Chapter 22: Kise Ryouta dan Kuroko Tetsuya (1)
Aku membayangkan sosok Kise Ryouta. Tubuh tingginya, rambut pirangnya, wajah tampan tapi bersahabatnya, iris matanya yang selalu tampak cemerlang, dan senyumnya yang ramah. Dia tidak tampak seperti profil penjahat atau pun pembunuh bagiku. Lagipula, apa hubungannya Kise Ryouta dengan semua tragedi ini? Dia bahkan bukan anggota OSIS Belakang.
"Seberapa yakin kau?" tanyaku.
Tetsuya menatapku. "Sangat yakin. Semua percobaan pembunuhanmu itu dilakukan oleh Kise-kun."
Terasa seperti ada yang pecah dan hancur. Aku tidak ingin percaya pada Tetsuya, tapi aku tahu bahwa dia tidak pernah bermain-main dalam mengucapkan sesuatu yang penting. Hanya saja, semuanya tampak tidak masuk akal. Bukankah aku sedang berperan sebagai Kuroko Tetsuya? Apa itu artinya selama ini Kise berusaha menyingkirkan Tetsuya? Namun, bukankah mereka pasangan?
"Tapi… kenapa?" hanya itu yang keluar dari mulutku.
"Karena baginya, kau menghalangi rencananya. Karena itu dia ingin menyingkirkanmu."
"Aku tidak mengerti. Dia ingin menyingkirkanku sebagai 'Akashi' atau sebagai 'Kuroko'?"
"Sebagai 'Akashi'."
Dadaku mencelus. "Apa itu artinya… dia tahu siapa aku sedari awal?"
Tetsuya mengangguk muram. Aku mengeluarkan tawa lemah berisikan kefrustasian. Artinya selama ini aku berada di dalam genggaman tangan Kise, sementara dia ikut berperan berpura-pura menganggap aku 'Kuroko Tetsuya'. Sungguh pemain andalan dengan aktingnya yang begitu memukau. Dia membimbingku untuk melihat apa yang dia ingin aku lihat, sementara perlahan-lahan dia menjadi bayangan di dalam kegelapan. Dia menjadi titik buta yang tidak aku perhitungkan.
"Darimana… kau tahu itu semua?"
"Kise-kun mengatakannya padaku. Tidak secara langsung. Setidaknya dia bicara pada 'Kuroko yang koma di ICU'."
"Apa maksudnya? Apa artinya kau sudah sadar sedari dulu? Tetsuya, apa-apaan kau!" bentakku. Kepalaku sakit, leherku sakit, dan wajahku sakit. Seluruh tubuhku sakit, lelah dan frustasi. Namun, perasaanku lebih sakit. Bukan karena Kise mempermainkanku seperti boneka, tapi karena Tetsuya juga melakukan hal yang sama.
"Sei, aku–"
"DIAM!" aku menggebrak meja. Rasanya aku tidak pernah marah ataupun membentak Tetsuya. Kami selalu akur. Kami tidak mengekspresikan kemarahan kami dalam bentuk teriakan, karena hanya Otou-sama dan Okaa-sama yang melakukannya. Kami bertengkar, iya. Namun, aku tidak pernah terlalu marah pada Tetsuya. Hanya saja, kali ini aku tidak berhasil menahan emosiku. Aku merasa berhak untuk marah. Dia menipuku. Terus-menerus.
"Kau mempermainkanku. Kau menipuku. Apa kau tertawa melihatku, Tetsuya?"
"Sei, aku tidak berniat seperti itu. Aku ingin sekali mengatakan semuanya padamu."
"Jadi kenapa tidak pernah kau katakan? Apa kau pikir aku ini idiot? Apa kau pikir aku tidak mau membantumu?"
"Tidak, tentu saja tidak! Kau penting Sei."
"Tapi kau tidak memperlakukanku seperti orang penting, Tetsuya. Kau memperlakukanku seperti orang asing. Tidak mengatakan apapun, berpura-pura bahagia di telepon. Dan apa? Aku melihatmu bunuh diri! DI. DEPAN. MATAKU!"
