Kuroko no Basuke Fanfiction
Disclaimer: Fujimaki Tadatoshi
Warning!
TYPO, OOC, AU, dan lain sebagainya
It's my pleasure if you read first and then give me your review
Pemeran Utama:
Akashi Seijuurou
Kuroko Tetsuya
Please enjoy~
UNDEFINED
Chapter 11: Permainan petak Umpet
Hening.
Setelah kalimat tanyaku, ada beberapa jeda, hening. Aku masih menatap Takao yang juga balas menatapku. Jantungku berdebar keras dan aku bersusah payah menelan ludahku sendiri. Seperti ada hantaman palu ke arah hatiku. Itu tidak mungkin kan?
"Takao...?" ujarku, melihat Takao sama sekali tidak berbicara. Ia malah menunduk, bahunya turun, dan aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya karena tertutupi oleh poninya yang sedikit lebih panjang dari alis matanya.
Aku mendengarnya menghela napas. Apa? Apa yang akan dikatakannya setelah ini? Apa ia akan menjelaskan sesuatu? Tentang siapa yang memukulku? Entah mengapa, di sudut hati, aku ingin mendengar bahwa ia melihat seseorang memukulku. Namun, aku juga menyadari kemungkinan terburuk dari semuanya.
Perlahan, Takao mengangkat kepalanya. Aku tidak menatap matanya, melainkan fokus melihat mulutnya yang mendadak tersenyum. Semakin ia menatapku, semakin lebar senyumannya. Hatiku serasa dicubit.
"AH~ Aku ketahuan deh~!" Nada suaranya sama seperti biasanya. Ceria, ringan, dan juga tampak akrab. Ia mengucapkannya seolah mengucapkan kepada anak kecil yang berhasil menemukannya dalam permainan petak umpet. Ia masih tersenyum, tetapi matanya tidak ikut tersenyum. Ia menatapku dengan tajam.
Mungkin seluruh kata-kata di dalam otakku sudah disedot keluar ketika ia mengatakan hal sederhana itu. Menyisakan cangkang kosong dan hati mencelos hebat padaku. Aku bahkan tidak bisa melakukan apa pun setelah mendengar kalimatnya. Sudah, tidak perlu pertanyaan siapa yang memukulku tempo lalu.
Selama ini aku selalu bertanya-tanya, siapa yang memukulku. Orang seperti apa? Apakah orang itu merupakan seseorang yang tidak kukenal? Namun, ternyata itu merupakan ulah orang yang aku pikir dengan Tetsuya, Salah satu temannya yang selalu akrab dengannya. Hatiku sakit mengingatnya. Ternyata pepatah lama benar, yang harus kita khawatirkan adalah pengkhianat dari dalam.
"...kenapa...?" Hanya itu yang sanggup keluar dari bibirku. Semuanya mendadak kelu. Dikhianati ternyata rasanya seperti ini. Semuanya kebas dan kelu. Aku berharap Takao mengatakan itu hanya untuk bercanda. Sebuah candaan yang keterlaluan, tetapi tampaknya tidak terselip bumbu-bumbu guyonan yang biasanya.
Ia mendengus setelah mendengar pertanyaanku. "Kenapa? Seharusnya itu menjadi pertanyaanku padaku!" ia berseru keras. Hilang senyuman tadi. Hilang sudah bayangan Takao yang selalu tersenyum jenaka. Kini, di hadapanku, adalah seorang dengan benci yang tertera jelas di wajahnya.
Aku berusaha tenang, meski tidak paham apa yang dibicarakannya. "Aku tidak mengerti," kataku, menahan seluruh kejengkelan yang mendadak muncul.
Ia menatapku dengan tatapan mencemooh, "Tentu saja kau tidak mengerti. Kau tidak pernah mengerti apa pun," katanya. Aku semakin tidak mengerti dibuatnya. Namun, Takao tidak memberikan penjelasan lebih jauh. Ia malah berbalik dan melambai. "Sudah ya. Aku harus masuk kelas," katanya ringan, pergi meninggalkanku sendirian.
Aku dongkol sekali. Kukejar ia dan kupojokkan ke tembok yang ada di anak tangga lebar. "Apa maksudmu? Apa alasanmu? Kenapa kau melakukan hal itu?" tanyaku bertubi-tubi. Untuk mencegah ia pergi, aku meletakkan kedua lenganku di samping kepalanya, menjadi penghalang agar ia tidak kabur dariku.
Namun, tampaknya Takao juga tidak berminat untuk kabur. Ia malah bersandar pada tembok dan melipat tangannya santai. Menatapku dari balik iris yang tidak kukenali lagi. "Kau tahu, setelah memukulmu, aku merasa senang. Aku merasa sudah bebas. Namun, tampaknya hal itu malah memicu kebencianku yang lain ya," katanya, mendengus meremehkan.
