Kuroko no Basuke Fanfiction

Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi

I just borrow his Chara

Warning!

As you know, there will be so much typo, AU, OOC, and so much more.

Read first, and please give me your Review.. It's my pleasure...

Pemeran utama :

Akashi Seijuurou

Kuroko Tetsuya

Please Enjoy..

UNDEFINED

Chapter 9: Mencuri Dengar

"Karena hari ini sensei sedang ada urusan dinas, untuk hari ini saja pelajaran olahraga kalian digabung dengan kelas 2-3," kata guru olahraga sesaat kami disuruh berganti pakaian untuk mengikuti pelajaran olahraga.

Kami semua mulai bersiap-siap mengambil baju olahraga dan mulai berjalan menuju ruang ganti. Aku berjalan berdua bersama Ogiwara dan Kise belum juga masuk karena pekerjaannya.

"Apa memar di kepalamu sudah hilang?" tanya Ogiwara sambil memperhatikan kepalaku yang dihantam oleh pemukul besi tempo lalu. Pertanyaannya kembali mengingatkanku kepada siapa yang memukulku dan apa sebabnya.

Aku sempat ingin menyelidiki juga, tapi aku tidak tahu harus darimana memulainya. Satu-satunya yang aku tahu bahwa pemukul itu adalah seorang berbadan sedang dan tahu lebih banyak dari orang lain mengenai Tetsuya.

Aku mengangguk dan otomatis kusentuh pelipisku yang masih sedikit memar. Perban Momoi kemarin sudah kuganti dan semalaman kukompres dengan air es, sehingga besoknya menjadi lebih baik. "Omong-omong, apa pelajaran olahraga hari ini?" aku bertanya bersamaan kami masuk ke ruang ganti.

Sudah ada beberapa anak kelas yang mulai berganti pakaian dan kami pun mulai melakukan hal yang sama. "Entah. Permainan bola besar. Bisa basket bisa juga voli," katanya.

Aku mengangguk. Tapi entah kenapa Ogiwara menepuk pundakku seolah memberikan dorongan. "Tenang saja, Kuroko. Aku akan memastikan tidak ada bola yang menghantam wajahmu lagi," katanya.

Aku tersenyum kecut. Ini seperti diingatkan bahwa Tetsuya payah dalam olahraga, apalagi yang berhubungan dengan bola. "Kalau begitu mohon bantuannya."

Setelah kami berganti pakaian, kami disuruh ke lapangan basket indoor.

Lapangan basket indoor tersebut sama luasnya dengan lapangan basket Rakuzan. Hanya saja, lapangan basket yang biasanya hanya terdiri dari dua puluh orang tersebut kini terdiri dari dua kali lipatnya.

Apa yang dikatakan sensei benar. Kami bergabung dengan kelas 2-3 yang sudah menempati setengah lapangan yang lain. Kelas kami sisanya.

Sebelum ada arahan dari sensei karena beliau masih berbincang dengan beberapa siswi senior, banyak diantara kami yang berbincang-bincang seru. Suara dengungan mengudara, tapi aku tidak tertarik untuk mengobrol.

Sampai akhirnya dengungan itu dipotong oleh tepukan tangan tiga kali dari sensei yang meminta perhatian.

"Oke, semuanya," katanya memulai. "Hari ini lapangan basket akan menjad sedikit penuh karena dua kelas akan olahraga secara bersamaan."

Ada beberapa bisik-bisik dan tawa centil dari beberapa perempuan. Sensei berdehem. "Materi hari ini, untuk kedua kelas kebetulan sama, yaitu basket," jelasnya. "Kita mulai dengan membuat empat banjar dari tiap-tiap kelas dan pemanasan," katanya.

.

.

.

Aku harus mengingatkan kembali diriku bahwa saat ini aku bukanlah Kapten Tim Basket Rakuzan. Saat ini aku adalak 'Kuroko Tetsuya' yang payah dalam olahraga bola.

Jadi, disinilah aku berada, di pinggir lapangan sambil mengamati orang-orang mencoba men-dribble bola dan mencoba melakukan passing. Sensei mengatakan bahwa hari ini hanya latihan dribble dan passing. Aku hanya memperhatikan kelasku yang memakai setengah lapangan untuk latihan.

