Disclaimer: All characters belong to Hajime Isayama. Walking Back Home (c) Vira Talisa. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it.

Warning: modern!au, miss typo(s), and other stuffs.

Note: pokkopiku slight jikupiku in the background. hi hello long time no see huhu. thanku for always having me and ofc thanku for reading! :)


.

.

walking back home

.

.


intro;

Suatu waktu, Porco pernah merutuki ketukan pintu apartemennya karena suara itu datang di antara lelap-lelap tidurnya yang hampir sampai pada tujuan paling dasar. Keningnya yang sudah mengerut permanen makin ia tekuk ketika pada akhirnya tubuhnya memilih bangkit, dengan sedikit—banyak, sesal dan kesal mengapa tak dari dulu ia buat kunci serep—pengganti, selain kunci utama yang memang hanya satu ini.

"Please, Bang," ia mengeluh ketika itu, merepet pada Zeke Yaeger—senior satu apartemennya yang sudah hampir dua tahun berbagi tempat tinggal bersamanya. "Tolonglah, perbaikin jam pulang lo ini."

Dan Zeke hanya akan terkekeh, menghadiahkan satu kepal pukulan main-main pada bahu Porco, menutup pintu di belakang mereka dan mengujar maaf seringan asap-asap yang berembus dari rokok di selipan bibirnya. "Tadi nganter Pieck dulu ke indekosnya. Keterusan, deh."

Porco hanya merotasikan netra. Acara tidur malamnya sudah pasti akan bersubtitusi dengan acara makan snack bersama Zeke, menonton pertandingan sepak bola dari tim yang tidak terlalu mereka suka, dan berakhir dengan cigarettes talks di balkon kamar mereka.

Tapi, malam ini berbeda.

Porco mendengar satu ketukan di antara bunyi tak-tik keyboard laptopnya yang menyala. Ketukan itu berbeda, tidak seperti ketukan Zeke yang memaksa dan terburu-buru. Ketukan itu tenang, dan hanya sekali berepetisi. Porco menatap sudut laptopnya, masih pukul tujuh malam. Belum waktunya Zeke pulang dari kantor. Jam kerja seniornya itu memang berbeda dengan jam kerjanya sendiri yang lebih fleksibel. Porco bisa check out presensi kantor dari pukul lima sore. Lebih cepat dua setengah jam dibanding Zeke yang memang punya job desk lebih banyak—tentu juga lebih menjanjikan dari segi salary. Tapi, toh, ini proses. Mungkin, mungkin, Porco akan sampai di tahap itu ketika usianya setara dengan Zeke.

Menghela napas pelan, Porco meninggalkan laptopnya ketika ketukan itu terdengar lagi. Mungkin petugas laundri datang membawa baju-baju mahal Zeke, atau petugas water heater yang ia hubungi semalam karena beberapa kali mesinnya tak menghangat, atau, atau—

Ia membuka pintu.

"Hei, Porco."

Pieck Finger berdiri di sana.

Ia tak begitu sering bertemu Pieck, selain dari pertemuan mereka yang tak pernah lebih dari sekilas. Selain dari cerita-cerita Zeke. Atau satu-dua kali cerita Annie dan Reiner yang sempat satu unit kampus dengannya dulu. Juga, dari Eren yang sering memuji betapa beruntung abangnya mendapatkan Pieck yang cantik, baik, cantik, cantik, cantik.

Terlalu banyak adjektif cantik di kepala Porco. Dan malam ini, diam-diam ia pun merapalkannya ketika menatap langsung kepada sosok itu.

"Oh, hai Pieck," Porco sedikit kehilangan fokus, namun segera melebarkan pintu apartemennya. "Bang Zeke belum pulang, biasanya sekitar jam delapan sampai sini."

Ia menatap Pieck lagi, tersenyum agak ragu.

"Mau ... nunggu di dalam?"

Mata Pieck berwarna cokelat. Sangat cantik. Namun bukan itu yang Porco pikirkan.

