Chapter 21: Momen Kebenaran

Kepala Nash Gold berdenyut-denyut. Sejak hari dimana Kuroko diturunkan dari jabatannya dan dia naik menjadi Ketua OSIS Belakang, masalah selalu datang beruntun. Terutama, setelah Kuroko kembali ke sekolah dan dia seperti terlahir kembali. Ralat, lebih tepatnya dia tampak seperti orang lain. Kilat matanya berubah. Tidak lagi kosong seperti pusaran lubang hitam dan penuh dengan derita, tapi lebih bertekad dan penuh harapan. Namun, semua pertanyaan itu terjawab di ruang rawat inap dimana Nash Gold melihat foto dari Kuroko dan saudara kembarnya.

"Ketahuilah, dia baru saja membuat masalah lagi dengan Ketua Dewan," ujar Nash Gold.

Kuroko menghela napas. "Dia memang keras kepala." Dia menatap Nash Gold, "Karena itu, tolong bantu dia."

Nash Gold mengembalikan lagi foto itu. "Aku bukan pengasuh. Kenapa kau tidak kembali saja ke sekolah dan mengurus masalah ini?" Dia menghela napas, "Lagipula selama ini aku selalu jadi kurir yang memberitahu keadaannya."

Kuroko menggeleng. "Aku belum bisa kembali."

"Kalau ini membuatmu merasa lebih baik, dia hampir menusuk mata Jason dengan gunting sebanyak dua kali. Jadi, kurasa Jason tidak akan macam-macam lagi padamu."

Kuroko tertawa lemah. "Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Jason butuh sesekali diingatkan posisinya."

"Berikan aku alasan kenapa kau belum bisa bergerak."

"Masih ada yang harus kuselidiki. Dan aku tidak bisa menyelidikinya jika aku kembali ke sekolah atau jika Seijuurou tahu bahwa aku sudah sadar. Aku harus mengakhiri tragedi ini. Aku harus menebus semua dosaku."

"Aku tidak akan bertanggungjawab kalau dia terluka atau apa. Urusanku sudah cukup banyak karena masalahnya."

"Aku tidak khawatir soal itu. Aku khawatir tentang Ketua Dewan. Menurutku tindakannya sudah kelewatan dan tidak pernah dia melakukannya seterbuka ini sebelumnya."

"Yah, Akashi memang selalu menyulut emosinya. Wajar jika dia kehilangan kesabaran."

Namun, wajah Kuroko tidak setuju. Nash Gold sudah hapal seluruh raut wajah Kuroko. Tegang, penuh perhitungan, dan menutup rapat-rapat hatinya. Ekspresi seperti ini yang hilang di Dewan Harian OSIS Belakang. Ekspresi seperti ini yang disukai oleh Ketua Dewan. Ekspresi membangkang seperti Akashi tidak terlalu cocok dengan sifat Ketua Dewan.

Pertama kali Nash Gold bertemu dengannya adalah setelah tahun ajaran baru. Ketua Dewan mengumumkan sesuatu yang mengejutkan, karena untuk pertama kalinya, seorang siswa tahun pertama akan menjadi Ketua OSIS Belakang. Tentu saja hal itu mendapat tentangan dari berbagai anggota, terutama Dewan Harian. Namun, Kuroko Tetsuya tetap naik menjabat dan memperlihatkan hasil kerja yang luar biasa. Sejak saat itu, Nash Gold mendampinginya sebagai Wakil Ketua.

"Apa kau masih ingat percakapan kita dulu? Ketika kau bertanya apakah agenda tersembunyiku?" tanya Nash Gold.

Kuroko tersenyum tipis. "Mana mungkin aku melupakan percakapan itu."

"Aku bilang bahwa aku akan menghancurkan OSIS Belakang. Aku masih ingat bahwa kau tidak mengubah ekspresimu sama sekali. Seolah itu bukan masalah besar. Seolah itu hanya angan-angan saja."

"Apakah kau masih ingin menghancurkan OSIS Belakang ini?"

"Aku tidak akan pernah melupakan tujuan itu. Kini, setelah apa yang terjadi padamu dan melihat Akashi yang berusaha mengungkapkan kebenaran, aku semakin yakin dengan tujuanku. Aku akan tetap menghancurkan OSIS Belakang."

"Seijuurou juga mengatakan hal yang sama. Dia ingin menghancurkan OSIS Belakang dan juga Ketua Dewan. Aku punya firasat bahwa kalian akan berhasil di akhir."

Nash Gold menatap Kuroko. Dia berusaha membaca apa isi pikiran Kuroko. Namun, dia gagal. Kuroko layaknya ombak tenang di laut yang sewaktu-waktu bisa mengamuk dan menghancurkan semua kapal yang ada di perairannya. Kuroko tetaplah menjadi sebuah misteri bagi Nash Gold yang tidak sanggup dipecahkannya. Setiap dia berusaha membaca Kuroko, lelaki itu selalu menutup dirinya dan bersembunyi di balik kekejamannya.

