Kuroko no Basuke Fanfiction
Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi
I just borrow his Chara
Warning!
As you know, there will be so much typo, AU, OOC, and so much more.
Read first, and please give me your Review.. It's my pleasure...
Pemeran utama :
Akashi Seijuurou
Kuroko Tetsuya
Please Enjoy..
UNDEFINED
Chapter 6: Ikut Mati
Jantungku yang sedari awal memang sudah berpacu dengan cepat sekarang berdetak semakin cepat. Pintu lab biologi tertutup perlahan-lahan sementara aku semakin ditarik masuk, hingga aku refleks mengangkat tanganku untuk memukul siapa saja yang menarikku.
Namun ketika kepalan tanganku sudah berada dekat di wajahnya, tanganku dicekal erat.
"Woah! Kurokocchi, tenanglah. Kau seperti dikejar-kejar setan."
Gerakanku terhenti di tengah-tengah.
Di hadapanku, Kise Ryouta sedang menampilkan ekspresi bingung.
"Kise…? Kenapa kau ada disini?" tanyaku bingung. "Bukankah kau sudah pulang dari tadi?"
Ia menghela napas dramatis. "Apa boleh buat. Aku sudah pulang dari tadi ssu. Tapi ketika aku melewati ruang guru, aku diminta tolong oleh sensei untuk membawa alat-alat praktek untuk disimpan kembali di lab biologi," katanya sambil menunjuk seperangkat alat praktek yang masih berceceran di atas meja. "Lihat? Aku bahkan harus menyusunnya kembali. Menyebalkan sekali," gerutunya.
"Nah, omong-omong, Kurokocchi sendiri kenapa ada disini? Bukankah katamu kau mengikuti pelajaran tambahan ssu?" tanyanya.
Kerongkonganku terasa kering dan seret. Aku kehausan setelah berlari marathon sampai ke lantai 3. Aku mau membuka suara namun derap kaki terdengar jelas dari balik lab biologi.
Spontan, aku menarik Kise semakin mendekat dan menyuruhnya berjongkok bersamaku di bawah sebuah meja lab yang beralaskan taplak panjang. "Kurokocchi…? Kenapa ka–hhmp!"
"Diam," desisku sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kananku.
Langkah kaki semakin banyak di lanta tiga bersamaan dengan degupan jantungku yang kian cepat.
"Kemana monyet kecil itu pergi? Cari dia!" aku bisa menebak bahwa itu suara Jason Silver yang merasa dirinya pemimpin sebuah mafia.
Aku mampu mendengar langkah kaki yang berpencar dan mulai membuka satu per satu pintu lab.
"Terkunci. Semua pintu lab terkunci. Dia tidak mungkin bersembunyi di lantai tiga," aku mendengar seseorang berkata seperti itu. Dalam hati aku berdoa semoga semuanya percaya padanya. Ya, 'Kuroko Tetsuya' tidak bersembunyi disini dan cepatlah pergi dari lantai tiga.
"Ah! Lab biologi tidak terkunci," kata seseorang.
Aku mengutuk siapapun orang yang berkata seperti itu.
Semakin lama, aku semakin bisa mendengar langkah kaki yang berjalan mendekati lab biologi dan membukanya perlahan. Ini lebih menyeramkan dibandingkan jika aku merupakan pemeran utama dalam sebuah film horror. Di semua film horror yang kutonton, suara pintu terbuka perlahan-lahan seperti itu merupakan tanda bahwa akan ada hantu yang muncul.
Biasanya aku hanya mendengus dan biasa saja menontonnya, namun sekarang aku merasa bahwa nyawaku sedang dipertaruhkan jika mereka sampai menemukanku disini. Bedanya, jika di film horror hantunya hanya satu, yang ini 'hantu'nya mungkin lebih dari selusin.
"Ng? Tidak ada orang?"
