UNDEFINED

CHAPTER 14: Siapa yang mengetahui dukaku?

Ogiwara sudah bisa masuk ke sekolah seperti biasa, hanya saja, setiap dua hari sekali dia harus pergi ke rumah sakit untuk mengganti perban. Lalu, di minggu keempat, Ogiwara harus melakukan pemeriksaan mata untuk melihat apakah pecahan kaca yang mengenainya merusak jaringan mata. Untuk sementara, semua berakhir dengan baik.

Teman-teman sekelas masih mengerubungi Ogiwara, bertanya bagaimana kecelakaan tersebut dan bersimpati. Kise, selalu disebelahnya, bertindak seperti bodyguard dan melarang orang-orang menyentuh perban di mata Ogiwara. Mereka baru selesai mengerubungi Ogiwara ketika bel sudah berbunyi dan sensei sudah masuk kelas.

Pelajaran Sastra Inggris berjalan lancar selama 100 menit. Kise menukar tempat duduknya menjadi di sebelah Ogiwara dan memperlakukannya seperti anak kecil, membuat Ogiwara kesal dan berkali-kali bertengkar dengan Kise. Aku hanya menghela napas kecil melihatnya. Seandainya kehidupan kami baik-baik saja, memang seperti itulah kehidupan anak SMA. Seharusnya memang kami hanya memikirkan dan mengeluhkan pelajaran dan tugas-tugas saja. Namun, Tetsuya dan aku bukanlah anak SMA biasa.

Semakin aku menjadi seorang Kuroko Tetsuya, semakin aku tahu bahwa Kuroko Tetsuya berbeda dengan Tetsuya-ku. Mereka ada dua orang yang berbeda. Mereka punya kehidupan yang berbeda, sifat dan kepribadian yang berbeda. Aku tidak kenal Kuroko Tetsuya di SMA Teikou. Aku tidak tahu lagi siapa sebenarnya Tetsuya dan kepalaku sakit. Belakangan ini setiap aku memikirkan banyak hal rumit, kepalaku selalu sakit. Aku selalu dilanda migrain.

"Kurokocchi, kau baik-baik saja ssu?" tanya Kise ketika bel menandakan istirahat berbunyi.

Aku mengangguk. Sebenarnya aku ingin sekali berteriak di depannya bahwa aku capek dan rasanya semua yang aku lakukan tidak membawaku kemana-mana. Rasanya, semua yang aku lakukan tidak menghasilkan apapun dan aku hanya semakin lelah saja. Rasanya, aku seperti hamster yang terjebak dalam roda gigi permainan sendiri.

"Kau pucat," katanya.

Aku menghela napas. "Aku belum sarapan tadi pagi," ujarku. "Mau beli makan?" tanyaku.

Kise mengangguk. "Ogiwaracchi, ayo kita ke kantin."

Kami bertiga ke kantin. Hari ini tidak terjadi apapun dan aku sedikit bersyukur. Sudah cukup belakangan ini aku dipusingkan dengan banyak hal, terutama Takao Kazunari. Aku belum melihatnya beberapa waktu belakangan ini, begitu pula dengan Midorima. Setelah 'insiden' di SMA Touou, dia berkata bahwa dia akan menemuiku untuk memberikan hasil laporan. Sebenarnya, aku pun bingung. Harus kuserahkan kemana laporan itu? Ke Nash Gold? Ketua Dewan? Dimana aku bisa menemukan Nash Gold?

Aku benar-benar tidak tahu apa-apa.

Ketika kami duduk di kantin, Ogiwara membuka percakapan. "Kau tidak perlu lagi ikut ke RS," katanya.

Kise merenggut. "Kenapa? Aku harus memastikan kau aman dan selamat sampai tujuan ssu."

Ogiwara berdecak. "Coba lihat kelakukannya," katanya padaku, "kenapa kau bisa tahan dengannya?"