"Jangan berbelit-belit!" desisku tidak suka. Aku paling tidak suka jika ada orang yang berbuat salah dengan alasan berbelit-belit.
"Kenapa tidak kau cari maksudnya sendiri? Kau, dengan otak licikmu," katanya, "bukankah kau selalu menggunakannya? Sampai aku tidak menjadi apa-apa lagi."
"TAKAO!" bentakku karena kesal sekali. Ada beberapa alasan mengapa aku kesal. Pertama, karena ia adalah biang keladi pemukulan kepalaku. Kedua, karena ia melakukannya tanpa rasa bersalah. Ketiga, aku semakin kesal jika tahu bahwa targetnya adalah 'Kuroko Tetsuya', yang artinya jika aku tidak menyamar pun, mungkin Tetsuya yang akan babak belur. Keempat, ia berbelit-belit.
Ia tampak terkejut ketika aku membentaknya. Mungkin karena jarak kami termasuk dekat, jadi ia terkejut. Atau karena hal lain. Ia kembali menunduk dan bahunya bergetar sedikit. Aku yakin itu bukan karena getaran kesedihan dan mulai menangis. Pasti karena hal lain. Karena emosi kebencian.
"...kau... berani sekali membentakku..." lirihnya, penuh dendam. Ia menatapku. Kini tatapannya benar-benar liar dan penuh dendam. "Kau mau tahu apa alasanku? Alasanku itu KAU! Karena itu KAU, jadi aku harus menyingkirkanmu!"
Aku terpaku. Sebenci itu Takao pada Tetsuya? Apa yang terjadi di antara mereka? Pertanyaan yang serupa juga muncul mengenai Jason Silver. Apa yang terjadi antara Tetsuya dengan mereka?
"Kau harusnya tahu betapa aku sangat senang mendengar kabar bahwa kau tidak masuk sekolah! Aku merasa menjadi bebas. Terlepas dari semua bayang-bayang. Tapi, kau kembali setelah satu minggu. Merebut semuanya lagi dariku. Kini, aku bahkan ragu bahwa kau adalah kau yang dulu."
Jantungku berhenti. Bukan karena penjelasan yang tampak tidak masuk akal bagiku, melainkan karena kalimat terakhirnya itu. Apa maksudnya?
Kau bukanlah kau yang dulu.
Apa maksud kalimat itu? Tidak mungkin kan, Takao tahu bahwa aku bukan Kuroko Tetsuya?
Belum sempat aku menanyakan hal itu, Takao sudah menepis kasar tanganku yang mengurungnya. Ia menatapku dingin dan mulutnya tersenyum. "Sudah ya, aku masih banyak urusan. Kuroko Tetsuya," katanya, dengan penekanan di bagian akhir.
Ia sudah berada dua anak tangga di bawahku, sementara aku masih terdiam dengan jantung bertalu-talu.
Tidak. Tidak mungkin. Bagaimana cara Takao tahu bahwa aku bukanlah Kuroko Tetsuya? Apa ia tahu perihal aksi bunuh diri yang disamarkan menjadi 'kecelakaan'? lalu, akan ke mana dia sekarang? Mengumumkan pada OSIS Belakang bahwa aku bukanlah Kuroko Tetsuya? Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku haru menghentikan Takao dan meminta penjelasan.
"Tunggu!" seruku sambil berlari mengejarnya. Ia sudah berada di anak tangga terakhir dan aku sedikit terburu-buru menuruni tangga. "Takao tunggu!" seruku lagi, tetapi ia mengabaikanku. Ia berjalan menyusuri koridor lantai dua yang mulai sepi karena siswa-siswi sudah masuk kelas. Kapan bel tanda pelajaran dimulai, aku tidak mendengarkan.
"Takao–"
"Shin-chan~!" seruan nyaring Takao menginterupsi seruanku. Pemuda berambut hitam itu melambaikan tangannya riang mendapati Midorima keluar dari Ruang Guru. Ia bergegas menuju Midorima dan bergelayut manja di lengan kirinya. Aku terpaku di tempat.
Kepalaku panas dingin. Tanganku sedikit gemetar. Bagaimana ini? Aku tidak mungkin menuntut penjelasan dari Takao jika ada Midorima. Aku tidak bisa.
Sial! Takao mungkin sengaja melakukannya agar aku tidak mengejarnya terus-menerus. Lalu, sekarang apa? Apa ia akan mengatakan hal itu pada Midorima? Tapi, aku harus tahu dari mana teori itu berasal. Bahwa aku bukanlah Kuroko Tetsuya.
"Kuroko? Sedang apa kau di sini?" tanya Midorima, melihatku berdiri terpaku di koridor lantai dua. Aku tersentak. Aku langsung melirik Takao yang tampak seperti berlindung pada Midorima. Aku kembali merasa kesal dan dongkol.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku tadi baru saja mengetahui bahwa orang yang memukulku itu adalah teman dekatnya, tetapi aki tidak bisa mengatakan hal itu juga. "Aku..." kalimatku menggantung. Aku sama sekali tidak tahu harus menjawab apa.
