Setiap orang di dunia ini punya hal yang disuka dan tidak disuka. Itu sesuatu yang wajar karena preferensi setiap orang berbeda-beda. Ada banyak alasan yang membuat seseorang menyukai dan tidak menyukai sesuatu. Pun alasan yang membuat seseorang berubah jadi tidak menyukai yang tadinya disuka, dan menyukai yang tadinya tidak disuka.

Ini terjadi juga pada Leona Kingscholar, 22 tahun, mahasiswa-yang-seharusnya-semester-akhir. Motto hidupnya setiap hari adalah: "menjauhlah segala hal yang berbau anime, idol, anisong, apa pun itu kau menyebutnya, para otaku menjijikkan!" Hanya saja, sebuah roller coaster tiba-tiba menabraknya dan menyeretnya ke sebuah perjalanan "baru" yang tak pernah terbayang akan ia lalui sebelum ini.

Akibat cuti selama dua semester dengan alasan "lelah" dengan perkuliahan, Leona menjadi satu kelas dengan orang-orang yang seharusnya ia sebut "adik tingkat." Dan sayangnya, sebagian dari "adik tingkatnya" ada yang termasuk golongan yang sudah ia hindari selama bertahun-tahun itu.

"N-nee, Leona-shi. Lagu terbaru Hanayuki-chan … apa kau sudah mendengarnya?"

Leona-shi nyaris meremas habis ponsel pintarnya. Namun, setelah berusaha menahan diri, ia membuka ponselnya dan menunjukkan tampilan music player-nya. Kebetulan ia juga sedang mendengarkan dengan earphone.

"… Sudah. Aku sudah dengarkan 35 kali … dan jadi 36—tidak, 37 kali sekarang."

Leona Kingscholar, 22 tahun, telah melupakan dan membuang jauh-jauh motto hidup yang dipegang lebih dari 10 tahun itu. Ia, bersama roller coaster yang menabraknya, masuk dan terjebak dalam lubang yang disebut karma.

.

.

.

Disney: Twisted Wonderlandand all of the characters credit to Yana Toboso; Aniplex; Disney Japan

"yang ada di balik suara itu"fanfiction credit to Lampu Merah

College!Seiyuu!Japan!AU

Leona Kingscholar x fem!Rook Hunt

.

.

.

Ini semua bermula di awal semester baru dimulai. Leona, masih tersisa rasa malas, tidak hadir di tiga hari pertama perkuliahan. Kemudian di hari keempat, ia diberi tahu ketua kelasnya kalau akan ada tugas kelompok. Masih dengan santai, Leona bertanya siapa saja anggota kelompoknya. Ketika ia tahu siapa saja mereka, wajahnya langsung berubah pucat pasi.

Idia Shroud. Sekalipun bocah itu berada di bawahnya sebelum ini, Leona sudah memasukkan namanya dalam daftar orang-orang yang harus dihindari. Bukan tanpa alasan. Tentu saja karena anak pertama dari keluarga Shroud yang ternama itu adalah seorang otaku garis keras! Golongan yang paling dijauhi Leona!

Sial sekali. Tahu begini, Leona pasti akan rajin masuk kelas. Di saat seperti ini, penyesalan baru muncul. Belum lagi … dua orang lainnya dalam kelompok adalah yang sejenis dengan si bocah berambut biru ini. Yah, apa yang bisa diharapkan? Satu orang dari suatu golongan akan berkumpul dengan mereka dari golongan yang sama. Berserah pada nasib, Leona menerima kelompok itu dan mulai bekerja dengan sekumpulan freak esok harinya.

"Kita kerja di rumah Idia-kun, ya." Nyaris Leona memuntahkan makan siangnya ketika mendengar itu. Sempat ia bertanya kenapa tidak melakukannya di kafe atau perpustakaan. Sayangnya, keputusan itu sudah mereka buat bahkan dari sebelum Leona bergabung. Terlebih, Idia Shroud termasuk "pemimpin" dari kelompok otaku ini. Memilih rumah sang ketua sebagai tempat nugas bukan hal yang aneh, bukan begitu? Dan sekali lagi, Leona hanya bisa mengalah di pertarungan tiga lawan satu ini.

