Kuroko no Basuke Fanfiction

Disclaimer: Fujimaki Tadatoshi

WARNING

TYPO, OOC, AU, a lil bit of ShounenAi

Pemeran Utama:

Akashi Seijuurou

Kuroko Tetsuya

Please enjoy the show~

UNDEFINED

Chapter 12: SMA Touou dan Insiden

"Kurokocchi, lempar bolanya ssu!" kata Kise. Hal itu membuatku tersentak dan sadar bahwa aku sedang di tengah-tengah permainan 3-on-3 jam pelajaran olahraga. Dengan cepat, bolaku direbut oleh Ogiwara.

"Ah, steal!" seru Kise yang langsung mengejar Ogiwara yang men-dribble bola basket ke arah ring kelompokku. Aku berlari di belakang Kise yang sudah agak jauh ke depan, berusaha memblokir pergerakan Ogiwara yang berusaha men-shoot bola. Dan ketika Kise sudah dalam mode defense di hadapan Ogiwara, Ogiwara mengoper bola basket tersebut ke salah satu rekan satu timnya yang langsung membuat three point.

Peluitan panjang terdengar nyaring dari pinggir lapangan dan dengan begini 3-on-3 di antara kami telah berakhir, dimenangkan oleh kelompok Ogiwara dengan skor 40-38. "Ganti kelompok!" perintah sensei dari pinggir lapangan. Dua kelompok yang tadi bertanding (kelompokku dan kelompok Ogiwara), berjalan perlahan ke pinggir lapangan.

"Kau sudah kembali ke dirimu yang sebelumnya, Kuroko. Payah dalam olahraga," kata Ogiwara sambil mengelap keringatnya dengan kaos olahraganya. Aku hanya bergumam saja menanggapinya, karena saat ini aku sedang tidak dalam mood meladeni percakapan tidak penting.

Kami duduk di bangku pinggir lapangan, bangku yang biasanya dijadikan tempat duduk para pemain cadangan dalam basket dan Ogiwara langsung meraup setengah botol minumanya. Aku melakukan hal yang sama, tetapi berusaha agar tidak ada tetes-tetes yang tumpah dari daguku. Meski begitu, itu agak sulit, mengingat aku sangat lelah dan haus. Jadilah, beberapa tetes air menetes dari daguku dan aku terlalu malas untuk mengelapnya.

Peluit panjang kembali ditiup oleh sensei dan pertandingan 3-on-3 kembali dimulai. Suara sorakan anak-anak perempuan dan lai-laki terdengar kencang ketika kedua kelompok mulai memperebutkan bola basket dengan sangat gesit dan ketat. Ogiwara juga menjadi salah satu orang yang berteriak-teriak untuk menyemangati mereka yang sedang bermain di lapangan. "Defense! Defense! Defense!" katanya semangat sambil menghentak-hentakkan kakinya.

Aku ikut menikmati pertandingan yang berjalan lumayan seru, meskipun teknik mereka tidak bisa dibilang bagus sekali. Tak berselang lama, Kise ikut duduk disebelahku (entah darimana tadi dia) dan juga mulai meneriakkan kalimat-kalimat untuk menyemangati para pemain di lapangan.

Aku tidak pernah duduk di bangku cadangan selama permainan basket, jadi aku tidak tahu betapa berisiknya orang-orang yang menonton pertandingan basket. Biasanya selama aku berada di lapangan aku tidak bisa mendengar suara teriakan-teriakan mereka, karena aku sudah terfokus untuk konsentrasi pada lawan main sekaligus memberikan instruksi-instruksi pada teman-teman satu timku kalau-kalau kami harus mengubah stategi secara mendadak. Ternyata seperti ini euphoria menjadi seorang penonton. Ada rasa gemas dan sedikit kesal jika tim yang kita dukung kecolongan. Bedanya aku tidak bisa turun ke lapangan dan mengganti pemain.

Sepuluh menit berlalu, nada peluit panjang kembali berbunyi nyaring. Sensei kembali menyuruh kami ganti kelompok yang akan diuji. Aku sudah nyaris mati bosan di pinggir lapangan karena tidak melakukan apapun jika saja aku tidak melihat Midorima berdiri di kejauhan menatap ke arah lapangan, seperti sedang memanggilku untuk menemuinya.