Mataku memburam dan aku tahu bahwa aku menangis. Kuusap kasar air mata yang keluar, tapi Tetsuya juga menangis. Kami bisa saling menyalahkan seharian, tapi aku menahan diriku. Ada yang lebih penting untuk dibahas.
"Maafkan aku–"
"Jangan. Jangan minta maaf," kataku lelah. Adrenalin sudah meninggalkan tubuhku sepenuhnya. Kini, aku hanya merasa lelah dan sakit di setiap inchi tubuhku. Aku mengusap wajahku dengan kedua tangan dan merasakan wajahku yang mulai memar. Aku menatap kedua orang di depanku. "Ada hal lain yang lebih penting dari pertengkaran kita. Jadi, kenapa kalian bisa ada di sini? Tahu dari mana Jason ada di apartment-ku? Apa rencana Kise? Apa dia juga anggota OSIS Belakang?"
Tetsuya mengusap wajahnya dan melirik Nash Gold. Kali ini, giliran Nash Gold yang bicara. "Beberapa waktu lalu Kuroko memintaku untuk mengawasi Jason Silver. Lalu, aku sadar bahwa beberapa hari ini Jason tampak lebih tenang dari biasanya. Jadi, aku tahu bahwa dia merencanakan sesuatu. Hari ini kebetulan Jason tidak masuk sekolah dan dia tidak pernah tidak masuk sekolah. Aku menghubungi Kuroko dan kami berpikir pasti dia ada di apartment-mu."
Mungkin itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Nash Gold kepadaku. Namun, ceritanya masuk akal. Aku mengangguk paham.
"Sudah berapa lama kalian bekerja bersama?" tanyaku.
"Sejak aku tahu rencana Kise-kun. Aku tahu bahwa dia berbahaya dan aku harus melindungimu."
"Apa rencana Kise?"
"Dia punya rencana terakhir dan itu melibatkan Ketua Dewan. Namun, aku tidak tahu detailnya. Kini, dia pasti tahu bahwa aku sudah tidak di rumah sakit lagi, dia tidak akan mau membeberkan rencana itu padaku."
Rencana terakhir dan Ketua Dewan. "Dia anggota OSIS Belakang?"
"Bukan anggota resmi. Namun, yang aku tahu bahwa Ketua OSIS Belakang yang sebenarnya adalah Kise Ryouta dan Kuroko," jelas Nash Gold.
"Apa?"
"Tapi tidak mungkin dalam organisasi memiliki dua ketua. Aku menjadi Ketua OSIS dan Kise-kun adalah partner-ku. Kami mengerjakan tugas-tugas khusus dari Ketua Dewan," jelas Tetsuya.
Semua informasi yang masuk membuat kepalaku penuh dan berdentum-dentum. Kise dan Tetsuya bersama-sama menjalankan OSIS Belakang dan itu hal tergila yang kuketahui hari ini.
"Kalau kalian partner, seharusnya dia memberitahumu tentang rencananya. Kenapa dia tidak melakukannya? Apa ini berhubungan dengan konflikmu dengan Ketua Dewan?"
Tetsuya mengangbat bahu. "Kurang lebih."
"Dan itu alasanmu dicap pengkhianat? Lalu bunuh diri? Apa yang terjadi antara kau dan Ketua Dewan?" tanyaku beruntun.
Sekali lagi, Nash Gold dan Tetsuya saling melirik satu sama lain dan Nash Gold mengangguk tipis. "Karena aku ingin menghancurkan OSIS Belakang. Ada masalah pada tugas terakhirku dan kami bertengkar. Kau pasti tahu bagaimana Ketua Dewan. Menyingkirkanku adalah tugasnya. Karena itu Kise-kun tidak pernah terlihat lagi di OSIS Belakang. Dia juga tidak menerima tugas dari Ketua Dewan."
"Intinya baik Kise dan kau dibuang begitu saja oleh Ketua Dewan," simpulku.
Tetsuya mengangguk. "Benar."
"Dan dia ingin menghancurkan Ketua Dewan juga? Bukankah dia tampaknya seperti sekutu? Terlepas dia berusaha membunuhku."
Tetsuya menggeleng. "Kise-kun bukan sekutu. Dia berjalan sendiri dengan rencana sendiri. Motivasinya berbeda dengan kita."