Pieck hadir dengan tatap-tatap gamang, sebagai sosok baru yang ia bukakan pintu, ia tatap dalam batas-batas tak biasa. Ada rahasia yang ia simpan pada tatap itu. Pada mata yang telanjur menelannya jauh kepada dasar pemikirannya. Cantik, sendu, melenakan.

"Sure, thank you, Porco."

Porco memegangi dadanya.

.


refrain;

Malam itu, Pieck hanya berkunjung sebentar. Sebab Zeke tetiba hadir tak lama kemudian, sebelum waktu menunjukkan pukul delapan. Mungkin mereka memang sudah berkomunikasi, bahwa Zeke akan pulang lebih cepat. Tapi, bukan itu. Porco masih merasakan detak-detak pada jantungnya ketika Pieck berdiri dari sofa dan pamit, menyisakan padanya satu senyum di mata yang tak pernah Porco sadari bahwa senyum itu begitu cantik, dan penuh akan makna. Zeke menghilang sekilas ke balik pintu kamarnya sebelum kembali masih dengan setelan kantor yang ia gulung lengan-lengan tangannya.

"Keluar sebentar, ya, Pock."

Dan Porco tak sempat mengucap, "Hati-hati, Bang," sebab Zeke sudah menghilang dari balik pintu apartemen mereka. Dengan debuman yang agak sedikit kasar, dan langkah yang sedikit tergesa sehingga Porco harus mendengar beberapa langkah heels Pieck yang sedikit berlari mengikuti lelaki dewasa itu di belakangnya.

Something's fishy.

Zeke yang Porco tahu adalah lelaki penyayang dan pencinta public display of affection. Ia tak akan pernah meninggalkan Pieck bahkan selangkah di belakangnya. Ia akan menggenggam jemari itu, berjalan di sampingnya alih-alih di depan atau di belakang. Ia tak segan merangkul bahu mungil wanitanya, mengacak rambut hitamnya, dan mencuri satu-dua kecup di pipi atau sudut bibir.

In a world of boys, he's a gentleman, kalau Sasha dan Annie bilang.

Hingga dua minggu berikutnya, pintu apartemennya kembali lagi diketuk pada jam-jam sore hari.

Porco tak sedang memanggil petugas water heater, dan laundry Zeke baru saja diantar kemarin malam. Jadi, ia tak sekaget hari sebelumnya ketika lagi-lagi, ia temukan sosok cantik Pieck di balik pintu apartemen itu.

"Hei, Porco," ujarnya terlampau kasual. Seolah Pieck sudah sering mengucapkan itu di hari-hari sebelumnya.

Porco mengedip sekilas, ia uarkan satu senyum kecilnya. "Bang Zeke belum pulang."

Di hadapannya, Pieck membalas senyumnya, hanya sekilas, tak sampai di mata. "I know. Aku bukan mau ketemu Zeke," ujarnya lagi. "Aku mau ambil barang-barangku yang ada di sini."

Ada banyak tanya yang menguar dalam kepala Porco; Apa? Kenapa? Bagaimana? Tapi logikanya lebih dulu mengambil alih dan ia pun hanya mengangguk penuh afirmasi, membiarkan Pieck kemudian masuk lebih dalam ke kamar Zeke di seberang kamarnya.

Ia menunggu di ruang tamu. Dari pintu kamar yang terbuka, Porco menatap pergerakan Pieck yang perlahan namun pasti. Ia terlihat membuka lemari, membuka tumpukan organizer, membuka kotak-kotak folder, menarik satu kardus. Seingat Porco, perempuan itu sudah empat tahun menjalin hubungan dengan Zeke, ada terlalu banyak hal yang mereka bagi bersama. Ada terlalu banyak hal yang Pieck titipkan pada seniornya itu. Bahkan ketika untuk pertama kali Zeke menawarkan Porco untuk pindah ke apartemennya, ada banyak sekali Pieck di sudut apartemen ini. Jadi, meski intensitas dan kuantitas pertemuan mereka tidak bisa dibilang sering, namun ada beberapa hal yang Porco pahami tanpa sadar tentang Pieck.