.

.

.

"Aku tidak memintamu untuk kemari, nanodayo," katanya mengelak. Aku tidak menanggapinya.

"Ada apa?" tanyaku. Sesaat aku melihat Midorima, aku langsung izin pada sensei untuk pergi ke toilet. Setidaknya aku tidak lagi merasa bosan setengah mati di pelajaran olahraga. Aku dan Midorima berjalan beriringan di koridor sekolah yang sepi.

Hari ini Midorima tanpa tahu malunya memakai bandana berbentuk kuping kelinci berwarna putih. Lucky item, sesuatu yang selalu ia sebutkan. Ia pernah memberikan gunting sebagai (yang katanya) lucky item-ku hari itu. Dan sampai sekarang gunting itu akan terus menjadi lucky item-ku.

"SMA Touou akan melakukan latihan bersama dengan SMA kita," kata Midorima memulai ucapannya. Aku mulai memperhatikan bahwa jika Midorima berbicara serius, maka ia akan menanggalkan suffix nanodayo-nya yang sangat aneh itu (meskipun aku tidak keberatan jika ia memakai suffix tersebut, hanya saja pembicaraan serius jadi terkesan sangat lucu).

"Dalam rangka apa?" tanyaku bingung. Aku tahu SMA Touou. Itu merupakan salah satu SMA yang berprestasi dalam bidang olahraga, salah satunya adalah basket, selain tenis. Dulu saat aku masih menjabat sebagai Kapten Basket SMA Rakuzan, kami pernah bertanding (yang tentu saja dimenangi oleh Rakuzan).

"Dalam rangka menghadapi Pertandingan Basket Persahabatan Antar-SMA se-Tokyo yang akan diselenggarakan tiga bulan ke depan," jelas Midorima. Aku mengangguk paham. Namun, pasti bukan itu kan tujuan Midorima memanggilku? Hanya untuk memberitahu info tidak penting seperti itu.

"Lalu, kita akan menjadi tuan rumah?" tebakku. Apa Midorima salah satu panitianya? Namun, ketika aku berkata seperti itu, ia berhenti mendadak dan berbalik menatapku (yang membuatku nyaris menabrak tubuhnya karena tidak siap berhenti). "Apa?" tanyaku.

Midorima malah menghela napas. "Aku tahu ini tugas mudah bagimu, jadi kau terbiasa bercanda seperti itu," katanya. Seketika aku langsung paham bahwa ini adalah tugas OSIS Belakang. Seketika aku langsung mencelos. Seketika ingatan memuakkan di Ruang ketua Dewan terekam jelas lagi di otakku dan itu membuatku mual, kesal, dan bingung.

Aku bungkam. "Dia memberimu sebuah alamat 'kan?" tanya Midorima. Aku mengangguk. Itu adalah alamat dari SMA Touou. Saat aku menghadapi 'Ketua Dewan', aku tidak bisa berpikir jernih mengenai alamat tersebut, apalagi sudah nyaris satu minggu lebih tidak ada hal yang mencurigakan terjadi. Aku nyaris saja lupa, meskipun aku tidak akan pernah lupa.

"Mereka lah yang akan menjadi tuan rumah dalam latihan ini," kata Midorima. Aku tidak bisa melihat dengan jelas ekspresi wajahnya, karena sinar matahari membuat kacamatanya berkilat. Namun aku tahu, jika sudah berhubungan dengan OSIS Belakang, tidak ada hal bagus yang akan terjadi ke depannya.

"Latihan akan diadakan hari sabtu pagi di lapangan basket milik SMA Touou."

Hanya itu yang diungkapkan Midorima sebelum aku kembali ke lapangan karena sudah izin terlalu lama. Ketika aku kembali ke lapangan, sensei menanyaiku yang pergi terlalu lama dan kujawab bahwa aku sakit perut. Kini tim putri yang bermain 3-on-3, yang artinya sama bagusnya dengan anak TK yang bermain basket. Aku tidak berminat dengan basket putri, tapi tampaknya Ogiwara dan beberapa teman sekelas mereka mengidolakan beberapa perempuan yang bertampang lumayan dan membicarannya selama ia bermain.