Kise tertawa sambil merangkul bahuku main-main. "Karena kami memang diciptakan untuk satu sama lain."

Aku tersedak, namun Ogiwara mendengus. "Kata-katamu berlebihan." Kise melepaskan rangkulannya dari bahuku. Lalu, kami makan siang seolah tidak terjadi apa-apa. Di saat seperti ini, aku merindukan SMA lamaku, Rakuzan. Aku rindu menjadi anak SMA biasa, bicara tentang topik-topik menarik. Namun, aku tidak bisa melakukannya di sini. Setiap aku salah bicara, orang-orang di sini semuanya memandangku aneh dan aku terlalu takut untuk memulai percakapan. Aku tidak benar-benar memiliki teman dan aku berjuang sendiri.

Semua yang terjadi belakangan ini berputar-putar di dalam otakku. Ketua Dewan sudah menyiapkan sebuah permainan untukku dan aku seperti menantikan bom waktu. Takao yang menyakitiku dan menyimpan dendam kesumat pada Kuroko Tetsuya, begitu pula dengan Jason Silver. Lalu, semua pengalaman OSIS Belakang yang membuatku mual dan bermimpi buruk. Oh, dan jangan lupakan mimpi Tetsuya yang meloncat dari kamarnya di lantai dua selalu menghantuiku setiap hari.

"Kuroko," panggil Ogiwara. Aku menatapnya. "Kau tidak memakan makananmu." Aku menatap bento yang sedari tadi hanya aku aduk-aduk tanpa kumakan. Aku tidak bisa memakan makanan saat ini, tidak setelah mengetahui bahwa penyelidikanku seperti jalan di tempat. Tidak ada yang berjalan dan aku belum bisa mengungkapkan apapun.

"Maaf, aku mau ke toilet." Aku bangkit dari kursiku.

Kise ikut bangkit. "Mau kutemani ssu?" tanyanya. Aku menggeleng.

"Tidak perlu." Dan, sebelum mereka mengikutiku, aku berjalan keluar kantin dan masuk ke dalam sebuah toilet siswa yang letaknya sedikit di ujung. Urinoir kosong dan semua pintu bilik toilet terbuka. Bagus, karena aku tidak mau berpapasan dengan orang. Aku mencuci tangan dan mencuci muka di wastafel supaya wajahku tetap segar. Ketika aku mengangkat kepalaku untuk menoleh ke cermin, Takao Kazunari sudah berdiri di belakangku.

Jantungku berdetak cepat dalam adrenalin akibat terkejut sebelum aku berbalik badan dan menatapnya. "Takao Kazunari," kataku pelan. Aku sudah berusaha mencarinya beberapa hari belakangan ini dan dia selalu menghindar. Namun, sekarang dia mendatangiku atas keinginannya sendiri. "Mau apa kau?" tanyaku.

Dia tertawa pelan. Lalu, dia menutup pintu toilet tersebut dan menguncinya. Aku yakin bahwa Takao tidak akan melakukan hal-hal aneh seperti Jason Silver, tapi dia tetap berbahaya. Dia pernah memukul kepalaku dan membuatku terjatuh dari tangga. Dia berusaha menyakitiku untuk alasan yang tidak aku ketahui. Jadi, aku tetap akan mengasumsikan bahwa dia akan melakukan sesuatu padaku.

Pembawaannya kali ini tenang dan tidak ada tanda-tanda kegugupan. Apapun yang mau dia lakukan, dia sudah mempersiapkannya dengan baik. Jika tidak, dia tidak akan berani menemuiku langsung tanpa bersembunyi di bawah ketika Midorima.

"Kau tahu, semakin kupikirkan, kau memang berbeda," katanya. Aku bisa merasakan sisa-sisa air keran yang mengalir di wajahku dan menetes ke daguku. "Semakin dipikir-pikir, kau itu aktor yang buruk."

"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," kataku.