Namun, dia tahu bahwa sebenarnya Kuroko juga sedang berjuang dengan caranya sendiri. Kuroko berusaha mendobrak OSIS Belakang dengan kemampuannya sendiri. Hanya saja, itu semua ada batasnya, karena dia berjuang sendirian. Dia selalu sendirian.

"Itu adalah rasa sakit paling minimal."

Nash Gold tidak pernah melupakan kalimat yang keluar dari mulut Kuroko di hari dia menentang Ketua Dewan secara terang-terangan. Nash Gold ada di sisinya ketika Kuroko melakukan hal yang seharusnya dilakukannya sejak hari pertama dia berada di OSIS Belakang. Ketika Kuroko akhirnya menyadari bahwa OSIS Belakang adalah sebuah kesalahan.

"Kau bisa hancur," kata Nash Gold waktu itu.

"Aku tidak akan hancur."

Namun, setelah itu Kuroko mengalami 'kecelakaan'. Tentu saja ternyata dia tidak mengalami kecelakaan. Kuroko Tetsuya melakukan percobaan bunuh diri. Rupanya kau hancur di akhir, batin Nash Gold. Kuroko kalah dalam sebuah pertarungan, tapi kami masih bisa memenangkan perang ini, batinnya.

"Kali ini kau tidak sendirian," kata Nash Gold. Kuroko menatapnya bingung. "Aku tahu bahwa kau juga berjuang selama ini dengan caramu. Aku tidak menyadarinya dulu, tapi sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas. Kali ini, aku dan Akashi juga akan membantumu."

Kuroko menunduk ketika mendengarnya. Jika dia menangis, dia tidak akan membiarkan Nash Gold melihatnya. Namun, ini pasti pertama kalinya ada yang mengatakan hal itu pada Kuroko. Mengatakan bahwa dia tidak sendirian dan ada orang yang mau berjuang bersamanya.

"Dari semua keputusan yang pernah kubuat, aku banyak menyesalinya. Namun, aku tidak pernah sekalipun menyesal sudah menjadikanmu Ketua OSIS Belakang. Itu adalah satu-satunya hal yang kulakukan dengan benar di dalam hidupku."

"Mendengar kau memujiku saja itu sudah cukup bagiku. Jadi, apa rencanamu selanjutnya?"

.

AKASHI SEIJUUROU

Sesuai perkiraanku dan Midorima, berita itu tidak bertahan lama di media. Pihak sekolah juga tidak memberikan komentar apapun dan tetap menjaga ketenangannya. Namun, aku sudah menyampaikan pesanku dengan jelas. Meskipun di permukaan sekolah ini tampak tenang, tapi ada badai yang sedang bergemuruh di dalamnya. Ada peperangan yang sedang berlangsung.

Aku masih bersekolah seperti biasa, tidak ada hal yang berubah. Aku belum tahu apa rencana Ketua Dewan selanjutnya, karena setelah percakapanku dengannya terakhir kali, Nash Gold tidak pernah lagi mengungkit-ungkit kasus itu. Dia kembali menjadi tembok es yang mengabaikan keberadaan orang lain. Aku dan Midorima masih tetap menjaga jarak di sekolah, tapi aku mendengar kabar bahwa Takao sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Hanya saja, dia masih harus istirahat di rumah sampai kondisinya stabil dan bisa masuk sekolah.

Aku ingin menanyakan tentang masalah kecelakaannya, tentang apa yang dia ingat, tapi aku tidak bisa terburu-buru. Takao membenciku hingga ke tulang-tulangnya, dan aku tidak tahu apakah dia ingin bicara denganku. Mungkin jawaban dari Takao bisa mempermudah banyaknya pertanyaan yang masih menggantung di Mind Mapping, tapi mungkin juga tidak. Apapun itu, aku tetap berada pada rencanaku sendiri.

Belakangan ini Kise sering izin. Dia berkata karena agensi model-nya menjadwalkan banyak pemotretan untuk Koleksi Musim Gugur. Kurasa aku beberapa kali melihat Kise sebagai cover majalah model remaja. Di jam istirahat aku menghabiskan waktu bersama Ogiwara dan percakapannya tidak habis-habis. Namun, jika dia sedang sibuk dengan kegiatan eskulnya, aku hanya menghabiskan waktu sendiri.

Pada suatu kesempatan, aku berjalan mengitari keseluruhan SMA Teikou, termasuk Gedung Yayasan. Aku berjalan menuju lapangan indoor basket dan aku berdiri di depannya. Memang benar apa kata Aomine, dari depan lapangan basket kita bisa melihat jelas bagian dari Gedung Yayasan. Dari tempat aku berdiri, aku bisa melihat jendela yang kupecahkan dan sisa-sisa jelaga di tembok yang tidak hancur. Sebagian dari ruangan di Gedung Yayasan sudah ditutup untuk di renovasi.