Ya. Memang tidak ada orang disini, jadi sekarang pergilah kalian semua. Bukannya aku pengecut atau apa. Jika aku hanya menghadapi Jason Silver seorang diri, maka aku bisa menjamin bahwa aku akan baik-baik saja, namun jika sekitar selusin orang mengejarmu dengan tatapan kelaparan, aku bisa apa? Aku tahu sesuatu yang buruk akan terjadi jika aku sampai tertangkap.
"Cari di semua sisi, dasar idiot! Dia pasti bersembunyi di balik pintu, meja atau lemari!" suara Jason Silver lagi. Bahkan dengan komplotannya ia tidak tahu ketatakramaan.
Suasana di lab biologi benar-benar sangat mencekam. Mungkin jika ini film, para hantu sedang menggeledah dan membuka satu per satu tempat yang memungkinkan untuk bersembunyi. Taplak-taplak meja disingkap secara kasar. Lemari di buka secara kasar. Dan tampaknya itu juga berlaku di dalam kasusku saat ini.
Aku mendengar suara kain yang disingkap dan lemari-lemari kayu yang dibuka. Ini benar-benar mengerikan. Jika mereka semua menemukanku, maka bukan hanya aku yang tamat, tapi Kise juga bisa ikut terlibat dan mereka bisa saja tahu bahwa aku bukanlah seorang 'Kuroko Tetsuya'. Intinya, akan sangat merepotkan jika aku sampai tertangkap.
Dan, adegan yang paling menegangkan pun akhirnya terjadi. Aku mampu melihat bayangan orang yang berjalan mendekat ke meja tempat kami bersembunyi. Karena terlalu tegang, aku sampai tidak berani bernapas, takut helaan napasku akan terdengar. Ia sampai di depan mejaku.
Aku memejamkan mata dan memanjatkan doa.
Jangan sampai ketahuan. Jangan sampai ketahuan.
Tangannya menjulur untuk menyingkap taplak…
"Hei! Sedang apa kalian semua masuk-masuk lab biologi sembarangan?"
Karena seruan seorang (yang menurut asumsiku) guru, gerakan orang itu terhenti.
"Jason Silver! Sudah kukatakan padamu berkali-kali untuk tidak menimbulkan keributan di sekolah! Kau ini tidak punya telinga ya?" salak guru itu pada Jason Silver.
"Bubar! Atau sensei akan memanggil orangtua kalian karena sudah mengacak-acak ruangan sekolah," ancamnya tegas. Siapapun guru itu, aku mendeskripsikannya sebagai malaikat.
"Cih!" Aku mendengar Jason Silver menyumpah-nyumpah sebelum langkah kaki keluar dari lab biologi dan menghilang karena mereka sudah turun dari lantai 3.
Tak berselang lama, guru itu menghembuskan napas lelah. "Dasar, ada-ada saja anak muda zaman sekarang," katanya. "Tampaknya petugas kebersihan lupa mengunci lab biologi lagi," gerutunya sebelum ia turun dari lantai tiga.
Aku langsung melepas tanganku yang sedari tadi kuletakkan di mulut Kise untuk membungkamnya. Dengan seluruh tubuh yang sedikit gemetar, aku merangkak keluar dari persembunyian kami berdua dan menarik napas lega.
Jantungku masih berdegup sangat keras dan seluruh tubuhku masih terasa lemas, namun aku memaksakan diri untuk terus berdiri. Kise menyusul keluar setelah aku.
Ia masih menatapku bingung, dan aku sudah mencari-cari alasan yang bisa kuberikan padanya jika ia bertanya kejadian tadi. "Kurokocchi, kau baik-baik saja?" tanyanya cemas. Dia tampak ingin bertanya lebih jauh tentang kejadian barusan, namun ia juga tampak tengah menahan lidahnya untuk bertanya. Aku menghela napas lega diam-diam jika ia tidak jadi bertanya.
