Ketika nyawa menjadi taruhan, manakah yang akan kau pilih? Tetap mengikuti nurani, atau mendengarkan teriakan naluri yang tak bisa lagi kau redam? Karena inilah ambang fana, satu langkah akan menentukan gulir takdir. Ruang dan waktu menjadi saksi bisu, tak memihak pada siapapun.
Cipta dan Sirna
By: Koyuki17
Boboiboy © Monsta Studio
Chapter 20: Beku
Deru angin terus melanjutkan simfoninya bersama tumpukan salju yang merosot dari cabang-cabang pohon. Berada di atas lapisan salju yang terus bertambah tinggi membuat semua suara terdengar lebih jelas. Belum ada tanda-tanda kehadiran selain dari kelima remaja itu dalam bentangan Pilar Matra yang beku.
Cuaca hangat dan pijakan solid yang tak selalu meninggalkan jejak seketika tak ternilai harganya saat ini. Mereka tak ubahnya kelinci yang terdampar dalam cekaman musim yang keras. Yang dihadapi saat ini adalah cuaca ekstrem di mana seseorang tanpa perlengkapan apapun terkena hipotermia dan tak berdaya hitungan jam.
Dua hari telah berlalu dan misi mereka berjalan dengan lambat. Pilar terlihat seperti satu batang jarum yang menusuk bumantara kelabu. Mereka terus bergerak mengikuti arah barat, beberapa lembah dan bukit telah dilewati. Terasing dalam dunia yang dibelenggu oleh sunyi dan kelu.
Sebagai tim pengintai, Ying dan Fang telah menempuh jarak sekitar tiga kilometer lebih jauh dari posko mereka-sebuah gua alami yang cukup tersembunyi. Suatu keberuntungan sebelum malam akan datang bersama badai salju. Ying menggosok mata, sudah setengah jam ia menyapu pemandangan di sekitar yang tak berubah: hamparan bukit bersalju tebal dan deretan pohon pinus.
"Apa Ochobot tahu persis kita masuk ke dimensi dengan musim dingin seperti ini ya? Kantung tidur, matras, sampai pakaian khusus anti air juga." Ying menarik masker tebal agar menutupi hidungnya yang mulai mati rasa. Jika bukan karena semua perlengkapan musim dingin yang dibekali oleh Ochobot, entah bagaimana jadinya mereka.
"Tentu saja, tetapi tak pernah ada informasi lengkap tentang Penjaga Pilar. Kita harus mewaspadai mereka dan siap bertarung kapan saja." Fang terus mengarahkan teropong binokulernya pada ufuk barat, tepat di mana cahaya matahari menggantung sebelum sepenuhnya tak terlihat. Siang begitu singkat di sini.
"Soal Penjaga ... aku jadi berpikir apa justru mereka diam dan mengawasi?" mendadak Ying memeluk dirinya sendiri, pikiran gadis berkacamata itu mulai berkelana. Mereka selalu berhadapan dengan Pelahap Ingatan sejak detik pertama di Matra, situasi kali ini sangat asing untuk mereka.
"Yang aku tahu mereka lebih kuat dan berbeda dari Pelahap Ingatan, yang tak benar-benar memiliki kemauan sendiri." Fang berujar dengan serius. Tanpa Ochobot, mereka harus menganalisis pergerakan musuh yang sayangnya sampai saat ini masih nihil.
"Mereka... lebih kuat dari kita?" Ying menggigit bibir, kepalan tangannya masih saja mengeras. Kesempatan untuk berlatih kini menjadi sebuah kemewahan.
"Entahlah, Ochobot bilang, mereka yang kembali dari peretasan mengatakan hal yang sama." Wajah Fang menjadi masam, ia tak juga menurunkan teropong binokulernya untuk sejenk menatap lawan bicaranya. "Kekuatan penjaga bukanlah satu-satunya yang membuat mereka kalah dan terpaksa pulang."
"Maksudmu?"
Decak lidah disusul oleh helaan napas lelah Fang. "Coba kau diam sebentar."
Ying terpaksa diam saja sembari memicingkan mata. Hasratnya untuk memukul teman sokngaturnya hanya buang-buang tenaga.
"Akhirnya kelihatan juga," Fang bergumam dan sudut bibirnya naik. Ia menyodorkan teropong binokulernya pada sang Gadis, yang seketika disambar. Akhirnya Ying tahu apa yang dilihat Fang barusan.
"Pilarnya!" Ying berseru kegirangan, tentu saja dalam volume suara yang terkendali di antara keheningan di sekitar mereka.
"Kabut yang menyebalkan! Aku hampir berpikir kita benar-benar tersasar!" Fang lantas menyalakan alat komunikasi di kupingnya. Kini sambungan komunikasi menjadi lebih sepi tanpa presensi sang robot kuning.