Sama seperti ketika pada akhirnya Pieck keluar dari kamar Zeke, membawa satu kardus besar berisi tumpukan barang yang dipaksa masuk ke dalam dasarnya, dengan tipikal wajah yang selalu Porco ingat—senyum-senyum itu, mata indahnya, wajah sayunya yang melembut; refleks, ia mendekat dan mengulurkan tangannya.

"Boleh gue bantu?"

Mata Pieck sedikit kehilangan fokus, ia tersenyum sekilas dan menjawab ragu, "Eh—makasih, Porco."

Porco hanya mengangguk singkat, pada akhirnya, berjalan mengiringi Pieck di sampingnya.

Perempuan itu begitu mungil, ia refleks mengingat ujar-ujar canda Zeke yang memanggilnya kecil, kecil; My Dear Little Pieck. Sebab di sampingnya saja Pieck tak lebih tinggi dari bahunya. Porco sedikit berdeham ketika menyadari ia memandangi Pieck terlampau lama. Dari samping, ia melihat figur wajah perempuan itu yang terbentuk sempurna, lentik bulu matanya yang cantik, hidungnya yang melengkung manis. Rasanya sangat ilegal sebab seseorang bisa begitu menarik dari sudut mana pun seperti ini.

Ketika mereka sampai pada koridor apartemen, pada akhirnya Pieck kembali berbicara.

"Nanti sampai lobby aja, ya, Porco. Aku pesan taksi dari sana." Wajahnya menoleh kepada Porco, tersenyum sangat tulus. "Thanks, by the way, udah dibantuin."

"Anytime, gue juga lagi kosong, kok." Porco berusaha membalas senyum itu. Meski dadanya berdebar tanpa alasan, meski kardus ringan di tangannya mendadak terasa begitu berat sebab senyum Pieck yang melenakan. "Kenapa nggak nunggu Bang Zeke?"

Ada jeda lama ketika akhirnya Pieck mengalihkan tatap dan memudarkan sedikit senyumannya. Mata itu melembut, menatap pada langkah-langkah lebarnya yang berusaha menyeimbangi langkah Porco. Porco kini tak bisa mendengar apa-apa lagi selain onomatope tap tap langkah mereka. Menyusuri koridor panjang dan menjangkau elevator. Menautkan atensi ketika pada akhirnya Pieck kembali menoleh dan menatapnya lagi.

Kali ini, tidak dengan senyum-senyum itu.

"Actually, Porco," ujarnya lamat. Kemudian melanjutkan. "We're broke up two weeks ago."

Senyap hadir setelahnya. Seperti ada sesuatu yang terbang di atas kepala Porco, kemudian beralih ke dalam perutnya. Membuatnya gamang, kosong, namun tanpa sadar makin berdebar aneh. Ia tatap mata Pieck di sebelahnya, mencari-cari kepada mata cokelat yang sedikit kehilangan binar-binarnya. Namun tetap cantik. Cantik, cantik, cantik. Adjektif yang tak pernah hilang dari kepala Porco tentang Pieck dan segalanya. Segala hal tentangnya.

Dan kemudian, segalanya terjadi begitu saja.

Porco berhenti beberapa langkah di depan elevator. Ia letakkan kardus di tangannya sesaat di lantai koridor. Kemudian, ia hadapkan tubuhnya kepada Pieck di sana.

"Pieck, cancel taksinya, ya?"

Pieck membeku dan menggeleng kecil, "... kenapa?"

Ketika menjawab, Porco tak ingin memikirkan apa-apa lagi. Ia tak ingin memikirkan dadanya yang semakin berdetak kencang, tatap-tatap Pieck yang menggamang dan semakin bingung, suara elevator yang berdenting, langkah orang-orang yang keluar setelahnya, dan Zeke, terutama Zeke. Ia tak ingin memikirkan apa-apa selain perempuan mungil di hadapannya ini.

"Gue anter pulang, ya." Porco tak pernah merasa seyakin ini sebelumnya. "Aku anter pulang."

"Hei, nggak usah—"

Porco tersenyum miring, sebelum akhirnya menepuk kepala Pieck dua kali, dan berjalan mundur untuk mengambil kunci mobilnya.