"Kuroko-kun membantuku membawa laporan tugas untuk sensei. Kami baru saja dari lantai tiga dan ketika berjalan, aku bertemu denganmu," jelasnya lancar.
Aku bahkan harus sampai mengerjap beberapa kali, memastikan bahwa di depanku ini adalah Takao yang sangat membenci Tetsuya. Yang beberapa saat lalu tatapannya tidak sejenaka ini. Yang beberapa saat lalu ia mengatakan bahwa ia menatapku dengan tatapan penuh kebencian.
Bagaimana dia bisa melakukan hal itu?
"Oh," kata Midorima tidak terlalu peduli pada penjelasan Takao. Ia malah menatapku. "Kau tidak masuk kelas, Kuroko?" Lalu ia menaikkan kacamatanya yang sama sekali tidak turun. "Bukannya aku peduli jika kau tidak masuk kelas atau tidak, nanodayo."
Aku mencoba tersenyum kaku padanya. "Ini juga baru mau," kataku. Aku kembali menatap Takao yang sesaat lalu menampilkan ekspresi mual dan muak, tetapi kembali berganti cerah ketika Midorima mengajaknya masuk kelas.
Kami berjalan menuju lantai satu yang masih ramai dengan siswa-siswi sebelum berpisah di lorong. Aku menatap Midorima dan Takao yang berjalan menuju kelas mereka, dengan Takao yang semangat bercerita mengenai sesuatu yang tidak kuketahui.
Aku menelan kering. Perasaan cemas kembali datang.
Bagaimana ini?
Bagaimana jika Takao membeberkan semuanya pada Midorima? Apa yang harus aku lakukan?
.
.
.
Aku berniat untuk mencari Takao dan memaksanya untuk menjelaskan semuanya. Aku datang pagi-pagi ke sekolah, menatap orang yang datang satu per satu, berharap Takao datang dan aku bisa mencegatnya. Namun, hari pertama gagal karena sampai bel masuk berbunyi Takao belum juga datang. Mungkin ia sengaja datang telat karena tahu aku akan bertanya macam-macam.
Siang hari aku juga bergegas menyusuri koridor untuk mencari Takao, tetapi langsung mengurungkan niat karena Takao sudah bersama dengan Midorima. Memakan makan siang mereka bersama. Lagi-lagi aku gagal.
Dan terus seperti itu. Aku nyaris tidak punya kesempatan untuk bertemu berdua dengan Takao karena pemuda itu selalu menghindariku. Aku tahu ia melakukannya dengan sengaja. Pagi-pagi, jika tidak telat, maka ia akan datang bersama Midorima. Siang, ketika aku melihatnya berjalan sendiri, ternyata ia sedang menuju Midorima. Aku tidak akan bisa bertanya padanya jika ia selalu menempel pada Midorima.
"Kau itu kenapa sih?" tanya Ogiwara, menghentikan kegiatan makannya. Ia menatapku bingung.
Aku mengerjap. "Aku kenapa?" tanyaku tidak mengerti.
Ogiwara mendengus malas. "Beberapa hari belakangan ini kau tidak fokus ya," katanya, "kau sedang mencari seseorang bukan?" tanyanya. Aku terdiam.
Aku tidak mengatakan apa pun pada Ogiwara dan memang tidak ada yang perlu dikatakan. Jika mengatakannya, apa untungnya untukku? Bisa-bisa semua orang tahu bahwa aku bukanlah Kuroko Tetsuya dan aku didepak dari SMA Teikou. Aku tertunduk dan menatap onigiri di hadapanku yang masih tersisa setengah.
Ogiwara kembali melanjutkan acara makannya, dan aku sudah tidak berminat lagi menyentuh onigiri itu. Aku menatap sekeliling kantin (kembali), mencari Takao, sampai aku menemukan ia sedang menikmati makan sendiri.
Ini kesempatan bagiku!
Aku bangkit dari kursiku, mengabaikan Ogiwara yang mendadak mendongak dan bertanya "kau mau kemana?" dan berjalan menuju Takao. Masalah ini harus selesai. Aku harus tahu semuanya. Aku harus memastikan apakah ia sudah tahu identitasku yang sebenarnya atau tidak. Aku harus bertanya padanya.
Namun, ia melihatku dan terburu-buru pergi.
Aku menahan umpatanku. Dia berjalan cepat dengan sangat lincah, dan aku harus menyeimbangi langkahku agar tidak tertinggal jauh. Aku tidak boleh mencolok perhatian dengan berlari di koridor sekolah.
Nyaris saja aku berhasil menggapainya sebelum ia berseru nyaring, "Shin-chan~!"
Aku mengurungkan niat, sekaligus mulai mengutuk nama panggilan itu. Midorima berjalan ke arah kami, jaraknya sekitar lima meter. Takao bergegas menghampiri Midorima dan bergelayut di lengannya. Namun, Midorima menepisnya hingga pemuda berambut hitam itu mundur dua langkah.