Ini adalah kali pertama mereka melihat pilar dari jarak yang terbilang cukup dekat. Kurang dari radius kurang dari satu kilometer, menandai akhir dari perjalanan mereka menembus belantara pinus dan cemara. Bangunan itu rupanya menjulang pada sebuah cekungan tanpa adanya vegetasi tumbuhan apapun. Salju telah menumpuk dan menjadi lapangan luas nan putih.
"Kami sudah menemukan lokasi persis pilar. Dari posko, kurang lebih tiga kilometer." Fang mulai mencatat rute yang mereka lewati hingga di titik tempatnya berdiri.
"Kerja bagus!" Boboiboy menjadi orang pertama yang menyahut. "Lalu penjaganya sudah keluar?"
"Kalian belum bertemu musuh?" Yaya mengulangi dengan tak sabar.
"Sejauh ini belum ada yang keluar. Satu pun!" Ying sudah kepalang jemu dengan hasil pengintaian mereka dan ketidakjelasan di mana Penjaga Pilar.
"Jadi, kita lanjut bergerak lagi besok?" Gopal tak berhenti mengomel-ngomel sejak siang, suasana hatinya sedang tidak bersahabat. Hari ini dia sudah terperosok pada tumpukan salju berulang kali karena permukaan tanah dan bebatuan yang licin.
"Kali ini sudah kelihatan kok Pilarnya jadi tariklah kedua kaki malasmu itu." Fang menarik napas, menatap awan gelap yang semakin bergumul di atas mereka. "Badai mendekat. Kami akan mundur ke posko sekarang."
Lalu komunikasi pun berakhir.
"Huh! Cuma aku saja yang tak bisa bergerak kecuali jalan kaki biasa." Gopal masih bersungut-sungut. Ia sedang mengubah batang-batang kayu yang tak bisa terbakar menjadi wortel dan sayuran lainnya.
Posko telah dibereskan untuk siap dihuni malam ini. Boboiboy akhirnya bisa duduk berselonjor setelah membuat kamuflase sekaligus penahan angin di mulut gua. Tangannya sudah mati rasa sejak beberapa menit yang lalu.
Dengan berita barusan, seharusnya mereka bisa menuntaskan misi sebentar lagi. Namun musuh yang belum terlihat, bahkan di dekat Pilar membuat keningnya berkerut. Penjaga Pilar. Seberapa bahayanyakah mereka?
"Oke, saatnya menyiapkan makan malam, ya?" Yaya mulai bersenandung riang seraya meraih panci. "Untunglah aku membawa panci. Yang diberi Ochobot tak akan muat untuk merebus kari untuk kita semua."
Fokus Boboiboy pada lamunannya seketika buyar, "Eeeeeh, biar aku dan Gopal saja yang masak, Yaya!"
"Kenapa memangnya?" Yaya memasang wajah tak berprasangka sekaligus kebingungannya akan sikap kedua temannya yang panik.
Kalau Yaya sudah ikut campur masalah dapur, lidah dipastikan menjadi korban mengenaskan. Mereka kemarin hanya memanaskan makanan siap saji karena masih beradaptasi dengan kondisi. Kali ini, mereka memiliki kesempatan untuk memasak sesuatu.
"Kamu pasti lelah mengapungkan Gopal beberapa kali dengan kekuatanmu tadi kan, Yaya? Biar kami saja!" Boboiboy mulai mengiris kentang dan wortel. "Ya kan Gopal?"
Gopal mengambil panci dari tangan Yaya dan mengisinya dengan air dari botol besar persediaan mereka. Panci itu lantas diletakkan di atas punggung Boboiboy yang tengah membungkuk mengambil kotak berisi stok bumbu.
"Boboiboy, bertukar sekarang jadi Blaze!"
"Heh, elementalku memang api tapi nggak beneran jadi kompor lah!"
-CdS-
Siang hanyalah sekejap, seolah hanya singgah dan terempas oleh gulita. Di antara kecamuk badai salju di luar sana, sekali lagi mereka berkumpul mengelilingi api unggun yang disekat oleh bebatuan yang disusun melingkar. Masih ada waktu hingga makan malam mereka matang. Dalam keremangan di sana, Fang menggambarkan peta pada lapisan tanah tipis.
"Ada juga gua di sekitar sana. Kita harus mengamankan posko baru sebelum Penjaga muncul."
"Duh, lama-lama kita jadi manusia gua ya." Gopal berceloteh sambil mengaduk kari yang sebentar lagi matang.
"Hei, di sini belum pernah kita lihat bangunan. Mau berlindung di mana lagi memangnya?" Ying mendengus pada kawannya itu, tetapi ia dengan sukarela mengambil mangkuk dan sendok. Mereka hanya membawa satu tenda saja, dan tidak mungkin membiarkan dua orang dari mereka tidur di luar tenda.
"Yang penting, kita tetap harus istirahat dan makan dengan baik." Yaya menimpali sembari menyodorkan botol air minum. "Walau dingin, jangan lupa minum!"
