Kuroko no Basuke Fanfiction

Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi

I just borrow his Chara

Warning!

As you know, there will be so much typo, AU, OOC, and so much more.

Read first, and please give me your Review.. It's my pleasure...

Pemeran utama :

Akashi Seijuurou

Kuroko Tetsuya

Please Enjoy..

UNDEFINED

Chapter 8: Dua Persepsi

Aku terhuyung ke belakang sementara kepalaku terasa sangat sakit. Penglihatanku berkunang-kunang dan terasa sangat pusing hanya untuk sekedar memfokuskan diri. Aku tidak bisa menahan kakiku lebih lama berpijak di anak tangga hingga tubuhku terjatuh tiga anak lantai ke bawah. Tadi pipiku, sekarang kepalaku.

Aku memegang kepalaku yang menjadi sasarannya tadi. Namun itu berarti aku menutup pandanganku sendiri untuk melihat siapa pemukulnya. Aku mencoba bangkit namun terhuyung lagi, dan pemukul itu berjalan mendekatiku. Aku mundur hingga punggungku membentur tembok.

Aku berusaha untuk terus melihat namun aku menjadi semakin pusing. Lututku tampaknya sedikit tidak kuat dan ia kembali menghamtamku dengan besi, lebih kuat dari sebelumnya.

Rasa sakit yang tidak terkira menjalar ke seluruh kepalaku hingga aku meneteskan air mata. Aku bahkan tidak sanggup lagi untuk sekedar membuka mata dan hanya bisa meringis sakit. Kepalaku serasa dipaksa untuk pecah dan hancur berkeping-keping.

Namun aku yakin sekali, sebelum aku kehilangan kesadaranku, ada seseorang yang berkata dingin.

"Berhentilah melakukan sesuatu yang tidak perlu, Kuroko Tetsuya."

Setelahnya, aku kehilangan kesadaran.

.

.

.

Aku mencoba membuka mataku yang terasa sangat berat. Rasa pusing dan sakit masih mendominasi kepalaku secara keseluruhan. Sejenak aku tidak tahu mengapa aku merasa sangat pusing dan terbangun di tempat yang aku tidak tahu, namun detik kemudian aku ingat bahwa sesaat setelah aku keluar dari lab bahasa, kepalaku dipukul kuat oleh batangan besi dan aku terhuyung jatuh. Kurasa aku dipukul dua kali sebelum benar-benar tidak sadarkan diri.

Punggungku juga terasa nyeri karena saat aku terguling jatuh di tangga, kurasa punggungku membentur ujung tangga. Intinya, aku kesakitan.

Pandanganku masih buram dan berkunang-kunang hanya untuk sekedar tahu aku ini sedang dimana saat ini. Warna-warna blur yang tidak tertangkap sempurna oleh retina mataku membuatku harus mengerjap beberapa kali untuk melihat langit-langit secara jelas.

Langit-langit?

"Ah! Tetsu-kun, akhirnya kau bangun." Suara seorang perempuan memasuki indra pendengaranku. Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati gadis berambut merah muda sedang tersenyum lega. Momoi Satsuki.

Aku mencoba bangkit dari tempatku sebelum pusing kembali menjalar. "Jangan memaksakan diri dulu, Tetsu-kun," katanya khawatir, "ini es batu untuk pipimu," lanjutnya sambil menyerahkan es batu yang dibungkus kain kasa.

Aku menerimanya dan segera menempelkan es batu itu di pipiku. Rasa dingin menjalar cepat di pipiku yang tergena bogem dari Jason Silver."Arigatou gozaimasu."

Ia mengangguk sambil tersenyum. Namun, beberapa detik kemudian ekspresinya berubah. Raut cemas tergambar jelas di wajahnya. "Aku baik-baik saja," kataku sebelum ia membuka mulut. ia menatapku semakin cemas.

"Kau selalu mengatakan hal itu setiap kali aku bertanya padamu," katanya cemas.