Apa itu termasuk pelecehan? Sepertinya tidak.

Karena giliran putra sudah selesai bermain, kebanyakan dari anak-anak memakai setengah lapangan yang kosong untuk bermain street basket. Aku melihat ada Kise yang sedang dengan semangatnya men-dribble bola sampai akhirnya ia melakukan lay up. Secara teknis, ia sangat bagus dalam bermain basket. Kalau aku masih menjabat sebagai kapten, sudah kurekut dia sejak lama.

Tak berselang lama, Ogiwara bergabung dengan permainan basket anak lelaki. Awalnya ia mengajakku, tetapi aku menolak (hal yang mustahil kulakukan dalam kondisi normal). Aku sedang tidak ingin melakukan apapun saat ini. Aku hanya ingin mngetahui apa yang sebenarnya makna dari tugas yang diberikan oleh Ketua Dewan padaku dan Midorima. Apa hubungan SMA Touou dan tugas yang diberikannya padaku? Firasatku sangat tidak enak.

Dan yang paling membuatku merasa tidak enak lagi adalah, sudut pandang orang-orang mengenai Tetsuya yang lagi-lagi asing bagiku.

Bunyi nyaring terdengar keras dari peluit yang ditiup oleh sensei dan semuanya menghentikan kegiatan mereka. "Semua, berkumpul di tengah lapangan," katanyanya keras dan lantang. Kami, termasuk murid laki-laki yang bermain basket, perempuan yang sibuk bergosip, dan aku yang sedang memikirkan apa rencana Ketua Dewan, berjalan menuju tengah lapangan dan mengelilingi sensei.

"Baik, karena saya sudah selesai melakukan penilaian, kalian boleh berganti seragam," katanya. Kami semua mengucapkan 'terima kasih' secara serempak dan mulai membubarkan diri dari lapangan.

Ogiwara dan Kise menghampiriku dan mereka tampak masih seru bercakap-cakap mengenai pertandingan tadi.

"Bagaimana caramu melakukan shoot seperti itu? Kau seperti meniru tekniknya," kata Ogiwara. Kise hanya tersenyum.

"Aku hanya melihatnya melakukan hal itu berkali-kali dan aku hanya mencobanya ssu," jelas Kise.

"Apa kau sejens manusia copycat?" tanya Ogiwara bercanda. Kise hanya tertawa menanggapinya.

"Hanya beruntung. Or you just didn't know me so well?" tanya Kise retorik.

Ogiwara hany tertawa dan berkata, "sok Inggris."

Kami sampai di loker dan mulai berganti pakaian. Kise menghampiriku ketika aku sedang berusaha memakai kaos putih oblong sebagai dalaman sebelum memakai kemeja. "Jadi, sabtu ini kau kosong, Kurokocchi?" tanya Kise yang sedang mengancingi kemejanya.

Aku tergoda untuk mengatakan 'maaf Kise-kun, aku tidak bisa sabtu ini. Ada misi rahasia dari Ketua Dewan sinting yang harus aku selesaikan. Kapan-kapan ya, jalannya?' tapi aku tidak mengatakan hal itu. Aku hanya menggeleng pelan. "Sumimasen. Sabtu ini Okaa-sama memintaku menemaninya pergi belanja," jawabku bohong.

Bahu Kise terlihat lesu dan aku tahu ia sedang berusaha agar tidak begitu kecewa. "Oh, oke ssu." Lalu selanjutnya ada keheningan yang canggung di antara kami. Biasanya aku tidak masalah jika tidak ada yang berbicara, tapi aku merasa tidak enak pada Kise, jadi aku berdehem untuk mengusir rasa canggung.

"Mau makan siang bareng, Kurokocchi?" tanya Kise sebelum aku sempat memikirkan topik apa yang harus kuangkat sebagai bahan pembicaraan. Dan aku langsung mengangguk terlalu cepat tanpa berpikir dua kali.