Aku bingung apakah harus kembali atau menyapa Midorima. Sebelum aku sempat memutuskan untuk berbalik atau tidak, Midorima-lah yang menghampiriku. Takao mengekornya dari belakang. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya.
Aku kembali tidak mempunyai jawaban. Sedang mengejar Takao, bukanlah jawaban yang pas untuk diberikan.
"Kuroko-kun membantuku mencarimu," jawab Takao, secara lancar berbohong.
"Bukankah sudah kubilang tunggu saja di kantin?" tanya Midorima. Takao hanya tersenyum konyol.
"Kenapa memang?" ia balas bertanya.
Midorima menghela napas. "Kau ini merepotkan sekali sih," gerutunya. Namun, Takao tidak tampak tersinggung. Ia malah tersenyum lebar.
"Kau juga tidak keberatan kan?" ia balas bertanya. Sebuah pertanyaan retorik yang tidak dijawab oleh Midorima. "Ngomong-ngomong, sedang apa kau di koridor Yayasan?" tanya Takao, yang membuatku sadar bahwa kita tidak lagi berada di koridor sekolah. Kami bertiga berada di koridor Yayasan yang sepi.
Koridor itu sama seperti koridor sekolah, hanya saja bentuk ruangannya tidak sama dengan kelas. Pintu tertutup rapat, dan koridor sepi. Persis seperti kantor dengan jam sibuk yang tinggi.
"Ada yang harus kuurus," jawab Midorima pendek. Ia berjalan terlebih dulu, "ayo kembali," katanya, mengajak Takao. Takao mengikutinya. Namun, Midorima berhenti setengah meter di depanku, membuatku harus mendongak ketika menatapnya.
"Aku baru saja akan memanggilmu, tapi ternyata kau sudah datang dengan sendirinya," katanya. Aku menatapnya bingung. Apa?
Ia menunjuk ujung koridor dengan kepalanya. "Ia sudah menunggumu," katanya singkat, sebelum kembali berjalan menuju koridor sekolah yang tampak sangat jauh sekali. Suara riuh anak seolah juga tidak terdengar.
Aku menatap koridor yang terbentang sampai ujung, tempat Midorima menunjuknya dengan kepalanya. Siapa? Siapa yang memanggilku?
Tiba-tiba, sebuah perasaan menusuk menikam hatiku. Ketua Dewan. Ketua Dewan yang memanggilku. Entah dari mana pikiran itu berasal, tapi aku yakin sekali bahwa Ketua Dewanlah yang memanggilku. Tapi kenapa? Kenapa Ketua Dewan memanggilku?
Dia sudah tahu siapa aku.
Pemikiran itu membuatku mual. Tahu? Tapi bagaimana caranya ia tahu?
Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak, aku tidak boleh berprasangka terlebih dahulu. Entah mengapa, kakiku terasa sedikit lebih berat dari biasanya. Aku melangkah menuju ujung koridor. Aku melewati Ruang Administrasi, Ruang Rapat, Ruang Khusus Karyawan, Dapur, dan di ujung koridor hanya ada toilet.
Di seberang Toilet, ada tangga yang menuju lantai dua. Aku menaiki tangga tersebut dengan perut melilit. Entah apa yang ada di atas sana, tapi aku mencoba meneguhkan pikiranku. Di lantai dua, hanya ada dua ruangan. Pertama Ruang Ketua Dewan, dan satu lagi Gudang.
Aku merasa tidak percaya sekarang ini. Rasanya sampai detik lalu, aku merasa Ketua Dewan sangat tidak tercapai, tetapi kini, aku datang menemuinya. Mungkin aku bisa bertanya macam-macam.
Ruang Ketua Dewan berhadapan dengan Gudang. Pintu Gudang terbuka cukup lebar sehingga aku mampu melihat tumpukan kursi, meja, papan tulis, bersama kardus-kardus lainnya yang sudah tidak terpakai.
Ruang Ketua Dewan juga terbuka sedikit, tetapi hanya ada kegelapan di dalamnya. Aku berniat langsung masuk, tetapi urung ketika mendengar percakapan yang cukup jelas. Ketua Dewan sedang berbicara dengan seseorang.
"Bagaimana kondisinya?" suara orang yang menurutku aneh. Aku mengasumsikan bahwa itu adalah Ketua Dewan. Mungkin ia memakai alat pengubah suara, jadi aku tidak tahu apakah yang berbicara laki-laki atau perempuan.
"Anda tidak harus mengkhawatirkan hal-hal sepele seperti itu," balas lawan bicaranya. Ia juga memakai alat pengubah suara, jadi aku juga tidak tahu siapa yang berbicara.
Terdengar suara tawa aneh dari Ketua Dewan. "Justru hal-hal sepelelah yang akan menjatuhkan kita suatu saat nanti. Kita berdua tahu benar soal itu."