"Nah, ayo makan semua! Stop dulu pembicaraan seriusnya atau makanannya jadi dingin!" Gopal lebih dulu mengisi mangkuknya hingga nyaris meluber.
Makan malam kali ini terasa berbeda dengan aroma rempah yang kuat. Begitu menyuap kuah berisi irisan sayuran dan potongan daging, untuk sekejap melupakan badai salju di luar sana.
Fang mengendus kepulan asap dari jatah makan malamnya terlebih dahulu. Setelah kerutan di keningnya menghilang, barulah ia memulai suapan pertama. Ia makan dengan lahap seolah tak makan beberapa hari. Berjam-jam berada di luar sana, tak ada yang mengalahkan kenikmatan dari hidangan yang menghangatkan perut.
"Fang, sini bentar!" sebelum Fang membalas, Gopal terlebih dulu menarik Fang dengan sikunya. Menyeret si kacamata dalam apitan tangannya. Gopal pun berbisik ke samping kuping kanan Fang.
"Pokoknya besok dan seterusnya, bantuin juga supaya Yaya tidak menyentuh dapur. Kau paham?"
Boboiboy dan Ying masing-masing memberi isyarat dengan sembunyi-sembunyi, sembari membalas ceramah cuaca ektrem Yaya dengan senyum terpaksa. Fang hanya mangut-mangut dan melepaskan diri dari cekikan Gopal. Untuk kali ini saja, kata-kata Gopal akan ia camkan baik-baik.
"Ssssstttt!" desisan Yaya dan berdirinya sang gadis seketika membuat semua orang diam dan menahan napas sejenak.
Semua sontak terperanjat, mengira teman mereka menyadari semua kode-kode sembunyi itu. Namun berikutnya sang gadis melirik ke arah mulut gua, lalu balik menatap sahabatnya yang kebingungan satu persatu.
Boboiboy refleks mengeluarkan pedang halilintarnya. Fang bersiap dengan mengumpulkan kekuatannya. Gopal mengacungkan sendok sayur dan mulai membalikkan badan ke segala arah sembari menahan suara histerisnya.
"Mu... musuh?" Ying berbisik pada temannya itu, tak berhasil menangkap satu pun tanda-tanda kehadiran yang mencurigakan.
"Kalian tadi dengar suara itu nggak?" tanya Yaya.
"Hah?"
Keempat kawan sang gadis saling berpandangan sembari kebingungan. Tak ada suara yang dimaksud.
"Nggak dengar apa-apa, tuh."
"Aku juga..."
Kuping dipasang lebih tajam lagi, tetapi tak ada suara aneh yang dimaksud. Seketika mereka mengendurkan otot yang dipaksa tegang barusan.
"Tadi ada suara anak kecil loh!" Yaya masih saja menunjuk ke arah pintu gua.
"Hiii! Jangan bilang itu arwah anak kecil gentayangan!" Gopal langsung bersembunyi di balik punggung Boboiboy.
"Emmm, bukannya seharusnya hanya ada kita dan Penjaga bukan?" Boboiboy menggiring opini logis yang ada. "Gopal, jangan tarik-tarik jaketku lah!"
"Yakin bukan anak yang mati membeku dan masih minta tolong?" Gopal malah makin histeris dengan imajinasi yang meliar.
"Kau kebanyakan nonton film horror tuh." Ying memberi tatapan sinis. "Penjaga sudah muncul. Iya kan Fang?"
"Kemungkinan besar." Fang menghabiskan makanan yang tersisa dengan terburu-buru."Untuk berjaga-jaga aku yang piket malam duluan."
"Biar aku saja! Kita sudah membagi tugas dan itu kesepakatan bukan?" Yaya memprotes keras. "Kalau dia muncul, aku siap melawan!"
"Mereka itu tidak boleh dilawan sendiri." Fang sebenarnya ingin menolak, tetapi tak ada gunanya mendebat ketua kelas mereka itu yang terkenal cukup keras kepala. "Bangunkan semua saja begitu dia datang."
"Gopal, ini juga jadwalmu juga kan?" celetuk Ying sembari nyengir.
"Ish! Jangan ingatkan mereka lah!" Gopal sengaja diam barusan dengan harapan tak ada yang ingat.
"Kalau ada suara aneh lagi, langsung bangunkan kami, oke?" ucap Boboiboy dengan wajah sedikit tegang. "Atau aku juga ikutan saja?"
"Sudah, simpan tenagamu untuk besok, Boboiboy!" Yaya kembali meyakinkan.
-CdS-
Apa musuh memang sudah sedekat ini? Apa mereka adalah entitas superior yang bahkan tak terhalangi oleh terjangan angin, es, dan juga suhu di bawah titik beku?
Boboiboy tak kunjung mengantuk, dugaan demi dugaan terus bermunculan sejak ia menutuo mata. Obrolan pelan Yaya dan Gopal bahkan samar-samar terdengar. Ia melirik arloji dan menghela napas begitu tahu masih ada satu jam lagi sebelum giliran piketnya tiba.
