Kuroko no Basuke Fanfiction
Disclaimer: Fujimaki Tadatoshi
Warning!
TYPO, OOC, AU, dan lain sebagainya
It's my pleasure if you read first and then give me your review.
Pemeran Utama:
Akashi Seijuurou
Kuroko Tetsuya
Please enjoy (;
UNDEFINED
Chapter 10: Bayangan dan Prasangka
Mochizuki Kazuhiro adalah seorang pengkhianat.
Jika aku bisa mati setiap kali aku kaget, mungkin aku sudah mati hidup berkali-kali sejak aku pergi ke Tokyo.
Kertas itu adalah kertas polos biasa untuk sebuah memorandum. Dan yang berada di atas kertas itu juga merupakan tulisan biasa dengan tinta hitam dan kanji. Secara keseluruhan, kertas itu adalah kertas yang biasa.
Tapi aku tidak menanggapinya dengan biasa, tidak juga Mochizuki Kazuhiro. Ia sangat pucat, seperti orang yang di doktrin mendapat hukuman mati. Mendapati ekspresinya, aku menjadi teringat kembali pada Tetsuya. Apa adik kembarku juga menampilkan ekspresi yang sama sepeti Mochizuki Kazuhiro saat ia mendapati kertas memorandum tersebut?
Mengingatnya, hatiku seperti ditikam oleh besi yang baru saja selesai di tempa. Sangat tajam dan sangat panas. Sebongkah timah panas seperti bersarang di dalam dadaku saat aku mengingat kilas balik liburan musim panas kami. Sangat menyedihkan.
Mungkin untuk beberapa waktu yang tidak sebentar, aku dan Mochizuki Kazuhiro hanya diam di depan loker sepatunya sambil memandangi memorandum tersebut. Aku ingin bertanya padanya, apa yang kau pikirkan? Apa yang kau rasakan?
Apakah seperti ini ekspresimu, Tetsuya?
Berusaha menggerakkan lidahku yang terasa sangat kelu, aku mencoba berbicara, "Mochizuki-san," panggilku pelan. Namun, tampaknya terlalu pelan sehingga ia sama sekali tidak menjawabku, atau setidaknya ia tidak bisa menjawabku.
Dengan gerakan cepat, ia meremas kertas memorandum tersebut sampai menjadi bola kertas kecil dan dimasukkan secara kasar ke dalam saku celana sekolahnya. Tindakannya yang cepat tadi membuatku sedikit tersentak kaget karena jarak kami tadi cukup dekat. Lalu, ia menutup pintu lokernya dengan sedikit kasar hingga terkesan membanting dan mengeluarkan suara nyaring. Selanjutnya, ia pergi tergesa-gesa dari loker sepatu menuju koridor sekolah hingga aku tidak dapat melihatnya lagi di tikungan koridor.
Mochizuki Kazuhiro sudah pergi, tetapi aku masih terpaku di tempatku berdiri. Kakiku seolah dipaku dan di semen hingga rasanya sudah bersatu dengan lantai. Terasa berat sekali untuk melangkah. Pikiranku terbang jauh menuju Tetsuya.
Apakah Tetsuya juga melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan oleh Mochizuki Kazuhiro? Apa ia meremas kertas memorandum itu hingga menjadi bola kertas lusuh dan dimasukkan ke dalam saku celana sekolahnya?
Tapi rasanya tidak. Ketika aku menemukan kertas memorandum milik Tetsuya, kertasnya masih sangat rapi tanpa adanya lipatan bahkan sekecil apapun. Justru akulah yang membuat kertas itu menjadi lusuh karena terlalu sering aku lihat dan aku lipat kembali. Justru akulah yang bertindak seperti Mochizuki Kazuhiro begitu mendapat kertas memorandum tersebut.
Lalu, seperti apa tindakanmu, Tetsuya?
Lamunanku tersentak karena seseorang menabrak punggungku secara kuat dan kasar. Hampir saja aku menggigit lidahku sendiri karena kaget.
"Tetsu-kuuun!" pekikan yang belakangan ini sering kudengar. Pekikan ini milik Momoi Satsuki.
Ketika aku mau berbalik, Momoi rupanya sudah memeluk punggungku dengan sangat erat hingga aku harus bersusah payah membalikkan badan tanpa membuat tangannya lepas dari punggungku.
Ia mendongak menatapku dengan senyuman bertengger di wajahnya. Pipinya dihiasi semburat merah. "Ohayou gozaimasu Tetsu-kun," katanya sambil melebarkan senyumnya.
Mendapati ia tersenyum padaku, aku balas tersenyum padanya. "Ohayou gozaimasu Momoi-san," kataku, lalu melirik pemuda yang berada di belakang Momoi, "Ohayou gozaimasu Aomine-kun."