Lawan bicaranya tidak menjawab. "Terus pantau kondisinya," perintah Ketua Dewan. "Dia sudah mulai bergerak, dan aku tidak mau kalah dalam permainan ini," lanjutnya.
"Baik," jawaban singkat dari lawan bicaranya.
Terdengar kekeh singkat. "Bagus. Aku mengandalkanmu untuk selanjutnya. Aku memberi wewenang penuh padamu untuk urusan ini."
"Terima kasih. Aku tidak akan mengecewakan Anda," jawaban berat dari lawan bicaranya.
"Bagus. Sekarang kembalilah. Lakukan apa yang menjadi tugasmu."
Lalu, terdengar langkah kaki menuju pintu. Aku sadar dan bergegas bersembunyi di balik pintu Gudang. Aku bersembunyi bersamaan dengan pintu yang berbuka. Jantungku berdebar keras. Aku melirik dari celah pintu Gudang, tetapi karena jarak pandangnya terbatas, aku tidak bisa melihat dengan jelas orang yang baru saja keluar. Yang jelas, ia merupakan seorang lelaki dan juga seorang murid. Aku bisa tahu setelah melihat celana seragam yang ia kenakan. Selebihnya, aku tidak tahu.
Aku merosot di belakang pintu Gudang. Percakapan tadi memenuhi kepalaku. Ada sebuah permainan yang sedang dimainkan oleh Ketua Dewa, dibantu dengan siswa tadi. Siapa? Siapa siswa itu? Yang mendapat kepercayaan penuh dari Ketua Dewan untuk memantau kondisi seseorang atau sesuatu.
Pikiran pertamaku jatuh pada Nash Gold. Ya, orang itu. Mungkin karena gelar Ketua, ia mendapat wewenang penuh. Sangat dipercayai oleh Ketua Dewan. Mungkin. Apa itu artinya aku harus mendekatinya? Untuk mendapat bukti dan membongkar semuanya.
Namun, tidak ada waktu terlalu lama untuk berlarut-larut. Aku juga dipanggil oleh Ketua Dewan, kata Midorima. Aku berjalan keluar dari Gudang dan setelah menetralkan perasaan gugup, aku melangkah masuk menuju Ruang Ketua Dewan.
Hal pertama yang menyambutku adalah betapa gelapnya ruangan itu. Gorden-gorden tebal menutupi jalan masuk mentari, sehingga ruangan luas itu tidak mendapat akses penuh oleh mentari. Lampu juga tidak dinyalakan. Bagaimana bisa seseorang bekerja dengan kondisi gelap gulita seperti ini?
Ruangan itu kosong melompong. Tidak ada barisan lemari kaca yang memajang semua piala dan piagam siswa yang sudah menang lomba atau apa. Tidak ada laci-laci penuh dokumen. Di sudut ruangan tengah, hanya ada sebuah meja dan kursi. Ada siluet orang duduk, tetapi aku tidak tahu siapa, karena tidak jelas. Namun, ada meja lagi di tengah ruangan. Meja bundar kecil yang di atasnya ada laptop. Aku hanya berdiri di depan meja kecil itu. Tidak sampai ujung.
"Halo," sapa suara Ketua Dewan yang langsung membuatku terlonjak kaget. Bukan karena suaranya, tapi karena asal suaranya berasal dari belakang tubuhku. Dengan cepat aku berbalik, tetapi tidak melihat siapa pun. Jantungku berdebar cepat dan aku sedikit takut.
"Kuroko Tetsuya, aku sudah menunggumu," katanya lagi. Kini dari sebelah kananku dan di kananku tidak ada siapa-siapa. Aku melirik kanan atas dan mendapati speaker terpasang. Jadi, dari alat pengeras suara itu asalnya.
Aku menelan ludah. "Apa kau tahu apa alasanmu dipanggil kemari?" tanya Ketua Dewan.
Aku menggeleng kaku. Dia tertawa. "Sebelumnya aku ingin mengatakan, bahwa pengkhianatan itu memang selalu menyakitkan," katanya.
Jantungku berhenti. "Apa maksud Anda?" tanyaku, seluruh tenggorokanku mendadak kering.
"Aku membicarakan tentang Takao Kazunari," katanya.
"Dari mana Anda tahu?" tanyaku lagi.
Suara tawa ganjil terdengar. Sepenjuru ruangan seolah ikut tertawa. "Tentu saja aku tahu, Kuroko-kun. Aku kan Ketua Dewan. Semua aktivitas sekolah ini aku mengetahuinya."
Ia memutar laptop mati itu menjadi hidup. Menunjukkan sebuah video yang berganti-ganti. Aku terpaku di tempatku. Video itu ada dari mulai aku yang menyamar sebagai Tetsuya berjalan masuk ke dalam sekolah, Kise yang memelukku dari belakang, Jason Silver yang membuliku, Rapat Dewan Harian, Takao yang memukulku (dan terlihat jelas sekali ketika ia memukulku. Ternyata ia sudah menunggu di balik pintu Laboratorium Bahasa sejak awal), bahkan sampai aku memojokkan Takao.