Dengan sedikit kaku aku mengangguk. Ia meraih tanganku yang menggenggamnya lembut. Aku tidak menolak perlakuannya padaku. Mungkin dia berpikir bahwa saat ini aku sedang ketakutan dan terguncang sehingga bukan waktu yang tepat untuk bertanya hal-hal seperti 'tadi itu apa?' atau 'kenapa mereka mengerjar-ngejarmu?'.
"Tanganmu bergetar. Kau ketakutan," katanya, nyaris berbisik lembut padaku. Aku baru sadar bahwa apa yang ia katakan itu benar. Kulihat tanganku yang berada dalam genggamannya yang memang sedang bergetar. Ia semakin mempererat genggaman kami.
"Sumimasen," kataku pelan. Ia menggeleng.
"Iie. Aku yang harus minta maaf. Kurokocchi terlihat panik ketika aku menarikmu. Maaf kalau sudah membuatmu kaget," katanya. Aku menarik napas dan menghembuskannya.
Itu tidak penting. Lagipula dengan semua yang terjadi rasanya mustahil aku bisa lebih kaget lagi. Setelah aku yakin bahwa tanganku sudah tidak gemetar lagi, kulepas genggaman kami.
"Arigatou gozaimasu. Kurasa aku mau pulang," kataku dan segera berbalik keluar dari lab biologi. Namun gerakanku terhenti karena Kise menahan tanganku pelan. Aku menatapnya.
"Bagaimana jika kita pulang bersama? Tunggu aku. Aku akan menyusun alat-alat ini dengan cepat," katanya, sedikit memohon.
Sebenarnya aku ingin langsung kembali ke apartemen. Baru saja satu hari namun sudah sangat banyak kejadian yang membuatku sangat lelah. Lelah badan, hati dan pikiran. Aku butuh istirahat. Misalnya seperti berendam di dalam bak mandi dan kemudian mendengar musik klasik, asupan yang bagus untuk tubuhku.
Namun karena tatapan melas Kise membuatku tidak tega, jadilah aku mengangguk setengah hati. Ia menyunggingkan senyum lebar, seperti anak anjing yang baru saja diberi susu hangat. Aku jadi ikut tersenyum melihatnya.
"Oke. Karena Kurokocchi sudah mau menungguku, aku akan bekerja dengan semangat ssu!" serunya sedikit berlebihan. Aku menjadi geli sendiri mendengar kalimatnya.
Ia mulai kembali berkutat dengan alat-alat praktek dan menyusunnya ke dalam sebuah lemari kayu sambil bersenandung.
Aku bukan tipe orang yang akan diam saja jika melihat orang lain sedang berjibaku. Akhirnya aku melangkah mendekatinya sambil kubawa sebuah nampan berisi penuh dengan tabung-tabung.
"Kise…-kun, aku bantu ya."
.
.
.
Akhirnya kami berakhir di MajiBa, dengan Kise yang memesan sebuah burger cheese dan cola, sementara aku dengan sebuah burger original dan cola juga.
"Tumben sekali Kurokocchi membeli makanan lain selain Vanilla Milkshake dan… kau bahkan tidak memesan Vanilla Milkshake!" serunya sangat dramatis, nyaris menjerit.
Keadaan MajiBa sedang ramai, karena kami datang kemari bertepatan dengan jam makan malam para karyawan. Kami mendapatkan tempat duduk saja sudah bersyukur.
Sebenarnya aku juga sadar bahwa ini sangat bukan seorang 'Kuroko Tetsuya', tapi aku juga tidak mampu terus menerus mengikuti pola makan Tetsuya. Aku lapar setelah semua yang terjadi hari ini dan tubuhku butuh asupan dan itu bukan Vanilla Milkshake.
Aku bukan Tetsuya yang bisa memakan apapun dan minumnya Vanilla Milkshake. Yang bisa kulakukan adalah; minum Vanilla Milkshake dan semua yang sudah kutelan akan kembali keluar lewat kerongkongan. Ya. aku benci susu.