"Kau tahu apa motivasinya?"
Tetsuya menggeleng. "Entahlah."
"Itu sama sekali belum menjelaskan mengapa menurutnya aku ini penghalang."
"Masalah itu dibahas nanti saja," potong Nash Gold. "Ada yang lebih penting untuk kita bahas. Tapi, Jason mulai bangun."
Aku benar-benar sudah melupakan Jason sepenuhnya. Nash Gold bangkit berdiri. "Kita selesaikan percakapan kita besok. Dan Akashi, ada baiknya kau hubungi Midorima. Kau bekerja sama dengannya kan?"
"Darimana kau…"
"Tahu? Terlihat dengan jelas. Kau mendapatkan kepercayaan diri begitu besar di rapat terakhir. Itu artinya kau tidak lagi bingung dengan tempatmu. Pasti ada seseorang yang memberitahumu."
Aku mendengus. "Kupikir kami berdua sudah berhati-hati."
"Memang. Aku hanya lebih jeli dari orang lain."
"Sialan… Monyet kecil…" geram Jason dari lantai, berusaha untuk bangun.
Namun, Nash Gold menahannya. "Hentikan ini semua Jason Silver. Kau sudah kalah."
"Nash Gold…? Kenapa kau ada di sini…?"
"Kau tidak akan menang. Jadi, lebih baik kita pergi dari sini."
Dia memapah tubuh Jason. Aku ikut bangkit. "Apa dia tidak akan melapor pada Ketua Dewan?" tanyaku. Jason tidak melihatku dan itu bagus. Aku tidak ingin melihat wajahnya yang memuakkan.
"Kau takut?" tanya Nash Gold.
Aku menggeleng. "Pada dasarnya aku sudah berperang dengan Ketua Dewan."
Nash Gold menyeringai. Seringainya itu membuatku sangat lega karena setidaknya kami berada di dalam perahu yang sama. Setelah dia keluar dari apartment-ku bersama Jason, tinggallah aku berdua bersama Tetsuya. Untuk sesaat, hanya keheningan yang berada di antara kami.
"Darimana kau tahu aku di sini?" tanyaku.
"Kupikir kau pasti akan tinggal sementara di apartment yang dibelikan Otou-sama, anggap saja insting anak kembar. Ngomong-ngomong, kau cocok dengan rambut biru." Dia mengatakannya sambil memegang rambutnya sendiri.
Aku tertawa kecil. "Aku pikir aku tampak konyol."
Tetsuya menggeleng. "Kurasa kalau kau botak sekalipun, kau akan tetap tampak cocok."
"Jangan bicara yang tidak-tidak."
Tetsuya tertawa. Untuk pertama kalinya, dia tertawa lagi. Aku berjalan mendekatinya. Kini, setelah kami hanya berdua saja, emosi lain yang selama ini kupendam baru saja muncul ke permukaan. Bahwa aku sangat bersyukur Tetsuya sudah sadar, bahwa kami bisa kembali berbincang-bincang lagi, dan bahwa aku sangat-sangat merindukannya.
"Syukurlah kau sudah baik-baik saja," kataku.
Tetsuya mengangkat bahu. "Kurasa aku bisa mengatakan hal yang sama padamu," katanya sambil menyentuh leherku.
"Wajahku mengerikan ya."
Tetsuya mengangguk. "Sangat. Kau tampak seperti pembunuh berantai."
Aku mendengus. "Rupanya kau punya selera humor."
"Maaf," kata Tetsuya, "kau jadi harus melewatkan semua kejadian mengerikan karena aku."
"Entahlah. Rakuzan terlalu damai. Kurasa aku butuh sedikit doping adrenalin."
Tetsuya meninju bahuku main-main. "Kau menyebalkan," katanya. Lalu, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh apartment-ku yang kacau balau. "Kurasa kita harus bersih-bersih."
Aku setuju. Akhirnya, sisa hari itu kupakai untuk bersih-bersih bersama Tetsuya. Jason mengacak-acak banyak hal, tapi tidak banyak yang hancur. Kebanyakan dia hanya mengacak-acak karena dia tidak tahu apa yang dicarinya. Lagipula apartment ini nyaris kosong karena jarang ditinggali. Jadi, tidak begitu sulit merapikan apartment ini.