Setelah itu, video berakhir dan layar mati. Aku tidak bergerak. Aku masih merekam ulang semua kejadian. Sejak awal aku sudah diintai. Itu membuat bulu kudukku meremang.
"Lihat? Tidak ada yang tidak kuketahui, Kuroko-kun," katanya.
Aku menatap siluet Ketua Dewan. "Apa yang Anda inginkan?" tanyaku.
Tidak ada jawaban dari Ketua Dewan. Yang ada hanya layar laptop kembali menyala dan menayangkan video lagi. Kali ini bukan di sekolah. Melainkan di Rumah Sakit. Jantungku mendadak lemas. Ada aku di dalam video itu. Aku yang berpenampilan sebagai Kuroko Tetsuya yang sedang mengunjungi Tetsuya di Ruang Rawat Inapnya.
Kakiku mendadak lemas, hingga aku harus bertumpu pada meja kecil itu. Mencengkeram kuat ujung-ujung meja agar tidak jatuh tersungkur.
Dia tahu. Ketua Dewan tahu.
Hanya itu yang ada di otakku sekarang. Video berganti menjadi Ruang ICU tempat Tetsuya dirawat. Tetsuya seorang diri, tidak ada aku. Tertidur dengan damai wajahnya. Dan tidak bergerak satu senti pun sejak ia dilarikan ke Rumah Sakit.
"Video itu adalah video sekarang. Waktu sekarang," jelas Ketua Dewan tanpa diminta.
Aku menatap tajam siluet itu. "Kenapa ada Tetsuya di video ini?" tanyaku bingung. Kepalaku mendadak sakit karena banyaknya kejadian mengagetkan.
"Tenang saja. 'Kuroko-kun', Tetsuya-mu baik-baik saja. Aku tidak melakukan apa pun padanya," jelasnya, yang sama sekali tidak membuatku merasa tenang apalagi baik-baik saja.
"Mengapa Anda melakukan hal ini?" tanyaku lagi. Aku merasa wajahku panas dingin, tetapi aku mengabaikannya.
"Kenapa? Kupikir kita sedang bermain di sini," katanya ringan. Aku mengepalkan tanganku. Aku menggigit bibirku sendiri supaya tidak berteriak.
"Aku sedang tidak bermain di sini," geramku.
Ketua Dewan tertawa. Tawa ganjil dan aneh lagi. "Oh, ya. Kita sedang bermain. Apa nama permainannya? Ah! Permainan Petak Umpet."
"Apa?" Bukan karena aku tidak mendengar jelas, justru karena mendengar jelaslah aku bertanya.
"Oh, tentu saja tidak semudah permainan petak umpet biasa. Kau mencari kebenaran, dan aku menyembunyikan kebenaran," katanya lagi. Perutku seolah diputar.
"Jangan bercanda!" seruku sambil berlari menuju meja Ketua Dewan. "Ini sama sekali bukan permainan!" bentakku sambil menggebrak meja kacanya. Ketua Dewan sama sekali tidak beraksi.
Aku hendak meraihnya sebelum lampu mendadak menyala terang. Membuatku refleks memejamkan mata karena lampu yang mendadak terang. Setelah mataku tidak terasa perih lagi, aku menatap Ketua Dewan.
Atau, setidaknya yang kusangka Ketua Dewan.
Sama seperti kasus Mochizuki, bukan Ketua Dewan yang berada di sana, melainkan sebuah manekin. Mata manekin itu besar dan melotot, seolah dapat menembus dan membaca pikiranku. Manekin itu tidak didandani seperti Mochizuki, melainkan dibiarkan saja tanpa busana, seperti manekin bekas di toko baju.
Seluruh tubuhku lemas. Jantungku mungkin juga lelah harus terus berdetak cepat karena kaget. Untung saja onigiri tadi tidak kumakan semua. Aku mau muntah rasanya sekarang.
"Hi hi hi," suara tawa yang datangnya dari dalam manekin itu. "Maaf jika harus menemuimu dalam wujud seperti ini. Hi hi hi." Tawanya melengking, membuatnya terasa menakutkan.
"Maaf jika aku tidak bisa menemuimu langsung. Hi hi hi," ia kembali tertawa, "orang di balik layar tidak boleh terlihat mencolok."
Nyawaku serasa di bawa keluar dari tubuh. "Hei, 'Kuroko-kun'," panggilnya. Aku menatap manekin di hadapanku. "Ambillah memorandum itu," katanya.
Aku menatap memorandum yang tergeletak rapi di meja kaca tempat manekin itu. Aku membacanya. Itu merupakan sebuah alamat sekolah. "Itu adalah tugas yang harus kau kerjakan," katanya. Aku menatap manekin itu.