Sebenarnya aku juga ingin mencoba, tapi semuanya mencoba berdasarkan nomor urut absen. Dan karena nama Tetsuya dimulai dari huruf 'K', maka aku harus menunggu gelombang kedua bersama Ogiwara. Sebenarnya jika hari ini olahraga tidak digabung, sisanya bisa memakai setengah lapangan yang lain.

Selama menunggu, Ogiwara hanya membicarakan hal-hal kecil yang terjadi di hidupnya. Misalnya seperti ia menemukan anak kucing di pinggir jalan dan akhirnya membawanya pulang dan ia lupa bahwa ia memelihara anjing. Kucingnya hampir di koyak oleh anjingnya dan terpaksa ia menyerahkan kucing itu pada tetangganya.

Aku hanya diam mendengarkan ceritanya. Lagipula jika dengan Ogiwara aku tidak bisa bertanya macam-macam karena ia tidak tahu menahu soal OSIS Belakang. Aku menahan diri untuk tidak menghembuskan napas kecewa dihadapannya.

Suara peluit panjang menandakan bahwa gelombang pertama telah selesai dan dilanjut gelombang kedua. Aku bangkit dari posisi dudukku. Dan ketika aku hendak berjalan ke tengah lapangan, ada bola basket yang bergulir mendekatiku dan berhenti setelah terantuk kakiku.

Aku memungutnya.

Kulihat seorang senior laki-laki berjalan ke arahku dengan santai.

"Maaf, itu bolaku," katanya. Kuperhatikan ia. Tingginya mungkin sekitar 180 cm, rambutnya hitam legam dan sedikit lebih panjang dari standar potongan rambut kaki-laki. Matanya terlihat sayu tapi senyumnya tampak licik.

Aku menyerahkan bolanyaa ketika ia sudah dihadapanku. "Are? Kuroko Tetsuya?" tanyanya.

Aku menegang. Namun, aku hanya mengangguk pelan. Mendapati anggukanku, ia terkekeh singkat. "Ternyata rumornya benar. Kau sudah masuk sekolah kembali. Haha," katanya sambil terkekeh. Dalam sekejab otakku menyimpulkan kalau dia adalah anggota OSIS Belakang yang lain.

"Ya, berkat doa 'kalian' semua," jawabku. Ia kembali terkekeh.

"Duh, sinis sekali sih dengan seniormu sendiri," katanya, "percayalah, aku pribadi sih senang dengan kehadiranmu," lanjutnya.

Aku memicingkan mata. "Tak perlu menampilkan ekspresi seperti itu padaku, Kuroko. Aku bukan 'mereka'," katanya lagi. "Aku juga tidak berniat ribut denganmu."

Yang membuatku jengkel adalah; nada bicara yang ia gunakan sangat merendahkan dan menyepelekan segalanya. "Lagipula aku ini tahu diri, tidak seperti Jason Silver. Aku tak mungkin menang darimu," lanjutnya.

Aku diam tidak mengerti.

"Oi Hanamiya! Mana bolanya?" seru seorang senior kepada orang dihadapanku ini. Senior bernama Hanamiya itu berbalik.

"Ini," katanya sambil melempar bola itu ke arah temannya. Melihat gerakan tangannya ketika melempar bola, aku menyimpulkan bahwa ia seorang pemain basket.

"Kau bermain basket?" tanyaku otomatis.

Ia tersenyum lagi. "Oi, kau yang menyarankanku untuk bermain basket 'kan? Untuk berjaga-jaga, katamu," jelasnya.

Aku ingin sekali menganga mendengar penjelasannya. Sungguh, aku merasa asing dengan nama Kuroko Tetsuya sekarang. Aku menelan ludahku.

"Oi Kuroko! Kau mau latihan atau tidak?" seru Ogiwara dari lapangan. Aku melihat hanya dia yang belum punya pasangan untuk latihan passing.

Hanamiya juga melihat arah pandanganku. "Pergilah ke temanmu. Kita berbincang lagi ketika rapat," katanya sambil berlalu menuju kelasnya.