Pemuda bernama Aomine Daiki ini hanya mengangguk untuk membalas sapaanku. Ia terlihat sangat malas dan sangat mengantuk, padahal ini pagi hari dan belum ada Kegiatan Belajar Mengajar yang dimulai. Pelukan Momoi pindah dari punggungku menuju lengan kiriku. Ia memeluk lengan kiriku dengan sangat erat sambil berjalan di sebelahku. Aomine mengikuti kami dari belakang.
"Nee, Tetsu-kun," katanya, "sedang apa tadi diam di depan loker sepatu?" tanyanya sambil menatapku dengan bola matanya yang berwarna merah muda pucat. Aku jadi ingin tahu apakah itu memang warna dari matanya atau ia memakai kontak lensa sepertiku.
Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya. Aku kembali memikirkan Mochizuki Kazuhiro dan Tetsuya sebelum memutuskan untuk berbohong. "Aku hanya memikirkan ulangan fisika hari ini," kataku, "fisika tidak pernah menjadi favoritku, jadi aku sedikit cemas."
Momoi Satsuki mengangguk singkat mendengar jawabanku. "Kalau begitu, mungkin kita bisa belajar bersama," katanya. "Aku cukup mampu di bidang fisika. Kalau Tetsu-kun mau, kau bisa datang ke kelasku dan belajar bersama," tawarnya.
Aku tersenyum untuk menghargai partisipasinya. "Arigatou gozaimasu Momoi-san," kataku, "aku akan memikirkan usulmu."
Ia kembali tersenyum. Perjalanan kami ke kelas selanjutnya hanya diisi oleh pertengkaran-pertengkaran kecil antara Momoi dan Aomine yang tidak ada aku di dalamnya. Lagipula, dibanding ikut terlibat dalam pertengkaran tidak berguna mereka, aku lebih memilih memikirkan apa yang akan terjadi pada Mochizuki nantinya.
Rasanya aku tidak bisa membiarkannya dalam kondisi seperti ini. Rasanya aku harus bertindak sebelum ada yang terlambat. Rasanya aku bisa mendapatkan satu keping misteri lagi mengenai Tetsuya. Rasanya semua tampak sangat dekat, tetapi juga masih terasa jauh. Masih berkabut. Dan aku harus melenyapkan kabut yang menutupi kebenaran tersebut.
"Tetsu-kun!" seru Momoi keras, menyentakku dari lamunan.
Aku menatapnya yang berdiri di tikungan koridor. Aku juga baru menyadari bahwa ia sudah tidak memeluk lengan kiriku lagi.
"Nanti siang, sepulang sekolah, jangan lupa ada rapat pertanggungjawaban lagi, melanjutkan rapat yang kemarin sempat tertunda," katanya mengingatkanku.
Informasinya membuatku ingat lagi bahwa dua orang yang dari tadi berjalan bersamaku sepanjang koridor sekolah adalah orang-orang Dewan Harian di OSIS Belakang. Aku mengutuk diriku yang sempat melupakan kenyataan tersebut.
Mungkinkah mereka tahu apa yang akan terjadi selanjutnya pada Mochizuki Kazuhiro? Memikirkannya membuat firasatku semakin tidak enak.
"Tetsu-kun!" seru Momoi lebih keras lagi, lagi-lagi menyentakku dari lamunan. Aku menatapnya yang menggembungkan pipinya, tanda ia kesal padaku karena tidak menyahutinya.
"Sumimasen," kataku. Ia menghela napas.
"Jangan lupa untuk datang ke rapat nanti siang ya," katanya lagi, mengingatkanku sekali lagi. Mungkin dia berpikir aku akan lupa jika tidak diberitahu sebanyak dua kali.
Dengan kaku, aku mengangguk. Setelah aku mengangguk, ia kembali tersenyum. "Baik. Semangat untuk ujian fisikanya," katanya sambil melambai dan berlari-lari kecil untuk mengikuti Aomine yang sudah berjalan lebih dulu darinya.
Punggung Momoi Satsuki menghilang setelah ia memasuki pintu kelasnya. Aku, dengan langkah berat, berjalan menuju kelas Tetsuya yang sementara ini akan menjadi kelasku.
Pikiranku dipenuhi oleh hal-hal yang sangat berat, hingga rasanya aku ingin hari ini cepat berakhir.
.
.
.
Pelajaran matematika selama sembilan puluh menit terasa seperti tiga jam lamanya belajar. Materi Garis Singgung Lingkaran terasa seperti materi membuat puisi klasik sebanyak 100 halaman. Pelajaran sastra apalagi, terasa waktu berhenti ketika sensei masuk ke dalam kelas.
Aku benar-benar ingin pergi dari kelas secepat mungkin. Aku ingin hari ini berakhir dan segera mencari tahu lebih banyak mengenai OSIS Belakang. Istirahat yang ditunggu oleh banyak siswa, mendadak aku mengutuknya. Istirahat tidak diperlukan bagiku sekarang. Yang aku butuhkan adalah informasi dan keberadaan mengenai Mochizuki Kazuhiro.