"Selesaikan tugas itu dengan baik. Midorima Shintarou yang akan mendampingimu," jelasnya lagi. Jadi ini maksud dari kata-kata Midorima. Tapi, apa ia sudah tahu siapa aku?
"Tenang saja, 'Kuroko-kun'," jelas Ketua Dewan, "Midorima tidak tahu siapa kau yang sebenarnya. Ini akan menjadi rahasia kecil kita. Hi hi hi." Aku jengah mendengarnya tertawa melengking seperti itu.
"Apa yang kau ingin aku coba lakukan?" tanyaku, menatap lekat manekin mengerikan itu. Aku merasa manekin itu tidak akan pernah lepas dari bayanganku.
"B-e-r-m-a-i-n~" ucapnya dengan mengeja satu per satu huruf.
Mendengarnya, langsung membuatku sontak meremas kertas memorandum itu dan menggebrak meja, kesal dan marah. "Jangan bercanda!"
"Hi hi hi," tawanya, melengking. "Kau ingin tahu tentang kebenaran semuanya kan? Kalau begitu, artinya kita bermain."
Aku semakin tidak mengerti. "Di mana kau sebenarnya?! Mengapa kau hanya berwujud manekin?!" teriakku geram.
"Hi hi hi," ia tertawa lagi. Dari belakangku. Aku menatap ke belakang dan tidak ada siapa-siapa. Kembali aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tetap tidak ada apa-apa.
"Kenapa kau ingin aku terlibat dalam permainan konyol itu?" tanyaku lagi.
"Hi hi hi." Ia tertawa lagi, tidak menjawab pertanyaanku.
"Berhenti tertawa!" seruku kesal. Lagi pula, aku sedikit takut dengan suara tawanya.
"Pergilah sekarang 'Kuroko-kun'," katanya. Aku bergeming. Aku tidak ingin pergi. Ketua Dewan terasa sangat dekat di sini. Aku belum puas. Aku belum mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Aku menginginkan kebenaran. Namun, aku juga tidak punya pilihan. Mau aku sekeras kepala apa pun, aku tahu bahwa Ketua Dewan hanya akan tertawa sinting dibandingkan menjawab pertanyaanku. Tidak ada gunanya.
"Aku pasti akan menemukan kebenaran," desisku, di depan manekin itu, seolah itu adalah Ketua Dewan. "Dan menolong adikku."
Tawa melengking kembali bergema. "Hi hi hi. Aku juga menantikan akhir permainan petak umpet ini. Aku menanti akhir yang mengharukan, Akashi Seijuurou."
Aku mengepalkan tangan sebelum keluar dari Ruang Ketua Dewan. Ketika aku keluar, pintu Ruang Ketua Dewan perlahan-lahan menutup rapat sepenuhnya. Keadaan sepi. Hanya ada aku dan memorandum lusuh.
Aku meneguk ludah.
Baiklah. Jika itu yang diinginkan Ketua Dewan, maka ayo kita bermain.
Dan, seorang Akashi Seijuurou tidak pernah kalah dalam permainan apa pun.
Karena itu, di dalam permainan yang dibuat oleh Ketua Dewan, aku juga tidak akan kalah!
To Be Continued
A/N: Halooo! Akhirnya chapter baru telah tibaaaa~! (JENG JENG!)
Semoga isi dari chapter ini tidak mengecewakan ya~
Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan. Berhubung sinyal di kost saya itu jelek sekali, maka sepertinya tidak memungkinkan untuk membalas satu per satu review. Karena itu, balasan review akan saya cantumkan di bagian akhir dari setiap chapter. Hal ini saya lakukan selain karena masalah sinyal yang jelek, agar para reviewer yang tidak login atau sebagai guest bisa saya balas. Selama ini saya tidak tahu harus membalas mereka dengan apa (OTL)
Nah, sekarang kita masuk ke BALASAN REVIEW
BALASAN REVIEW
Shinju Hatsune: Ini sudah saya lanjut~ AnSNfc3: Kapan ya? Tunggu saya berkehendak dia bangun, maka ia akan bangun. Iya, disini Akashi tidak absolut. Kalau dia absolut, maka cerita ini tidak akan jadi sepanjang ini. Biarkan lah Akashi menderita untuk mencari kebenaran. Hi hi hi. Deagitap: Fu fu fu~ Siasat OSIS Belakang? Hm, lihat sampai akhir ya~ AkariHanaa: Ini sudah lanjut kok... ShirShira: Oh ya? Makasih ya arudachan: Apa ya~? Nanti juga ada waktunya kok, Akashi melihat sendiri bagaimana cara Momoi ketika menghadapi anak-anak berandal itu di gang. Di tunggu saja~ macaroon waffle: Mereka dijadikan gurita berwarna kuning/lho kok?