Dia maju mendekatiku, tapi aku tidak bergeming. Ketika wajahnya sudah sangat dekat sehingga aku bisa melihat bayanganku sendiri di dalam iris matanya yang kelam, dia berbisik, "Aku tahu kau bukan Kuroko Tetsuya. Kau saudaranya, Akashi Seijuurou."

Sebuah sengatan listrik menjalari seluruh tulangku. Aku merasakan badanku panas dingin dan tampaknya aku lupa caranya bergerak untuk sesaat. Bahkan, aku lupa apakah aku bernapas atau tidak. Sepertinya ekspresiku begitu membuatnya senang, karena dia menyeringai. "Kalau kau terus tampak terkejut setiap nama itu disebut, satu sekolah akan tahu kalau kau penipu."

Aku berusaha mengendalikan diriku. Aku tidak boleh terbawa permainannya. Aku tidak akan bertanya bagaimana dia tahu penyamaranku, karena aku pun sudah tahu jawabannya. Pasti Ketua Dewan yang turut ikut andil dalam situasi ini. "Apa maumu?" tanyaku lagi, lebih dingin dari biasanya. Aku tidak boleh terintimidasi olehnya, meskipun dia memegang kelemahanku.

Takao menyeringai. Aku mengamati baik-baik wajahnya. Aku mencari sisa-sisa kejenakaan yang dulu masih bisa kutemukan. Namun, nihil. Tidak kutemukan apapun kecuali ekstasi kegilaan karena dia tahu dia bisa mengendalikanku dengan informasi yang dimilikinya. "Apa kau mau melaporkannya pada Midorima? Karena kau adalah pembantunya."

Pilihan kata yang salah, karena wajahku ditamparnya. Ditampar. Bukan dipukul, bukan dihajar, tapi ditampar. Pipiku panas dan perih karena tamparannya. Tangannya masih di udara dan ekspresinya berang. Rasa sakit di pipi dan harga diriku sedikit terbayar melihat wajahnya yang memerah karena marah. Aku mengusap pipiku. "Kau tersinggung?"

"Diam brengsek!" desisnya penuh amarah.

Aku malah tersenyum mendengarnya. Benar, Takao harus kubuat goyah dan marah supaya aku tidak harus mengikuti alur permainannya. Aku tidak sudi diinjak-injak lagi oleh orang-orang yang merasa mereka berhak melakukannya karena apa yang telah Tetsuya lakukan, atau karena sekedar aku adalah 'Kuroko Tetsuya'.

Aku melipat tanganku di depan dada. "Kau tidak akan melaporkannya pada Midorima," kataku. "Kalau kau memang berniat melaporkannya, maka kita tidak akan berada di sini sekarang." Aku menunjuk dadanya dengan telunjukku. "Kau masih butuh sesuatu dariku, karena itu kau akhirnya mendatangiku."

Ekspresi Takao seperti orang yang akan meledak karena kemarahannya. Wajahnya memerah dan hidungnya kembang kempis. Aku tahu bahwa dia berusaha sekuat tenaga tidak menghajarku di toilet ini. Meksipun toilet ini dikunci dan hanya ada kami berdua, suara perkelahian dapat terdengar dari luar. Aku menikmati ekspresi Takao yang sesungguhnya. Bahwa, sebenarnya dia sangat putus asa dan lagi-lagi Ketua Dewan memanfaatkan keputusasaan para siswa. Ketua Dewan jahat yang mempermainkan siswa seperti bermain boneka. Orang yang mengetahui segalanya di sekolah ini, tapi tidak ada satu pun orang yang tahu siapa dia.

"Apapun yang dikatakan Ketua Dewan, itu semua hanya kebohongan," ujarku.

"DIAM! Kau bahkan bukan siswa di sini! Apalagi bagian dari OSIS Belakang!" Takao berseru lagi. Kini, dia menggigit jarinya. "Ketua Dewan benar. Kau manipulatif! Kau pembohong. Kau berusaha mempengaruhi Shin-chan. Aku tidak akan membiarkanmu."