Tetsuya pernah mencibir satu kali karena aku tidak menyukai susu. Katanya itu yang menyebabkan pertumbuhan badanku terhenti, meski aku rutin main basket dan olahraga lainnya. Katanya tubuhku kekurangan kalsium. Tapi aku membalas bahwa Tetsuya yang seumur hidupnya sangat menyukai susu, tinggi badannya tidak lebih dariku dan ia tidak menyukai sinar matahari dan kataku ia kekurangan vitamin E.
Setelahnya ia marah dan tidak mau berbicara padaku selama tiga hari dan membiarkanku merana karena ia mengacuhkanku. Untuk menebus dosa, akhirnya aku harus rela membelikannya Vanilla Milkshake setiap hari selama satu minggu.
Bukan kenangan manis yang enak untuk diingat.
"Kurokocchi~" panggil Kise, menyentakku dari monolog masa lalu. Aku hanya menatapnya, karena aku sedang mengunyah burger. "Setelah ini, mau kuantar pulang?"
Aku nyaris tersedak makananku. Antar pulang? Kau ini temannya Tetsuya atau kekasihnya? Lagipula, aku ini sudah besar dan tidak butuh seseorang untuk mengantarku pulang. Atau mungkin saja ia khawatir padaku setelah kejadian yang nyaris menyeretnya juga. Aku tersanjun jika itu memang motifnya, namun aku menggeleng pelan.
"Tidak usah, nanti aku jadi merepotkanmu."
Ia menggeleng. "Tidak merepotkan kok. Sekalian aku menginap di tempatmu ssu," katanya.
Oke, ini sudah mustahil. Aku tidak begitu paham hubungan antara Tetsuya dan Kise, namun aku merasa bahwa mereka berhubungan lebih dari sekedar teman. Entah hubungan apa, aku tidak bisa menjabarkannya. Belum bisa.
"Ya? Ya?" desaknya lagi. Untuk kesekian kalinya hari ini, aku memutar otak mencari alasan menolaknya.
"Sumimasen, tapi hari ini tidak bisa," kataku.
Ia menatapku dengan pandangan bertanya. "Hari ini aku dan Okaa-sama akan mendatangi pameran busana beliau. Jadi, tidak bisa," lanjutku, melihat ekspresi Kise.
Ia terlihat sangat kecewa, seperti anak anjing yang kehujanan. "Yah… begitu ya… Apa boleh buat, lagipula aku masih ada pemotretan setelah ini," katanya lemas.
Alisku terangkat mendengar kalimatnya. "Pemotretan?"
Kise mengangkat pandangannya. "Lupa ya ssu? Hari ini aku akan melakukan pemotretan untuk edisi musim panas. Manager-ku bilang seharusnya minggu depan, tapi jadwalku dimajukan menjadi minggu ini karena minggu depan adalah hari penting kita," jelasnya.
Bukan lupa, tapi aku tidak tahu bahwa ternyata kau bekerja sebagai model. Tapi wajar saja, melihat wajahnya tidak heran jika ia bekerja sambilan sebagai model.
Tunggu! 'Hari penting kita'?
Rasa penasaranku meningkat dan aku membuka mulut untuk bertanya namun deringan ponsel milik Kise menginterupsi.
"Moshi-moshi?"
"…"
"Eh? Sekarang juga? Ha'i. Ha'i. Aku akan kesana sebentar lagi. Aku sedang di restoran cepat saji sekarang. Paling sekitar sepuluh menit lagi," jelasnya pada orang di telepon.
"…"
"Wakkata. Jaa ne." Setelahnya, ponsel itu dimatikan. Ia menatapku tidak enak.
"Gomenasai, Kurokocchi. Manager-ku sudah memintaku untuk berangkat ke studio sekarang. Aku duluan ya," katanya sambil mengambil tasnya.
Aku hanya berusaha tidak dongkol karena tiba-tiba ia pergi meninggalkanku sendiri, dengan burger setengah utuh dan cola yang masih belum disentuh.