Sebenarnya aku masih belum mau ia pergi. Masih banyak yang ingin kutanyakan atau paling tidak kupancing agar ia berbicara. Namun, aku tahu bahwa ini masih jam pelajaran. Aku segera melangkah menuju Ogiwara dan berdiri lima meter didepannya.

"Apa yang kau lakukan dengan Hanamiya-senpai tadi?" tanya Ogiwara. Ia melakukan chest pass padaku.

Aku menangkap bola dan melakukan chest pass lagi. "Ia hanya ingin mengambil bola yang tadi menggelinding di kakiku," jelasku.

Ogiwara mengangguk. "Omong-omong, passing-mu hari ini bagus sekali, Kuroko."

.

.

.

Pulang sekolah Ogiwara harus mengikuti aktivitas klub sehingga katanya ia tidak bisa pulang bersama denganku. Aku hanya mengangguk dan berjalan duluan keluar kelas.

Aku menukar kembali sepatuku dan bersiap untuk pulang. Aku berencana untuk mampir sebentar ke MajiBa untuk membeli makan malam. Sebuah burger dan kentang goreng sudah mejadi makan malam mewah bagiku belakangan ini.

Aku berjalan kaki hingga ke MajiBa yang jaraknya memang tidak begitu jauh dari SMA Teikou. MajiBa belum begitu ramai sehingga antrianku cepat.

"Terima kasih," kataku sambil mengambil burger dan kentang goreng.

Pelayan perempuan itu tersenyum dengan terlalu lebar. "Sama-sama dan silahkan datang kembali."

Aku memasukkan makan malamku ke dalam tas dan bersiap untuk berjalan pulang ke apartment.

Kupikir semua akan lancar hingga aku sampai di dalam apartment, tapi aku tidak menyangka bahwa aku menemukan dua orang OSIS Belakang yang sedang menuju sebuah tikungan dan menghilang dari hadapanku.

Aomine Daiki dan Murasakibara Atsushi.

Aku sempat terdiam di tempat. Bertanya-tanya dalam hati apa yang mereka berdua lakukan, berjalan menuju tikungan yang mengarah pada sebuah blok kumuh. Jantungku entah mengapa berpacu sedikit lebih cepat dan kupaksakan kakiku mengikuti mereka.

Aku berbelok ke tikungan yang sama dan melihat mereka berdua berbelok lagi menuju gang yang lebih sempit. Aku terdiam karena aku bimbang.

Haruskah aku mengikuti mereka dan mencari tahu apa yang sedang mereka kerjakan? Atau aku harus kembali dan berpura-pura tidak melihat? Aku seperti sedang berperang dengan diriku sendiri. Aku ingin melihat, tapi aku juga takut dengan apa yang akan kulihat nanti dan menurut prediksiku, apapun yang akan kulihat nanti tampaknya bukan sesuatu yang ingin kulihat.

Tapi mungkin saja itu bisa menjadi petunjuk dari kasus Tetsuya.

Akhirnya, setelah berdebat dengan diri sendiri, aku memutuskan untuk melihat apa yang mereka lakukan.

Aku berjalan pelan menuju gang kecil itu dengan merapat ke tembok-tembok bangunan. Jantungku semakin berpacu liar ketika aku hampir dekat dengan gang tersebut. Jarakku dengan mulut gang hanya tersisa satu meter sebelum aku mendengar sebuah suara.

"Ah, ini merepotkan sekali. Oi Murasakibara, bereskan dia." Decakan malas dari Aomine Daiki. Mendengar kalimatnya, jantungku semakin berpacu.

"Hah? Tidak mau~ Mine-chin saja yang membereskan," balas Murasakibara. Kakiku tersendat antara ingin melangkah maju atau melangkah mundur.

"Oi, aku sudah melakukan pekerjaan satunya. Sekarang giliranmu," balas Aomine tidak mau kalah.

"Hah? Tidak ada yang menyuruhmu melakukannya kok~ Aku juga bisa jika hanya sekedar 'itu'," Murasakibara membalas malas.

Aku mendengar Aomine berdecak kesal. "Ck. Kau ini malas sekali sih?" gerutunya. "Nash Gold brengsek. Memasangkanku denganmu," tambahnya.