"Shin–Maksudmu Midorima? Kau melakukan ini untuk Midorima? Apa sih yang kau pikirkan?" tanyaku. Aku tidak pernah bertemu dengan seseorang yang begitu terobsesi dengan orang lain. Midorima dipuja oleh Takao bagaikan dewa dan Takao sepertinya rela melakukan apapun demi Midorima. Namun, aku tahu Midorima Shintarou. Dia bukanlah orang yang setuju melakukan tindakan-tindakan di luar nalar manusia.

"Kau tidak tahu apa-apa tentangku! Dan sekarang aku memegang rahasiamu. Jadi, turuti semua kata-kataku."

"Atau apa? Kau akan melaporkannya pada Midorima? Pada Nash Gold? Takao, kita hanya diadu domba oleh Ketua Dewan," aku masih berusaha membujuknya. Setidaknya, aku harus tahu apa permainannya. Apa target Takao dan apa yang diinginkan oleh Ketua Dewan dari Takao. Takao pasti masih dibutuhkan karena sampai sekarang dia belum disingkirkan.

Aku mengamati ekspresi Takao yang sedikit goyah. Sepertinya, Takao juga setengah putus asa ketika mendatangi manekin dengan pengubah suara itu, karena apapun yang direncanakan oleh Ketua Dewan, Takao tidak 100% yakin. Dan aku harus bisa menggali semuanya. Aku harus bisa mengungguli Ketua Dewan jika ingin menang melawannya. Hanya saja, aku harus melakukan pendekatan yang tepat.

"Ini pasti berhasil. Ketua Dewan bilang ini pasti berhasil," bisiknya.

Aku menenangkan diriku dan berusaha menjangkau Takao. "Takao," kataku lembut. Aku tidak boleh terlihat seperti ancaman saat ini. Aku harus menunjukkan kalau aku ada di pihaknya. "Aku Akashi Seijuurou dan mungkin kau tidak mempercayaiku. Namun, aku di sini untuk mengungkapkan alasan mengapa adikku, Tetsuya, berusaha bunuh diri. Aku bukan musuhmu."

Aku tidak memalingkan pandanganku dari Takao. Aku harus menatapnya dan biarkan dia menilai bahwa aku bukanlah ancaman. Takao memiringkan kepalanya. "Bunuh diri? Jadi, berita kecelakaan itu bohong?" tanyanya.

Aku mengangguk, karena aku merasa tidak ada gunanya jika aku berbohong. Aku seorang diri menghadapi SMA Teikou dan aku tidak punya teman. Namun, Takao tahu siapa aku sebenarnya dan jika aku ingin mengambil hatinya, aku harus jujur. Setidaknya, itu adalah harga yang harus aku bayar. "Tetsuya tidak kecelakaan. Dia melakukan percobaan bunuh diri di rumahnya. Dihadapanku. Aku ingin menyelamatkannya dan aku ingin tahu siapa yang bertanggungjawab. Dengar, aku tahu bahwa Midorima penting untukmu, tapi Tetsuya juga penting untukku."

Untuk pertama kalinya, aku mengatakannya pada orang lain. Rasanya sedikit melegakan sudah mengatakannya, meskipun nasibku masih di ujung tanduk. Jika Takao tidak mengerti juga, aku tidak tahu lagi harus melakukan apa. Aku sudah kalah sebelum bisa menyerang balik Ketua Dewan. Namun, kilatan mata Takao berubah. Sinarnya tidak lagi menunjukkan sebuah kebencian yang memuakkan padaku (atau setidaknya pada Tetsuya).

"Kau tahu, Ketua Dewan menyuruhku untuk menemuimu," katanya, "dia memberitahuku bahwa Kuroko Tetsuya bukanlah dirinya. Ada penipu. Itu akan menjadi peganganku jika mau mengendalikanmu."