Aku menghabiskan burger-ku dan cola. Yah, aku juga punya tempat yang harus kukunjungi sekarang.
.
.
.
Kepala perawat memekik kaget dan nyaris terjungkal dari kursinya begitu melihatku yang mengatakan ingin menjenguk Kuroko Tetsuya. Aku harus mengingatkan diriku lagi bahwa saat ini aku berpenampilan sebagai 'Kuroko Tetsuya' dan wajar saja jika kepala perawat nyaris terjungkal melihatku.
"Kupikir kau berambut merah," katanya setelah ia tidak berpikir bahwa Kuroko Tetsuya ingin mengunjungi dirinya sendiri. "Jadi kau mengecat rambut menjadi merah, selama ini?" tanyanya.
Aku mengangguk. Akan sulit menjelaskan kondisi kami berdua, dan kurasa tidak ada gunanya juga jika aku menjelaskan situasi rumit yang bahkan aku sendiri tidak pahami. Ia membuka ruang rawat tempat Tetsuya selalu terbaring disana dan mempersilahkanku masuk.
"Sebenarnya jam besuk sudah harus berakhir lima menit lagi, tapi kutoleransi sampai tiga puluh menit ke depan," jelasnya. Aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih sebelum perawat itu keluar dari ruang rawat inap Tetsuya dan menutup pintu.
Setelahnya aku hanya ditemani oleh suara alat-alat yang terus memantau Tetsuya tetap hidup. Aku menarik napas dan melangkah mendekat. Semakin dekat aku dengan ranjang, semakin rasanya aku tidak kuat. Padahal sebelum kemari aku sudah memantapkan hati untuk tidak serapuh beberapa minggu yang lalu, namun semuanya tidak berguna ketika aku kembali ke ruangan ini.
Bahkan dalam tidurmu pun, kau masih bisa membuatku menjadi tak karuan, Tetsuya.
Tetsuya masih tertidur dan tidak ada tanda-tanda akan membuka matanya. Kusentuh tangannya yang berbalut selang infus dan terasa sedikit dingin, akibat dari pendingin ruangan yang tidak pernah dimatikan. Kugenggam lembut lengan pucat Tetsuya.
Sebenarnya ketika aku memutuskan untuk datang ke rumah sakit, banyak sekali pertanyaan yang ingin kutanyakan pada Tetsuya, namun semuanya menguap begitu saja ketika aku menggenggam tangannya.
Untuk beberapa saat aku tidak mengatakan apapun kecuali menggenggam tangannya yang tidak bergeming.
"Sebenarnya, bagaimana caramu melewatkan kehidupan sekolahmu selama ini, Tetsuya?" aku bertanya pada angin kosong.
"Bagaimana caramu bertahan selama ini? Kenapa kau diam saja dan tidak memberitahuku?"
"Banyak sekali yang ingin kutanyakan padamu. Banyak yang harus kau ceritakan padaku. Kumohon, cepatlah sadar dan berhenti membuatku serasa ikut mati."
.
.
.
Aku sedang berjalan menuju kelas ketika suara berat seseorang memanggil nama 'Kuroko'. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Midorima Shintarou sedang berjalan cepat ke arahku. Kali ini ia tidak membawa figure karakter, namun membawa sebuah majalah perempuan. Apa orang ini menyukai hal-hal yang berbau perempuan atau apa?
"Ohayou Midorima…-kun," aku menyapanya. Ia hanya mengangguk kaku sebagai balasan dari sapaanku. "Ada perlu apa?" tanyaku.
Ia membenarkan letak kacamatanya sebelum menjawab, "Aku hanya ingin mengingatkan bahwa hari ini akan ada 'rapat' pulang sekolah. Bukan berarti aku sengaja lewat koridor ini untuk memberitahumu. Aku hanya kebetulan saja lewat disini," jelasnya salah tingkah. Aku mulai mengerti sifanya perlahan-lahan.