"Karena aku memang baik-baik saja. Terima kasih sudah mencemaskanku," jawabku mencoba tersenyum tipis.

Aku baru sadar bahwa aku sudah berada di UKS karena bau obat-obatan yang kental dan kondisiku saat ini. "Ano, terima kasih sudah membawaku ke UKS," kataku pada Momoi.

Momoi menggeleng. "Jangan berterimakasih padaku, tapi pada Dai-chan–Ah! Maksudku Aomine-kun," katanya sambil memberi kode bagiku agar menoleh ke arah yang ia tuju.

Di sisi ranjang satu lagi, seorang pemuda berkulit coklat sedang duduk malas sambil menatapku seolah aku pengganggu. "Arigatou, Aomine…-kun," kataku.

"Cih. Merepotkan saja," gerutunya. Aku menahan godaan untuk mencolok matanya. Sudah bagus ada orang yang berterimakasih, tolong hargai sedikit.

"Dai-chan!" tegur Momoi. Ia kembali menatapku. "Nah, apa yang terjadi padamu sebenarnya?" tanyanya.

Aku diam. Tidak mungkin aku menceritakan kesialanku hari ini di depan seorang perempuan. Bukan seperti itu etikanya. "Hanya terpeleset," jawabku bohong.

"Terpeleset sampai pingsan? Lalu pipimu… apa Jason Silver yang melalukannya?" ia bertanya dengan nada menahan pekikan histeris, seperti akan mendengar sebuah kenyataan yang tidak pernah diduga sebelumnya.

Aku masih diam. "Apa kau didorong oleh Jason Silver?"

Aku sontak menggeleng. "Aku baik-baik saja, Momoi-san."

Ia hendak protes dan membuka mulut untuk bertanya lagi, namun sedetik kemudian ponselnya bergetar dan Momoi mengangkatnya. "Moshi-moshi?"

Ia terlihat serius berbicara dengan orang yang meneleponnya. "Eh, sekarang? Ha'i. Aku akan segera kesana," katanya sebelum memutus sambungan tanpa kabel itu.

"Kenapa Satsuki?" tanya Aomine.

Momoi masih menatap ponselnya sebelum mengangkat pandangannya ke arah kami berdua. "Sumimasen, minna. Aku harus pergi dulu. Masih ada tugas yang harus dikerjakan olehku," katanya sambil menatap kami berdua tidak enak.

"Ha? Tugas apa lagi sih?" tanya Aomine dengan nada suara sedikit tinggi.

"Tugas sekolah, tentu saja. Sudahlah, aku duluan," katanya sambil membereskan tasnya dan menjinjingnya. Sebelum ia keluar dari UKS, dia sempat menatapku dan tersenyum. "Aku duluan, Tetsu-kun."

Aku mengangguk dan ia melambai riang ke arah kami berdua yang tidak ditanggapi oleh kami berdua. Lalu setelahnya ia menghilang dari UKS dan tinggallah aku dan Aomine berdua, tidak ada topik pembicaraan atau apapun itu.

Keadaan UKS mendadak hening. Tidak ada yang bersedia membuka suara saat ini. Aku masih sibuk menekan es ke pipiku yang memar dan Aomine, entahlah, apa yang sedang dipikirannya bukanlah urusanku.

"Apa yang dia lakukan padamu, sebenarnya?" ia bertanya mendadak memecah keheningan.

Aku mengangkat pandanganku hingga bertemu dengannya yang juga sedang menatapku. Ia tidak menatapku malas, hanya saja karena kantung matanya yang tebal aku jadi merasa ia selalu terlihat malas. "Tidak mungkin kau terpeleset sampai pingsan seperti ini," katanya lagi, karena aku tidak kunjung buka mulut.

Ia tersenyum sinis sekilas, sebelum kembali menatapku. "Apa Silver itu mendorongmu jatuh dari tangga?" tanyanya, menginterogasiku.

Aku sontak menggeleng. "Tidak? Lalu memar di pipimu? Apa itu juga bukan Silver?" tanyanya.