"Memastikan alibiku dengan mata kepalamu sendiri, Tetsu?"

Aku berputar ke belakang dan Aomine sedang berdiri di belakangku. Tubuhnya keringatan dan dia memegang bola basket di tangannya. Dia berjalan dan berdiri di sampingku, menatap hal yang sama denganku.

"Apa yang kau lakukan di sini sendirian?" tanyaku sambil menatapnya.

Aomine mendengus. "Sekarang kau mau menginterogasiku lagi? Memastikan aku tidak membakar lapangan ini?" Aku tidak menjawab sindirannya. Aomine memutar bola basket ditangannya. "Aku sedang bermain sendiri. Biasanya aku one-on-one dengan Kise, tapi karena si pirang itu sering sekali tidak masuk, jadi aku hanya bermain sendiri."

"Kau dekat dengan Kise?" tanyaku. "Apa dia anggota eskul basket juga?"

"Tetsu, kau kerasukan sesuatu? Dia kan pasanganmu. Kenapa kau malah bertanya padaku."

Aku melupakan bagian itu. Namun, aku tidak peduli. "Jawab saja pertanyaanku."

"Kami satu SMP, jadi dekat. Meskipun aku tidak terlalu dekat dengannya. Kami hanya bertemu untuk one-on-one. Dan sejak SMA dia sudah tidak lagi masuk eskul basket. Apa itu memuaskanmu?"

"Kenapa dia tidak ikut eskul baket lagi?" tanyaku.

Aomine menghela napas. "Kenapa tidak kau tanyakan langsung? Kau terus bersamanya sejak awal tahun ajaran."

Aku tidak lanjut bertanya. Aomine masih memutar-mutar bola basket di tangannya. "Kenapa tidak bermain bersama orang lain?" tanyaku. "Jangan-jangan temanku hanya Kise dan Momoi."

Aomine mendengus. "Senang rasanya mendengar kau sudah punya selera humor sekarang. Main sendiri lebih baik daripada main bersama orang yang tidak berbakat."

Aku tersenyum kecil. "Jadi, menurutmu kau berbakat?"

"Wah, wah. Apa kau baru saja menantangku?"

Aku hanya mengangkat bahu. Dia melempar bola basket itu ke arahku dan aku menangkapnya dengan gesit. Sudah lama sekali aku tidak menyentuh bola basket, olahraga favoritku.

"Nice catch."

Kami masuk ke lapangan basket yang luas dan hanya berisi kami berdua. Suara pantulan bola basket bergema di seluruh ruangan. Sepatu Aomine berdecit setiap dia melangkah. Sungguh, aku sangat merindukan semua ini. Aku merindukan kehidupan lamaku. Namun, ketika nanti aku kembali ke kehidupan lamaku, aku pasti tidak akan bisa melupakan semua tragedi yang telah terjadi di SMA ini.

Kami mulai bermain. Aku menggiring bolaku untuk mencetak angka, tapi Aomine melakukan steal. Kemampuan Aomine dalam bermain basket di atas rata-rata. Jika aku Kapten Tim Basket, sudah pasti akan aku masukkan dia ke dalam tim inti, terlepas dia masih duduk di kelas 1 SMA. Gerakannya tidak ada yang sia-sia, semuanya diperhitungkan dengan baik. Aku sangat rindu bermain basket dengan orang yang berbakat seperti ini.

Kami saling menyerang, saling bertahan dan saling mencetak skor. Permainan basket itu adalah hal yang paling menyenangkan selama aku menginjakkan kakiku di SMA ini. Untuk sejenak, aku melupakan semua masalah yang sedang menimpaku. Untuk saat ini saja, aku menikmati setiap momen yang bisa kuingat. Rasanya, aku ingin membuang semuanya hanya untuk bisa mengabadikan momen ini.

Namun, setiap momen pasti akan berakhir. Tidak ada momen yang abadi di dunia ini, kecuali kenangan. Setelah puas bermain, aku merasakan seluruh tubuhku basah oleh keringat dan kemeja yang kupakai telah lembab. Karena aku sudah lumayan lama tidak melakukan peregangan ataupun berlaih sendiri, seluruh ototku menjerit ngilu dan aku tiduran begitu saja di tengah-tengah lantai lapangan basket tanpa takut bajuku kotor.

Aomine mengambil tempat di sebelahku. Untuk beberapa waktu, kami hanya saling mengatur napas tanpa mengatakan apapun. Barulah, setelah itu dia bicara. "Aku tidak tahu kau mengambil kelas khusus untuk basket."

Aku tertawa. "Mungkin di kehidupan lain, aku seorang kapten tim basket. Jadi, ada yang merasukiku tadi."

"Senang rasanya mendengarmu punya selera humor sekarang."