"I insist."

.


outro;

Terkadang, ada beberapa hal yang datang dan diam-diam menetap tanpa disadari. Mungkin, datang perlahan dan tanpa paksa-paksa yang berarti. Seperti, ketika seseorang merasa familier bahkan mengenal orang lain begitu jauh bahkan sebelum mereka punya konversasi yang berarti. Atau seperti, ketika sepasang mata bertemu, dan ada banyak sekali hal yang bisa diartikan hanya dari tatap-tatap dan senyum-senyum hangat yang rasa hangatnya menetap sampai ke dalam hati.

Seperti, ketika Porco dan Pieck menatap langit yang mulai menggelap, di sisi jalan raya yang sepi dengan desing halus mesin mobil yang dimatikan.

Mereka bersandar pada kap-kap mobil, meninggalkan kardus dan barang-barang bawaan Pieck jauh dalam bagasi mobil Porco. Bersebelahan, dengan lengan saling menyentuh terlampau nyaman.

"Aku lebih suka lihat sunrise, sebenernya." Pieck mengujar di antara matahari yang mulai tak terlihat, Porco memerhatikannya dari samping. "Tapi aku suka lihat city lights ketika langit udah gelap nanti."

Porco mengulum senyum, "I know."

Pieck menoleh ke arah Porco, cokelat di matanya menatap kaget. "Kok bisa?"

"Bang Zeke pernah cerita waktu kamu minta lihat city lights di Marley."

"Yeah. He's not a fan of those stuff."

Porco masih menatap Pieck. "Aku juga tahu kamu suka nurunin kaca jendela mobil waktu berkendara di malam hari," ujarnya meneruskan. "Suka dengerin instrumen musik klasik dibanding playlist lagunya Bang Zeke, suka nurunin suhu AC karena kamu segitunya suka dingin." Porco terkekeh kecil. "Suka choco mint ice cream, I even ordered you once waktu kamu minta tapi Bang Zeke masih meeting di kantor."

"Porco ...,"

Rasanya begitu aneh, bagaimana ia tahu banyak tentang Pieck bahkan tanpa ia sadari, tanpa ia coba sama sekali. Hal-hal itu datang secara otomatis ketika pada akhirnya Porco menyadari, ia memang sudah terlampau lama berada di antara Zeke dan Pieck. Berada pada kemelut dan bayang-bayang Pieck yang memang selama ini selalu ia terima dan genggam diam-diam dalam sudut di ruang kecil rongga dadanya.

"Pieck, sorry ya." Tiba-tiba Porco ingin mengatakan itu. Mungkin tentang sikap impulsifnya, mungkin tentang keegoisannya. Mungkin tentang hatinya yang tidak tahu diri sebab kini ia menikmati keberadaan Pieck di sampingnya, pada sentuh-sentuh kecil bahunya.

Porco ingin menghentikan ini, detak-detak pada dadanya, kupu-kupu dalam perutnya, hangat-hangat pada bahunya.

Tapi, sebelum segalanya terjadi, Pieck menoleh. Perempuan itu layangkan tangannya di depan Porco, menyentuh pelan—lembut rahang Porco hingga ke pipinya. Cokelat di mata Pieck terasa begitu hangat. Di belakangnya, city lights menyala seperti semburan cahaya yang menyilaukan. Titik-titik bintang, desau-desau angin, bunyi mesin kendaraan yang lewat.

"Terima kasih banyak, Porco. Terima kasih."

Tak ada lagi yang mengujar setelah itu. Bekas sentuhan jemari Pieck di rahang dan pipinya masih begitu terasa. Membawanya pada mimpi indah yang tak pernah ia prediksi sebelumnya. Bahu Pieck terasa semakin mendekat, maka, Porco dekatkan jemarinya kepada jemari Pieck di sebelahnya.

Malam itu, akan Porco pastikan Pieck untuk kembali ke rumahnya.

Ke rumah baru di hatinya.

.

'but now my heart's singing and tonight i'll be fine
with(out) you i'm walking back home ...'

.

[end]