"Harus kuakui, ini luar biasa." Tetsuya menunjuk papan tulis yang berisi Mind Mapping. "Dan darimana kau dapatkan foto orang-orang? Apa kau memotretnya diam-diam?"
"Aku bukan penguntit. Aku mendapatkannya dari arsip sekolah."
"Tentu saja itu bukan hal yang dilakukan penguntit. Jadi, coba kita lihat sejauh mana perkembanganmu." Dia mengamati Mind Mapping-ku. Lalu, dia mengambil sebuah sticky notes dan menulis nama Kise Ryouta di sebelah tanda tanya besar.
"Setidaknya misteri terbesar kedua sudah kudapatkan jawabannya." Aku ikut berdiri di sebelah Tetsuya.
"Misteri terbesar kedua? Apa misteri pertamanya?"
"Siapa Ketua Dewan," kataku sambil menatapnya. Air muka Tetsuya berubah dan aku tahu bahwa dia belum menceritakan sepenuhnya. "Apa kau pernah bertemu dengan Ketua Dewan? Kenapa kau bisa menjadi Ketua OSIS Belakang? Apa itu permintaannya?"
"Pertanyaanmu banyak sekali, Sei."
"Jangan memulai pertengkaran lagi, Tetsuya. Aku lelah karena terus merasa dipermainkan dan setiap aku berusaha menuju kebenaran, seolah semuanya ditutup-tutupi. Aku ingin menolongmu, tapi aku tidak bisa melakukannya kalau kau tidak mengizinkanku. Jadi, tolong. Aku ingin tahu semuanya. Di sini hanya ada kita berdua. Kau bisa mempercayaiku."
Tetsuya menatapku. Di balik tatapannya yang datar, aku tahu bahwa ada banyak emosi yang tersimpan di dalamnya, tidak bisa diungkapkan. Karena itu, aku akan menerima semua perasaannya.
"Kau benar. Kurasa aku harus menceritakannya dari awal."
.
Kalau ingin menceritakan dari awal, maka aku akan mulai dari perceraian di antara kedua orangtuaku. Setelah pertarungan sengit di pengadilan, hak asuh anak keluar dan aku akan ikut Ibuku. Ibu sendiri akan kembali ke Tokyo dan melanjutkan karirnya di sana. Secepat dia pergi dari rumah, secepat itu dia mengganti marganya, kembali kepada marga gadisnya. Sebagai seorang anak hasil perceraian, aku ikut mengganti margaku juga.
Aku tahu sedari awal, bahwa aku bukanlah favoritnya. Seijuurou selalu menjadi favorit Ibuku. Aku terlalu mengingatkannya pada Ayah, mantan suaminya. Terlebih, aku bukanlah orang berbakat seperti Seijuurou. Seijuurou terlahir memiliki segalanya. Wajah, otak cemerlang, bakat berlimpah, dan bakat memimpin yang tidak semua orang miliki. Namun, aku terlahir sebagai esktra. Sebagai kembaran yang tidak diperlukan. Wajahku biasa-biasa saja, otakku tidak cemerlang seperti Seijuurou, bakatku tidak menonjol dan aku tidak mampu memimpin. Aku adalah bayangan dari Seijuurou.
Sejak kami pindah ke Tokyo, Ibu banyak menenggelamkan diri di dalam pekerjaannya. Sebagai perancang busana, Ibu sering menghadiri Fashion Week selama berminggu-minggu di seluruh belahan dunia. Sejak kami pindah ke Tokyo, secara otomatis aku tinggal sendiri. Tidak ada lagi Seijuurou di rumah ini dan rasanya menyedihkan. Aku tidak bisa terus menghubungi Seijuurou karena nanti dia akan tahu aku kesepian. Aku tidak boleh merepotkannya.
Akhirnya, bulan April menghampiri Jepang. Tahun ajaran baru di mulai. Ibu memasukkanku ke SMA Teikou yang merupakan SMA Swasta terbaik di Tokyo. SMA Teikou merupakan SMA Persiapan Universitas. Mungkin, Ibu berpikir setidaknya aku harus bisa menyamai Seijuurou dalam bidang akademik. Setidaknya, anak yang ikut dengannya tidak menghabiskan uangnya secara sia-sia.