Ogiwara menarikku ke kantin secepat sensei keluar dari kelas. Dengan sedikit malas, aku mengikutinya. Di kantin keadaan tidak membuatku lebih baik lagi. Di antara banyaknya siswa, aku tidak mampu menemukan Mochizuki Kazuhiro. Hal ini membuatku lemas.
Ogiwara memesan teriyaki dan nasi dua porsi. Aku tidak memesan apapun, tetapi ia bersikeras mengatakan aku harus makan karena sedari tadi pagi wajahku terlihat sangat pucat dan nyaris pingsan. Aku tidak sadar dengan kondisiku sendiri, tetapi dalam hati aku membenarkan semua kalimat Ogiwara.
Seluruh kehidupanku rasanya tersedot masuk ke dalam lubang hitam yang sama sebanyak dua kali sejak aku melangkah masuk ke dalam sekolah ini. Rupanya sekolah ini juga senang memberiku kejutan, selain Tetsuya.
Sebenarnya meski aku dalam keadaan pucat dan nyaris pingsan, menurut Ogiwara, aku sama sekali tidak merasa lapar. Lagipula, aku tidak membutuhkan makanan sekarang. Namun, karena Ogiwara memaksaku untuk makan atau ia mengancam bahwa ia yang akan menjejalkan makanan ke dalam mulutku, akhirnya aku hanya membeli satu gelas teh hangat.
Ia sempat terlihat tidak menyukai menu yang kupilih, tetapi aku bersikeras bahwa teh hangat mampu mengembalikan warna kulit dan mencegah seseorang dari pingsan. Akhirnya ia setuju dan tidak jadi menjejalkan makanan ke dalam mulutku.
Seusai istirahat, sensei yang mengajar telat masuk hingga hampir satu jam karena ada rapat mendadak mengenai akreditasi dan kurikulum (sensei yang bercerita pada kelas) dan pelajaran dimulai dengan sangat alot. Rasanya bel pulang sekolah terasa sangat lama sekali.
Akhirnya, tepat pukul tiga sore, pelajaran berakhir. Aku segera membereskan seluruh buku-buku sejarah yang berada di atas meja sebelum bersiap meninggalkan ruangan. Ogiwara sudah pergi sedari tadi karena ia harus mengikuti latihan basket. Sampai sekarang aku belum tahu apakah ia masuk tim inti atau tidak. Akan sangat menyenangkan jika nanti Interhigh aku bisa melawannya. Hanya saja, saat ini ada yang lebih mendesak dibanding memikirkan Kompetisi Interhigh.
Langkahku terhenti di depan kelas karena ternyata Midorima Shintarou dan Takao Kazunari sudah menungguku.
"Halo Kuroko-kun," sapa Takao sambil melambaikan tangannya heboh. Aku balas tersenyum.
"Konnichiwa Midorima-kun, Takao-kun," kataku sambil menghampiri mereka. "Apa kalian sudah lama menunggu?" tanyaku.
Takao menggeleng. "Tidak. Kami juga baru keluar kelas. Tadi kami ingin pergi duluan, tapi Shin-chan bersikeras untuk menunggumu," jelasnya sambil melirik jenaka Midorima yang membenarkan kacamatanya yang sama sekali tidak melorot. Di tangan kanannya ia membawa sebuah kipas bergambar seorang idol perempuan yang sedang booming namanya.
"Aku tidak menunggunya, nanodayo," katanya, "aku hanya kebetulan lewat kelasmu ketika berjalan," lanjutnya.
Aku mengabaikan alasannya. Takao kemudian mengajakku berjalan bersama. "Biarkan saja. Ia memang selalu seperti itu," katanya sambil berusaha meledek sifat malu-malu Midorima. Aku juga sudah belajar untuk tidak menanggapinya. Kalau ditanggapi akan semakin panjang.
Kami berbelok menuju tangga. Aku mengernyit bingung. Kemarin Rapat Pertanggungjawaban dilaksanakan di Gudang Lama, tetapi sekarang pindah ke lantai tiga. Entah mengapa aku merasakan firasat yang tidak enak. Sangat tidak enak.
Aku ingin bertanya, tetapi terlalu takut bahwa itu akan menimbulkan kecurigaan. Situasi saat ini tidak mendukungku sama sekali. Aku dipaksa menahan lidahku untuk mengutarakan perasaanku.
Kami sampai di depan Laboratorium Bahasa. Perasaanku campur aduk di depan pintu tersebut. Aku juga baru menyadari bahwa tidak ada lagi percakapan antara Midorima dan Takao, meskipun itu hanya sekedar lelucon-lelucon Takao untuk meledek Midorima. Tiba-tiba aku merasa rindu pada leluconnya.