"Ukh…" aku mendengar suara rintihan yang menurutku bukan berasal dari Murasakibara ataupun Aomine.

"Ck. Dia bangun lagi," keluh Aomine.

"Itu karena Mine-chin terlalu berisik," balas Muraskibara.

"Diam kau," desis Aomine.

Aku tidak mendengar suara lain tapi hanya mendengar suara langkah.

"Oi kau," kata Aomine. Kupastikan bahwa ia sedang berbicara pada orang yang sedang merintih itu. "Siapa kau?" tanya Aomine. Aku mengernyit bingung tapi tetap pada tempatku.

"…aku… seorang siswa biasa…" sebuah jawaban lemah yang kutebak berasal dari orang yang sama.

"Bagus. Sekarang pergi dari sini," perintah Aomine.

Sesaat aku tidak menangkap apa maksud percakapan mereka. Suara orang bangkit perlahan mulai terdengar dan tak berselang lama, seorang siswa keluar dari gang tersebut.

Aku, yang sangat terkejut karena ia keluar mendadak, hanya bisa mematung di tempat. Kuperhatikan siswa itu melewatiku begitu saja dengan wajah tertunduk. Awalnya kupikir bajunya sudah rusak dan tubuhnya babak belur. Tapi nyatanya tidak. Ia masih memakai baju seragamnya yang masih licin, dan tidak ada luka satu pun di tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda seseorang habis berkelahi.

Aku mengamatinya yang terus berjalan hingga menghilng di tikungan.

"Are? Kuro-chin?" pertanyaan itu membuatku terlonjak. Sekujur tubuhku terasa panas dingin seperti aku ketahuan melakukan sesuatu yang terlarang. Dan mungkin saja aku memang sedang melakukan hal itu. Melihat sesuatu yang seharusnya tidak kulihat. "Sedang apa di sini?" tanyanya lagi.

Mulutku kering. Otakku mampet. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku kesini karena mengikuti mereka berdua. Aku punya firasat bahwa mungkin aku akan bernasib sama dengan siswa tadi.

"Aku… baru pulang…" jelasku lirih. Murasakibara menatapku sambil memiringkan kepalanya. Tak berselang lama Aomine keluar dari gang itu.

"Oi Murasakibara, ayo kita cari ma–Tetsu?" tanyanya melihatku.

Mulutku terasa semakin kering. "Sedang apa kau disini?" tanyanya.

Aku ingin mengumpat keras-keras. Aku masih belum menjawab pertanyaan mereka, tapi mendadak Aomine menyeringai. "Kau melihat yang tadi?" tanyanya. Ia merunduk hingga wajahnya tepat di depan wajahku. Aku berusaha untuk tidak mundur. "Apa kami sudah melakukan pekerjaan dengan baik?" tanyanya.

Aku membuka mulut lalu menutupnya kembali. Apa yang sedang ia bicarakan? Pekerjaan apa yang dimaksud?

"Heh? Jadi Kuro-chin kemari ingin melihat kita? Harusnya kau juga ikut membantu tadi~" keluh Murasakibara.

"Untuk apa ia datang hanya untuk menggantikan pekerjaanmu, Murasakibara? Dasar pemalas," gerutu Aomine.

"Aku tidak mau dikatakan pemalas oleh orang yang hobi membaca buku porno," balas Murasakibara.

"Ck. Kau…" Aomine tampak sangat kesal, tapi dia tidak lagi berusaha mendebat Murasakibara. Ia hanya menghela napas lelah. "Sudahlah, aku lapar. Ayo kita cari makan," ajaknya sambil berjalan duluan, diikuti oleh Murasakibara. Tapi aku tidak.

Aku masih diam seolah kakiku dipaku di aspal tempat aku berdiri. Aku merasa sekujur tubuhku bergetar dan perutku bergolak. Seorang siswa yang tampak lemas tapi tidak ada luka lebam. Aomine dan Murasakibara dengan pekerjaan mereka. Pertanyaan mereka padaku.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi tadi? Apa yang mereka lakukan pada siswa itu? Apa maksud pertanyaan Aomine padaku? Kenapa semuanya tampak semakin berputar-putar di kepalaku?