Aku diam mendengarkannya. Dia menatapku penuh perhitungan, "Kenapa aku harus percaya padamu dan bukan Ketua Dewan? Kau bukan siapa-siapa dan jangan berani-berani membandingkan hubunganku dengan Shin-chan dengan hubunganmu dan Kuroko!" desisnya.

"Kau benar. Hubungan itu tidak bisa kubandingkan antara keduanya," ujarku. "Jadi, kau mau apa sekarang Takao Kazunari? Kau sudah tahu siapa aku, alasanku dan cerita sebenarnya mengenai Tetsuya. Kau telah memegang semuanya."

Takao menatapku. "Aku mau Kuroko menghilang dari dunia ini selamanya! Dia selalu merebut semua milikku. Padahal dia sudah mempunyai segalanya, tapi Shin-chan adalah satu-satunya milikku!" bentaknya diakhir.

Aku hampir meninju wajahnya. Namun, kukepalkan dengan erat supaya aku tidak kelepasan. "Aku ingin menyelamatkan adikku!" Aku menatapnya tajam. Persetan dengan berusaha membuat Takao mengerti. Jika aku harus berjalan di atas api, maka aku akan melakukannya sendiri. Pada dasarnya, aku memang sendiri dan aku tidak bisa mempercayai siapapun. "Dengar, beritahu saja Midorima, Nash Gold, atau siapapun. Beritahu satu sekolah jika perlu! Aku tidak peduli pada apapun yang kau rencanakan. Persetan dengan Ketua Dewan! Aku akan mengungkapkan jawaban itu sendirian!"

Dan aku berjalan melewatinya. Aku membuka kunci pintu dan keluar dari toilet. Hatiku dipenuhi dengan amarah. Aku begitu marah sehingga rasanya aku ingin kembali menemui Ketua Dewan dan mengacak-acak semuanya. Aku ingin ini semua berhenti. Aku ingin seseorang datang dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa ini semua hanya mimpi buruk. Aku tidak suka dipermainkan dan nyawa Tetsuya seolah tidak berharga. Semua orang datang dan mengeluhkan duka mereka padaku, tapi bagaimana dengan dukaku? Siapa yang akan mendengarkanku berkeluh kesah, bahwa sampai sekarang aku tidak baik-baik saja dan aku merasa ingin ikut mati bersama Tetsuya. Adikku yang lembut, baik hati, malang, dan juga menyimpan sejuta rahasia.

Tidak ada dari mereka yang tahu bahwa sampai sekarang aku masih berduka dan aku masih terluka. Namun, aku terus memaksakan diri untuk bangkit dan bangun setiap hari demi kebenaran. Dan aku muak! Aku muak sekali diputar-putar di tempat, aku muak disakiti, dilecehkan, dan seluruh tubuhku menjerit. Aku ingin memutar waktu dan kembali ke masa lalu untuk mencegah Tetsuya pergi. Aku akan menukar diriku supaya dia masih bisa sadar.

Aku melangkah menuju lantai atas gedung SMA Teikou dan membuka pintu balkon. Udara sisa musim panas masih terasa di udara dan aku menyendarkan punggungku di salah satu tembok. Aku merasakan seluruh udara lembab masuk ke pori-pori kulit dan berusaha keras untuk tidak menangis. Mataku terasa panas tapi aku tidak mau menangis di sini.

Apakah Tetsuya pernah menangis diam-diam seperti ini juga, sebelum dia melakukan percobaan bunuh diri, entahlah. Adegan Tetsuya yang menghempaskan dirinya dari jendela lantai dua kembali hadir, meskipun aku telah berusaha sekuat tenaga untuk menghapusnya. Namun, aku sendiri jarang menangis. Rupanya, aku pun tidak sanggup untuk terus melanjutkan hal ini.

"Kau tidak cocok menangis, Tetsu."

Aku terlonjak. Aku merasa tidak ada satu tetes airmataku keluar, tapi aku tetap memegang kedua pipiku, mencari jejak airmata yang tersisa. Ketika aku mendongakkan kepalaku, sesosok siswa sedang tidur di wadah toren air.