Takao membuka pintu Laboratorium Bahasa yang sangat senyap. Entah karena ada peredam suara atau karena baru kita saja yang datang, aku tidak tahu. Seluruh tubuhku diliputi perasaan asing yang sangat membuatku tidak nyaman. Kami bertiga berjalan masuk menuju pintu lain yang sering digunakan untuk Rapat Dewan Harian.
Aku sudah tidak bisa melihat ekspresi antara Midorima dan Takao lagi karena di dalam Laboratorium Bahasa gelap dan dingin. Aku sempat menggigil. Pintu satu lagi di buka pelan oleh Takao dan ia masuk terlebih dahulu dan diikuti oleh Midorima. Firasatku semakin tidak enak setiap langkah kakiku yang mendekat menuju ruangan lain tersebut.
Jantungku berdetak sangat kuat dan dengan memberanikan diri, aku masuk ke dalam ruangan tersebut.
Sudah tidak ada lagi meja panjang untuk rapat yang waktu itu berdiri di tengah ruangan. Sudah tidak ada lagi kursi-kursi atau peralatan lain di dalam ruangan tersebut. Ruangan ini persis seperti aula yang tidak ada apa-apa. Bedanya, ada sesuatu yang menarik perhatian semuanya.
Di tengah aula, di antara kumpulan seluruh anggota OSIS Belakang, di atas kursi, sebuah manekin sebesar manusia asli didudukkan secara anggun. Namun, itu jugalah yang membuatku sangat mual dan lemas.
Manekin itu dibentuk menyerupai Mochizuki Kazuhiro. Kepalanya yang botak, wajahnya, bahkan manekin itu dipakaikan seragam SMA Teikou. Sekilas, manekin itu terlihat sangat mirip dengan Mochizuki Kazuhiro.
Aku melirik para anggota OSIS Belakang yang sudah berkumpul mengelilingi manekin Mochizuki Kazuhiro tersebut. Mereka mengelilingi manekin tersebut seperti mengelilingi api unggun saat berkemah. Aku melihat beberapa wajah yang familiar, ada Aomine Daiki, Momoi Satsuki, Murasakibara Atsushi, Midorima Shintarou, Takao Kazunari, Hanayami Makoto dan teman-temannya, serta ada Jason Silver yang berdiri di sebelah Nash Gold yang sedang duduk di meja kerjanya, jauh dari kerumunan, tapi aku masih bisa melihat dengan jelas.
Tidak ada satu pun orang yang berbicara. Seolah bicara saat ini adalah tabu. Namun, aku juga sama sekali tidak ingin berbicara. Kuperhatikan lagi manekin yang menjadi pusat perhatian dari aula. Dibanding manekin, ada yang membuatku lebih mual lagi.
Ditulis dengan kanji dan tinta berwarna merah, melintang dari dahi sampai dagu, tulisan itu terlihat dengan jelas.
Pengkhianat pantas mati
Aku benar-benar merasa kebas dan kosong melihat tulisan tersebut.
Lalu, pintu yang sedari tadi tertutup otomatis setelah kedatanganku, mendadak terbuka perlahan dan menampilkan sosok Mochizuki Kazuhiro yang berjalan pelan ke dalam ruangan. Aku merasakan bahwa tensi ruangan meningkat. Kuperhatikan bahwa Mochizuki Kazuhiro juga hampir pingsan melihat manekin di tengah ruangan yang serupa dengan dirinya.
Tiba-tiba aku teringat Tetsuya. Apakah kondisi Tetsuya juga seperti Mochizuki Kazuhiro ini? Terlihat pucat dan nyaris pingsan? Apakah ada manekin juga di tengah aula yang serupa dengan Tetsuya dengan tulisan kanji kejam seperti itu?
Membayangkan Tetsuya yang berdiri di posisi Mochizuki Kazuhiro membuat perutku bergolak dan mual. Untung saja tadi aku hanya meminum teh hangat. Jika tidak, kupastikan jika aku sudah muntah sedari tadi.
Suasana hening ini dipecahkan oleh Jason Silver yang memberi tepuk tangan singkat. "Akhirnya, pemeran utama kita sudah hadir di sini," katanya dengan nada suara yang kubenci. Kebencianku pada Jason Silver bertambah berkali-kali lipat, apalagi setelah apa yang ia lakukan padaku dan mungkin ia lakukan pada Tetsuya.
Mochizuki Kazuhiro seolah ingin merosot ke lantai, tetapi ia menahan dirinya. Dengan pucat dan lunglai, ia berjalan mundur sementara Jason Silver maju satu langkah demi langkah. Anggota yang lain sama sekali tidak bergerak, malah mereka terkesan menikmati adegan yang ada di tengah aula. Aku mampu melihat beberapa dari mereka bahkan merekam adegan ini.
Ingin sekali kurebut ponselnya dan kubanting hingga hancur. Namun, aku menahan diriku.