"Kau sudah mengatakan hal itu tadi."

Aomine tertawa. Aku menatap langit-langit ruangan yang nampak sangat tinggi. Sudah lama aku tidak melihat langit-langit seperti ini lagi.

"Kurasa aku akan mengatakannya terus sampai aku terbiasa dengan sikap barumu, Tetsu." Aku menoleh ke arahnya dan ternyata dia sedang melihatku juga. Pantulanku di irisnya yang segelap lautan malam bisa kulihat dengan jelas. Rambut biru muda dan softlens berwarna biru muda. 'Kuroko Tetsuya' memandangku dari dalam irisnya. Perutku melilit karena rasanya seperti jangkar yang mengikatku di bumi.

"Kau tahu, aku sangat salah tentangmu." Matanya tidak lepas dariku, tapi aku sendiri tidak bisa melepaskan diri dari tatapannya. "Kupikir dulu kau hanya robot tanpa perasaan, tidak memikirkan orang lain, dan hanya peduli pada jabatanmu saja. Tapi ternyata aku salah. Kau memikirkan orang lain dan berusaha melindungi mereka. Dan caramu cukup keren."

Aku hanya menelan ludahku yang terasa seperti pasir berduri. Aku senang Aomine mengatakan itu padaku, tapi aku bukanlah sosok yang dibicarakannya. Aku hanya sosok asing yang mengambil tempatnya, lalu menipu semua orang disekelilingnya. Jika Aomine tahu siapa aku, dia tak akan sudi bicara seperti itu, menatapku seperti itu.

Namun, bukan aku yang ditatapnya. Itu saja cukup untuk mengakhiri momen ini.

"Kesan pertama memang selalu salah," kataku. Aku duduk dan Aomine juga ikut duduk. "Tidak ada kesan pertama yang bertahan selamanya."

"Kau benar."

Aku berdiri dan menepuk-tepuk celanaku. "Kurasa kita sudah harus kembali sebelum pelajaran dimulai."

"Aku akan menaruh bola ini dahulu. Kembalilah duluan."

"Ah, aku akan mengembalikan bajumu besok," kataku sebelum benar-benar pergi.

Aomine mendengus. "Kupikir kau akan menyimpannya untuk dirimu sendiri."

Aku hanya mengangkat bahu dan berjalan duluan keluar dari lapangan indoor basket. Aku tidak melihat ke belakang. Aku terus berjalan sambil memikirkan hal lain. Namun, aku tidak bisa melupakan tatapan matanya, aku tidak bisa melupakan momen singkat itu, dan kata-katanya. Kata-kata yang bukan ditujukan untukku.

Aku harus fokus. Tujuanku berada di sini hanya untuk Tetsuya. Aku sudah melangkah semakin dalam dan rencanaku sudah berjalan. Aku tidak boleh kehilangan tujuan sekarang, tidak boleh terdistraksi oleh hal lain. Aku kembali mengingatkan diriku bahwa Aomine adalah terduga tersangka pembakaran dan itulah yang harus aku tanamkan di dalam otakku sendiri. Dan setelah semua ini berakhir, aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Aku akan kembali pada kehidupan lamaku.

Benar, itulah rencanaku.

.

Aku tidak punya firasat apapun hari itu. Aku bangun pagi seperti biasa, pergi ke sekolah seperti biasa. Di sekolah, aku melakukan aktivitas seperti biasa, berkontak seadanya dengan Midorima, dan hingga pelajaran berakhir, tidak ada sesuatu yang terjadi. Lalu, aku kembali ke apartment-ku seorang diri dan di sanalah aku tahu bahwa telah terjadi sesuatu.

Ketika aku membuka apartment-ku, seluruh isi dari ruangan itu sudah acak-acakan. Badanku lemas dan seluruh tubuhku terasa panas-dingin. Aku sudah berkali-kali melihat di berita kondisi rumah yang dirampok, tapi ketika ini terjadi padaku, aku merasa ada yang mencekik leherku. Aku masuk dengan gontai sambil menghindari barang-barang yang berserakan. Kertas-kertas berhamburan, semua peralatanku diobrak-abrik. Aku ingin segera berlari keluar atau mengecek barang-barang pentingku, tapi aku tidak boleh panik.

Aku sudah memperhitungkan bahwa Ketua Dewan pasti akan melakukan sesuatu. Ombak yang terlalu tenang biasanya menandakan bahwa badai dahsyat akan datang, karena itu aku harus tetap tenang. Apartment-ku di acak-acak dan aku tahu apa yang mereka cari. Mereka mencari berkas dokumen yang akan menjadi senjata untuk menghancurkan Ketua Dewan, sekali dan selamanya.