"Rapat?" beoku.
Midorima mengangguk kaku sebelum memandangku serius. "Ya. 'Dia' memintamu hadir secara personal. Meskipun pasti akan sangat berat mengingat statusmu sekarang," jelasnya. "M-Meski bukan berarti aku khawatir padamu atau apa," lanjutnya tidak jelas. Aku mengabaikan kalimatnya yang terakhir.
"Dimana?"
Ia memberiku pandangan aneh dan aku menyadari bahwa pertanyaanku itu mungkin salah.
"Kau… tidak melupakan bekas ruanganmu sendiri 'kan?" tanyanya hati-hati. Aku mencoba untuk tidak memasang wajah bingung yang bodoh, jadi aku hanya berusaha menatapnya datar seolah aku tahu segalanya.
"Ruangan dengan tulisan 'Gudang Lama' 'kan?" tanyaku sok tahu. Ia melotot horror padaku.
"Kupikir kau tidak akan pernah mau menyebut nama ruangan itu lagi. Semua yang terjadi padamu berawal dari sana! Lagipula, aku membicarakan lab bahasa," jelasnya lagi.
Oke. Lab bahasa adalah… 'bekas ruanganku'?
Apa maksudnya? Lagipula rapat apa yang dibicarakannya?
Aku mencoba mengingat-ingat apakah Tetsuya pernah bercerita tentang kegiatan eksul yang diikutinya, namun tidak kutemukan satu informasi pun. Well, bukan berarti Tetsuya harus selalu menceritakan semua kesehariannya padaku, saudara kembar yang selalu ingin tahu namun kenyataannya tidak tahu apa-apa.
Tetsuya bukan tipe orang yang mudah bergaul atau ikut perkumpulan. Selama masa SMP ia hanya suka menghabiskan waktu di perpustakaan sendirian sambil menungguku selesai latihan basket. Jadi wajar saja jika aku sedikit heran dengan apa yang dibicarakan oleh Midorima.
Tapi, 'dia'?
Melihat gelagat Midorima ketika memberi informasi ini padaku, aku merasa mendapat sebuah firasat yang tidak begitu baik. Dan lagi Midorima membawa-bawa 'status'ku. Ini semakin memperkuat firasat yang merasukiku. Entah mengapa, aku merasa bahwa perkumpulan atau 'kegiatan eskul' yang Tetsuya jalani ini tidaklah seperti eskul pada biasanya.
Jika kalian ingin menganggapku terlalu parno silahkan saja. Namun saat ini aku akan selalu dirundungi oleh perasaan mudah cemas. Segla yang telah terjadi belakangan ini sudah seperti menjungkirbalikkan seluruh kehidupanku. Segala tingkah Tetsuya yang tidak pernah bisa kutebak, segala hal yang kualami ketika menginjak kaki di Teikou… wajar bukan jika aku mudah panik?
"Oke. Kau benar. Aku tidak mau membahasnya," gumamku asal dan bingung. "Demo, arigatou Midorima…-kun," lanjutku.
Aku kembali melangkah mnuju kelas sebelum Midorima memanggil 'Kuroko' lagi. Aku kembali berbalik dan menatapnya.
"Ada apa lagi?" tanyaku.
Ia berjalan menghampiriku sambil menyodorkan sebuah gunting dengan gagang berwarna merah darah dari saku celananya. Aku menatap gunting itu bingung. Apa aku menjatuhkan barang dan dia memungutnya?
"Emm… gunting itu…?"
"Menurut Oha Asa, hari ini keberuntungan Aquarius berada di posisi paling bawah. Dan gunting ini adalah lucky item hari ini untuk Aquarius. Karena kebetulan aku bertemu denganmu disini, jadi kuberikan gunting ini," jelasnya.
Aku memandang gunting di tangannya yang dibalut perban (aku baru sadar) itu dengan bingung. Apa aku harus menerimanya atau harus menolaknya? Lagipula, apa yang sedang dibicarakannya?