Aku ingin membuka mulut dan bertanya pada mereka tentang apa yang mereka lakukan tadi, tapi kutahan mulutku. Jika aku bertanya tentang sesuatu yang seharusnya sangat dipahami oleh 'Kuroko', maka mungkin mereka akan curiga dan kemungkinan besar aku akan bernasib sama dengan siswa tadi.

Untuk kesekian kalinya, aku menelan bulat-bulat seluruh pertanyaanku.

"Oi Tetsu!" panggil Aomine. Aku tersentak dan berbalik menatap Aomine yang sudah jauh beberapa langkah didepanku. Dibelakangnya ada Murasakibara. "Mau ikut kami ke MajiBa tidak?" tanyanya dengan nada yang biasa.

Aku menggeleng. "Aku langsung pulang saja," kataku. Alasan sebenarnya, aku tidak ingin dekat-dekat dengan mereka setelah mendengar 'pekerjaan' mereka tadi.

"Oh? Oke," kata Aomine. Ia kembali berjalan bersama Murasakibara. Aku masih diam mematung memperhatikan mereka hingga mereka tak lagi tampak di pelihatanku.

.

.

.

Keesokan harinya aku datang ke sekolah dengan mata berat dan perih. Pikiranku tidak lepas dari apa yang ku'dengar' kemarin sore. Apa yang dilakukan oleh Aomine dan Murasakibara. Lalu, mengapa juga Aomine bertanya padaku seolah meminta koreksi diri?

Aku berdiri di loker sepatu tanpa melakukan apapun. Bahkan tak ada niat untuk langsung mengganti sepatu dan bergegas ke kelas. Dengan enggan, kuambil sepatu ruangan dan kuletakkan di bawah.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kemarin?" Aku mendengar suara seseorang yang sedang berbincang di loker yang membelakangiku.

"Tanpa hambatan, lagipula kami mendapat bagian yang gampang," jawab seorang lagi.

Aku membuka sepatu taliku pelan sementara orang dibelakangku ada yang tertawa. "Tapi tetap saja, bagian terbaiknya diambil lagi oleh Hanamiya," kata seorang lagi.

Gerakanku mendadak terhenti. Entah mengapa, mendengar nama Hanamiya membuat jantungku sedikit berpacu. Belakangan ini semua nama yang bersangkutan dengan OSIS Belakang membuatku sedikit was-was. Begitu pula dengan percakapan dibelakangku ini.

"Sial memang kau, Hanamiya," kata seorang lagi. Nadanya bercanda.

"Haha. Aku hanya membereskan sampah kok. Semua yang ada di dunia ini jika rusak hanya akan jadi sampah," kata suara yang kukenal. Hanamiya.

"Tapi tetap saja aku heran. Dengan kemampuanmu yang seperti itu, kau belum diangkat menjadi Dewan Harian juga," komentar salah seorang temannya.

Aku ingin sekali menoleh ke belakang dan melihat wajah-wajah yang tengah berbincang, tapi itu mustahil. Aku bisa saja tertangkap basah sedang menguping pembicaraan orang.

"Tentu saja belum. Nash Gold itu sebelas dua belas dengan Kuroko Tetsuya. Mereka lebih memilih Dewan Harian yang egois dibanding orang licik."

Gerakanku terhenti. Mereka menyinggung Tetsuya. Sejujurnya aku sedang berusaha sekuat tenaga untuk tidak berbalik dan menggebrak loker mereka dan meminta penjelasan secara terperinci.

"Suaramu kurang keras," desis seseorang sarkastik. Aku hanya mendengar suara kekehan tidak enak.

"Ngomong-ngomong soal Dewan Harian, apa mereka sudah memutuskan hukuman untuk Mochizuki Kazuhiro?" tanya seorang lagi. Aku sudah lebih melambatkan ritme membuka tali sepatuku. Kuuraikan dulu simpulnya dan kurenggangkan talinya.

Aku tidak ingin di sini tapi aku juga ingin mendengar perbincangan mereka.

"Entahlah. Dia sudah melakukan kesalahan dua kali. Hukuman apapun bisa jadi menunggunya. Semua tergantung pada Ketua Dewan," jelas seorang.