Hanya saja, mendatangi "sarang" otaku tetap lah mimpi terburuk. Bayangan tentang kamar otaku yang sering ia dengar seakan ada semuanya dalam satu ruangan. Poster-poster gadis 2D terpasang di setiap sisi tembok. Koleksi action figure bermacam bentuk dan ukuran, sampai lagu-lagu bernuansa anime, idol, atau apa pun kau menyebutnya, tentu tidak ketinggalan. Kamar Idia Shroud adalah—salah satu—contoh nyata dari semua bayangan itu.

"L-Leona-shi …. Aku tahu kau seorang normie dan kau tidak suka satu kelompok dengan kami. Tapi kami akan mendengarkan lagu kesukaan kami. Ya? Jangan marah karena ini rumahku sendiri," ujar Idia, mengingatkan Leona yang "sendirian" untuk tidak mengejek selera mereka yang berbeda.

Leona hanya menggedikkan bahu sambil meminum es teh suguhan dari pelayan Shroud. "Suka-suka. Aku di sini hanya untuk menyelesaikan tugas," balasnya santai.

Idia dan teman-temannya tampak kurang senang dengan respons bernada tak acuh itu, tapi mereka tidak peduli. Mereka bahkan tidak gentar sedikit pun dengan tatapan tajam yang Leona berikan. Ini menunjukkan bahwa ketika kau sudah berkumpul dengan orang-orang yang sepaham, maka kau akan lebih kuat. Begitu pula yang dirasakan Idia dan teman-temannya dalam melawan seorang "normie" seperti Leona Kingscholar.

Sebuah lagu dengan nuansa anime dan idol—seperti dugaan Leona—akhirnya terputar. Leona mengutuk dirinya yang cukup ceroboh meninggalkan earphone di atas kasur. Sekarang, mau tak mau ia harus ikut mendengar—

"…" Akan tetapi, mendadak jantungnya berdebar. Lagunya memang bernuansa anime dan idol yang tidak ia sukai. Namun, mendengar suara perempuan yang menyanyi itu, entah kenapa membangkitkan suatu rasa "baru" dalam diri Leona.

Penasaran, ia mengintip sedikit ke layar komputer Idia. Si empunya komputer dan dua temannya yang lain terlalu fokus dengan gerakan lihai seorang karakter perempuan anime. Perempuan itu memakai pakaian yang terbilang mencolok, bernuansa serba hitam, tampak kontras dengan rambut putih panjangnya yang diikat dua. Jelas-jelas perempuan yang tengah bernyanyi dan menari itu berwujud seperti anime yang beberapa kali ia lihat di televisi. Namun ... bukannya anime itu 2D? Kenapa yang ini sepertinya ... 3D? Rasa penasaran perlahan merasuki Leona.

"Hanayuki-chan manis banget, ya," komentar salah satu bocah yang berambut coklat. "Masih sulit dipercaya dia jadi seiyuu juga."

"Itulah oshi-ku!" Teman lainnya yang berambut hitam menanggapi. "Sudah cantik, berbakat pula. Aku mungkin terdengar bias, tapi voice acting-nya untuk ukuran virtual idol itu sungguh di luar dugaan. Aku ikut senang ketika akhirnya dia lolos audisi, setelah sering membuat video voice acting di channel-nya."

"Walaupun aku Jun-tan stan, aku setuju dengan itu." Kali ini si pemimpin per-otaku-an, Idia Shroud, yang memberi suara. "Sejak dia voice act itu, entah kenapa aku merasa jadi lebih banyak yang mengenal Hanayuki-chan sebagai seiyuu, bukan virtual idol."

"Betul itu," timpal yang berambut hitam lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Agak disayangkan dia tidak dikenal sebagai penyanyi dan penulis lagu, tapi setidaknya, lagu-lagunya jadi ikut kena dampak. Jumlah monthly listeners-nya terus bertambah setiap hari."

Obrolan itu terus berlanjut tanpa satu pun dari mereka sadari ada yang sedang memperhatikan. Leona, akibat dari rasa penasaran dadakannya, berakhir mendengarkan semua itu dengan khidmat. Perempuan 3D yang masih sibuk memamerkan bakatnya juga tidak luput dari radar.