Itulah pesan yang aku sampaikan kepada Ketua Dewan ketika aku mengirim berita mengenai Mantan Guru SMA Teiko ke media. Aku tahu rahasia SMA Teikou dan aku tahu bahwa rahasia itu sangat berharga sehingga Ketua Dewan berusaha melakukan cara apapun untuk mendapatkannya. Termasuk, tentu saja, membobol ke apartment-ku dan memporak-porandakannya. Namun, aku juga yakin bahwa siapapun orang yang disuruh oleh Ketua Dewan untuk mengambil dokumen itu tidak repot-repot menyembunyikan keberadaannya. Malahan, tampaknya dia ingin aku mengetahui keberadaannya. Seperti ingin menanamkan terror untukku.

Aku tidak punya alat perlindungan diri dalam bentuk apapun. Hal yang bisa aku jadikan alat pelindung diri hanyalah pisau dapur, jadi aku mengobrak-abrik laci dapur tapi aku tidak menemukan yang aku cari. Aku ingin mengumpat keras-keras. Pasti sudah diambil oleh si pelaku karena itu adalah benda tajam paling umum yang digunakan untuk menyerang.

"Mencari sesuatu, Kuroko Tetsuya?"

Aku berputar dan wajah yang sangat familiar berada 10 langkah di depanku. Badan tinggi besar bagai raksasa, kulit eksotis yang tidak mungkin dapat ditemukan di Jepang, wajah yang menunjukkan kebencian begitu dalam padaku serta setitik rasa kepuasan karena dia berhasil membuatku merasa terancam. Di tangannya tergenggam sebuah pisau dapur. Aku tidak terkejut melihatnya, karena dari semua hipotesisku, dia masih masuk ke dalam daftar tersangka.

Jason Silver berdiri bagaikan sesosok monster yang siap mengoyak-koyak mangsanya.

Aku tetap berdiri di tempatku, tidak berlari ataupun mundur. Aku terpojok di dalam rumahku sendiri dengan seorang psikopat yang siap melakukan apa saja untuk menyakitiku. Aku yakin bahwa kemungkinanku lolos darinya hanya kurang dari 1% jika aku berlari sekarang, tapi mungkin aku bisa mengulur waktu dengan mengajaknya bicara dan meminta pertolongan.

"Aku mau berkata 'anggap saja rumah sendiri', tapi kau sudah melakukannya secara harfiah." Aku masih tidak beranjak dari tempatku. Sejujurnya, aku memang tidak bisa kemana-mana, dan Jason Silver tahu hal itu. Karena itu, dia sengaja berlama-lama. Dia duduk di salah satu kursi meja makanku dan pisaunya di taruh di dekatnya. Di antara semua pilihan, Ketua Dewan memutuskan untuk mengutus Jason Silver. Ketua Dewan tahu persis cara memanfaatkan kebencian Silver kepadaku.

"Kita bisa bicara, kalau kau mau."

Dia menimbang-nimbang pisau yang ada di dekatnya. "Aku yang bicara di sini, bukan kau. Kau tidak berhak merasa hebat saat ini. Tidak, kau bukan siapa-siapa. Kemari!"

Aku tidak mau menurutinya seperti anjing, tapi aku tidak punya pilihan. Akhirnya, aku berjalan menuju meja makan dengan jantung bertalu-talu. Kita membicarakan Jason Silver di sini. Orang yang menyeretku di hari pertama sekolah, berusaha mengeroyokku, dan melakukan pelecehan seksual padaku. Pada saat ini, dia sedang di atas awan dan memegang kendali penuh. Dia bisa melakukan apapun. Jadi, lebih baik untuk tidak membuatnya marah. Aku duduk persis di sebelahnya, karena dia menepuk-nepuk kursi itu.

Dari dekat, aku seperti bisa merasakan seluruh kebenciannya berdenyut. Aku telah mempermalukannya di depan umum, menghancurkan harga dirinya, dan semua itu akan dia balas berkali-kali lipat. Aku tahu bahwa Jason Silver adalah orang yang kejam dan dia tidak akan membiarkanku lepas dengan mudah. Dia akan menyaksikan setiap ekspresi menderita dariku.

Pisau dapur itu ada di antara kami berdua. Terasa dekat, tapi juga sangat jauh. Aku tidak boleh terlalu melihat pisau itu, karena setiap gerakanku bisa dibaca dengan jelas. Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Aku berharap aku tidak terlalu tampak ketakutan dihadapannya dan di bawah kendalinya. Namun, sedikit sulit melakukan itu ketika ada seorang psikopat yang membencimu sedang menyeringai dengan penuh kemenangan.

"Dimana kau taruh dokumen itu?" tanyanya.

Aku hampir bernapas lega. Jason Silver belum menemukan dokumen itu dan itu merupakan satu hal yang harus aku syukuri. Namun, aku tahu bahwa permainan ini baru akan dimulai. Jason pasti akan menyiksaku dengan segala cara untuk mendapatkan dokumen itu. Sekarang saatnya memperlihatkan ketahanan dan ketegaranku.

