yang bisa kulakukan jika bukan diam? Bertanya siapa dia? Aku akhirnya menghela napas dan mencoba bertindak seperti Tetsuya di situasi seperti ini.
"Sumimasen. Kurasa aku sedikit pusing," kataku setengah jujur. Mendapati lengkingan di pagi hari bukanlah sesuatu yang bagus untuk kesehatan telinga. Lagipula semua teman-temanku di Rakuzan tidak ada yang menyapaku dengan sebuah lengkingan dan pelukan yang sangat kuat.
Teman macam apa yang dimiliki Tetsuya di SMA ini?
"Ah! Gomen ssu. Pasti masih sakit ya. Aku tidak sengaja," katanya gelagapan. Ia terlihat bersalah dan menurutku itu memang salah. Seenaknya memeluk orang. Jika aku tidak bisa mengontrol diri, mungkin sudah kugunting lidahnya agar tidak bisa berteriak sembarangan lagi.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin masuk kelas saja," kataku mengakhiri dan berbalik pergi untuk mencari kelas Tetsuya.
Namun tampaknya pemuda pirang itu mengikutiku. "Ayo kita ke kelas sama-sama," ajaknya dan segera menggandeng tanganku. Aku refleks melepaskannya karena aku bukan orang yang suka disentuh oleh orang lain, kecuali oleh keluargaku. Ia tampak kaget.
Aku baru menyadari bahwa aku bukanlah diriku disini dan langsung merutuki kebodohanku. Pasti ia bertanya-tanya ada apa dengan Kuroko Tetsuya pasca pulih dari 'sakit'. "Sumimasen. Aku sedikit kaget," kataku mencoba berkilah.
"Eh? T-Tidak apa-apa kok. Kurokocchi juga baru sembuh 'kan? Maaf membuatmu kaget ssu," katanya dan ia segera berjalan duluan. Aku hanya memberinya senyum tidak enak dan mengikutinya.
Sampailah kami di kelas 1-4. Ia membuka pintu kelas sementara aku berusaha menanti apa yang terjadi. Apa akan ada pembulian? Namun ketika aku melangkah masuk, semua terasa normal. Semua orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang menyalin PR, berbincang-bincang, sekedar membaca atau bahkan tidur. Ini situasi kelas yang biasanya.
Aku memperhatikan pria kuning itu duduk di salah satu bangku di dekat jendela dan ia menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya. Aku berjalan ke arahnya.
"Hari ini aku yang duduk di dekat jendela ya," katanya. Aku hanya mengangguk singkat dan duduk di kursi sebelahnya. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan tidak ada satupun yang aneh. Ini normal dan wajar.
Lantas apa yang menjadi penyebab?
Aku kembali menenangkan diriku sendiri. Aku baru saja melangkah untuk mengenal Tetsuya yang selama ini tidak kukenali. Wajar saja jika belum ada petunjuk satupun. Kertas memorandum di saku blazer-ku terasa sangat membebani. Sekarang aku membawa memorandum itu kemana-mana, sebagai pengingat tujuanku dan semua tindakan yang kulakukan atau yang akan kulakukan.
Aku terlalu terhanyut dalam pikiran sendiri hingga nyaris melompat kaget karena seseorang menepuk bahuku pelan.
Kupandangi orang yang menepuk bahuku dan itu adalah seorang lelaki dengan rambut cepak berwarna coklat. Ia menghembuskan napas ketika aku menatapnya.
"Dasar. Kebiasaanmu melamun tetap tidak berubah ya, Kuroko," katanya dan ia menempati kursi di depanku.
"Ohayou Ogiwara," sapa pria kuning disebelahku.
"Ohayou Kise. Kau jangan banyak bicara sekarang Kise, lihat, Kuroko sudah pucat padahal dia baru masuk," jelas orang bernama Ogiwara itu.
Kise merenggut. "Aku tidak membuatnya pucat ssu. Kulit Kurokocchi memang sudah pucat dari sananya," renggutnya.
Ogiwara mengabaikannya. Ia menatapku cemas. "Kau sudah baikan?" tanyanya dan aku mengangguk.
"Benar-benar sudah baikan?" tanyanya lagi. Dan aku mengangguk lagi, lebih kuat dari sebelumnya.
Ia terlihat resah sejenak sebelum menghapus keresahan itu. "Maksudku… 'itu' sudah baik-baik saja?" tanyanya sambil menurunkan volume suaranya.