"Aomine," ujarku sambil mengingat suara berat khasnya. "Kenapa kau ada di sini?" tanyaku.

Dia menguap dan turun dari tempat duduknya tadi. dasinya berantakan dan kancing kemejanya tidak rapi. Wajahnya kusut dan kantung matanya tebal. "Ini tempat persembunyianku dari Satsuki. Kau sendiri jarang datang ke balkon."

Aku menghela napas. "Aku butuh waktu sendiri," ujarku. Aku menatapnya, "tadi aku tidak menangis, ngomong-ngomong."

Dia melambai, "Wajahmu persis seperti wajah Satsuki saat menonton Hachiko." Aku menunduk dan sedikit malu. Ada orang lain yang memperhatikan dan untungnya aku tidak melakukan tindakan memalukan, seperti berteriak atau mengumpat. "Jadi, siapa orang yang membuat wajahmu seperti itu?"

Aku tidak menjawab. Aku tidak mau mengatakan apapun yang terkesan mencurigakan. Tidak ada yang bisa aku percayai di sekolah ini dan aku akan selalu sendiri. Aku hanya bisa percaya pada diriku sendiri. "Tidak ada," akhirnya aku menjawab seperti itu.

Aomine duduk bersila di bawah dan dia menepuk tempat sebelahnya. Aku mengikutinya dan duduk di sampingnya. Untuk sesaat, kami hanya diam sambil memandangi awan. Biru muda langit yang selalu mengingatkanku pada Tetsuya yang kini masih berada di ICU. Aku ingin berteriak frustasi.

"Menurutku kau melakukan tindakan yang benar," kata Aomine. Aku menatapnya, tapi dia menatap langit. "Aku tidak tahu penderitaanmu, tapi aku ingin kau tahu bahwa kau telah melakukan hal yang benar."

Aku menelan ludah. Aku tahu dia bicara mengenai Tetsuya dan rahasianya, tapi rasanya dia mengatakan itu di depanku. Kata-kata itu untukku. "Benarkah?" tanyaku. Rasanya melegakan setelah mengetahui ada yang berkata bahwa tindakanku benar. Memang ini caranya untuk mengetahui kebenaran, meksipun aku menderita.

Aomine menatapku. Di bibirnya tersungging sebuah senyuman prihatin yang tipis. Aku tidak pernah melihatnya tersenyum seperti itu atau aku tidak pernah melihat orang-orang tersenyum prihatin padaku. Namun, saat ini aku butuh senyuman itu. Aku butuh diyakinkan bahwa aku melakukan tindakan benar dan tidak sia-sia. "Kau benar-benar tidak cocok dengan ekspresi seperti itu."

Aku mendengus lemah. Perasaanku sedang sangat rapuh, jadi aku tidak begitu peduli bagaimana eskpresiku. "Maaf maaf saja jika aku masih bisa berekspresi," kataku.

"Begitu lebih baik," katanya. Lalu, dia mengangkat tangannya dan mengusap kepala belakangku. Aku tersentak tetapi tidak menjauh darinya. Dia mengusapnya dengan lembut, seolah mencari sesuatu. "Sepertinya sudah tidak apa-apa."

Aku baru menyadari bahwa dia mengecek kondisiku setelah dipukul oleh tongkat baseball dan terjatuh dari tangga. Aomine dan Momoi-lah yang menemukanku. Aku tersenyum tipis. Dia melepaskan tangannya dari kepalaku dan bangkit. "Ya sudah, aku mau kembali ke kelas sebelum Satsuki mengamuk."

Belakang kepalaku terasa ringan setelah sentuhannya, tapi aku mengabaikannya. Aku ikut bangkit. "Aomine," panggilku, "terima kasih."

.