Aku menggeleng. "Aku tidak tahu dokumen apa maksudmu. Semua laporan kasus sudah kuberikan."

Aku tidak sempat merasakan tinjunya yang melayang ke pipiku. Tinjunya begitu kuat hingga aku terjatuh ke lantai. Rasanya seperti kepalaku bisa terlepas dari leherku. Aku merasakan rasa besi di dalam mulutku dan rahangku terasa seperti akan patah dan gigiku rontok. Untung saja itu tidak terjadi, tapi aku bisa menjamin jika dia terus menghajarku, maka rahangku bisa benar-benar patah.

Belum sempat aku mengumpulkan kesadaran, kemejaku ditarik dan aku menatapnya. Dia berjongkok di depanku. "Aku sudah bilang, kau tidak berhak merasa hebat saat ini. Aku yang memegang kendali!" bentaknya. Aku menatapnya. Seandainya tatapan bisa membunuh, aku bisa lebih mudah melarikan diri. Sayangnya, tatapanku hanya menambah emosinya.

"PAHAM?"

Aku refleks mengangguk.

"Bagus. Bagus." Dia mengangkat tangannya dan memoriku mengatakan bahwa dia akan memukulku lagi, sehingga aku memalingkan wajah. Namun, pukulannya tidak kurasakan. Dia hanya menyentuh wajahku yang dipukulnya dan mengusapnya. Seluruh tubuhku merinding dalam rasa takut dan cemas. "Aku tidak pernah mau menyakitimu. Namun, kau selalu membuatnya susah. Kenapa kau tidak pernah memilihku?"

Aku membiarkan Jason mengusap-usap wajahku, meski aku ingin lari detik itu juga. Setiap sentuhannya seperti memiliki bisa beracun yang mematikan. Rasanya tubuhku ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum kecil yang mematikan. Namun, aku tetap pada tempatku. Dia sedang memainkan perannya sebagai orang yang dominan dan jika aku melakukan perlawanan, tindakan yang akan dia lakukan akan jauh lebih gila dari sekedar memukulku.

"Padahal kita bisa menjadi partner yang paling sempurna. Aku tahu itu, sedari awal aku bertemu denganmu. Kau punya kekejaman di mataku dan aku menyukainya. TAPI KAU TIDAK PERNAH MEMILIHKU!"

Aku masih diam di tempatku. Tangan Jason beralih dari wajahku dan meremas rambutku. Tidak ada tarikan seperti dijambak, dia hanya meremas rambutku, membuat kepalaku tidak bisa bergerak. "Jadi, sekarang jangan berlagak dan membuatku marah. Katakan saja dimana kau menyimpan dokumen itu."

Aku menelan ludah. "Sudah kubilang, aku tidak tahu."

Tinjunya mengenai pipiku lagi. Namun, rambutku dijambak olehnya. "JANGAN BERMAIN-MAIN DENGANKU SIALAN!"

Di tahap ini, aku sudah tidak peduli lagi untuk bersikap baik dan mengajaknya bicara. Jika dia ingin menghancurkanku, aku juga bisa menghancurkannya. Aku mengeluarkan tawa meskipun seluruh mulutnya terasa darah dan ototku sangat sakit. "Di antara semua orang, Ketua Dewan mengirimkanmu. Apa dia sudah terlalu putus asa, sampai mengirimkanmu?"

Aku bisa merasakan bahwa dia meradang sampai ke tulang-tulangnya. Rambutku mungkin rontok beberapa helai karena dijambak olehnya. Aku tidak gentar dan terus menatapnya. "Di antara semua orang, aku paling tahu bahwa kau lemah, Jason Silver. Kau lemah dan kau tidak pantas untuk berada di OSIS Belakang. Kita berdua tahu itu."

Tangannya melepaskan rambutku dan dia mulai mencekikku. Cekikannya kuat dan leherku terasa seperti dipatahkan menjadi dua bagian. Aku berusaha mengambil napas sebanyak-banyaknya, tapi udara tidak bisa masuk sama sekali ke dalam paru-paruku. Mulut dan hidungku terus-menerus berusaha mengambil udara, sementara mataku mulai berkunang-kunang. Paru-paruku terasa akan pecah sebentar lagi karena tidak ada pasokan oksigen. Secara insting, tanganku berusaha membuka jalan napas dengan menyingkitkan tangan Jason dari leherku, hanya saja rasanya seperti menyingkirkan beton.

"KAU SELALU SAJA MEREMEHKANKU! KAU SELALU MENGABAIKANKU! Nah, apa sekarang kau masih merasa hebat?" Dia menambah tekanan tangannya dan aku semakin membutuhkan oksigen. Kupukul-pukul tangannya, kutendang-tendang kakinya, dia tidak bergerak sama sekali. Pisaunya terlalu jauh, berada di atas meja makan, sehingga aku tidak akan meraihnya. Jason benar-benar bisa membunuhku jika dia terus mencekikku seperti ini.