Mochizuki sudah sampai pada ujung aula, dan sayangnya, pintu sudah tertutup, bahkan suah terkunci, yang kupastikan itu merupakan ulah anggota yang berdiri di dekat pintu. Melihat Mochizuki Kazuhiro terpojok, Jason Silver menyeringai seolah ia adalah singa yang mampu memojokkan kelinci yang ketakutan.
Setelahnya, di cengkeram kuat tengkuk Mochizuki kazuhiro dan di seretnya sampai ia sejajar dengan manekin tersebut. Ia menyeret Mochizuki Kazuhiro seperti ia menyeret kain lap. Dengan kasar, dengan tidak berperasaan. Aku jadi ingin menggunting kedua tangan milik Jason Silver.
"Kau lihat tulisan di wajah'mu'?" tanyanya dalam desisan penuh kegembiraan. Aku tidak menyukai nada suaranya. Rasa benciku bertambah berlipat-lipat, apalagi setelah aku sadar bahwa mungkin Tetsuya juga pernah ada di posisi seperti itu.
Mochizuki yang malang sama sekali tidak mengatakan apapun, ia sibuk melepaskan cengkeraman kuat Jason Silver dai tengkuknya. Ia terlihat menyedihkan. Namun, firasatku tidak hanya sampai di sini.
Ia mengangkat Mochizuki Kazuhiro dengan geram dan dengan tangannya yang bebas, ia menunjuk jendela yang entah sejak kapan sudah terbuka. Anggota yang lain menepi, seolah memberi jalan.
"Kau tahu cara untuk menebus kesalahanmu?" tanyanya lagi dalam desisan bergairah. Semakin banyak anggota yang mengeluarkan ponselnya untuk merekam adegan brengsek ini.
Hatiku terasa semakin berat. Sangat berat. Seolah bongkahan timah panas tersebut mulai meleleh dan menghancurkan hatiku. Perutku melilit, tapi tidak ada makanan yang masuk.
Kupandangi Momoi yang tampak tidak sanggup melihat lebih banyak, ia bersembunyi di balik punggung Aomine. Aomine sendiri terlihat sangat kesal dan berkali-kali ia melirik pintu keluar. Murasakibara tampak tidak peduli dan melanjutkan makannya, meskipun ia sengaja membuat suara kunyahannya terdengar jelas, seolah berusaha meredam kata-kata Jason Silver.
"Tunggu apa lagi! Kau mau aku menyeretmu?!" bentak Silver pada Mochizuki yang terduduk di depan manekinnya.
Shiroi hikari no naka ni yama nami wa moete
Haruka na sora no hate made mau kimi wa tobi tatsu
Kagiri naku aoi sora ini kokoro furuwase
Jiyuu wo kakeru tori yo furi kaeru koto mau sezu
Mendadak, semua anggota OSIS Belakang menyanyikan lagu perpisahan dengan syahdu. Seharusnya lagu perpisahan terdengar sangat indah karena melambangkan kehidupan baru yang akan ditempuh, tetapi aku sama sekali tidak merasakan hal tersebut. Aku hanya merasa lagu itu merupakan lagu perpisahan selamanya. Dan itu membuatku merinding mendengarnya.
Detik selanjutnya, di penglihatanku, bukan lagi Mochizuki Kazuhiro yang berada di tengah aula. Aku melihat Tetsuya. Kuroko Tetsuya yang berada di sana.
Tetsuya terduduk di depan manekin berbentuk dirinya dengan tulisan kejam di seluruh wajah manekin tersebut. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena terhalang poninya yang sudah panjang, tapi aku tahu bahwa Tetsuya sangat ketakutan.
Dengan pelan, ia bangkit berdiri. Dengan lunglai, ia berjalan menuju jendela.
Jangan! Aku berusaha berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar.
Saat ia berjalan, Tetsuya berbalik, hingga wajah kami bertemu. Ekspresinya membuatku sangat mencelos.
Itu adalah ekspresi yang selalu Tetsuya pasang ketika ia sedang tidak berdaya. Ketika ia ketakutan. Aku selalu melihat ekspresi itu di malam-malam badai ketika ia takut akan petir atau ketika orang tua kami bertengkar hebat.
Kau mau kemana Tetsuya? Kembali ke sini! Aku ingin meneriakkan hal tersebut. Namun, pita suaraku seolah lepas dari tenggorokanku.
Tetsuya terus berjalan hingga ia berdiri dekat sekali dengan jendela.
Adegan berubah kembali. Aku dan Tetsuya berada di dalam kamarnya. Aroma vanilla yang khas menguar dari kamarnya.
Tetsuya masih berdiri di dekat jendela. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tetsuya akan melakukan percobaan bunuh diri seperti waktu itu. Ia akan kembali menjatuhkan dirinya. Aku akan kehilangannya.
Dengan sekuat tenaga, aku berusaha menggerakkan kakiku.