Upacara Penerimaan Murid Baru terasa seperti neraka bagiku. Aku tidak ingin berteman, aku tidak ingin berbaur, dan aku merasa ingin bergulung di dalam kamar tidurku. Setiap suara tawa yang kudengar bagaikan jutaan jarum panas yang menusuk telingaku. Karena tidak tahan, aku pergi menyendiri di gedung belakang dan menutup kedua telingaku dengan tangan, berusaha agar tidak ada lagi suara yang dapat kudengar. Aku ingin dunia ini sunyi untuk sejenak saja. Namun, dunia tidak pernah peduli. Dunia akan terus bergerak maju tidak peduli secacat apa dirimu.
"Apa kau tidak enak badan? Mau kuantar ke UKS?"
Itulah pertama kali aku bertemu dengan Kise Ryouta.
Aku ingat bunga-bunga Sakura di seluruh penjuru sekolah sedang bermekaran. Aku ingat langit biru yang sedikit lembab tetapi tetap mengeluarkan hawa dingin, aku ingat awan putih tanpa noda yang berarak di langit, dan aku ingat ekspresi Kise Ryouta yang cemas. Surai pirangnya berkibar ditiup angin, iris matanya sewarna emas, dan wajahnya yang rupawan sedang mencemaskanku.
"Apa kau bisa berdiri?" tanyanya lagi.
"Kenapa kau tahu aku di sini?" tanyaku.
"Aku melihatmu di Aula tadi. Kau tampak pucat dan aku mau menawarimu pergi ke UKS, tapi kau sudah hilang. Jadi, aku mencari ke seluruh sekolah dan menemukanmu di sini."
Aku terpaku mendengar jawabannya. Kise adalah orang pertama yang berinisiatif untuk mencariku dan menemukanku di antara kerumunan. Biasanya, hawa keberadaanku sangat tipis sehingga orang-orang sering kali melupakan keberadaanku. Biasanya, mereka tidak akan mencariku, tidak ingat bahwa aku tidak ada, dan terkejut saat melihatku. Seolah aku ini hanya bayangan mereka, seolah aku tak kasat mata di mata mereka.
"Mau ke UKS?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng. "Aku tidak apa-apa. Hanya saja, di Aula ada banyak orang, aku tidak tahan."
Dia duduk di sebelahku. "Memang. Kadang berada di dalam satu ruangan dengan banyak orang suka membuat pusing. Aku juga kadang suka kabur." Lalu, dia mengulurkan tangannya. "Kise Ryouta."
Aku menyambut uluran tangannya. "Kuroko Tetsuya, desu."
Hari itu, kami berdua menghabiskan waktu hingga Upacara Penerimaan selesai di gedung belakang. Kise tidak bertanya macam-macam, kami berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing sambil melihat bunga Sakura yang bermekaran, tetapi begitu rapuh hingga di saat yang bersamaan, kelopak bunganya berguguran.
Kupikir pertemuanku dengan Kise berakhir begitu saja, tapi ternyata kami satu kelas. Rupanya takdir memang suka mempermainkan para manusia. Namun, Kise Ryouta adalah takdir yang aku syukuri. Pertemuan dengan Kise menyelamatkanku dari kesepian. Kami menjadi dekat sejak kami satu kelas. Dia mempertanyakan banyak hal kepadaku; dari mana asal SMP-ku, darimana asalku, apakah aku punya saudara, kenapa pindah ke Tokyo.
Dan aku menjawab semuanya. Aku mencurahkan segalanya, tentang perceraian kedua orangtuaku, tentang Seijuurou dan bagaimana Ibuku memperlakukanku. Tentang aku yang selalu menjadi bayang-bayang Seijuurou. Bahwa aku tidak akan pernah bisa memuaskan Ibuku, karena aku bukanlah anak kesayangannya. Aku tidak akan pernah menjadi Seijuurou. Dan ketika aku setengah berharap melihat ekspresi kasihan Kise atau dia muak mendengar ceritaku, rupanya tidak. Matanya berkilat dan mengatakan bahwa aku adalah aku dan itu cukup untuknya.