"Firasatku nggak enak begini..." Boboiboy membalikkan badan dan mencari posisi tidur yang lebih nyaman. Tangannya mulai kesemutan dan kakinya pegal karena lama menekuk.
Ia sempat melirik Fang yang tidur membelakangi mereka semua. Sepertinya Fang sudah terlelap, tapi entahlah. Boboiboy sempat memejamkan mata dan tertidur sebentar. Ketika ia berguling ke posisi awal yaitu menghadap Yaya dan Gopal, Boboiboy sempat terbangun. Tempat di mana Yaya duduk barusan kini kosong. Hanya ada Gopal yang mulai ngorok di sisi lain api unggun.
Karena kantuk, Boboiboy kembali memejamkan mata. Sempat terpikir kenapa Yaya tak ada di tempatnya barusan. Pikirannya lama memproses, sebelum pada akhirnya Boboiboy tersadar sepenuhnya.
"Celaka!" Boboiboy keluar dari sleeping bag-nya dan berteriak panik. Lima detik ia memastikan bahwa Yaya benar-benar tak ada di manapun di dalam posko mereka sekarang.
"BANGUN SEMUA!"
Seruan lantang itu memanggil Fang dan Ying dengan segera. Hanyalah Gopal yang masih terlelap, mengerutkan kening dan mengigau sebagai bentuk protes.
"Musuh?!" Ying mengusap wajahnya dan memasang kacamata. Walaupun badan masih agak limbung, ia tetap bangkit dengan sigap.
"Yaya menghilang!" Boboiboy mengenakan jaket tebalnya lalu memakai sepasang sepatu bot dengan tergesa. "Seharusnya belum lama, tadi aku ketiduran sebentar!"
"Tsk! Gopal!" Fang menarik Gopal dari sandaran sekaligus mimpinya. "Yaya! Kau tadi sadar nggak Yaya ke mana?"
"Hah... Yaya di..." Gopal menunjuk tempat di depannya yang kosong melompong. "Lah?!"
"Yaya nggak pakai jaket luarnya, ke mana dia?" suara Ying bergetar, ia menahan tangisannya sebisa mungkin.
"Kita harus mencarinya!" Boboiboy mengaktifkan kekuatannya dan berpecah tiga: Halilintar, Taufan, dan juga Solar.
"Oke, aku yang akan diam di sini untuk mempertahankan posko." Solar langsung mengambil alih komando. "Supaya cepat, kalian harus menyebar dan menyisir dari gua ke segala arah."
"Kalau siapapun sudah menemukan Yaya, langsung kirimkan sinyal cahayamu itu." Halilintar menimpali lalu melirik empat orang selain dirinya. "Semuanya siap?"
"Dey, aku ikut jaga posko dong!" Gopal meringis, tak ingin menembus badai salju di tengah gulita.
"Hei, kalau kau nggak ketiduran, kita nggak akan seperti ini! Ikut tanggung jawab lah sedikit!" Ying menampar punggung Gopal, menyalurkan emosinya yang semakin campur aduk.
Tanpa menunggu lama, mereka mulai membagi tugas dan bergerak menjauhi posko. Masih menjadi pertanyaan, kenapa teman mereka tiba-tiba menghilang.
Apakah Penjaga datang dan menculiknya diam-diam?
Tak ada jejak untuk diikuti. Yaya seolah lesap bersama badai di luar sana.
Bukan hal yang mudah menemukan seorang gadis di antara badai salju. Terlebih lagi malam hari, dan tak ada nyala lampu seperti halnya di kawasan penduduk. Hampir lima belas menit pencarian belum membuahkan hasil. Sementara empasan salju dan udara beku mulai menjalari ujung-ujung tubuh.
Yaya mematikan alat komunikasinya dan mereka benar-benar kehilangan petunjuk. Selama empat puluh menit komunikasi di antara mereka hanyalah ungkapan khawatir, bingung, dan terakhir adalah keluh kesah tentang cuaca yang memburuk. Mereka hampir putus asa, semakin lama menerjang badai akan sangat mematikan.
Di saat itulah satu teriakan membakar semangat mereka kembali. Taufan menemukan Yaya dan mulai berlari menghampiri sang gadis.
"Yaya! Yaya!" Taufan memanggil, namun Yaya tak meliriknya. Gadis itu terus berjalan ke depan. Mungkinkah badai membuat suara Taufan teredam?
"Kalian ada di mana?!" Fang dengan segera memanggil beruang bayang dan naik ke atas hewan itu. Ia mencoba mengingat ke arah mana Taufan bergerak dari posko.