Midorima menantiku di loker sepatu. Tidak ada Takao, hanya dia sendiri. Aku berjalan lambat sambil menimbang-nimbang apakah Takao sudah memberitahunya soal siapa aku. Aku sudah menetapkan tekad, jika Midorima tahu maka akan aku ceritakan semuanya tanpa terkecuali. Aku yakin Midorima akan mengerti.

"Laporan kemarin," katanya sambil menyerahkan sebuah amplop coklat. Aku membukanya di depan lokerku. Isinya bukan berupa laporan pertanggungjawaban, tapi lebih seperti foto-foto Imayashi yang terluka, lalu juga sebuah lembar medis dari IGD. Aku tidak akan tanya bagaimana Midorima mendapatkannya. Aku memasukkannya lagi.

"Terima kasih," kataku. Aku menatap lagi wajah Midorima dan dia tidak mengubah eskpresinya. Aku ingin bertanya padanya, apa saja yang dikatakan oleh Takao, tapi aku tidak berani mendengar jawabannya. Mungkin memang lebih baik jika aku tidak perlu tahu apa yang ada di dalam pikiran Midorima. Aku terlalu lelah untuk sebuah permainan pikiran sore hari ini.

Aku mengganti sepatuku dan kami berjalan keluar sekolah. Ketika aku membuka pintu kaca, baru satu langkah aku menapakkan kaki, Midorima menarik lenganku sampai kami berdua bertabrakan dan nyaris terjatuh.

Sebuah pot bunga meluncur turun dari atas dan pecah berkeping-keping tepat dihadapanku. Pot yang berasal dari tanah liat itu pecah dan bunga serta tanah yang ada di dalamnya berserakan di sekeliling pintu masuk sekolah. Aku menatapnya dengan tidak percaya dan jantung yang berdebar. Jika Midorima tidak menarikku, maka sudah kupastikan bahwa kepalaku akan jadi tempat mendarat pot bunga tersebut.

Midorima masih menggenggam erat lenganku (nyaris mencengkram) dan aku masih terpaku menatap pot bunga yang sudah hancur itu. Jika pot itu mengenai kepalaku, aku membayangkan darah yang menyebardi sepanjang jalan, kesadaranku yang kian menipis dan akhirnya aku tidak sdarkan diri. mungkin aku harus mendapat beberapa jahitan. Semuanya tampak tidak masuk akal, semuanya tampak dapat terjadi jika aku berdiri di tempat tadi aku berdiri.

"Ck, sialan," umpat Midorima. Aku bahkan terlalu terkejut untuk menanggapi umpatannya yang tidak terlalu kasar. Jantungku bertalu-talu dan aku bisa mendengar darahku berdesir di telingaku. Aku hampir saja mati karena pot bunga jatuh tepat di atasku. "Kau baik-baik saja Kuroko?" tanyanya sambil membalikkan badanku hingga aku menatapnya.

Di balik kacamatanya, kedua irisnya menampilkan gurat khawatir dan kemarahan. Aku tidak tahu apakah aku baik-baik saja, mendapati fakta bahwa seseorang mencoba menyakitiku lagi dan aku bisa saja mati karena itu. Apakah aku baik-baik saja?

Aku menggeleng singkat dan lemah, tapi itu sudah cukup untuk Midorima. Dia menuntunku pergi menjauh dari gedung sehingga tidak ada lagi celah untuk membuatku cidera. Ketika aku menatap ke atas, semua jendela kelas tertutup dan tidak ada tanda-tanda seseorang berdiri di pinggir kelas dan menantikanku keluar gedung hanya untuk menjatuhkan pot bunga. Lalu, tersadarlah aku bahwa yang ingin mereka sakiti adalah Tetsuya. Kuroko Tetsuya, yang entah bagaimana memiliki banyak musuh di sekolah ini.

Selama di perjalanan, tidak ada yang bicara di antara kita. Aku masih sibuk dengan pemikiran bahwa aku bisa saja mati tadi jika Midorima tidak menarikku, sementara aku tidak tahu apa yang dipikirkan Midorima.