Aku memandangnya bingung. 'Itu'? Aku hanya mengerjap dan menatap bingung. Ingin sekali aku bertanya apa maksudnya, tapi lidahku kutahan.
Tampaknya reaksi diamku adalah repon negatif darinya.
"Kurasa kau tidak harus memaksakan dirimu Kuroko," katanya. Aku semakin bingung. Jika kutimpali maka semuanya akan berantakan, dan aku juga tidak bisa berdiam diri.
Baru aku membuka mulut ketika Kise menyela, "Kalian membicarakan apa ssu?"
Ogiwara menggeleng. "Tidak ada. Oh ya, Kuroko, ini catatan selama satu minggu kau absen. Tulisanku tidak serapi punyamu, tapi kuharap itu bisa melengkapi catatanmu yang kosong," katanya sambil mengeluarkan sebuah buku tulis bersampul coklat dari dalam tasnya dan menyerahkannya padaku.
Aku menerimanya. "Arigatou," jawabku singkat. Kubuka lembar demi lembar catatan itu dan tidak ada sesuatu yang aneh. Semuanya seperti catatan pelajar. Coretan pulpen, tipe-x, dan gambar-gambar tidak jelas di ujung-ujung buku.
Tak berselang lama bel masuk berbunyi dan Ogiwara sudah menatap ke depan lagi karena seorang guru sudah memasuki kelas.
.
.
.
Bel istirahat berbunyi bertepatan dengan perutku yang kosong. Memulai hari dengan pelajaran sastra selama tiga jam berturut-turut bukanlah sesuatu yang kusukai. Berkutat dengan rumus-rumus dan hukum alam masih jauh lebih baik dibandingkan disuruh merangkai frasa dengan banyak aturan klasik yang menurutku tidak penting. Apalagi ditambah dengan teks yang banyaknya tidak manusiawi.
"Apa masih ada yang sakit, Kuroko? Kau tampak tidak bersemangat selama pelajaran sastra," ujar Ogiwara sambil memperhatikanku. (Selama tiga jam kami disuruh menganalisa sebuah teks sejarah dengan semua unsur-unsur yang mengerikan dan dilakukan dalam kelompok).
"Iya ssu. Padahal Kurokocchi selalu bersemangat setiap kali pelajaran sastra. Padahal apa enaknya sih? Membosankan tahu," timpal Kise. Dalam hati aku juga membenarkan pernyataannya. Apa enaknya belajar sastra? Hanya Tetsuya yang menyukai pelajaran visual seperti ini.
"Aku baik-baik saja," jawabku pada akhirnya. Yah, dengan berakhirnya pelajaran sastra, aku tidak akan terlihat murung lagi.
Ogiwara bangun mendadak dari bangkunya. "Omong-omong Kise, mau ke kantin?" tanyanya pada Kise. Aku diabaikan.
Kise mengangguk. Ia bangkit dan aku juga ikutan bangkit. Mereka memandangku aneh.
"Kau mau kemana Kuroko?" tanya Ogiwara.
"Ke kantin bersama kalian," jawabku. Setidaknya aku harus tahu kondisi sekolah karena aku tidak mungkin membawa denah sekolah setiap kali pergi dari kelas.
Kise memandangku aneh. "Kau tidak membawa bekal ssu? Bukannya kau paling anti pergi ke kantin?"
Aku ingin menepuk jidat dengan meja di depanku. "Emm. Hari ini Okaa-sama tidak bisa membuatkanku bekal," bohongku.
"Okaa-sama? Bukannya kau yang selalu membuat bekal untuk dirimu?" tanyanya lagi. Aku jadi ingin memplester mulut besar ini.
"Yeah… Kadang-kadang Okaa-sama," gumamku asal. "Intinya aku tidak membawa bekal hari ini dan ingin makan di kantin. Kita jadi pergi atau tidak?" tanyaku lagi.
Ogiwara menghela napas. "Yare-yare. Kau tidak perlu melotot pada kami Kuroko," putusnya. Kami bertiga langsung saja berjalan bersama ke kantin.
.
.
.
Kantin ramai sekali dan aku jadi mengerti kenapa Tetsuya jadi anti dengan kantin. Dengan banyaknya manusia yang kelaparan bukannya mustahil jika Tetsuya tidak ingin menginjakkan kaki ke kantin.
Aku juga baru ingat bahwa selama kita SMP, Tetsuya jugalah yang membuatkanku bekal jika Okaa-sama dan Otou-sama sedang sibuk bertengkar siang malam.