.

.

.

Aku membeli roti isi daging dan Kise membeli bento. Kami makan di balkon sekolah yang sepi, dan hanya ada kami berdua disana. Kami duduk bersisian di atas toren air. Angin di akhir musim pana dan awal musim gugur sedikit menusuk kulit dan sedikit terasa lembab, tetapi itu tidak menghalangi kami menikmati bekal.

Untuk beberapa saat tidak ada yang berbicara di antara kami berdua, karena kami masing-masing sibuk memakan makanan kami. Lalu, dipertengahan acara memakan makanan kami, Kise mulai buka suara. "Rasanya sudah lama kita tidak makan berdua ya ssu," katanya sambil menatap jejeran atap-atap rumah penduduk yan terlihat dengan jelas dari balkon.

Karena selama ini bukan aku yang makan bareng dengan Kise, aku tidak mengatakan apapun. Namun, tampaknya juga tidak sopan jika merusak romantisme antara Kise dan 'Kuroko', jadi aku hanya menjawab seadanya saja, "kesibukan."

Ia tertawa kecil menanggapiku. Entah mengapa, aku merasa bersalah pada Tetsuya dan juga pada Kise. Harusnya yang makan bersama saat ini adalah Tetsuya. Yang mengobrol dalam romantisme adalah Tetsuya dan Kise, tetapi yang berada di sini adalah Akashi Seijurou dan Kise Ryouta. Aku merasa bersalah pada Tetsuya karena seolah merebut 'tempat'nya dan aku juga merasa bersalah pada Kise karena 'menipu'nya. Aku adalah orang yang paling tidak berhak ada di sini sebenarnya.

Untungnya, Kise tidak mengajak bicara lebih jauh lagi, dan suasana tidak secanggung tadi. Kami berdua hanya diam sambil duduk bersisian menatap ujung langit yang masih dapat dilihat. Melihat atap-atap rumah penduduk yang tidak bergerak, mendengar berisiknya suara-suara dari gedung sekolah ini. Mendengar suara-suara kendaraan yang saling sahut-menyahut dari kejauhan. Dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Aku tidak tahu apa yang dipikiran Kise saat ini, karena angin membelai wajahnya dan bermain-main dengan rambut pirangnya, jadi menutup pandanganku. Namun, aku memikirkan banyak hal. Sebagian besar tentang Tetsuya yang entah sampai kapan baru sadar. Tentang Ketua Dewan. Tentang hubungan antara Tetsuya, Ketua Dewan, dan sekolah ini. Tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Tetsuya. Tentang aku yang tidak tahu apapun.

"Kurokocchi," panggi Kise. Aku menoleh padanya dan ia sedang tersenyum padaku. Bukan senyuman konyol atau bercanda yang sering ia perlihatkan padaku, tapi sebuah senyuman yang… lain dari biasanya. Senyuman yang tidak pernah kulihat sebelumnya dan aku yakin, itu adalah senyuman yang hanya di tujukan Kise untuk Tetsuya. "Di saat seperti ini, bukankah biasanya kau bisa menebak pikiranku?" tanyanya.

Aku belum sempat bereaksi apapun, tetapi lengan kiri Kise sudah menyentuh rambut biru (hasil cat)-ku yang acak-acakan karena ditiup angin dan menyelipkannya di belakang telinga. Entah karena udara yang lembab atau memang refleks (dan aku bersikeras karena udara yang lembab), wajahku terasa panas. Seluruh tubuhku seperti meneriakkan bahwa aku harus menghindar, tetapi aku tidak mampu bergerak.

Ketika aku belum bisa melakukan apapun, bel berbunyi dengan sangat nyaring dan itu membuatku terlonjak. Kise spontan melepaskan lengannya dari rambutku. "Rupanya sudah masuk ssu," katanya, kembali ke nada suaranya yang biasa. Kise langsung melompat turun dari toren air dan menepuk belakang celananya yang sedikit kotor karena kami duduk di toren. Aku juga menyusul turun dan sedikit menepuk celanaku.