Kise menceritakan segalanya padaku. Tentang keluarganya yang tidak begitu fungsional tapi tidak bisa lepas dari satu sama lain, tentang masalah keuangan yang dialami oleh keluarganya sehingga dia harus menjadi model untuk menambah keuangan keluarga, dan tentang keluarganya yang tidak pernah peduli tentang apapun yang dilakukannya selain uang yang diberikannya.
Aku baru menyadari satu hal, bahwa aku dan Kise adalah dua sosok yang serupa. Kami tenggelam dalam kesedihan masing-masing, tidak mampu melarikan diri dari keluarga kami, tapi di saat yang bersaamaan, kami juga mendamba cinta keluarga. Aku ingin Ibuku melihatku dan bangga padaku, menyayangiku seperti dia menyayangi Seijuurou. Kise ingin keluarganya memperhatikannya, bangga pada kegiatannya, bukan hanya terpaku pada uang yang dihasilkannya dan membuangnya seperti sampah ketika dia tidak bisa lagi menghasilkan uang.
Sejak saat itu, kami lebih sering menghabiskan waktu berdua. Kise memiliki hobi bermain basket dan dia sering bermain basket pulang sekolah. Hanya saja, dia tidak bisa mengikuti jadwal klub basket ditambah modelling-nya. Kami menjadikan gudang belakang tempat favorit kami berdua. Karena itulah tempat di mana kami saling menemukan satu sama lain.
Sampai orang itu datang.
Dia datang begitu saja. Saat itu, aku tidak tahu bahwa kehidupan SMA-ku akan jungkir balik karena dia.
"Aku sudah memperhatikanmu, Kuroko Tetsuya. Aku tahu bahwa siswa sepertimu tidak memiliki hubungan akur dengan orangtuanya. Kau selalu berusaha berusaha lebih supaya Ibumu memperhatikanmu dan mengakui keberadaanmu. Apa aku benar?"
Ketika aku hendak lari dari situ, dia menambahkan. "Aku bisa memberikanmu sebuah jalan keluar. Aku bisa membuat kau diakui lagi oleh Ibumu. Apa kau tahu mengapa Ibumu tidak mengakui keberadaanmu? Itu karena kau lemah. Kau mudah goyah dan gampang kalah. Sifat seperti itu tidak menarik."
"Anda siapa? Anda tidak tampak seperti guru di SMA ini."
"Aku Ketua Dewan Yayasan sekolah ini." Dia tertawa melihat ekspresiku. "Ah, wajar kalau kau tidak percaya. Kau bisa datang ke Gedung Yayasan. Kita bisa bertemu di situ."
Seharusnya saat itu, aku pulang dan melupakan percakapan aneh itu. Jika aku pulang saat itu, hidupku pasti akan tetap baik-baik saja. Namun, kata-kata yang diucapkannya seolah menusuk tepat di jantungku. Benar, aku lemah. Karena itu Ibu tidak tertarik padaku. Aku bukan favoritnya karena aku lemah dan gampang kalah. Sifat seperti itu terlalu membosankan. Semua yang diucapkannya benar, karena aku ingin diakui oleh Ibu, keluargaku satu-satunya di Tokyo.
Jadi, sepulang sekolah aku mendatangi Gedung Yayasan dan mencari ruangannya. Jika dia benar-benar Ketua Dewan, maka seharusnya dia akan berada di ruangannya. Jika dia penipu, maka dia harus dilaporkan ke polisi. Ruang Ketua Dewan berada di lantai dua di koridor paling ujung. Ketika aku memasuki ruangan itu, sudah terdapat dua orang, Ketua Dewan dan Kise Ryouta.
"Kise-kun. Kenapa kau ada di sini?" tanyaku tidak mengerti. Kise tampak sama kagetnya denganku. Namun, Ketua Dewan dengan tenang duduk di kursinya. Di saat itu aku belum tahu betapa berbahayanya orang ini.
"Duduklah Kuroko-kun. Aku juga mengundang Kise-kun untuk mendiskusikan hal yang sama."