/ Oke, abaikan. Dikasih hukuman gak ya~? Tergantung saya saja. Kalo saya berkehendak, maka Akashi akan saya berikan hukuman. Fu fu fu~ Terima kasih untuk mengingatkan typo. Guest(kyuli99): Di sini semua tokohnya memang kasihan. Oke, ini sudah lanjut~ ChintyaRosita: Diusahakan agar tidak discontinued, soalnya saya sudah memikirkan konsep ini secara matang, ya, tapi doain saja oke? Aquez78: Ini sudah update. Tapi kalo update kilat... (hening) Guest(Oranganeh97): Ini sudah update. Memang, clue-nya dikasih satu per satu. Kalo dikasih langsung semua, kan gak seru nanti jadinya~ Kaoru Hiyama: dimaafkan. Kalo baca dan review dapat pengampunan. Wkwk (oke, bercanda). Padahal saya sudah cemas bahasa saya kaku karena sudah terlalu jarang tulis, tapi syukurlah kalau memang tidak kaku. Terima kasih untuk masukan typo-nya~ ryu elchan: Ini sudah lanjut. Yang terjadi pada Tetsuya... biarlah chapter-chapter depan yang menguaknya. AArlert997: Makasih untuk review-nya. Ini sudah update~ Aizawa Harumi: gak. Gak dimaafin! (oke, ini serius/eh/ maksudnya bercanda). Wkwk, oke, ditunggu lima tahun lagi di ruang praktek sebagai Dokter dan pasien, oke? Lindipradita98: Diary ya~? Sabar ya. Akan ada cerita tersendiri antara Tetsuya dan diary tersebut /tsah!/ tenang, diary itu kepingan puzzle tersendiri dan potongan yang menjadi bagian pentin juga. Tapiiii, itu untuk nanti. Akan ada waktunya. Nanti diary itu akan berperan dalam caranya sendiri. Oke?
Nah, mungkin itu saja yang bisa dibalas. Mohon maaf jika balasannya ada yang tidak sesuai dengan harapan (?), tetapi saya tetap senang dengan semua review yang kalian tinggalkan.
Terakhir,
Kritik, komentar, dan saran selalu diterima~
OMAKE
Rumah Sakit di kawasan Tokyo itu tampak lengang. Jam kantor. Jam sibuk. Tidak banyak pengunjung rawat inap yang datang. Para perawat UGD hilir mudik sibuk. Para dokter melakukan kunjungan ke bangsal-bangsal Rumah Sakit. Para perawat bangsal hanya sedang bercakap-cakap dengan rekan-rekannya, menunggu kondisi darurat yang akan menyibukkan mereka.
Langkah statis itu berjalan tetap menuju koridor yang akan membawanya ke Ruang Rawat Inap. Ia berhenti sebentar di tempat para perawat. Salah seorang perawat langsung segera mengenalinya.
"Menjenguk Kuroko Tetsuya kan?" tanyanya, tebakan yang benar. Orang itu mengangguk sambil tersenyum. "Silahkan. Jam besuk berakhir pukul lima sore," kata perawat tersebut.
Mengucapkan terima kasih, orang itu menuju Ruang Rawat Inap, tempat Kuroko Tetsuya terbaring. Ruangan itu besar dan hanya terdiri atas satu ranjang, peralatan medis, dan Kuroko Tetsuya yang masih memejamkan mata, entah kapan akan membukanya.
Orang itu, sama seperti hari-hari biasanya, duduk di kursi yang tersedia. Ia lalu mengeluarkan laptop dan menyalakannya. Menunggu beberapa menit hingga laptop benar-benar menyala. Kemudian, ia membuka e-mail dan mengetahui bahwa ada sebuah video yang dikirim.
Ia lalu mengambil earphone dan mencolokkannya ke lubang khusus untuk earphone yang ada di laptop, serta dua buah speaker kecilnya, disematkan di telinganya. Ia membuka video itu. Menunggu beberapa saat karena masih buffering, akhirnya video itu berjalan.
Itu adalah video 'Kuroko Tetsuya' yang sedang berada di Ruang Ketua Dewan. Ia terlihat menggebrak meja dan menatap penuh amarah ke arah layar laptop. Lalu berseru keras dan akhirnya tenang. Ia menonton video itu sampai selesai. Lalu, setelah selesai pun, ia tidak bergeming.
Tak lama kemudian, sebuah e-mail masuk. Isi dari surat elektronik itu singkat sekali.
[Sudah dimulai.]
Membacanya, membuatnya tersenyum sendiri. Ia menatap Kuroko Tetsuya yang masih tertidur damai. Ia melepas earphone dari telinganya dan beranjak menuju Kuroko yang masih tertidur. Lalu, ia menunduk hingga mulutnya berada dekat dengan telinga Kuroko Tetsuya.
Ia berbisik pelan. "Dia sudah mulai bergerak. Katakan, haruskah aku ikut andil dalam permainan, hm? Membuat semuanya semakin meriah."