Kise sudah berjalan lebih dahulu di depanku. Aku mengikutinya dari belakang. Dengan kondisi masih kaget dan tidak percaya, aku menatap punggung Kise yang saat ini sedang menyenandungkan nada-nada dari lagu yang sedang terkenal. Wajahku masih terasa panas dan aku mengutuk hal tersebut.

Sudah sejauh mana hubunganmu dengan Kise, Tetsuya?

.

.

.

Aku memang tahu SMA Touou, tetapi aku belum pernah melihat langsung bangunan sekolahnya. Jika dibandingkan dengan SMA Rakuzan atau Teikou, SMA Touou sangat terasa… sekolah yang sederhana. Bangunan khas sekolah. Lapangan khas sekolah, dan semuanya terasa seperti sekolah. Aku melangkah dengan perasaan semakin mual. Apa yang kulakukan di sini?

Hari sabtu tidak ada kegiatan belajar mengajar, jadi di sekolah mana pun, hari sabtu tidak banyak siswa yang berkeliaran di sekolah kecuali kau OSIS yang sedang rapat dalam rangka mengerjakan program kerja atau mengikuti kegiatan eskul. Aku datang ke sekolah bukan karena rapat OSIS atau eskul (atau mungkin aku termasuk ke dalam kegiatan OSIS Belakang yang aneh dengan Ketua Dewan yang sinting). Kenapa aku datang ke SMA Touou? Aku tidak tahu. Aku hanya merasa harus datang.

Lapangan indoor tempat latihan bersama itu berada di belakang gedung sekolah, agak jauh dari keramaian. Ketika aku mendekat, latar suara yang tidak asing memasuki pendengaranku. Decit sepatu, bola memantul, teriakan-teriakan penyemangat yang tidak pernah berhenti. Ada tiga orang dengan baju kaos dan celana basket memasuki lapangan tersebut. Aku ikut melangkah mendekat meski jalanku sengaja diperlambat.

Ketika aku sudah tidak bisa memperlambat langkahku lagi, aku sampai di depan pintu lapangan indoor tersebut. Pemandangan yang pertama kali kulihat adalah ketika Midorima melakukan shoot three point dari jarak yang sangat jauh dari ring. Dia anggota tim basket?

35-34. Selisih satu angka. Pertandingan yang sangat ketat. Lalu aku melihat Sang Kapten Basket SMA Touou, Imayoshi Shoichi. Sama seperti terakhir kali aku bertemu dengannya, di pertandingan persahabatan. Yup, hanya berselang satu minggu sebelum tragedi menimpa Tetsuya. Dan sekarang aku bertemu lagi dengannya dalam rangka 'menjalami misi sinting rahasia' dari Ketua Dewan.

Imayoshi mendapat operan bola dari salah satu teman timnya dan langsung ia dribble lurus menuju ring lawan. Oper lagi, fake sedikit, dan… Imayoshi melakukan dunk untuk memasukkan bola. Skor menjadi 35-35. Seri. Sorakan dari pihak Touou semakin semangat. "Defense! Defense! Defense!" sorak makin meriah.

Aku tetap bergeming di depan pintu masuk. Aku tidak melangkah keluar, tidak juga melangkah masuk. Aku tetap memperhatikan bagaimana kedua tim berusaha mendapatkan kemenangan. Midorima mencetak 3 angka, pihak Touou juga tidak mau kalah. Ia juga mengandalkan shooting guard mereka untuk menyaingi Midorima. Euphoria semakin memanas dan jarak skor mereka selalu berlomba satu sama lain.

Imayoshi memegang bola dan sekali lagi melakukan dunk… bersamaan dengan kecelakaan yang menimpanya seketika. Ring basket jatuh, bautnya lepas, bersamaan dengan jatuhnya Imayoshi. Seketika semuanya terkesiap, lalu selanjutnya pelatih dari Touou menghampiri Kaptennya dan langsung membopongnya ke pinggir. Permainan dihentikan detik itu juga. Masing-masing tim kembali ke pelatih masing-masing sementara pelatih Touou berusaha menyemprotkan pendingin ke kaki Imayoshi yang tadi mendarat terlebih dahulu.