Kelihatannya … ia mulai menerima balasan atas setiap "kutukan" yang sering ia lontarkan pada para otaku.

.

.

.

Di kali ketiga kelompoknya mengerjakan tugas di rumah Idia, Leona, yang sudah tidak tahan, akhirnya angkat suara. "Idia … aku ingin tanya sesuatu, tapi janji jangan tertawa. Kalian berdua juga diam-diam saja."

Mereka bertiga, yang tadinya fokus dengan pekerjaan masing-masing, saling bertukar tatap. "Uh … m-memangnya ada apa, Leona-shi?" Idia mengepalai.

Mengumpulkan kembali tekad untuk membuang semua harga diri yang tersisa, Leona berkata, "Yang namanya Hanayuki … bisa kau kenalkan dia padaku? Sepertinya … aku tertarik."

Leona Kingscholar, 22 tahun, secara official mengganti status "normie" miliknya dengan "otaku." Mungkin masih tidak bisa disamakan dengan orang-orang macam Idia. Namun satu yang pasti: ia yakin akan jatuh semakin dan semakin dalam ke "surga" yang diciptakan seorang "perempuan anime" bernama Hanayuki.

.

.

.

"Hehehe. Siapa sangka Leona-kun jadi bagian dari kita, kan?"

"Benar, benar. Padahal Leona-san adalah yang kelihatan paling normie di kelas. Bisa-bisanya jadi bergabung dengan kita."

"Sudah. Nanti Leona-shi jadi tidak enak dengan kita." Idia membentangkan kedua tangan, seolah menahan setiap kata yang bisa keluar kapan saja dari mulut tak terkontrol dua teman kelompoknya.

Leona, merasakan pukulan terkeras di kepala, hanya bisa membuang nafas panjang. "Iya, iyaaa. Maaf kalau sebelumnya aku terkesan mengejek selera kalian. Tapi, maaf, aku masih tidak bisa disamakan dengan kalian sepertinya."

"Kenapa begitu? Kau sudah terjun ke dunia idol, kan?" tanya yang berambut coklat.

"Leona-san juga sudah menonton beberapa anime yang kami rekomendasikan," imbuh yang berambut hitam.

"Tapi itu semua eksklusif yang berhubungan dengan Hanayuki," sanggah Leona tanpa berpanjang lebar. "Aku belum menemukan oshi lain selama perjalananku beberapa hari ini. Fokusku masih kepada Hanayuki, dan sepertinya hanya akan padanya seorang."

"Nuhihi, itu benar. Leona-shi adalah tipe setia. Aku paham, aku paham." Kepala Idia manggut-manggut, seakan ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "Jun-tan sudah jadi oshi-ku selama lima tahun dan aku tidak pernah tergoda untuk ganti. Aku sudah sangat suka dengan Jun-tan, jadi aku mengerti perasaan Leona-shi."

"… Tapi aku baru mengenalnya lima hari, bukan lima tahun."

"Lima hari akan menjadi lima tahun! Kemudian lima belas tahun! Lima puluh tahun! Semuanya akan terus bertambah, Leona-shi! Itu bukti dari kesetiaan!"

Leona nyaris memutar bola matanya mendengar itu semua. Idia Shroud tidak pernah gagal membuatnya kagum. Ia selalu diam di kelas, tapi kalau di rumah, bertemu dengan yang "sejenis," sisi lain dirinya akan langsung muncul. Ia akan jadi lelaki yang penuh passion dan sering bicara.

"Omong-omong, Hanayuki-chan katanya akan mengadakan konser lagi tahun ini." Yang berambut coklat mengeluarkan tabletnya dari tas.

"Masa?! Sepertinya aku kelewat beritanya!" Yang berambut hitam langsung panik dan mengecek ponselnya.

Idia mendengus. "Bisa-bisanya kau ketinggalan informasi sepenting itu, dan kau sebut dirimu fan yang paling tahu segalanya tentang Hanayuki-chan?"

"Yaaa, aku punya alasanku sendiri, Idia-san." Yang rambut hitam memanyunkan bibirnya, seketika membuat Leona yang melihat itu membatin jijik. "Kemarin keluarga jauhku datang, dari pagi sampai malam. Aku dipaksa menjaga anak-anaknya sampai tidak sempat pegang ponsel."