"Di ujung hutan Pinus. Yang banyak lereng dan jurang itu!" Situasi gelap membuat Taufan kebingungan mendeskripsikan. Ia menyipitkan mata, senter di kepalanya memendarkan cahaya lemah. Kegelapan di depan Yaya membuatnya tak nyaman. Taufan menaiki hoverboardnya dan menyusul secepat mungkin.
"Kau perlu bantuan?" tanya Halilintar. Sama seperti Fang, ia bergerak mendekati arah yang disusur oleh Taufan.
"Yaya baik-baik saja?" Ying tak lupa menanyakan hal yang penting.
"Sepertinya nggak apa ..." Taufan nyaris tersedak oleh ludahnya dan ia "Tunggu, Yaya!"
Di depan Yaya rupanya buntu, sebuah tebing yang cukup tinggi. Yaya tak menghiraukan Taufan dan berjalan lurus ke sana. Taufan sampai di belakang Yaya dan mencoba menariknya menjauh dari tebing itu. Awalnya ia berhasil, tetapi Yaya mengaktifkan kekuatannya dan ia membuat Taufan tergelincir dari hooverboard.
"Ada apa?" kini Fang mulai panik.
"Ini aneh ... Yaya nggak mau berhenti dan nggak menjawab!" Taufan bangkit dan menarik tangan Yaya sekuat tenaga. "Di depan itu jurang!"
"Taufan! Yaya!" Teriakan dari belakang seketika membuat sang elemental angin mengeluarkan tenaganya semakin kuat.
Halilintar dengan segera membantu Taufan dan mereka berhasil menarik Yaya menjauh dari bibir jurang. Tanpa mereka tahu, sang gadis telah pingsan begitu mereka menariknya hingga jatuh.
"Ha... hampir saja." Baik Halilintar dan Taufan sempat melirik bagaimana jurang itu dalam dan bagian bawahnya adalah bebatuan tepi sungai yang kasar.
"Yaya sudah aman." Taufan sedikit terengah, ia merasa tenaganya telah tersedot habis tak bersisa dan ingin menjatuhkan lututnya ke tanah. "Semuanya, ayo kembali lagi."
Solar menghela napas lega, lalu tangan kanannya teracung ke atas. Satu tembakan cahaya menjadi mercusuar yang memanggil semua kawannya untuk kembali.
Dini hari, mereka semua pada akhirnya terjaga dan mengelilingi api di dalam posko. Pakaian yang basah telah dilepas dan dijemur dengan bentangan tali darurat. Semua selimut darurat telah digunakan dan cokelat panas telah didistribusikan.
Yaya telah siuman, dan ia kebingungan begitu menjadi pusat atensi keempat kawannya. Masih menjadi sebuah misteri memang, apa yang ada di pikiran Yaya sampai berjalan lurus ke tepi tebing tanpa ada niatan menggunakan kekuatannya untuk terbang alih-alih berjalan kaki.
Setelah tak ada satupun dari mereka basah ataupun kedinginan, barulah Fang yang membuka obrolan.
"Jadi, apa yang terjadi barusan?" Fang melempar lebih banyak kayu pada api, membuat percikan cahaya singkat di udara.
"Aku mengikuti suara yang kubilang barusan." suara Yaya lebih pelan dari biasanya, lalu ia berpikir keras. Kening sang gadis nyaris bertaut tetapi tak ada lanjutan dari ucapannya barusan.
"Lalu... kau beneran ketemu hantu itu?" Gopal masih bersikukuh dengan teori hantu gentayangannya.
"Ish! Kau ini!" desis Ying kehilangan kesabaran.
"Bukan... aku yakin itu bukan hantu." Kusut muka Yaya belum sirna selagi ia menjawab.
"Kau yakin itu adalah Penjaga?" Boboiboy mencoba mengarahkan pada kemungkinan yang paling masuk akal.
"Hmm... tapi aku merasa seperti kenal anak itu siapa."
Misteri rupanya malah semakin kentara alih-alih terpecahkan. Masih ada waktu sebelum besok pagi mereka harus bertolak menuju Pilar Matra pertama.
-CdS-
"Menurutmu, apa ada yang aneh dengan Yaya?" Boboiboy berbicara dengan pelan walau ia dan Fang berjarak lima meter di depan teman-teman mereka yang lain.
Setelah menyimpan beberapa perbekalan yang berat di posko baru, mereka berjalan beriringan menuju Pilar. Dengan kekuatan tempur paling maksimal tentunya.
"Jelas aneh. Penjaga sudah muncul." Fang mempercepat langkahnya dan meninggalkan Boboiboy. "Waspadai tingkah Yaya. Aku punya firasat buruk soal ini."
Boboiboy sejenak berhenti sembari memalingkan muka pada Yaya dan Ying, serta Gopal yang berjalan menyusul di paling belakang. Ia melihat gerak gerik sahabatnya itu dan belum menemukan hal aneh. Mereka semua kelelahan dengan lingkungan yang ekstrem ini, dan mulai mencurigai temannya itu membuat Boboiboy sedikit merasa bersalah.