Aku hanya menangkap samar-samar kata-kata keras mereka, dan aku semakin tidak mendengar apapun ketika Midorima melihat ke arahku. Matanya yang dibingkai kacamata menatapku lurus sampai aku merasa seperti ditelanjangi. Lalu, ia menganggukkan kepalanya pelan dan hanya sekali, tapi itu membuatku menjadi sangat bersyukur bahwa aku tidak memakan makanan berat pagi hari ini, karena aku merasa sangat mual saat ini.

.

.

.

Midorima mendatangiku yang menunggunya di dekat lapangan tenis milik SMA Touou. Ia datang setelah mengganti bajunya menadi kemeja kotak-kota dan celana jeans hitam panjang. Tasnya disandang di bahu kirinya sementara tangan kanannya memegang celengan babi kecil yang imut.

Ia tidak langsung bicara begitu sampai di depanku dan aku pun tidak tahu mengapa aku menunggunya atau fakta bahwa ia mengangguk sesaat seseorang terkena musibah. Apa yang harus kutanya? Satu-satunya pertanyaan yang ada di kepalaku adalah "apa kau yang melakukannya?" dan aku bimbang apakah aku harus menanyakan pertanyaan menuduh seperti itu.

"Lucky item hari ini?" tanyaku basa-basi. Kenapa harus ada pertanyaan basa-basi, aku juga tidak tahu. Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku. Ia tidak menjawab. Ia hanya berdiri kaku seperti seseorang yang akan dihukum gantung. "Sudah merasa beruntung hari ini, Midorima-kun?" tanyaku lagi, berusaha membuatnya bersuara.

Ia sama sekali tidak bergerak, seperti berusaha menjadi patung. Ekspresinya tampak sedang berdebat dengan dirinya sendiri sebelum akhirnya ia memutuskan untuk buka suara. "Aku… melakukan kesalahan?" Bukan pernyataan, tetapi pertanyaan.

Mendapati ia berbicara seperti itu ketika bersuara, aku diam karena bingung. "Apa?" tanyaku, mencoba memastikan. Ia meneguk ludah.

"Imayoshi di bawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lengkap. Seharusnya itu cukup, kan?" tanyanya lagi. Cukup apanya? Aku diam, dan ia juga diam. Karena jika aku menampilkan wajah bingung atau melontarkan pertanyaan bodoh, maka ia pasti akan curiga. Jadi, aku mencoba mengambil topik pembicaraan lain.

"Tadi itu… kecelakaan?" tanyaku, ternyata sama sekali tidak mengubah topik. Awalnya aku ingin mengambil topik ringan seperti, 'cuaca hari ini cerah' atau 'mau makan siang?' atau hal-hal sejensnya. Namun, aku tidak mampu mengubah topik. Kejadian tadi terus terbayang diingatanku.

"Iya, 'kecelakaan'," katanya datar. Aku melihat Midorima. Ia seperti terlatih mengatakan hal tersebut. Lalu kenapa kau mengangguk padaku tadi, Midorima? Pertanyaan itu tidak bisa kulontarkan padanya. "Bukannya aku senang kau datang, nanodayo," katanya lagi, dan aku mendapati bahwa kalimatnya tidak masuk akal ketika pikiran dan perasaanku sedang acak-acakan seperti ini. "Tapi tidak biasanya kau menemuiku setelah selesai," tambahnya.

Aku diam. Apa maksudnya Tetsuya selalu melihatnya bermain basket? Tapi tidak mungkin. Atau… mengenai tugas dari Dewan Ketua? Itu paling mungkin, tapi aku memilih untuk men-tidakmungkin-kannya. Mendadak, aku ingin mengguncang tubuh Midorima dan memintanya menjelaskan semuanya padaku. Semuanya, tanpa ada yang disembunyikan.

"Lebih baik jika kita bicara tidak di lingkungan Touou," kata Midorima. Aku menyetujuinya tanpa pikir panjang. Kami pun akhirnya keluar dari SMA Touou dalam keheningan.