Aku diam. Sebenarnya aku ingin mengatakan semua ini ulahnya. Namun, aku sadar bahwa bukan Jason Silver yang memukul kepalaku. Siluet yang saat itu aku lihat terlalu kurus untuk ukuran Jason Silver. Lagipula, kenapa ia harus repot-repot memukulku? "Tidak menjawab? Sekarang kau resmi jadi kacungnya?"

Aku mengangkat pandanganku cepat sesaat ia mengucapkan kalimat itu. Aku menatapnya sengit. "Diam," desisku.

"Menampilkan ekspresi lain selain wajah datarmu, aku takjub," katanya meremehkan. "Yah, aku bisa menebak sih, apa yang dilakukan babon itu padamu. Soalnya, yang punya dendam kesumat padamu itu 'kan hanya dia."

Aku terpaku di tempat.

Dendam kesumat?

Jason Silver dan Tetsuya?

Apa yang terjadi diantara mereka dulu hingga perlakuan Silver sebegitu jahatnya pada Tetsuya. Apa yang sudah Tetsuya lakukan hingga Silver selalu menampilkan ekspresi muak ketika melihat wajah 'Kuroko'. Membayangkan Tetsuya memiliki masalah pribadi tampaknya tidak pernah ada di dalam daftar khayalanku, bahkan yang terliar sekalipun.

Tetsuya adalah anak pendiam yang tenang. Ia tidak pernah terlibat sebuah perseteruan dan menimbulkan banyak musuh. Ia orang antipenindasan. Sebenarnya sudah berapa banyak Tetsuya berubah dalam kurun waktu setengah tahun? Kenapa ia begitu cepat berubah dan menjadikannya sosok asing yang tidak lagi dikenali olehku? Apa yang terjadi padanya?

Mendapatiku diam, Aomine menjentikkan jarinya di depan wajahku hingga aku tersentak kaget dan kembali fokus padanya. Wajahnya masih semalas terakhir kali kita bersitatap tapi aku merasa ada emosi lain yang terpendam dan tidak bisa ia keluarkan sedari tadi.

"Ada apa?" aku memutuskan untuk bertanya.

Ia hanya mengangkat bahu. "Tidak, hanya saja aku berpikir soal izinmu selama satu minggu belakangan ini. Ibumu berkata bahwa kau tidak masuk karena kecelakaan, tapi kau tidak masuk bukan karena kecelakaan 'kan?" tanyanya.

Memang bukan. Tetsuya tidak masuk karena ia melakukan percobaan bunuh diri dan sampai sekarang masih koma. "Kenapa kau berpikir seperti itu?" tanyaku hati-hati.

"Aku hanya berasumsi selama seminggu itu kau menghindari 'kami'. Sejak… kartu 'itu' ada di lokermu, semua menjadi tidak sama 'kan? Apalagi Jason Silver yang merasa bisa memuaskan dendamnya padamu," jelasnya.

Aku mendengarkan penjelasannya dengan seksama. Aku tidak bersuara karena takut ia akan curiga bahwa aku bukanlah 'Kuroko Tetsuya'. "Tapi tampaknya Nash Gold juga sama muaknya denganmu sekarang ini. Dia bukan tipe orang yang ingin disulitkan. Apa si Nash itu yang membantumu kabur dari Jason?" ia bertanya lagi.

Bisa jadi sebenarnya Aomine ini tipe orang yang sangat tidak peka. Yang saat ini ia bahas mungkin saja topik yang sangat sensitif bagi Tetsuya, tapi berhubung aku adalah 'Kuroko' sekarang dan membutuhkan informasi, maka aku mendengarkan dengan teliti.

Aku mengangguk kecil. Dia mendengus mendapati reaksiku. "Yah, tipikal orang yang tidak mau ikut campur. Persis sepertimu, Tetsu," katanya dengan penekanan di kalimat terakhir. Es yang kutaruh di pipi rasanya sudah tidak terasa dingin lagi. Pipiku seolah kebas dan aku hanya terfokus sepenuhnya pada Aomine.