"Menyedihkan." Idia beralih ke Leona yang hanya diam memperhatikan. "Leona-shi sudah tahu soal konsernya?"

Leona mengangguk. "Ya, tapi aku masih belum paham konsepnya."

"Newbie!" Satu lagi kosakata baru yang harus Leona ingat dan cari artinya saat pulang nanti. "Konser kali ini akan berbeda karena Hanayuki-chan, yang tidak pernah menunjukkan wujudnya ke publik, akan hadir ke atas panggung!"

"Hm, tapi aku rasa itu masih akan sulit untuk diwujudkan," yang rambut coklat tiba-tiba membalas. "Katanya itu masih rumor. Jadi untuk konser kali ini pun, Hanayuki hanya akan muncul dalam wujud hologram. Penjualan tiketnya pun masih belum ada yang untuk on the spot. Konsernya masih sama dengan yang sebelum-sebelumnya: via online."

"…" Kalau dipikir-pikir benar juga. Sejauh yang sudah Leona cari tahu, Hanayuki tidak pernah menampakkan dirinya. Ia selalu muncul dalam wujud 3D bahkan ketika sedang livestream atau jumpa fans. Ini termasuk culture shock bagi Leona karena ia tidak pernah berpikiran akan adanya konsep seperti ini sebelumnya. Jika ia tidak bertemu Hanayuki dan menerima karmanya, mungkin Leona akan menganggap kegiatan mengidolakan "karakter animasi" seperti ini adalah hal yang merepotkan.

Dengusan Idia yang lainnya membawa Leona kembali ke realita. "Kalau itu masih rumor, berarti ini sudah masuk tahun keenam sejak pertama debut, kah. Hanayuki-chan benar-benar betah menyembunyikan wajahnya."

"Mungkin dia hanya ingin suara dan karyanya yang dikenal," si rambut coklat menimpali. "Ada banyak yang seperti itu di industri sekarang. Tapi menurutku justru itu yang menarik. Bukan begitu?" Ia menyenggol si rambut hitam dan langsung dibalas dengan anggukan.

Leona masih tidak memberi respons apa-apa dan diam memperhatikan. Ia meminum suguhan es teh yang sama setiap kali mereka datang ke rumah Idia.

.

.

.

Tugas kelompok akhirnya selesai. Leona sudah tidak punya alasan untuk datang lagi ke kediaman Shroud. Ia memanfaatkan itu untuk kembali menjaga jarak, tapi tidak sepenuhnya. Bagaimanapun, ia harus mengakui dirinya sebagai newbie yang masih butuh bimbingan orang yang lebih paham, seperti Idia dan kawan-kawan. Namun, tetap saja, ia butuh waktu lebih banyak untuk sendiri. Menikmati setiap waktunya dalam mencari tahu tentang Hanayuki adalah yang ingin ia rasakan.

"Malam nanti, Hanayuki ada jadwal live." Leona terus berjalan menyusuri lorong kampus sambil melihat ponselnya. Sedikit peringatan: jangan lakukan ini ketika kalian dalam perjalanan. "... Agendanya tentang tanya jawab, eh. Aku harus memikirkan beberapa pertanyaan untuk ditanyakan," lanjutnya, masih bicara pada diri sendiri. Begitu sampai di depan pintu kelasnya, Leona langsung mengembalikan ponselnya ke dalam saku celana dan membuka pintu yang suaranya seketika menggema ke seluruh ruangan.

Tampaknya Leona berangkat terlalu cepat hari ini. Kondisi kelas masih sepi—hanya ada tiga orang termasuk dirinya, tapi Leona kadung malas untuk berkeliling mencari tempat menyendiri. Dengan sedikit berat hati, ia memutuskan untuk berdiam di mejanya hingga kelas dimulai.

Ponsel kembali dikeluarkan, tak lupa earphone kesayangan, tepat setelah ia memilih meja di paling belakang. Tak perlu lama mempersiapkan semuanya, kesepuluh jari Leona sudah bergerak cepat di layar ponsel pintar itu, sementara mulutnya sesekali melantunkan lagu yang terputar. Ia sedang memainkan rhythm game di mana Hanayuki menjadi seiyuu salah satu karakternya. Sebuah kegiatan baru dalam kesehariannya yang perlahan menjadi kewajiban. Ini baru masuk hari keenam, tapi Leona sudah dibuat segila ini pada kumpulan piksel. Memang tidak boleh meremehkan kekuatan "karakter fiksi," apa pun alasannya.