Namun aku akhirnya mengambil gunting itu pelan-pelan. "Ano… Arigatou gozaimasu…" kataku setengah bingung. Setelah aku mengambil gunting itu dari tangannya, ia kembali menaikkan kacamatanya yang tidak melorot.
"Sudah ya," katanya dan berbalik pergi. Aku kembali menatap gunting di tanganku sebelum kumasukkan ke dalam saku bajuku dan berjalan menuju kelas.
.
.
.
Pulang sekolah adalah waktu yang sangat kunantikan. Ada sebuah 'rapat' penting di 'bekas ruanganku' dan aku diundang secara personal. Hebat. Hebat sekali.
Ogiwara awalnya bertanya apa aku ada acara dan aku berkata bahwa aku masih harus mengikuti beberapa pelajaran tambahan di lab bahasa. Awalnya ia ingin menemaniku, namun ternyata ia baru saja ingat bahwa ia memiliki jadwal di klub basket. Jadinya ia harus buru-buru sampai di lapangan basket jika tidak mau menerima hukuman atas keterlambatan.
Aku kembali berjalan ke lantai tiga yang sepi. Sama seperti kemarin. Tidak ada tanda-tanda anggota lain yang akan mengikuti rapat. Hanya aku berjalan sendirian di koridor lantai tiga hingga sampai di depan lab bahasa. Sempat aku berpikir bahwa Tetsuya ikut perkumpulan sastra, mengingat ia seorang yang mencintai sastra lebih dari ia menyayangi saudara kembarnya sendiri.
Aku tidak langsung masuk ke dalam lab bahasa sebagaimana Midorima memberitahuku. Pikiranku kembali berkecamuk. Rapat macam apa atau apa yang akan kuhadapi nanti, ini terlalu krusial bahkan hanya untuk sekedar dibayangkan olehku.
Dalam tempo waktu yang sedikit lama, aku hanya berdiam diri di depan pintu lab bahasa. Jantungku berdegup kencang lagi dan tanganku sedikit gemetar. Bahkan gunting yang kutaruh di dalam sakuku terasa sangat berat dan dingin. Perasaanku semakin menunjukkan bahwa semua tidak akan selancar yang kubayangkan. Mungkin saja aku bisa menemukan bahaya yang lebih besar dari Jason Silver atau… sebuah kenyataan dari 'Dia' yang mengundang Tetsuya secara personal.
Aku menarik napas dan menghembuskannya lagi. Berkecamuk dengan diri sendiri sampai mati juga tidak akan ada gunanya jika pintu dihadapanku ini tidak dibuka. Jika pintu ini dibuka, mungkin saja aku bisa melangkah sedikit ke depan dan menemukan sebuah titik terang. Tapi jika aku tidak membukanya, aku bisa mengalami kemunduran dan mungkin akan membahayakan bagi Tetsuya.
Pilihan yang mana pun, resikonya sama besar.
Memantapkan hati, aku meraih pegangan pintu lab dan membukanya perlahan.
To Be Continued
A/N: Selamat menikmati chapter baru ini~ Chapter ini sudah saya buat sedikit lebih panjang dari chapter sebelumnya (meski kayaknya gak begitu keliatan deh perbedaan banyak katanya). Maaf kalau chapter ini tidak menantang atau kurang greget. Sesekali (satu hari) biarkan Seijuurou menarik napas sejenak sebelum ia dikejutkan lagi oleh banyak fakta yang... mencengangkan.
Jangan khawatir, saya akan berusaha membuat chapter depan semakin penuh 'cobaan' bagi Akashi.
Bagi para reviewer yang sudah menyempatkan diri untuk me-review dalam keadaan login, sudah saya balas melalui PM masing-masing. Semoga jawaban saya menambah rasa penasaran kalian semua. Hehehehe
Okelah, kalau begitu...
Kritik, saran dan komentar selalu diterima.