"Benar juga. Semoga hukumannya cukup menghibur bagiku. Amin," seseorang pura-pura berdoa dan rekan yang lain hanya tertawa.

"Kuharap begitu. Ngomong-ngomong, kau sudah belajar Sejarah?" topik mereka berpindah lagi dan aku mendengar mereka berjalan menjauh dari loker menuju koridor sekolah.

Kulirik rombongan yang baru saja pergi dan ternyata ada sekitar lima orang yang berbincang. Aku mengasumsikan kelima-limanya adalah anggota OSIS Belakang dan juga teman satu kelas. Dan lagi tampaknya mereka seperti mendapat pekerjaan serupa seperti Aomine dan Murasakibara kemarin.

Sebenarnya, apa yang mereka sebut 'pekerjaan' itu?

Aku memakai sepatu ruangan dan menaruh sepatu taliku di loker. Baru aku mau melangkah menuju koridor, suara melengking memanggil'ku'.

"Tetsu-kuuuun!"

Punggungku dihantam kuat dan dengan cepat lengan kiriku sudah digelantungi oleh seorang gadis berambut merah muda.

"Momoi-san," kataku. Dia tersenyum lebar hingga pipinya merona ketika menatapku.

"Ohayou gozaimasu, Tetsu-kun," katanya manis. Aku mencoba tersenyum meski pelukannya pada tanganku sangat kuat dan ia sangat dekat denganku.

"Ohayou gozaimasu Momoi-san."

"Oi Satsuki, haruskah kau melakukan itu setiap bertemu dengannya?" tanya sebuah suara malas yang khas. Aomine Daiki berjalan malas ke arah kami berdua.

Momoi merenggut tidak suka. "Suka-suka dong. Lagipula Tetsu-kun tidak keberatan 'kan?" ia bertanya manis padaku. Aku hanya mencoba tersenyum.

"Terserahlah."

Kami bertiga berjalan di koridor sekolah. Momoi sudah melepaskan tanganku tapi ia masih berjalan cukup dekat dariku sementara Aomine berjalan di belakang kami. Sesekali kulirik ia yang memandang bosan jalan di depan dan menguap.

Aku sampai di depan kelas.

"Tetsu-kun, jangan lupa. Sepulang sekolah ada rapat pertanggungjawaban," kata Momoi.

Ia segera melanjutkan perjalanan menuju kelasnya setelah melambai riang padaku. Aku balas melambainya dan masuk ke dalam kelas.

.

.

.

Sepulang sekolah aku sudah berencana untuk langsung pergi ke lantai tiga untuk menghadiri rapat. Tapi ternyata ketika aku keluar kelas, Midorima sudah berdiri seperti menunggu kedatanganku.

"Kau menungguku?" tanyaku. Dia memperbaiki kacamatanya yang tidak turun.

"Aku hanya kebetulan lewat koridor ini, nanodayo. Aku tidak ada niat menunggumu dan berjalan bersama ke gudang lama. Jangan salah paham," katanya.

Aku sudah belajar untuk tidak mendebat orang seperti Midorima. "Ya. Terima kasih sudah menungguku," kataku.

Ia kembali menaikkan kacamatanya dan kami mulai berjalan.

Mendadak, aku mengingat sesuatu. "Gudang lama?" tanyaku. "Rapatnya bukan di lab bahasa?"

"Ini rapat pertanggungjawaban, nanodayo. Kau pikir lab bahasa sanggup menampung anggota yang lain?" ia balik bertanya padaku. Oke.

Aku masih ingin bertanya tapi lidahku terhenti. Midorima sudah pernah curiga padaku dan jika aku tidak menahan mulutku lagi, bukannya tidak mungkin ia tahu siapa aku.

Akhirnya, kami sampai di Gudang Lama. Dan itu artinya adalah gudang tempat aku pertama diseret oleh Jason Silver dan tempat aku meludahinya. Mengingatnya sedikit membuat perasaanku membaik.

"Ayo masuk," ajak Midorima. Ia membuka pintu Gudang dan mempersilahkanku masuk lebih dulu baru ia masuk belakangan. Setelahnya ia menutup pintu.