"Pilarnya tak jauh lagi kan dari sini, Ying?" Boboiboy tersenyum canggung. Perkataan Fang masih mengusiknya.
"Yup! Tuh kelihatan setelah kita mengitari bukit ini!" Ying melirik ke belakang seraya memanggil satu sahabat mereka. "Gopal, yang cepat jalannya! Sebentar lagi sampai, kok!"
"Semoga kita nggak ketemu musuh apapun di sanaa!" Gopal mengacungkan kedua tangannya seolah menjadi kaum yang telah lama mengharapkan hujan turun dari langit.
Pilar pertama seperti terbuat dari mineral aneh yang tak mereka kenal: berwarna keperakan tetapi lebih jernih sekaligus semi transparan. Sesekali, beberapa cahaya putih merambat dari bagian pasak menuju atas, yang tak terlihat di mana ujungnya. Dengan diameter setidaknya sepuluh meter, mereka memiliki pekerjaan yang lumayan berat.
"Pertama, kita cek seberapa kuat materi pembentuk pilar ini. Yaya, kau bisa coba pukul sekuat mungkin."
"Serahkan padaku!" Yaya memfokuskan sinar sekaligus kekuatannya pada tinju kanannya sebelum melepaskan pukulan. "Hiyaaah!"
Dentuman cukup keras memecah kesunyian, dan getaran kuat terasa hingga radius sepuluh meter. Kepulan asap di sekitar pilar pun menipis, dan mereka bisa melihat retak sebesar bola basket berada.
"Keras betul!" Ying ikut meringis melihat Yaya mengibas-ngibas tangan kanannya.
"Hmph! Bukan masalah!" jari-jari tangan Gopal membentuk senapan andalannya. "Tukaran makanan!"
Tembakan kekuatan Gopal melesat ke permukaan Pilar, tetapi detik itu juga memantul ke arah kiri mereka. Tumpukan salju di sana berubah menjadi eskrim tiga rasa.
"Eh, kok bisa?!"
"Berarti kemampuanmu nggak mempan ya." Fang menyuruh Gopal untuk mundur.
"Kalau begitu, kita bergantian menyerang. Yaya dan Ying, lalu aku dan Fang. Sisanya, jaga-jaga kalau ada Penjaga yang muncul!" Arahan Boboiboy disambut anggukan para sahabatnya.
.
.
.
Senja tak terasa kembali, dan matahari sudah akan tenggelam di balik Pilar. Sementara itu, gumul awan kelabu pertanda badai sudah hadir dari arah timur. Tak lama lagi, mereka harus kembali bernaung di posko. Satu hari kembali menjelang akhirnya namun Boboiboy merasa kemajuan mereka sangat lambat.
"Kita... belum mencapai setengahnya?" Boboiboy membungkuk, menahan beban tubuhnya dengan sanggan tangan pada kedua lututnya. Dadanya naik turun dengan cepat, semua tenaga yang tersisa telah terkuras setelah ia berpecah beberapa kali hari ini.
"Belum... terbuat dari apa sih benda ini?" Tak berbeda dari Boboiboy, Fang pun sudah dalam batas tenaga sekaligus kesabarannya. Sementara itu, Pilar tanpa Penjaga tak bisa dihancurkan dengan kekuatan mereka yang dipadukan..
"Kita sudah berupaya sekeras mungkin." Yaya mengulurkan tangan dan menarik Boboiboy untuk bangun. "Kita lanjutkan saja besok."
"Boboi..! Fa-" sebuah suara terinterupsi sinyal lemah masuk ke sambungan komunikasi mereka.
"Ochobot!"
Mereka berempat bukan kepalang bahagia mendengar suara robot kuning itu kembali.
"Kami sudah menemukan Pilar pertama Ochobot! Tapi keras betul sampai setengah hari pun, kita belum berhasil menghancurkannya!" Ying langsung memberikan laporan ringkas.
"-pi kalian bagaimana? Baik-baik sa- ... sana?" tanya Ochobot.
"Baik-baik saja. Di sini cuacanya dingin sekali. Untung perlengkapan darimu lengkap Ochobot!" Jawab Yaya.
"Maaf Ochobot, kami harus pergi dari sini. Sebentar lagi badai salju akan datang!" Ying menggigit bibir, mereka ingin lebih lama bercerita tetapi diam di sana hanya akan membuat mereka mati kedinginan. Cuaca tidak boleh diremehkan di dimensi yang satu ini.
"Baiklah, kalian sudah menemukan tempat berlindung?" akhirnya suara robot kuning itu lebih jelas lagi.
"Sudah, kok!" Boboiboy mengawasi awan-awan yang kian mendekat. "Nanti hubungi kami lagi ya!"
"Ayo cepat!"
Boboiboy baru saja hendak berlari, tetapi seseorang menarik lengan jaketnya. Fang yang ada di belakang, memberi tatapan tajam dan isyarat supaya Boboiboy diam.