Setelah agak jauh, aku membuka suara. "Shoot-mu bagus," kataku basa-basi lagi. Midorima melihat ke arahku dan itu membuatku sedikit canggung. Aku baru saja memuji kemampuannya secara terang-terangan. Itu sama sekali tidak tampa seperti Akashi Seijuurou atau dalam kondisi ini adalah 'Kuroko Tetsuya'.

Lalu, Midorima berhenti berjalan. Aku ikut berhenti sebelum menabraknya. Ia menatapku lurus-lurus lagi sebelum berbicara. "Apa yang sedang kau rencanakan, Kuroko?" tanyanya. "Kau tidak seperti biasanya," katanya lagi. Aku diam. Seperti apa Kuroko yang biasanya, Midorima? Aku ingin bertanya seperti itu, tapi kuurungkan.

Aku hanya menatapnya, alih-alih menjawab. Kalau Tetsuya di posisiku saat ini, jawaban apa yang akan dia berikan pada Midorima? Akhirnya, Midorima menghela napas, "apapun yang sedang kau rencanakan, bukan urusanku. Yang jelas, jangan sampai seperti 'kemarin' saja," katanya lagi, yang buru-buru ditambah dengan "bukannya aku peduli padamu, nanodayo."

Aku masih diam dan tidak merespon apapun. Pikiranku teralih pada sosok Tetsuya. Betapa aku ingin Tetsuya sadar dan menceritakan semuanya padaku. Betapa aku ingin mengatakan tepat di depan wajahnya bahwa aku merupakan kakak paling tidak berguna. Betapa aku ingin tahu siapa Ketua Dewan dan menyuruhnya membuka suara. Betapa aku ingin kembali ke masa-masa dulu ketika aku masih tinggal bersama dengan Tetsuya.

"Hari senin akan kuberikan laporannya padamu," kata Midorima dan ia berjalan lagi. Aku tidak mengikutinya kali ini. Aku hanya diam melihat punggung Midorima yang semakin lama semakin menjauh sambil berpikir, sebaik apa Midorima mengenal Tetsuya?

.

.

.

Masih sama seperti hari-hari biasanya, berkedut pun matanya tidak. Tetsuya hanya tidur diam, tidak bergerak, seperti mati. Kalau saja aku tidak melihat dadanya naik turun akibat bernapas, mungkin aku sudah menyangka bahwa saudara kembarku sudah meninggal dunia. Aku hanya duduk di pinggir ranjang sama seperti biasanya. Tidak ada hal lain yang kulakukan.

Dengan lembut, aku merapikan rambut biru Tetsuya yang menutupi matanya. Kuselipkan anak-anak rambutnya di belakang telinganya. "Kise melakukan hal itu beberapa hari yang lalu padaku," kataku mulai cerita. "Ia berpikir bahwa ia melakukan hal itu padamu. Jadi sekarang aku menggantikannya melakukan hal ini padamu," lanjutku. Tetsuya tidak merespon apapun. Ia masih tidur seolah ingin lari dari dunia ini. Aku bicara sendiri.

"Tetsuya," panggilku pelan, meskipun aku tahu ia tidak bisa meresponku. "Apa kau sedang merencanakan sesuatu?" tanyaku, meniru kalimat tanya Midorima. Kalau tadi Midorima bertanya padaku, maka sekarang aku benar-benar bertanya pada Kuroko Tetsuya yang asli. Yang masih terbaring koma dan entah sampai kapan akan sadar.

Tanganku pindah dari rambutnya menjadi menggenggam tangannya. Aku berharap ia bisa merasakan kehadiranku dan balik menggenggam tanganku, tapi toh itu tidak terjadi. Tangannya lemas dan aku menggenggam tangannya erat. "Aku sudah tidak akan bertanya lagi mengenai apa yang terjadi padamu. Namun kali ini, aku akan mencari tahu kebenaran semuanya."

"Aku akan menolongmu, Tetsuya."

Dan tanpa sadar, aku mengeratkan genggamanku.

.

.

.

Aku ke rumah Okaa-sama sore harinya. Okaa-sama tidak berada di rumah dan aku masuk memakai kunci cadangan yang pernah diberikan oleh Okaa-sama kalau-kalau aku ingin berkunjung kemari. Aku tidak pernah memakainya sebelum ini, tapi hari ini, aku merasa seperti maling, masuk ke rumah Okaa-sama tanpa seizinnya dengan kunci cadangan.