Sudah banyak anggota yang hadir dan mereka sedang berbincang. Gudang Lama masih tampak sama seperti terakhir kali kulihat. Sofa, pendingin ruangan dan meja rapat bundar. Bedanya meja bundar itu lebih besar dari yang ada di lab bahasa.

Aku melihat sudah ada Dewan Harian duduk berdekatan di ujung meja bundar. Momoi melambai padaku dan kami berdua berjalan menuju meja bundar tersebut.

"Shin-chan, duduk sini," kata Takao sambil menepuk kursi kosong disebelahnya. Midorima menaikkan lagi kacamatanya sebelum ia duduk di samping Takao. Aku berpikir mungkin gengsi adalah segalanya bagi Midorima.

Aku duduk di sebelah Momoi dan itu artinya langsung bersebelahan dengan Nash Gold yang sudah duduk kaku sedari tadi di kursinya. Untungnya tidak ada Jason Silver sejauh mata memandang. Bagus, mungkin ia sudah mati ditelan bumi atau menghilang selama-lamanya.

Seperti biasa, di depan Nash Gold ada laptop yang sudah terhubung dengan Ketua Dewan.

Setelah semuanya duduk, Nash Gold berdeham. "Untuk laporan pertanggungjawaban minggu ini, aku minta laporan untuk setiap kasus," jelasnya.

Ia melirik Aomine yang duduk malas di sebelah Momoi. Aomine harus berdecak malas dulu sebelum bangkit dan membaca kertas ditangannya. "Kami–aku dan Murasakibara–ditugaskan olehmu untuk menangani kasus konflik antarkelompok. Kami membereskannya kemarin dan aku menjamin bahwa sudah tidak akan ada lagi konflik antarkelompok itu."

Otakku memproses kalimat Aomine dan menghubungkannya dengan kejadian kemarin. Kemarin Aomine dan Murasakibara sedang melakukan 'pekerjaan'. Seperti disengat listrik, aku mengejang. Maksudnya 'pekerjaan' itu membereskan kasus?

Nash Gold mengangguk. "Aku akan memantau perkembangannya selama satu minggu ini." Lalu ia melirik orang lain setelah Aomine duduk. Aku melihat lirikannya yang jatuh pada Hanamiya yang juga sedang duduk santai di kursinya.

Hanamiya bangkit sambil membawa lembaran kertas juga. "Aku, Furuhashi, dan Yamazaki menangani kasus pembulian yang belakangan ini terjadi di lingkungan sekolah. Pembulian itu berasal dari ide seorang siswa kau-tahu-yang-mana dan sudah terselesaikan dengan sempurna."

Hanamiya kembali duduk. Nash Gold mengangguk. "Aku juga sudah mendapat laporan dari beberapa orang." Ia lanjut melirik orang lain dan kini ia melirik orang… botak?

Orang botak itu berdiri gugup sambil membawa kertas. "Aku dan Haizaki menangani kasus pemalakan yang terjadi di sekitar sekolah," katanya. Kami menunggu ia berbicara lebih banyak, tapi ia tidak mengucapkan satu patah kata pun. Aku melirik anggota lain yang juga masih terus menunggu.

"Lalu? Hasilnya?" Nash Gold lah yang bertanya.

Pemuda botak itu menunduk dan ekspresinya seperti menahan amarah, kesal, malu, dan takut. Melihat ekspresinya saja aku bisa tahu apa hasilnya. "Gagal?" tanya Nash Gold lagi.

Ia menunduk semakin dalam.

Bisik-bisik mengudara. "Ini yang ketiga kali."

"Kok bisa ya?"

"Memalukan."

Mendengar bisik-bisik yang keras itu ia semakin menunduk dan tampak menahan tangis. Aku jadi sedikit kasihan padanya.

Naash Gold berdeham. "Mochizuki Kazuhiro, aku bertanya padamu. Apa kau gagal?" pertanyaan yang jawabannya hanya 'ya' dan 'tidak'. Tapi sangat sulit hanya untuk mengucapkan dua kata itu.

Ia tetap diam. Kulihat bahunya bergetar dan ia mengangkat padangannya. "Ini semua karena Haizaki sialan itu! Ia bahkan tidak membantuku sama sekali untuk menyelesaikan masalah! Ini bukan salahku!" serunya marah.