Aah, suaranya manis sekali, Leona tidak berhenti memuji suara Hanayuki dalam hati. Ia tidak pernah menyangka, hanya dari mendengar suara nyanyiannya, harga diri, tenaga, pikiran, hingga uang terampas begitu saja.

Hanayuki membuatnya berubah, dan Leona Kingscholar tidak menyesali perubahan itu.

"Leeeona-kun!"

"Whoa?!" Dengan refleks yang bagus, Leona mengunci layar ponselnya dan melepas earphone. Beruntung ia memilih meja di belakang, sehingga orang yang memanggilnya tadi tidak langsung melihat apa yang sedang dilakukannya. "Tsk, kau lagi. Ada apa? Bukankah kemarin aku sudah menolak untuk meladenimu?"

"Eeeeh? Masih saja dingin seperti biasa." Seorang gadis dengan pakaian yang tidak bisa disebut terlalu feminin, tapi juga tidak tomboi, masuk ke kelas. Dua orang lainnya yang sudah ada di kelas menyapa gadis itu sebentar. Bisa dilihat kalau gadis itu termasuk orang yang cukup dikenal.

Leona mencoba untuk tidak peduli saat melihat adegan itu. "… Apa? Apa lagi yang kau mau?" nada bertanyanya tidak sabaran. Tentu saja, karena waktu kencannya—bersama Hanayuki—jadi terganggu.

"Aku hanya ingin mengajakmu ke penyambutan anak-anak baru."

"Kan, kemarin sudah aku tolak!" Leona menyimpan ponselnya ke saku, berjaga-jaga kalau gadis itu lepas kendali. "Apa kau tidak dengar yang kukatakan kemarin, Rook Hunt? Aku. Tidak. Mau. Berapa kali pun kau mengajakku, aku tidak akan memperlihatkan wajahku di sana. Ditambah, aku bukan bagian dari organisasi mana pun. Aku tidak punya kewajiban."

Gadis itu—Rook Hunt—memajukan bibirnya, berusaha tampak menyedihkan, mengharap belas kasihan. "Ya … aku tahu kau tidak punya kewajiban untuk hadir karena bukan bagian organisasi. Tapi, Leona-kun, namamu itu dikenal bahkan oleh adik-adik tingkat kita yang baru masuk, loh? Aku rasa nama 'Kingscholar' itu benar-benar bukan nama biasa."

Lagi-lagi karena status. Leona mengeluarkan kembali ponselnya dan memasang earphone. Ia tidak kembali bermain game—karena masih ada Rook, tapi ia beralih ke aplikasi pemutar musik dan memutarnya acak. "Aku tidak peduli. Kau dipersilakan untuk pergi."

"…" Rook masih belum mau menghilang dari jarak pandangnya. Hingga akhirnya gadis itu mengeluarkan sebuah note kecil, menulis sesuatu di sana, kemudian merobek kertasnya dan ditaruh di atas meja Leona. "Jam lima sore, di restoran ramen depan stasiun. Jangan terlambat."

"HEI!" Kertas itu diraih Leona dan dibuat bola. Ketika ia berniat melemparnya kembali ke Rook, gadis itu sudah menghilang. Leona menggeram lemah, membuat dua orang lain—ditambah satu yang baru datang—di kelas memperhatikannya takut-takut.

"Apa-apaan orang itu. Dasar aneh." Ia kembali fokus ke lagu yang terputar dan mengencangkan volumenya. Haaah, untung suara Hanayuki bisa menenangkanku.

Leona melihat bola kertas di tangannya. Diam cukup lama memperhatikan benda itu, sebelum akhirnya membukanya kembali. Tulisan yang ada di sana adalah alamat tempat restoran ramen yang tadi Rook bicarakan.

"…"

Tulisannya … aku seperti pernah lihat. Tapi di mana?

.

.

.

Next: Chapter 2