Dengan ragu, aku duduk di samping Kise. Kami menghadap Ketua Dewan. "Jadi, secara garis besarnya aku sudah katakan kepada kalian ketika kita pertama kali bertemu. Namun, untuk lebih formalnya, aku akan memperkenalkan diri sekali lagi. Aku Ketua Dewan Yayasan SMA Teikou dan aku sudah menjabat selama 30 tahun. Kalian pasti tahu bahwa SMA Teikou adalah SMA terpandang di Tokyo. Tidak, bahkan di Jepang. Benar, SMA ini sudah banyak menghasilkan lulusan-lulusan terbaik dan tidak pernah ada rumor miring dari SMA ini. Sudah sepatutnya seperti itu." Dia mengamati satu per satu dari kami. "Ada yang tahu kenapa?"
Aku hanya saling melirik dengan Kise dan kami kompak menggeleng. "Tentu saja, karena aku membereskan masalah yang ada sebelum naik ke permukaan. Begitulah cara kerja di dunia ini. Orang akan melakukan apapun untuk menjaga citra baik dirinya, instansi, atau Yayasan. Semakin bersinar suatu objek, maka bayangan yang hadir akan semakin pekat. Apa kalian pernah mendengar istilah itu?" dia bertanya lagi.
Kise mengangkat tangannya. "Ya, Kise-kun?"
"Apa Anda bisa menjelaskan tujuan kami berdua dipanggil?" tanyanya.
"Oke! Aku baru saja mau masuk ke bagian seru. SMA ini punya banyak bayangan gelap. Bayangan gelap yang melindungi Teikou dari rumor-rumor miring. Aku membuat sebuah organisasi tak kasat mata untuk orang-orang yang memiliki keinginan untuk menjadi kuat. Kalau kau kuat, maka kau bica mendapatkan cinta dari keluargamu. Kalau kau kuat, maka semua keinginanmu akan tercapai. Karena itu, aku ingin kalian berdua bergabung di dalam organisasi yang kubuat. Mari kita menjadi kuat bersama-sama!" Suaranya bergema di seluruh ruangan.
"Organisasi seperti apa yang Anda maksud?" tanyaku.
"Seperti Komite Disiplin… Ah bukan! Seperti OSIS, tapi kami bekerja dalam bayangan. Organisasi yang tidak terdaftar di sekolah, tapi aku bisa menjaminkan satu hal; yaitu masa depan cerah akan menanti kalian berdua."
"Masa depan… maksud Anda seperti rekomendasi Universitas?" tanya Kise.
"Katakan saja apa!" ujar Ketua Dewan. "Dan lagi, ini organisasi yang kudirikan sendiri. Kalian punya orang-orang yang ingin kalian jaga kan? Aku pun begitu. SMA ini begitu penting untukku. Aku ingin melindunginya sekuat mungkin."
Yang bisa aku simpulkan pertama adalah; orang ini gila. Aku tidak tahu kenapa dia bisa menjabat sebagai Ketua Dewan dengan kegilaannya. Namun, ucapannya tampak masuk akal.
"Kenapa kami berdua?" tanyaku.
Dia menjentikkan jarinya, seolah sudah menantikan pertanyaan itu dari dulu. "Gampang. Karena profil kalian berdua cocok. Kalian saling membutuhkan satu sama lain dan luka yang kalian miliki adalah benang merah yang menyatukan kalian. Kalian akan kuat bersama-sama, dan aku punya firasat bahwa kalian bisa menjadi lebih hebat lagi."
Dia menyerahkan sebuah kertas untuk kami berdua. "Aku punya permintaan. Tolong kerjakan yang ada di kertas ini. Jika kalian sudah mengerjakannya, kalian akan paham betapa organisasiku sangat dibutuhkan."
.
"Orang itu gila." Aku menatap Kise dan terus berjalan pulang. "Dan mencurigakan," tambahku.
Kise mengangguk. "Aku tadi coba mencari di internet mengenai Ketua Dewan Yayasan SMA Teikou, tapi aku tidak menemukan info apapun. Tidak ada nama, tidak ada foto, atau apapun. Apa menurutmu dia penipu?" tanyanya.