Matanya penuh kekejaman dan kebencian. Dia sudah terlalu diliput oleh amarah, sehingga dia sudah tidak lagi peduli pada tujuan awalnya datang ke tempat ini. Di pikirannya saat ini hanyalah cara bagaimana membuatku mati dengan cara paling menderita. Dia akan menikmati setiap ekspresi menderitaku, dan aku akan melihat wajahnya yang kejam dan menjijikan di akhir hidupku.

Tidak, aku tidak mau. Aku tidak sudi mati di tangan Jason Silver. Aku sudah berkali-kali selamat dari percobaan pembunuhan dan aku tidak punya alasan untuk mati di tempat ini. Aku sudah bertekad bahwa aku akan tetap hidup untuk melihat kehancuran Ketua Dewan dan OSIS Belakang. Apapun yang terjadi, aku akan tetap hidup. Jason Silver hanyalah pecundang tanpa kekuatan yang ada di baliknya. Jika aku mengalahkan Jason sekarang, dia akan dibuang begitu saja oleh Ketua Dewan. Dia bukan siapa-siapa.

Jadi, aku melirik sekelilingku dengan putus asa untuk melihat apa saja yang bisa kuraih dan kujadikan senjata. Dan, satu-satunya yang bisa kuraih dengan mudah hanyalah kursi meja makanku yang ikut jatuh ketika Jason memukulku. Dengan susah payah, aku berusaha meraih kursi itu dan menggenggamnya kuat. Pukulan yang kuberikan harus cukup kuat untuk membebaskan diriku dan membuat Jason lengah. Jika tidak, maka leherku akan patah menjadi dua bagian.

Dengan sekuat tenagaku, ku ayunkan kaki kursi itu sampai menghantam bagian samping tubuh Jason. Cekikannya terlepas dan dia goyah hingga jatuh ke lantai. Aku langsung menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Rasa nyeri di sekeliling leherku tidak terasa menyaktitkan karena efek adrenalin. Aku segera bangkit dan aku memukulkan lagi kursi itu ke tubuh Jason yang belum siap untuk merespon seranganku.

Aku tidak boleh berhenti memukulnya, karena dia bisa saja menyerangku. Seluruh tubuhku dialiri oleh adrenalin dan aku bisa merasakan amarah yang bergolak dari dalam perutku. Darah yang berdesir kuat dan insting untuk bertahan hidupku mengatakan aku tidak boleh berhenti. Aku tidak boleh lari karena dia bisa mengejarku. Satu-satunya cara untuk selamat hanyalah mengalahkannya dan aku tidak akan pernah menang jika Jason masih bisa bergerak. Aku harus membuatnya tidak bisa bergerak lagi. Ketika aku mengayunkan lagi kursi itu, gerakanku terhenti sepenuhnya. Bukan karena tiba-tiba tanganku membeku, tapi karena ada seseorang yang menahan seranganku.

"Cukup Akashi Seijuurou. Kau bisa membunuhnya."

Aku menoleh ke belakang dan melihat siapa orang yang berani menahanku. Tubuh tinggi besar, rambut pirang dan mata sedingin puncak gunung Everest. Nash Gold berdiri di belakangku. Namun, aku tidak punya pertanyaan saat ini.

"Lepas. Akan kubunuh bajingan ini." Aku berusaha melepaskan diri, tapi genggamannya sangat kuat. "LEPAS!" bentakku.

"Tidak. Kau hanya sedang terbawa amarah dan aku paham. Membunuh Jason Silver tidak akan menyelesaikan masalahmu."

Aku tidak peduli tentang itu. Saat itu, aku hanya ingin membuat Jason Silver terluka dan menderita. Aku tidak peduli pada apapun. Sudah cukup selama ini aku yang terus disakiti dan aku hanya membalas apa yang selama ini dia lakukan padaku. Namun, adrenalin sudah meninggalkan aliran darahku. Perlahan-lahan, keinginan untuk melawan itu memudar.

"Dengarkan Nash Gold, Seijuurou. Kami di sini untuk membantumu."

Sebuah suara yang sangat familiar dan sangat kurindukan. Dari balik Nash Gold, seseorang yang kupikir tidak akan bangun lagi, berdiri mendekatiku. Tetsuya tampak lebih hidup dari sebelumnya. Dia telah membuka mata dan dia ada di hadapanku.

Aku mengerjap, "Tetsuya…" panggilku lirih. Aku tidak mau menutup mata karena takut dia akan menghilang. Takut bahwa ini semua hanyalah mimpiku dan imajinasiku karena aku sudah terlalu tertekan.