Aku menatap Nash Gold yang masih saja dengan pandangan dinginnya. "Kutanya sekali lagi. Mochizuki Kazuhiro, apa kau gagal?"

Ia menggebrak meja. "Ya, aku gagal! Lalu kenapa? Aku bukan polisi dan sebenarnya bukan kewajibanku untuk membereskan mereka! Ini semua gila. OSIS Belakang itu hanya akal-akalan saja 'kan? Ketua Dewan juga sebenarnya tidak pernah ada 'kan? Ini memuakkan!" bentaknya entah pada siapa.

Seluruh anggota yang hadir dalam rapat terdiam. Pemuda botak itu tersengal karena membentak.

"Lancang," bisik seseorang, tapi keras.

"Lancang."

"Lancang."

"Lancang."

Dalam sekejab, semua anggota rapat bergumam 'lancang' sambil menatap pemuda itu. Lalu, seperti tersadar, pemuda itu seolah menyadari kesalahannya dan wajahnya memucat.

"T-Tidak… Tidak... A-Aku... hanya bercanda… T-Tidak…" katanya gugup.

"Lancang."

"Lancang."

Aku melirik Nash Gold yang sekejab memejamkan mata dan membukanya kembali.

"Diam semua."

Seketika ruangan menjadi sunyi.

Nash Gold membereskan berkas-berkas yang tercecer dimejanya. "Rapat kita lanjutkan besok. Hari ini kita akhiri."

Bisik-bisik mengudara tapi tak banyak. Anggota yang lain mulai keluar dari Gudang Lama sementara aku menunggu agar ruangan sepi baru keluar. Setelah anggota keluar, Dewan Harian mulai keluar juga. Momoi mengajakku, tapi aku berkata menunggu sampai sepi dulu.

Baru ketika sepi, aku bangkit dari kursi. Nash Gold masih tetap duduk kaku dikursinya.

"Hei," panggilnya. Aku menatapnya. Ada apa mendadak Nash Gold mengajak berinteraksi. "Tindakanku ini, benar 'kan?" tanyanya.

Aku diam. Mendapati pertanyaan semacam itu tidak masuk dalam daftar kegiatanku hari ini. "Seperti katamu, rasa sakit yang paling minimal."

Aku ingin membuka mulut untuk bertanya, tapi Nash Gold mendadak bangun dan keluar dari ruangan. "Ruangan ini akan dikunci. Kau mau tetap di sini sampai besok atau keluar?" tanyanya. Aku bergegas mengikutinya keluar dengan kepala yang dipenuhi oleh pertanyaan lagi.

.

.

.

Besoknya aku ke sekolah dengan langkah yang kian berat. Pertanyaan Nash Gold berputar-putar di kepalaku hingga rasanya aku bisa sakit kepala mendadak. Aku menuju loker dan kulihat bahwa si pemuda botak itu baru akan menukar sepatunya. Ternyata lokernya berada tepat di sebelah loker Tetsuya.

Ia memutar kunci loker dengan sedikit lambat dan membukanya perlahan. Wajahnya yang sudah pucat semakin pucat ketika ia menatap ke dalam lokernya. Dengan pelan, diambilnya secarik kertas putih yang terlipat dua itu dan dibukanya perlahan.

"Mochizuki-san, ada apa?" tanyaku basa-basi. Ia membaca isinya dan mengangkat pandangannya. Ia menatapku dengan tatapan seolah hidupnya sudah didoktrin mati oleh lembaran kertas itu.

Dengan gemetar, ia menyerahkan kertas itu padaku. Kuambil kertas itu dan kubaca isinya.

Kertasnya adalah memorandum yang sama seperti yang kutemukan di dalam buku Tetsuya. Isinya pun sama seperti yang ada di dalam memorandum milik Tetsuya.

Hanya beda nama saja.

Mochizuki Kazuhiro adalah seorang pengkhianat.

To Be Continued


A/N: Maaf baru update sekarang. Setelah UNBK berakhir saya sempet kehilangan ide dan niat untuk melanjutkan cerita ini, tapi syukurlah itu tidak terjadi.

Nah, semoga para pembaca puas dengan chapter ini.

Kritik, saran, dan komentar selalu diterima