Sebenarnya aku ingin menyela dan bertanya apa maksud kalimatnya barusan, namun aku menahan lidahku untuk mengatakan hal tersebut. Aku menelan bulat-bulat pernyataan yang hendak kuutarakan. "Satsuki selalu menegurku dan itu merepotkan. Tapi, berhubung gadis bawel itu tidak ada disini, aku akan mengatakannya langsung padamu. Kau tidak akan berhasil dengan cara seperti ini. Mungkin anggota biasa hanya akan menganggapmu sebagai 'pengkhianat' saja, tapi melihat cara 'Ketua Dewan' menyapamu, kau pasti sudah tahu 'kan?"

Kalimatnya menggantung.

Aku menunggu dengan jantung berdebar apa yang akan dikatakannya, tapi ia tidak kunjung mengatakannya. Ia membiarkan aku tergantung dengan rasa penasaran setinggi langit. Tahu apa? Cara seperti apa yang ia maksud? Semakin banyak pertanyaan yang ingin kuajukan padanya namun aku tetap diam bergeming.

"Nah, aku pergi dulu. Kau bisa pulang sendiri 'kan?" tanyanya.

Aku sejenak tidak tahu caranya berbicara karena terlalu pusing dengan banyaknya hal-hal baru dan otakku sibuk membuat spekulasi. "Apa maksudmu?" tanyaku tanpa kupikir terlebih dahulu.

Ia yang hendak bangkit hanya terdiam sambil menatapku bingung. "Oi, kau tidak melupakan 'dosa'mu 'kan? Kuharap kau hanya pura-pura lupa dan tidak bermaksud untuk lari dari kenyataan, sama seperti 'dia'," jelasnya dan ia segera bangkit dan berjalan keluar UKS tanpa bisa kucegah lagi kepergiannya.

Pintu UKS tertutup bersamaan dengan Aomine yang sudah tidak terlihat lagi punggungnya. Meninggalkanku sendirian ditemani oleh rasa ingin tahu yang tinggi dan ketidaktahuan yang tinggi juga. Aku meletakkan es yang sudah setengah mencair itu di nakas dekat ranjangku dan aku menyingkap selimut yang membungkus setengah tubuhku ketika tidak sadarkan diri dan turun dari ranjang.

Ini aneh sekali.

Aku selalu mendapatkan fakta-fakta yang tidak pernah sesuai dengan dugaanku. Selalu saja ada fakta yang membuatku rasanya semakin tidak mengenali Tetsuya sama sekali. Aku seperti dipaksa mencari tahu sifat asli seseorang yang tidak kukenal meski aku mengetahuinya. Sempat mengetahuinya.

Kepalaku berdenyut lagi dan aku menyentuh dahiku yang ternyata sudah diperban secara rapi oleh (menurutku) Momoi. Setidaknya aku tidak harus repot ketika pulang nanti. Aku memakai sepatu dan meraih tasku yang juga sudah berada di nakas sebelah ranjang.

Sambil membereskan ranjang dan melipat selimut, pikiranku sibuk menerka-nerka.

Hal yang bisa aku simpulkan hanyalah 'Jason Silver yang membuli Tetsuya karena dendam', dan 'Jangan kabur dari kenyataan, Kuroko Tetsuya'. Ya, hanya itu. Menurutku tidak ada kesinkronan yang berarti antara dua fakta yang kudapatkan dan itu membuatku semakin frustasi. Jika tidak ada hubungannya, kenapa alam membiarkan aku tahu fakta-fakta itu?

.

.

.

Ogiwara menatapku horror ketika ia melihat kepalaku diperban dan pipiku yang sedikit bengkak. Terima kasih untuk Jason Silver dan pemukul tanpa nama yang sudah membuat wajahku seperti sekarang ini.

"Apa yang terjadi padamu Kuroko? Astaga! Jason Silver melakukan itu padamu?" ia bertanya bersamaan dengan terpekik tertahan. Aku hanya mengangkat bahu.