Namun ketika aku membuka mata, Tetsuya tidak menghilang. Dia masih ada di depanku. Tetsuya menggenggam tanganku dan sentuhannya terasa hangat dan lembut. Sentuhannya terasa sangat nyata dan aku tidak tahu meresponnya. Tanganku perlahan-lahan melepaskan kursi tersebut dan tubuhku bergerak sendiri. Aku memeluk Tetsuya dan memastikan apakah benar bahwa orang di depanku ini adalah Tetsuya dan dia sudah sadar. Tubuhnya kecil dan aku bisa memeluknya dengan mudah. Namun, dia tidak menghilang. Dia tetap berada di pelukanku dan tubuhnya memancarkan kehangatan manusia hidup.

"Tetsuya, kau sudah sadar…" kataku. Aku tidak peduli seberapa sakit tubuhku, karena yang penting adalah Tetsuya sudah ada di sini. Kecemasan tanpa akhirku akhirnya selesai. Kini, aku tidak lagi berada di dalam kabut yang menutupi seluruh kebenaran.

"Terima kasih sudah menjagaku selama ini. Maafkan aku membuatmu sangat cemas," katanya di dalam pelukanku.

Ada banyak yang ingin aku katakan padanya, ada banyak yang ingin aku tanyakan. Namun, semua itu terlalu banyak hingga aku tidak tahu harus memulai dari mana. Emosiku bercampur aduk dalam sebuah permainan perasaan yang memuakkan dan aku hanya menangis tanpa terisak.

"Maaf mengganggu reuni kalian. Tapi ada banyak hal yang harus dibahas."

Suara Nash Gold yang dingin membuatku kembali menapaki bumi. Aku tersadar bahwa kondisi ini terasa sangat janggal. Aku melepaskan pelukanku dan menatap kedua orang itu secara bergantian. Benar, ada banyak hal yang harus kami bahas, ada banyak pertanyaan yang ingin aku sampaikan.

"Benar," kata Tetsuya. Aku tidak pernah melihat ekspresinya yang begitu serius. Namun, dia menatap ke arah Jason Silver yang tergeletak tidak sadarkan diri. Beberapa bagian tubuhnya pasti memar dan aku sedikit puas melakukannya, namun, perutku bergolak.

"Apa dia masih hidup?" tanyaku pelan.

Tetsuya berjalan ke arah Jason dan mengecek pernapasannya. Dia mengangguk. "Masih. Hanya saja dia sedang pingsan."

Aku menarik napas lega. Setidaknya, Jason tidak mati di apartment-ku. Namun, aku yakin bahwa ini sudah cukup untuk mengendalikannya. Aku tidak akan pernah mau berurusan dengannya lagi. "Kita biarkan saja dia seperti itu?" tanyaku.

Tetsuya mengangguk. "Aku tidak mau membuang waktu untuk mengurusnya. Kita pikirkan jika dia sudah sadar."

Aku setuju dengannya, meksipun aku sedikit tidak fokus melihat sisi Tetsuya yang seperti ini. Nash Gold sudah duduk di salah satu kursi makan seolah ini adalah apartment-nya. Tampaknya semua orang yang masuk ke apartment-ku merasa bahwa ini adalah apartment milik bersama dan dengan santai bertindak seenaknya. Aku duduk di salah satu kursi dan Tetsuya duduk di sebelah Nash Gold. Aku merasa mereka berdua seperti dua orang tua yang ingin memberikanku ceramah.

"Kenapa kalian berdua ada di sini? Tetsuya, sejak kapan kau sudah sadar?" tanyaku memulai percakapan. Aku harus memilah pertanyaan dari yang paling prioritas karena jika aku tidak melakukannya, aku bisa gila dengan pertanyaan yang belum terjawab di dalam kepalaku.

"Sei, akan aku jelaskan semuanya. Tapi pertama, akan kita mulai dari pelaku yang mencoba membunuhmu beberapa kali."

Aliran listrik seolah mengaktifkan kembali saraf-saraf di otakku yang sempat mati karena sampai beberapa menit yang lalu, aku memang hampir mati.

"Pelaku pembunuhan… kau tahu siapa yang berusaha membunuhku?" tanyaku dengan mulut kering.

Nash Gold dan Tetsuya melirik satu sama lain sebelum mereka memutuskan sesuatu yang tidak telrihat di hadapanku. Seolah mereka baru saja sepakat dalam sebuah perdebatan tidak kasat mata. Akhirnya, Tetsuya menatapku.

"Aku tahu dan aku tahu apa rencana dia selanjutnya. Dia tidak akan berhenti sebelum semua rencananya berhasil."

"Siapa? Siapa yang berusaha membunuhku?"

Ekspresi Tetsuya masih tampak datar, dia tampak seperti orang lain. Namun, nama yang disebut olehnya benar-benar tidak pernah aku duga.

"Kise Ryouta."

.

To Be Continued


A/N: Terakhir kali Tetsuya berinteraksi sama Seijuurou di chapter 1 dan itu udah 8 tahun yang lalu. Akhirnya saya bisa membuat mereka berdua kembali berinteraksi.