"Ochobot?" Panggil Fang.
"Ah, tunggu sebentar!" Ochobot terdengar sibuk mengetik sesuatu sebelum menjawab. "Sudah aman, sebentar saja."
"Ini hanya antara kita bertiga." Fang melirik Boboiboy. "Ada yang aneh, Penjaga Pilar tak muncul di sini tapi ia menghampiri dan menjebak Yaya semalam."
"Boboiboy! Fang! Cepat hei!" Ying berteriak memanggil, gadis itu baru sadar kalau kedua orang itu tertinggal di belakang.
"Kami akan segera menyusul!" Boboiboy melambaikan tangan lalu memberi isyarat supaya yang lain tetap maju.
"Penjaga Pilar seperti i ... sangat lici-." Sinyal mulai melemah. "Mereka tak menyerang terang-terangan. Mereka akan kembali malam ini, berhati-"
"Ochobot?"
"Dia... sudah mempengaru- ... Yaya. Jangan le-"
Sambungan lemah itu akhirnya sirna, baik Boboiboy dan Fang saling berpandangan. Tepat seperti dugaan mereka, musuh sebenarnya telah menyerang dan hanya saja mereka tak menyadari bahaya apa yang segera datang.
-CdS-
Baik Boboiboy maupun Fang terus mengawasi gerak-gerik Yaya malam itu. Sekali lagi, belum ada tanda-tanda yang aneh. Mereka memastikan pakaian mereka kering dan hangat lalu makan malam seperti biasanya. Tibalah waktu untuk tidur dan Boboiboy semakin gelisah, ia mengajukan diri untuk piket bersama Yaya tetapi usulannya ditolak.
"Tenang saja, akan kupastikan nggak akan ketiduran seperti Gopal!" Ying mengacungkan jempol seraya meyakinkan. Mereka hanya berlima, dan jadwal piket mereka cukup ketat memang supaya semua mendapat waktu tidur yang cukup.
Fang memberi isyarat pada Boboiboy untuk tidak memaksa atau ia akan dicurigai. Mereka bergegas berbaring di dalam sleeping bag, berpura-pura tidur lalu menunggu. Lima menit. Tiga puluh menit. Layaknya pemancing yang bersabar hingga mata kailnya disambar.
Lalu momen yang ditunggu-tunggu pun tiba.
Seperti makan malam tempo hari, Yaya tiba-tiba saja berdiri. Sang gadis melirik mulut gua dan tak menjawab pertanyaan dari Ying. Boboiboy berbalik dan bangun, tepat ketika Yaya mulai menggunakan kekuatannya dan ia melayang di udara.
"Yaya!" Ying berlari panik begitu Yaya melesat keluar. Gadis itu mengaktifkan kekuatannya dan lantas menyusul tak kalah cepat.
"Gopal, bangun! Yaya pergi lagi!" Boboiboy menampar pipi temannya itu sampai kedua matanya terbuka.
Fang mengaktifkan kekuatan bayangnya dan mempercepat kelajuan. Boboiboy telah bertukar menjadi Halilintar. Badai salju sedikit mereda di luar sana, setidaknya mereka takkan mudah tersesat seperti kemarin.
"Eh, jangan tinggalin aku lah!" teriak Gopal.
"Jaga posko! Jangan ke mana-mana!" perintah Boboiboy sebelum melaju dengan kecepatan kilatnya.
.
.
.
Hanya perlu lima menit sampai siluet familier terlihat di antara dua pohon pinus yang menjulang tinggi.
"Yaya!"
Teman yang dicari kini berdiri mematung, memandang kosong ke arah bukit di kejauhan. Ia melirik Boboiboy dan Fang yang baru tiba, kedua matanya berkaca-kaca.
"Yaya! Kau mau ke mana lagi sih?" Fang menyodorkan jaket Yaya yang sekali lagi ia tinggalkan begitu saja barusan.
"Adikku ada di sini, Fang! Dia memanggilku dan bilang kalau di rumah ibuku sedang sakit." Yaya menunjuk ke arah bukit sambil menangis. Fang menghadang dengan badan, tetapi Yaya berusaha menghindar.
"Tunggu, Yaya˗" Boboiboy terpaksa menahan tangan Yaya, mencegahnya agar tidak beranjak ke manapun. Pemuda itu mengaduh begitu ia melihat sinar merah muda dan kakinya yang mulai terkunci.
"Adikmu tak ada di sini! Kita sudah meninggalkan mereka di dalam Matra sana!" seru Fang tak habis pikir. "Mereka sudah tak ingat kita sekarang!"
"Tapi itu benar adikku! Dia menangis, memintaku untuk pulang!" Yaya masih mencoba melepaskan diri.
"Tenang dulu, besok kita tanyakan dulu ke Ochobot di dekat Pilar, Oke?" Boboibok membujuk, dan perlahan kekuatan gravitasi Yaya hilang. Gadis itu mengangguk dengan lemas.