"Terima kasih," kataku akhirnya. "Kalau tadi kau tidak menarikku…" suaraku hilang. Rupanya aku masih takut dan gemetar saat membahasnya.

"Tidak masalah. Hati-hati Kuroko," katanya. Kami berpisah di persimpangan. Aku tidak mau kembali ke apartment-ku yang sepi. Aku bisa tenggelam dalam pikiran-pikiran buruk, terutama tadi setelah seseorang hampir saja membuatku kehilangan nyawa. Namun, aku tetap harus kembali. Aku berjalan menuju apartment-ku seorang diri.

Aku baru bisa berpikir setelah aku berbaring dalam kegelapan. Sedari tadi aku sudah bertanya-tanya siapa yang berniat untuk menyakiti Tetsuya dan dari sekian banyak nama, aku meyakini bahwa Takao Kazunari lah orangnya. Dia adalah orang yang sudah memukulku dan mendorongku jatuh dari tangga. Dia juga melakukan kontak dengan Ketua Dewan dan tahu siapa aku sebenarnya.

Aku tidak mengerti mengapa dia melakukan percobaan pembunuhan padaku, tapi mungkin karena Midorima menungguku. Lagipula, tidak biasanya Midorima hanya seorang diri saja. Biasanya Takao selalu disampingnya seperti parasit. Kemungkinan besar itu salah satu rencana Takao dan Ketua Dewan, 'Ancam Akashi Seijuurou dan jika dia tidak bisa diancam, lenyapkan saja'. Mungkin Takao gentar karena aku mengancamnya balik di toilet, sehingga pilihan memberitahu Midorima siapa aku tidak lagi sebuah pilihan.

Aku mendengus dan tertawa. Bisa-bisanya hidupku berubah 180 derajat sejak aku menjadi seorang 'Kuroko Tetsuya'. Aku masih tidak percaya bahwa aku sudah mengalami banyak hal tidak mengenakkan, seperti dijambak, diseret, dikejar oleh massa, dipukul, didorong dari tangga, dicium secara paksa, ditampar, dan hampir mati karena dihantam oleh pot bunga. Di titik ini, aku tidak kaget jika Tetsuya menginginkan kematian.

"Tetsuya, kau hebat sudah bertahan."

.

Esok harinya, aku bertekad akan mendatangi Takao dan mengonfrontasinya. Jika dia memang ingin bermain kasar, maka aku akan melayaninya. Namun, aku tidak melihatnya sepanjang hari. Bahkan, ketika aku mengintip ke kelas Midorima, Takao tidak ada. Aku menghela napas frustasi. Kenapa selalu seperti ini? Kenapa aku merasa dipermainkan?

Takao tidak bisa lagi mempermainkanku dan aku akan membuat batasan tegas. Jika dia ingin aku celaka, maka aku bisa berbalik mencelakakannya. Setidaknya, aku tidak akan mati sebelum mengetahui kebenaran tentang Tetsuya.

Aku mencegat seorang teman sekelasnya. "Apa kau melihat Takao Kazunari?" tanyaku.

Dia menatapku bingung. "Kau tidak tahu? Kemarin dia mengalami kecelakaan motor. Tabrak lari. Dia sedang dirawat di Rumah Sakit."

.

To Be Continued


a/n: Halo semuanya, apakah masih ada yang setia menunggu cerita ini? Setelah menelantarkannya selama 3 tahun, saya kembali membawa sebuah chapter baru. Bahkan, sampai saya sudah kerja, cerita ini belum selesai-selesai juga. Mohon maaf jika saya belum bisa membalas review terakhir satu per satu, real world is tough, by the way. Saya usahakan untuk chapter-chapter selanjutnya tidak akan memakan waktu terllau lama. Bagi para pembaca baru, selamat datang!

Kritik, saran, komentar dipersilahkan tanpa syarat dan ketentuan

Salam,

Sigung-chan