Setelah mengantre dengan lama dan sabar, kami bertiga sudah membeli apa yang kami inginkan. Kise dengan paket nasi teriyaki, Ogiwara dengan spaghetti dan aku hanya dengan roti dan teh kotak. Kami mengambil bangku kantin yang paling pojok dan sudah rusak, sehingga kami harus duduk tanpa menggerakkan anggota tubuh jika tidak ingin terjungkal dan jadi bahan tertawaan seluruh isi kantin.
"Ittadakimasu," ucap kami bertiga bersamaan. Kise dengan cepat melahap nasi teriyakinya persis seperti orang yang sangat lapar, sementara Ogiwara melahap perlahan spaghetti agar tidak tersedak. Dan aku sendiri makan secara normal. Tiba-tiba saja Kise mengangkat wajahnya.
"Nee Kurokocchi, tumben sekali kau membeli teh kotak. Bukannya kau tidak suka teh?" tanyanya sambil menatapku dalam.
Aku lagi-lagi ingin menggulingkan diri hingga tertelan bumi.
Baru di kantin ini aku sadar bahwa selera antara aku dan Tetsuya adalah dua kutub yang saling bertolak belakang. Tidak bisa menyatu bahkan dihidangkan berdampingan. Dan semua yang kulakukan saat ini sangatlah tidak 'Kuroko Tetsuya' sekali.
"Aku hanya ingin mencoba menu baru saja. Dan tolong jangan berbicara ketika mulutmu masih berisi makanan," tegurku. Aku paling benci jika melihat orang yang makan dan berbicara disaat yang bersamaan.
"Ukh, sifat kerasmu itu tidak berubah ya ssu," katanya sambil kembali makan.
Aku kembali menekuni rotiku sampai aku sadar bahwa Ogiwar tampak sesekali melihat ke arahku. Bukannya aku tidak tahu, tapi rasanya tidak akan enak bertanya jika ada mahluk berisik bernama Kise di sekitar kami berdua. Aku mempunyai firasat bahwa ia ingin memberitahu sesuatu namun urung.
Seperti ada sengatan listrik mengalir di tulang belakangku. Mungkin saja Ogiwara tahu motif dibalik kasus bunuh diri Tetsuya. Melihat gelagatnya tadi pagi dan cara pandangnya, aku tahu ia tahu lebih banyak dari si kuning berisik satu lagi.
Tanpa sadar kuremas roti di genggamanku sampai selai nanas sebagai isinya muncrat keluar. Segera kubersihkan tanganku yang terkena selai dengan tissue. Kulirik lagi Ogiwara yang pura-pura sibuk dengan spaghetti-nya.
Aku bangun mendadak hingga kedua orang dihadapanku mendongak melihatku.
"Kau mau kemana Kurokocchi? Rotimu belum habis," kata Kise (setidaknya yang ini ia menelan dulu daging teriyakinya).
"Toilet," jawabku singkat.
Baru aku melangkah sejenak, Ogiwara ikut bangkit. "Kebetulan sekali Kuroko, aku juga mau ke toilet. Kise jaga tempat ya," jelasnya dan ia langsung menarik tanganku pergi dari kantin.
Ia membawaku seperti ia membawa sebongkah narkoba ke dalam sekolah. Kepalanya tidak berhenti melihat ke kanan dan ke kiri dan matanya seolah menjelajah, mencari seseorang yang terlarang. Seperti pengedar narkoba mencoba bersembunyi dari polisi yang menyamar.
Ia tidak membawaku ke toilet, melainkan ke sebuah lorong sempit dan gelap menuju gudang (ada tulisannya di koridor, jadi aku tahu bahwa lorong ini menuju gudang).
Ogiwara langsung menatapku tajam. "Nah, katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Ibumu memberitahu sekolah bahwa kau tidak masuk karena mengalami kecelakaan, apa itu benar?" tanyanya.
Aku berusaha tenang dan tidak mendorong Ogiwara yang mencengkram kuat bahuku dengan jarak yang terlalu dekat. "Seperti yang kau lihat, Ogiwara…-kun." Mulutku terasa aneh mengucapkan namanya diiringi dengan akhiran.
"Kau membuatku jantungan ketika mendengar berita itu! Kupikir kau kenapa-napa. Midorima juga tidak memberikan kabar apapun mengenaimu! Astaga Kuroko, berhentilah membuat orang lain cemas," katanya sambil menatapku. Aku tahu ia benar-benar khawatir pada 'Kuroko' dengan melihat matanya yang berkaca-kaca.
"Sumimasen," kataku pada akhirnya.