Tidak! Aku tidak ingin lagi kehilangan adikku. Aku tidak mau lagi menatap kosong jendela rumah Okaa-sama karena di situ adalah terakhir kalinya Tetsuya terlihat hidup.
Aku berusaha menggapai Tetsuya yang hampir menjatuhkan diri.
.
.
.
Kuberikan secangkir teh hangat yang baru saja kuseduh pada Mochizuki Kazuhiro yang masih terduduk lemas di salah satu ranjang UKS. Aku masih tidak begitu paham apa yang terjadi setelah Mochizuki Kazuhiro berusaha berjalan ke arah jendela. Yang jelas, seluruh tubuhku bergerak sendiri berlari ke arahnya dan menggapai tubuhnya yang sudah akan melompat dari jendela. Setelahnya, dengan cepat aku keluar dari ruang Laboratorium Bahasa sambil menggandeng tangan Mochizuki dan menuju UKS.
Mochizuki Kazuhiro menerima cangkir teh tersebut, tetapi tidak diminum. Ia menaruh cangkir tersebut di nakas dekat ranjang UKS, membuatku sedikit tersinggung. Namun, aku tidak mengatakan apapun.
Lamanya kami terdiam, akhirnya ia menatapku.
"Apa yang akan kau lakukan setelah ini, Kuroko Tetsuya?" tanyanya. Nadanya masih bergetar, tapi sudah jauh lebih baik dari tadi.
Aku diam mendengar pertanyaannya.
"Aku bisa saja langsung pindah sekolah setelah ini, tapi bagaimana denganmu?" tanyanya lagi, masih menatapku lekat. Aku terdiam di hadapannya, tidak tahu harus berbuat apa.
Namun, aku tahu jawabanku sendiri. "Aku... akan tetap di sini," kataku. Aku harus tetap berada di sini.
Mochizuki mendengus, dengusan yang menurutku lebih ke arah prihatin. "Kenapa masih mau tetap di sini? Ini sudah menjadi neraka. Kau adalah orang yang paling tahu tentang hal itu," katanya.
Aku menelan ludahku.
Tanpa kau beritahu aku pun, aku sudah sangat tahu bahwa ini adalah neraka. OSIS Belakang dengan segala jenis kegiatan mereka. Aku sudah tahu bahwa aku sedang berada di neraka. Namun, aku sudah memegang prinsipku sendiri. Aku yang akan membongkar semuanya. Tentang Tetsuya, juga tentang OSIS Belakang.
"Karena aku harus tetap di sini. Harus ada orang yang bertahan untuk membongkar semuanya," kataku.
Mochizuki Kazuhiro memandangiku agak lama, mungkin ia ingin mencoba mencari kebohongan di dalam mataku, tapi maaf, aku tidak berbohong.
Di akhir, ia mengangguk. "Selamat berjuang kalau begitu. Akhirnya setelah sekian lama, kau mengatakan hal itu juga, Kuroko Tetsuya."
Setelahnya, ia bangkit dan keluar dari UKS.
.
.
.
Perjalanan pulang membuatku semakin lemas. Syukurlah di dalam garis keturunan Akashi tidak ada riwayat penyakit jantung. Mungkin jika ada, sudah dari tadi aku masuk ICU karena banyaknya hal yang membuat jantungku berpacu dengan cepat.
Rasanya, jika aku sudah sampai di apartemen, aku ingin langsung merebahkan seluruh tubuhku ke kasur dan tidur untuk melupakan segalanya. Aku tidak pergi ke Rumah Sakit untuk menjenguk Tetsuya. Jika aku menjenguknya sekarang, aku seolah tidak punya muka. Aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya tahu betapa ia menderita selama ini. Hanya itu saja yang aku tahu, dan itu membuatku semakin merasa kecewa dan malu pada diriku sendiri.
Aku sudah akan berbelok ke tikungan tempat apartemenku berada ketika aku melihat sosok perempuan yang sangat kukenal. Rambut panjang sepunggung berwarna merah muda pucat, tinggi semampai, seragam SMA Teikou, perempuan itu adalah Momoi Satsuki.
Awalnya aku mengira bahwa ia bersama dengan Aomine, tapi tampaknya ia sedang seorang diri. Namun, yang membuatku terhenti bukan karena ada Momoi saja, melainkan dia seperti sedang dikepung oleh sekelompok anak SMA Negeri yang berandal.
Melihatnya, aku segera memutar arah tujuanku. Segera dengan cepat aku berbalik ke arah tikungan yang lain, sementara mataku tidak henti-henti mengawasi Momoi dan para gerombolan anak SMA yang berandal itu. Sialnya, ketika aku ingin menyeberang, lampu sudah merah dan dengan kecepatan tinggi truk barang lewat di depanku.
Apa sopirnya tidak tahu bahwa di marka penyebrangan kita harus memelankan laju kendaraan?