"Aku baik-baik saja Ogiwara…-kun. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku," kataku sambil duduk di bangku. Aku menatap bangku sebelahku yang kosong, tempat Kise biasa duduk dan berisik.

"Kise…-kun belum datang?" tanyaku.

Ogiwara menggeleng. "Kupikir Kise memberitahumu bahwa ia akan absen selama seminggu karena sedang kebanjiran job," katanya. "Lupakan Kise. Aku bertanya padamu, Kuroko Tetsuya, apa yang terjadi padamu?"

"Terpeleset dari tangga dan membentur lantai," jawabku bohong. Ia menatapku sampai matanya menyipit, seolah mencari bukti kebohongan yang bisa digunakan untuk menyudutkanku.

"Tidak mungkin kau terpeleset sampai memar seperti itu," katanya. "Jujurlah, Kuroko. Apa yang terjadi padamu?" tanyanya lagi, lebih menekan dari sebelumnya. Aku merasa risih dengan tatapannya, jadi aku mengalihkan pandanganku.

"Aku baik, Ogiwara-kun. Bisakah kita membahas hal lain?" tanyaku. Aku tidak suka dengan orang banyak tanya seperti Ogiwara, ini kemungkinan bisa membongkar semua penyamaran yang kulakukan.

Ogiwara tampak ingin mendebat tapi akhirnya ia menahan mulutnya, meski wajahnya terlihat sangat menyedihkan. Ketika sahabatmu tidak memberitahu hal penting padanya, itu sangat menyakitkan dan aku tahu rasanya bagaimana.

Aku tidak punya sahabat, tapi aku punya Tetsuya yang sudah seperti sahabat bagiku. Dan ketika aku tahu ia menyembunyikan banyak rahasia dariku, aku merasa sangat sakit hati. Sakit hati karena aku merasa ia tidak mempercayaiku sebagai saudaranya ataupun sebagai kembarannya. Sama saja, yang jelas sakit hati karena merasa tidak dipercayai itu sangat menyiksa. Aku jadi tidak enak pada Ogiwara. Ia mencemaskan 'Kuroko' namun aku tidak mampu menceritakan apapun padanya.

.

.

.

"Sebenarnya kau itu kemana kemarin?" tanya Ogiwara, tidak menyerah karena aku tidak menjawab pertanyaannya tadi pagi, ia kembali bertanya padaku ketika kami makan siang di kantin. "Belakangan ini kau tidak lagi membawa bekal ya?" tanyanya dan aku tidak menggubris pertanyannya yang terakhir.

"Dimana kau 'terpeleset' dan 'jatuh'?" tanyanya, menekankan kata terpeleset dan jatuh. Aku mencoba tidak mengindahkannya.

Aku menelan nasiku dulu sebelum menjawab, "Kemarin… aku ikut rapat OSIS Belakang," kataku, mencoba mengungkit masalah rapat tersebut.

Ogiwara menahan suapan teriyaki-nya dan menatapku aneh. "OSIS Belakang?" beonya.

Aku mengangguk. "Iya. OSIS Belakang," ulangku.

Ia kemudian meletakkan sumpitnya dan menatapku serius. "Jangan bilang kau sekarang mempercayai rumor 'OSIS Belakang' itu ya?" tanyanya heran. Tapi aku yang ditanya lebih heran lagi.

Rumor?

"Rumor?" tanyaku pelan.

"Jangan bilang kau sudah lupa apa yang kau katakan waktu itu padaku ketika jam olahraga. Rumor OSIS Belakang ketika aku bertanya padamu lho, Kuroko. Katamu OSIS Belakang itu tidak ada dan hanya rumor. Sekarang kau mempercayainya, begitu?" kata Ogiwara.

Bibirku terasa kaku dan mulutku terasa kering. Rumor?