Suasanya rumah Okaa-sama gelap dan tidak begitu terurus. Mungkin karena beliau adalah orang yang sangat sibuk dan yang biasa mengerjakan pekerjaan rumah adalah Tetsuya dan sekarang Tetsuya sedang… yah, kalian tahu sendiri, maka ada sedikit banyak debu yang menempel di lantai dan meja.

Aku tidak begitu peduli pada semua itu. Aku naik ke lantai dua dan menuju kamar Tetsuya. Begitu aku masuk, perasaan sedih dan rindu kembali menyeruak masuk. Padahal baru tadi aku bertemu dengan Tetsuya, tetapi melihat kamarnya, aku ingin dia berada di sini. Terakhir kali aku ke kamar Tetsuya adalah beberapa jam setelah rancana liburanku kacau berantakan.

Aku menyusuri lagi tiap jengkal kamar Tetsuya yang mulai banyak debu dan tidak di sapu. Meja belajarnya, lemari pakaiannya, dan lemari bukunya. Sama seperti aku menyusuri untuk yang pertama kali, tidak ditemukan satu pun kejanggalan di kamar Tetsuya.

Namun, mataku menangkap sebuah laci kayu di samping tempat tidurnya yang terbuka. Aku ingat sekali, dari sanalah kutemukan sebuah memorandum yang mengatakan bahwa Tetsuya adalah seorang pengkhianat. Aku berjalan lebih dekat menuju laci tersebut dan mendapati sebuah buku coklat polos. Dari buku coklat polos itu memorandum 'pengkhianat' jatuh.

Saat itu aku tidak begitu peduli pada buku polos itu, karena pikiranku sudah sepnuhnya teralihkan pada memorandum. Namun saat ini, aku membawa buku polos itu kembali ke apartemenku.

.

.

.

Entah mengapa, buku itu membuat jantungku berdegup sekencang-kencangnya juga. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku mulai membuka halaman pertama dan mendapati biodata seseorang yang tidak kukenal.

Biodata itu tertulis rapi dengan menggunakan pulpen, lengkap dengan foto. Biodata itu persis seperti CV jika kita ingin melamar pekerjaan ke sebuah instasi pemerintah atau pun swasta. Aku membuka lembaran demi lembaran dan semuanya isinya adalah biodata dan lengkap dengan foto mereka. Kebanyakan dari mereka berusia sekolah, tetapi ada juga yang tidak sekolah, ada yang sudah dewasa. Ada laki-laki dan perempuan juga.

Aku nyaris menutup kembali buku coklat tersebut jika mataku tidak menangkap kata-kata di setiap biodata tersebut, [COMPLETED].

Jantungku lagi-lagi nyaris keluar dari tempatnya.

To be Continued


A/N: Maaf. Maaf. Maaf. Dan beribu kata 'Maaf' lainnya. Saya tahu, sudah hampir satu tahun saya menelantarkan cerita ini. Satu tahun yang berlalu dengan sangat berat dan saya tidak memiliki kesempatan untuk mengetik cerita ini. Mungkin ada beberapa dari kalian yang mengira bahwa cerita ini akan menjadi cerita dengan status HIATUS, tapi itu memang hampir terjadi dan saya sempat hampir menyerah.

Kembali setelah sekian lama bukan hal mudah, jadi jika gaya tulisan saya di sini agak-agak kaku atau aneh, tolong dimaafkan. Chapter ini juga saya nulis dengan sedikit memaksa kemauan, karena jika tiak dipaksa chapter ini tidak akan pernah selesai.

Saya kembali meminta maaf kepada para pembaca yang sudah mau berbaik hati mereview cerita aneh ini, tetapi saya belum sempat membalas secara personal. lagi, karena alasan 'tidak punya waktu' dan 'tidak sempat'. Mohon maaf. Kalau kalian tidak kapok atau tidak lupa pada cerita ini...

Kritik, saran, dan komentar selalu di terima.