Aku menahan umpatanku ketika Momoi tampak seperti di paksa masuk ke dalam lorong sempit beserta anak SMA yang lainnya. Aku berdoa semoga gadis itu baik-baik saja.
Setelah hampir satu menit lamanya, akhirnya lampu berubah menjadi hijau. Dengan cepat, aku berlari menuju lorong tersebut sambil berdoa semoga belum ada yang terlambat. Kutambah kecepatan lariku setiap aku merasa semakin dekat dengan lorong kecil itu. Tidak kupedulikan orang-orang yang kutabrak. Yang jelas, aku harus menyelamatkan gadis itu.
Sudah dua meter menuju lorong, lariku harus kuhentikan secara mendadak. Momoi Satsuki keluar dari dalam lorong itu dengan wajah tenang. Ia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi yang kutakutkan.
"Tetsu-kun?" tanyanya melihatku yang masih mengatur napas. Kakiku gemetar karena kupaksa lari secara mendadak. Jantungku berdetak keras hingga aku mampu merasakan detakannya.
"Momoi-san," panggilku kepayahan, "apa kau baik-baik saja?" tanyaku lagi.
Ia menatapku seolah bingung. "Apa Tetsu-kun berlari untuk menemuiku di sini? Aku senang sekali," katanya sambil tersenyum. Lalu, ia kembali bergelayut manja di lengan kiriku.
"Karena Tetsu-kun sudah berada di sini, ayo makan berdua denganku," katanya. "Sebenarnya aku harusnya dengan Dai-chan, tapi ia sedang ikut bermain basket dengan klub basket, jadi aku pulang sendiri deh," keluhnya.
Ia lalu menatapku memalui bola matanya yang berwarna merah muda pucat. "Tapi aku senang bisa bertemu Tetsu-kun. Aku jadi tidak harus makan malam sendirian," katanya sambil tersenyum manis. Senyum yang biasa ia beri untuk'ku'.
Namun, aku terlalu mulas saat ini untuk balas tersenyum padanya.
"Ngomong-ngomong, Tetsu-kun ingin makan di mana? Aku sedang bosan dengan makanan cepat saji, bagaimana jika kita makan ramen?" katanya, "aku tahu restoran ramen yang enak di dekat sini," katanya.
Ia lalu setengah menyeretku menuju marka penyebrangan lagi. Kebetulan, lampu sedang hijau, jadi kami berdua bisa langsung menyeberang. Di sepanjang jalan, Momoi sibuk bercerita mengenai harinya di sekolah, tetapi tidak ada satu pun yang masuk ke dalam telingaku. Otakku sibuk merekam kejadian singkat tadi.
Lalu, aku baru sadar, tidak ada satu pun dari anak SMA itu yang keluar dari lorong sempit tadi. Ini mengingatkanku mengenai Aomine dan Murasakibara yang kutemui beberapa waktu lalu.
Kulirik Momoi Satsuki yang masih asyik berceloteh.
Dan aku segera sadar, bahwa apapun yang telah terjadi di lorong kecil tersebut bukanlah sesuatu yang seharusnya aku lihat.
.
.
.
Pagi hari aku terbangun dengan rasa tidak enak di seluruh tubuhku. Badangku terasa sangat kaku dan pegal, serta mataku sangat perih. Siapa pun bisa menebak bahwa aku tidak mampu untuk tidur barang satu menit pun.
Semua kejadian seolah berputar-putar di kepalaku dan menghantuiku semalam suntuk. Untuk mengusir rasa perih, kucuci seluruh wajahku sebelum aku berangkat menuju SMA Teikou.
Langkahku terasa sangat berat dan kepalaku berdenyut menyakitkan. Ini adalah efek menyebalkan setiap kali aku terkena insomnia. Dan sangat merepotkan sekali gejala ini muncul di saat-saat seperti ini. Dengan segenap tenaga, aku menaruh sepatuku dan mengganti dengan sepatu ruangan. Kuperbaiki lagi tas sandangku sebelum berjalan menuju kelas.
Di kelas, Ogiwara sedang sibuk menyalin pekerjaan rumah biologi milik salah seorang teman sekelas, jadi ia tidak punya waktu untuk sekedar bertanya atau bercerita padaku. Aku sedikit senang dengan situasi ini. Aku jadi tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bisa membuat otakku meleleh.
Kelas dimulai dengan sangat membosankan. Aku harus menahan mataku agar terus terbuka, sementara di depan sensei menjelaskan dengan lambat mengenai sastra klasik cina dan perbandingannya dengan sastra klasik jepang. Bagiku, kedua sastra tersebut tidak ada bedanya. Mereka sama-sama membuatku sangat mengantuk.
Waktu istirahat juga tidak lebih baik. Karena Ogiwara sudah selesai menyalin pekerjaan rumah biologinya, ia jadi punya waktu untuk berbicara denganku. Bukannya aku tidak suka, tetapi aku tidak sedang dalam kondisi bisa melayani percakapan dengan baik. Akhirnya, aku berpura-pura dipanggil oleh seorang sensei hanya untuk menghindari Ogiwara.