"Entahlah. Awalnya kupikir seperti itu. Hanya saja, dia tidak akan mungkin menipu sampai meminjam Ruang Ketua Dewan kan? Kalau begitu, seharusnya dia juga tidak bisa masuk ke Gedung Yayasan."
Kise mengangguk. "Benar juga ssu." Dia menatap kertas itu lagi. "Jadi, apa yang akan kita lakukan dengan ini?" tanyanya.
"Sebaiknya kita lihat dulu apa isinya. Kalau tidak masuk akal, kita tinggalkan saja."
Kami memutuskan untuk pergi ke restoran cepat saji dan membuka isi dari kertas tersebut.
"Curi soal tryout Ujian Masuk Universitas…?" gumamku bingung. Aku menggeleng. "Ini sudah jelas tindak kriminal. Orang macam apa yang menyuruh siswanya berbuat kriminal? Sudah buang saja!" seruku.
Namun, Kise terpaku menatapnya. "Entahlah, Kurokocchi. Aku merasa ada sesuatu di orang yang menyebut dirinya Ketua Dewan. Dia terlalu percaya diri."
"Kise-kun, kau tidak benar-benar serius memikirkan itu kan? Itu jelas mencurigakan."
"Apa kau ingin menjadi kuat, Kurokocchi? Supaya Ibumu bisa mengakuimu."
Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaanku saat itu. Aku dan Kise hanyalah remaja yang tersesat dan berusaha mendapatkan cinta dari semua tempat yang kita bisa. "Setidaknya Ketua Dewan melihat kita, tidak seperti Ibumu atau keluargaku."
Ketika nama Ibuku disebut, aku menggebrak meja. "Jangan bawa-bawa Ibuku!" bentakku. Beberapa orang di restoran cepat saji melihat ke arah kami. Seharusnya aku tahu, itulah waktu dimana aku mundur. Jika aku meninggalkan Kise sendiri di sana, semua tragedi ini tidak akan terjadi. Jika aku melangkah pergi dari restoran cepat saji itu, hidupku akan terus berjalan, tapi tanpa Kise.
"Maaf Kurokocchi. Aku tidak bermaksud menyinggung hal itu," kata Kise sambil memegang tanganku. Genggamannya hangat dan aku merasakan perasaan yang menyenangkan. Setiap sentuhan yang diberikan Kise selalu menenangkanku. "Pikirkanlah Kurokocchi. Kita tidak harus menjawabnya sekarang. Namun, aku ingin mendukungmu. Apapun pilihanmu, tentu saja."
Aku tidak menjawabnya saat itu. Aku hanya membiarkan tangan kami saling menggenggam dan menghabiskan waktu bersama di restoran cepat saji.
Malam itu aku sendirian di rumah. Ibu sudah tidak berada di rumah sekitar 2 minggu. Sejujurnya, kekosongan itu sudah biasa, hanya saja dulu ada Seijuurou dan aku tidak terbiasa sendirian. Dalam kesendirian, pikiranku bisa berkelana terlalu jauh, termasuk memikirkan pertemuan kami berdua dengan Ketua Dewan.
Dipikirkan berkali-kali pun, tetap saja itu semua terasa mencurigakan dan janggal. Dan pilihan paling baik adalah menolak dan melupakan semua yang pernah terjadi. Namun, aku teringat ekspresi Kise. Kise mengatakan bahwa Ketua Dewan melihat kami berdua dalam hal yang tidak pernah dilakukan oleh kedua orangtua kami. Dia tidak melihatku sebagai pengganti Seijuurou dan dia tidak melihat Kise sebagai alat penghasil uang.
Dan sejujurnya, rasanya menyenangkan bahwa ada seseorang yang mengakui keberadaan kami di dunia. Rasanya menyenangkan karena kami tidak lagi kasat mata. Seseorang menegaskan keberadaan kami di dunia ini. Dan perasaan itu adalah segalanya.
Seharusnya aku tahu bahwa ini semua adalah awal dari kehancuran Kise dan aku.
.
To Be Continued
A/N: Oke, ini sudah mau masuk ke konflik terakhir. Stay tune para pembaca