OSIS Belakang hanya rumor? Apa lagi ini? 'Kuroko' tidak percaya adanya OSIS Belakang? Lantas, kemarin itu rapat apa? Bukankah itu OSIS Belakang?

"Tapi aku benar-benar–"

"Kuroko." Kalimatku dipotong oleh sebuah suara dari belakangku yang memanggil'ku' secara tiba-tiba.

Aku menatap belakang dan mendapati Midorima sudah berdiri kaku di belakangku sambil membawa nampan berisi makan siangnya. Matanya menyipit penuh peringatan padaku yang tidak kumengerti kenapa.

"Konnichiwa Midorima-kun," kataku, sudah mulai terbiasa dengan embel-embel di belakang nama. Ia menaruh nampannya di sebelah nampanku dan menatapku.

"Kuroko, ayo kita bicara sebentar," katanya sambil menarik tanganku. Aku mau tidak mau berdiri karena tanganku ditarik, menyisakan Ogiwara yang menatap kami berdua kebingungan.

"Oi Midorima, kami berdua sedang makan," protes Ogiwara tidak suka. Aku juga tidak suka jika makan siangku diganggu. Tapi Midorima tetap memegang lenganku.

"Hanya sebentar saja. Itu tidak akan membuatnya mati kelaparan, Ogiwara," kata Midorima. Melihat gelagatnya, aku punya asumsi bahwa ia akan membicarakan sesuatu yang penting.

"Sudahlah, Ogiwara-kun. Hanya sebentar saja," kataku, mengiyakan ajakan Midorima. Ogiwara tampak ingin protes lagi, tapi tertahan di lidah. Kami berdua berjalan menjauhi kantin dan berhenti di sebuah lorong sepi yang menuju taman belakang sekolah.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanyaku.

Aku sempat melihat kacamatanya berkilat sekejab sebelum ia menatapku tajam. "Aku? Seharusnya aku yang minta penjelasan darimu, Kuroko," katanya. "Apa maksudmu mengatakan pada Ogiwara soal OSIS Belakang?" tanyanya dingin.

Aku mengerjap bingung. OSIS Belakang itu ada.

"Kau selama ini yang menekankan pada kita untuk tidak mengumbar perhatian, tapi kau baru saja mengatakannya pada temanmu yang tidak terlibat. Apa kau sudah kehilangan akal?" tanyanya lagi.

Aku tidak bisa menjawab. Satu lagi sebuah fakta mengejutkan. Membasahi bibirku, aku berkata, "Sumimasen."

Midorima berdecak. "Kau ini sebenarnya kenapa belakangan ini? Sikapmu sejak pulih sedikit aneh," katanya sambil menatapku. Mungkin ia sedang menimang-nimang apakah 'Kuroko Tetsuya' sedang mengalami gegar otak atau hilang ingatan. "Kau seperti sedang menantang 'dia' dengan sikapmu seperti ini," lanjutnya.

Atensiku terfokus pada Midorima sesaat setelah ia mengatakan hal itu. "'Dia'? Maksudmu Ketua Dewan?" tanyaku tanpa bisa kutahan.

Midorima mendelik padaku. "Jangan diucapkan keras-keras!" desisnya tertahan. Mungkin awalnya ia ingin membentakku tapi tertahan di tenggorokan.

Aku kembali membungkam mulutku. "Sumimasen."

Midorima akhirnya hanya menghembuskan napas. "Sudahlah, Kuroko. Jangan memaksakan diri lagi. Tidak ada gunanya juga jika kau melakukan hal ini karena penyesalan. Lihat sekarang. Kau babak belur lagi oleh Jason Silver," jelasnya sambil menunjuk pipiku yang memar dan perban di kepalaku.

Aku meneguk ludahku.

Midorima tampak sangat menahan diri untuk tidak memukulku seolah aku bertindak hal yang sangat bodoh dan ingin menyadarkanku. Tatapannya antara kasihan dan ingin marah. Aku juga ingin marah dan mengasihani diriku sendiri. Apa yang dibicarakannya. Dan lagi, kenapa ada dua persepsi mengenai OSIS Belakang. Yang lebih parah, kedua persepsi itu juga berasal dari Tetsuya.