"Tunggu ... Ying di mana?!" baru saja Fang berteriak, orang yang dimaksud datang dari bayang-bayang pepohonan di sebelah kiri mereka.
"Orang itu ... kabur." Ying melapor dengan napas yang sedikit terengah-engah. Entah berapa jarak yang baru saja ditempuhnya barusan.
"Orang itu? Maksudmu Pejaga?" Boboiboy nampak kebingungan dengan pilihan kata temannya.
Ying melempar muka, menghindari kontak mata. Ia melihat ke tempat asalnya muncul barusan dan memberikan gelengan sebagai jawaban satu-satunya.
.
.
.
"Ilusi. Jelas Penjaga membuat ilusi." Fang menyalurkan amarahnya pada kayu-kayu bahan bakar hingga gemeretak terdengar beberapa kali.
Dua kali istirahat malam mereka terinterupsi. Jika ini terus berlangsung, mereka lama-lama akan menggila karena kekurangan tidur. Boboiboy dan Fang langsung melanjutkan piket dan kedua gadis itu didepak untuk segera beristirahat.
Tetapi keduanya masih duduk melamun memandangi lidah-lidah api unggun. Bahkan Gopal, yang sebenarnya setengah memahami apa yang terjadi, segan untuk tidur.
"Kau tidak melihatnya. Itu benar-benar adikku, Fang!"
Fang kali ini melotot, urat di wajahnya mulai terlihat. "Kau hampir membuat kita mati membeku di luar sana!"
"Kalau kita pulang dulu bagaimana?" Yaya mengalihkan pembicaraan pada permintaan yang sulit.
"Kau mungkin lelah saja Yaya." Boboiboy mencoba meredakan amarah Fang yang sebentar lagi meledak pada tahap yang tak sehat."Kita hanya bisa kembali satu kali, saat darurat saja. Pikirkan dulu baik-baik."
Boboiboy mengerutkan kening, aneh rasanya ketika ia melontarkan kata-kata barusan.
"Itu Penjaga! Mereka mencoba menjebakmu." Fang mencoba menurunkan tensi suaranya.
"Tapi ... bagaimana kalau itu ternyata benar?" celetuk Ying.
"Maksudmu?" Boboiboy makin pusing. Arah pembicaraan mereka sungguh tidak menyenangkan.
"Kita kan terus ada di sini. Bisa saja di sana, orang tua kita kenapa-napa." Ying memutar-mutar kepangan rambutnya dengan gelisah. "Tak ada salahnya kalau kita pulang sebentar bukan?"
"Kalian ini kenapa, sih?" Gopal meringis, sepanjang mereka berteman, belum pernah situasi seperti ini terjadi.
Fang tertawa sinis. "Kalau kita gagal karena kekhawatiran tak beralasan ini, tamat sudah! CAMKAN itu baik-baik!"
.
.
.
Fajar hampir menyingsing, dan kini giliran Gopal menggantikan Boboiboy untuk berjaga. Boboiboy sebenarnya tak ingin tidur, hanya meringkuk sembari tenggelam dalam pemikirannya tentang obrolan barusan.
Boboiboy dibangunkan oleh Fang, tapi ia meminta waktu sebentar karena matanya masih perih. Ia terlelap sebentar, lalu suara langkah kaki yang mendekat perlahan membuat Boboiboy terlonjak kaget.
"Ah!" Yaya membungkuk di dekat Boboiboy. Tangannya yang terjulur kini ditarik dengan cepat.
"Loh, ada apa Yaya?" Boboiboy menggosok mata, sedikit kebingungan melihat gadis itu tahu-tahu ada di dekatnya.
"Eh? Tidak ada apa-apa." Yaya berbalik pergi dan menyapa Ying serta sarapan yang sedang dibuat olehnya.
Gelagat Yaya seperti sedang diam-diam mencari sesuatu, Boboiboy entah mengapa yakin seperti itu. Boboiboy mulai mengamati apa saja yang ada di sakunya dan apa yang dia kenakan. Ia berhenti begitu melirik arloji kekuatannya. Ada chip yang bisa membawa mereka pulang di sana, dia masih ingat dengan jelas. Seketika itu juga bulu kuduk Boboiboy meremang.
Siapa musuhnya sekarang?
.
.
.
Berlanjut pada chapter 21: Jejak
A/N: Terima kasih bagi yang masih bersedia membaca ini, walaupun realisasi untuk menamatkan FF ini dengan segera belum juga terlaksana.
Tahun 2023 tahu-tahu berlalu, dan sejak September semakin sulit untuk rutin menulis di tengah tuntutan pekerjaan yang semakin banyak.
Saya masih menyimpan plan chapter-chapter selanjutnya, semoga bisa dirampungkan satu persatu menyusul chapter ini.
Sekali lagi, terima kasih dan sampai jumpa lagi~