"Kuroko-kun!" seru seseroang dengan nada yang sangat kukenal.
Aku mengalihkan pandanganku dan menatap Takao Kazunari sedang berjalan tergopoh ke arahku sambil membawa tumpukan besar kertas. Dengan sigap, aku mengambil tumpukan itu setengah.
"Arigatou Kuroko-kun," katanya sambil tersenyum, "tanganku mungkin akan copot persendiannya jika kau tidak datang menolong," katanya.
Aku menanggapi leluconnya dengan senyum tipis. "Kau mau kemana, Takao-kun? Bawaanmu banyak sekali," kataku.
Ia mendesah berlebihan. "Aku mau ke laboratorium biologi, mengumpulkan semua tugas anak kelas kepada sensei," katanya.
"Tidak bersama dengan Midorima-kun?" tanyaku setelah melihat bahwa Takao hanya berjalan seorang diri. Biasanya mereka berdua selalu berdua kemana pun.
Takao menggeleng. "Shin-chan sedang sibuk belajar untuk ulangan kimia sehabis istirahat nanti," katanya, "jadi aku harus mengumpulkan ini seorang diri."
Aku mengangguk mengerti. Kami berdua akhirnya berjalan bersama ke lantai tiga untuk pergi ke laboratorium biologi. Mengingatnya, aku jadi sedikit bergidik. Antara aku dan semua ruangan di lantai tiga tidak ada kenangan yang bagus. Semua hal-hal buruk awal mulanya terjadi di sana.
"Kuroko-kun," panggil Takao. Aku menatapnya. "Bagaimana kondisi kepalamu?" tanyanya.
Untuk sesaat aku mendengar pertanyaannya bingung, tetapi dengan segera aku mengerti. Mengingat si pemukul tersebut, seolah membuat luka yang sudah kering seolah kembali berdenyut. Refleks aku menyentuhnya dengan tanganku yang bebas.
Sampai sekarang aku tidak tahu siapa pemukulnya.
"Aku masih merasa sedikit berdenyut, tetapi sudah jauh lebih baik sekarang," kataku. Ia mengangguk sambil tersenyum.
"Syukurlah kalau begitu."
Kami akhirnya tiba di laboratorium biologi dan meletakkan tugas-tugas tersebut di meja guru yang masih kosong. Setelahnya kami berjala turun ke bawah.
Namun, seolah di sengat listrik, aku mengingat sesuatu yang penting.
"Takao-kun," panggilku.
Takao Kazunari yang sudah berjalan duluan dariku berhenti dan menatapku.
Jantungku berdebar keras dan seluruh tubuhku mendadak lemas mengingat hal ini. Otakku menolak menerima, tapi fakta berteriak di depanku.
"Ada apa Kuroko-kun?" tanyanya.
"Aku tidak pernah memberitahu siapa pun bahwa kepalaku pernah dihantam oleh pemukul baseball. Kau tahu dari mana informasi itu?"
To Be Continued
A/N: HAIIIIII! Apakah ada yang masih mengingat saya atau pun cerita yang sudah menjadi butiran debu di fanfiction ini?
Jika ada terima kasih banyak masih mengingat atau bahkan menunggu cerita ini. Jika tidak... saya tidak bisa menyalahkan kalian semua. Salahkan saja waktu yang tidak pernah ada untuk menulis dan meng-upload.
Pertama, maafkan saya yang sudah mengabaikan cerita ini lebih dari dua bulan. Ternyata, menjadi mahasiswi fakultas kedokteran tuh nggak seindah yang saya bayangkan. Saya kira kehidupan kampus tuh bakal kayak di FTV-FTV gitu - korban drama
NYATANYA ENGGAK SAMA SEKALI! Apalagi kata banyak orang, belajar di sekolah kedokteran tuh susah banget. Yah, tapi jalani aja dulu.
Lalu, maafkan saya juga yang belakangan ini selalu tidak tahu diri untuk membalas komentar para pembaca yang budiman. Tapi, jangan sedih. meskipun saya tidak membalas review kalian, sebenarnya saya sangat senang dengan review kalian. Itu bagai penyemangat saya dikala saya bimbang apakah harus bertahan atau keluar.
Kemudian, saya berharap di chapter baru ini, para pembaca sekalian tidak kecewa. Entah itu dalam sudut gaya penulisan atau pun alur cerita. Maklum, sudah lama nggak nulis jadi bahasa yang dipakai jadi agak-agak kaku gitu. Kalau ada yang merasa alurnya kecepetan... tolong maklumi saja. Saya akan berusaha untuk melambatkan tempo tulisan jika ada yang merasa seperti itu.
Akhirnya, di penghujung bacotan nggak jelas di atas,
Kritik, komentar, dan saran selalu diterima.