Lihat? Tetsuya seperti tengah mempermainkanku di tengah ketidakjelasan ini semua.

Apa sebenarnya OSIS Belakang itu ada tapi tidak semua siswa mengetahuinya? Apa itu mungkin? Tapi mungkin saja mengingat reaksi Ogiwara dan Midorima yang berbeda, bukannya tidak mungkin.

Sebenarnya apa yang telah kau perbuat di sekolah ini, Tetsuya?

Aku membuka mulutku dan menutupnya kembali. Aku bingung sekali harus menjawab apa. Kepalaku selalu terasa ingin pecah jika aku menemukan fakta-fakta lagi yang menyebalkan. Ini seperti aku disuruh menyusun puzzle tapi pertama-tama aku harus mencari dulu kepingan puzzle yang tersembunyi. Dan lagi, tidak semua kepingan merupakan kepingan dari kebenaran.

Ini membuatku mual dan merasa tidak berdaya.

"Kuroko! Midorima!" seru suara yang kukenal. Aku berbalik melihat sumber suara dan menemukan Ogiwara dan Takao sedang berjalan ke arah kami berdua.

"Shin-chan! Aku mencarimu kemana-mana tahu!" keluh Takao sambil menghampiri Midorima yang tampak mengkerut terganggu.

"Kenapa kalian datang kemari?" tanyaku pada Ogiwara.

Ia hanya mengangkat bahu. "Takao bawel menanyakan kemana Midorima pergi dan memintaku untuk membantunya mencari Midorima, jadi terpaksa aku ikut mencari," jelasnya sambil menatapku. Aku mengangguk mengerti.

"Apa sih yang kalian bicarakan sampai ke tempat sepi seperti ini?" tanya Takao penasaran. Aku berdeham dan Midorima hanya melihat ke arah lain.

"Tidak ada. Aku hanya meminta Kuroko untuk meminjamiku buku-buku bank soal untuk ulangan fisika minggu depan," jelasnya berbohong. Takao menatap Midorima kemudian menatapku.

Untuk membantu Midorima, aku mengangguk. "Begitulah."

Takao sejenak sempat berpikir sebelum mengangkat bahu. "Ya sudah, Shin-chan, bantu aku mengerjakan PR kimia ya~" katanya sambil bergelayut manja di lengan Midorima.

"Takao, lepaskan. Kau itu berat," kata Midorima tidak suka tapi tidak menghentak lepas tangan Takao.

"Ayo, kita kembali ke kelas," ajak Ogiwara. Aku mengangguk.

Aku menunduk singkat pada Midorima yang juga dibalas dengan anggukan singkat dan lambaian tangan Takao. Kemudian, berbalik arah mengikuti Ogiwara, aku kembali ke kelas.

Tapi aku tahu bahwa tatapan Midorima tidak lepas dari punggungku hingga aku berbelok koridor.

To Be Continued


A/N: Yup, setelah melewati banyak labirin-labirin pikiran dan bersemedi sedemikian rupa, akhirnya chapter 8 sudah publish. Ada salah seorang reviewer yang mengatakan untuk di setiap chapter diberi clue-clue buat Akashi. Nah, apakah chapter ini sudah menjawab rasa penasaran kalian? Semoga tidak, karena masih sangat banyak kenyataan yang menanti untuk dibuka di penghujung cerita. Rasanya kasian juga kalo Akashi terus saya nistain di cerita ini dengan cara dibuli dengan tidak manusiawi. Jadi rehat sejenak dan mulai bermain detektifnya~~

Saya mohon maaf jika belum bisa membalas review kalian karena tidak sempat dan karena faktor dari mager juga #dihajarmasal

Tapi review kalian akan saya balas di PM masing-masing (jika login).

Nah, cukup sekian cuap-cuap saya...

Kritik, saran, dan komentar selalu diterima.