Ia menggeleng. "Terlalu cepat untuk minta maaf, Kuroko. Kau harus kembali berhati-hati. 'Mereka' tidak tahu kau sudah masuk hari ini dan kurasa kau harus menghindari 'itu' untuk waktu dekat ini," katanya memeperingatkan.
Jantungku berdetak dua kali lebih cepat.
'Mereka'?
Siapa 'Mereka'?
Apa yang sebenarnya sedang dibicarakannya? Apa 'mereka' yang disebutkan oleh Ogiwara adalah orang yang membuat Tetsuya tertekan? Tanpa sadar aku mengepalkan kedua tanganku.
Tampaknya Ogiwara salah mengartikan dengan ekspresiku yang mendadak mengeras. Ia segera menggenggam tanganku, sugesti agar aku rileks. Mungkin ia mengira ekspresi yang kukeluarkan adalah ekspresi ketakutan akan trauma.
"Maaf jika itu membuatmu takut. Tapi kejadianmu juga membuatku takut. Aku sempat mengira bahwa kau nekat melakukan aksi bunuh diri," katanya prihatin.
Aku ingin menggeleng. Itu benar. Dugaanmu benar, Ogiwara. Kuroko Tetsuya sudah melakukan aksi bunuh diri yang selama ini kau takutkan, tapi sayangnya ia kini terbaring koma di rumah sakit dan entah kapan akan sadar.
"Apa kau sudah memberitahu Midorima bahwa kau sudah masuk?" tanya Ogiwara lagi.
Aku refleks menggeleng. Siapa pula Midorima ini? Rasanya aku semakin pusing dengan semakin banyaknya ucapan yang tidak kumengerti ini.
"Kurasa kau harus segera memberitahunya. Meski ia tsundere tapi ia benar-benar mencemaskanmu dan… ia juga bisa menghindarkanmu dari 'mereka' sampai kau kembali tenang dalam jangka waktu dekat," katanya. Nada suaranya mengecil di kalimat terakhir.
Aku ingin berteriak karena aku sama sekali tidak tahu apapun. Aku merasa bahwa aku ini orang idiot. Bahkan arah pembicaraan ini saja aku tidak tahu atau hanya sekedar membalas ucapannya saja aku tidak bisa.
"…Akan… kuusahakan," jawabku hati-hati.
Ia menghembuskan napas lega setelahnya. "Yah, setidaknya kau membuatku tenang karena saat ini kau baik-baik saja," katanya.
Aku berusaha tersenyum untuk membalas senyumannya. "Arigatou Ogiwara…-kun."
.
.
.
Kami kembali ke kantin dan menghabiskan makanan kami. Tempat Kise sudah bersih dan ia sedikit mengeluh karena kami ke toilet lama sekali, namun Ogiwara hanya tersenyum tidak enak. Aku kembali makan, tapi aku sudah tidak merasakan rasa roti nanasku lagi. Bahkan ketika aku meminum teh, tidak ada rasa manis gula yang menyapa organ tak bertulang milikku. Papila lidahku seolah mati rasa hanya karena percakapan dengan Ogiwara tadi.
Aku hanya baru bisa berspekulasi bahwa ada kelompok orang yang tampaknya menindas Tetsuya sehingga membuatnya tertekan dan mengakibatkan ia bunuh diri.
Pikiranku kembali pada memorandum yang kusimpan di saku blazer-ku. Itu hanya selembar kertas, namun rasanya kertas itu memiliki kekuatan magis hingga aku merasa membawa bongkahan batu di dalam jantungku.
"Kurokocchi, hari ini kau terlalu banyak melamun ssu~"
Terimakasih Kise, karena berkat rengekanmu seluruh spekulasi di otakku buyar.
"Kau terlalu berisik Kise," kata Ogiwara. Ia sudah menghabiskan spaghetti-nya.
"Kita ke kelas? Lima menit lagi bel masuk," kata Kise.
Kami bertiga berjalan kembali ke kelas dan keadaan kantin mulai sepi. Kini murid lebih suka berbincang di koridor sekolah sembari menunggu bel berbunyi.
Aku sudah diambang pintu kelas 1-4 ketika seseorang menghentikan langkahku dengan menahan bahuku.
"Oi Kuroko, tampaknya kau sudah sembuh."
To Be Continued
A/N: Baiklah... Untuk menebus chapter kemarin, sekarang saya sudah update chapter 4-nya...
Semoga berkenan di hati kalian semua. Maafkan saya jika ada yang tidak berkenan.
Kritik, saran dan komentar selalu diterima.
