Send. Pesan yang selesai diketiknya telah dikirim. Kemarin ia tidak mengirim pesan ketika pulang terlambat dan mendapat hadiah berupa celotehan tanpa henti dari sang kakak. Padahal Leona masih pulang jam delapan malam dan alasan pulang malam pun karena kerja kelompok. Tapi mungkin itu yang namanya resiko masih tinggal dengan keluarga. Apa pun itu, karena sekarang pesan izinnya sudah terkirim, Leona tidak perlu khawatir akan ceramah panjang seperti kemarin.
"Leona-shi akhirnya datang juga ke acara penyambutan itu." Idia, yang sempat berpapasan dengannya di pintu keluar, menyapa sekaligus menanyakan perihal acara penyambutan. Acara itu hanya berisi makan-makan dan minum-minum, tapi entah kenapa selalu dianggap penting oleh beberapa kalangan. Terutama bagi mereka yang hidup di dunia yang berbeda dengan si kepala biru. "Ciri-ciri Leona-shi sebagai normie memang masih ada, sih, ya. Kalau aku, sih, selama tidak ada free photocard Jun-tan sebagai hadiah, tidak akan mau datang."
"Memangnya kau diundang?" pertanyaan Leona sedikit mengandung sarkasme. Idia sempat merasakan itu, tapi ia mencoba tidak peduli. Lama-lama dirinya terbiasa dengan sikap Leona.
"Huh, tentu saja diundang. Nama keluarga. Leona-shi harusnya paham itu." Setelah beberapa saat, Idia menambahkan, "Oh—melanjutkan yang tadi, dan wajah. Leona-shi punya pamor, 'kelas' dan wajah tampan. Jelas makin banyak yang ingin kenal dengan Leona-shi."
"Keh, menggelikan." Dengan kata terakhir itu, Leona melenggang pergi. Idia sempat melontarkan beberapa kalimat balasan, tapi Leona tidak lagi menggubris.
Dan di sinilah ia sekarang. Di depan sebuah restoran yang alamatnya sudah tertulis pada selembar kertas yang Rook berikan tadi pagi.
Leona membuang nafas. "Kenapa pula aku harus menurut? Padahal aku bisa kabur saja."
"Tapi kau sudah memilih untuk menyerah, dan aku hargai itu." Hampir saja Leona melompat ketika tiba-tiba di sampingnya ada suara berat milik seorang perempuan. "Maaf aku membuatmu kaget. Kita bisa masuk bareng, kalau mau." Perempuan itu memberi gestur mempersilakan Leona untuk masuk lebih dulu.
Pemuda itu menggeram lemah. "Kau pikir aku apa?" Kali ini ganti Leona yang memberi gestur yang sama. "Ladies first. Aku tidak akan melanggar peraturan yang satu itu."
"Oh lala, betapa perhatiannya." Perempuan itu tertawa sejenak. "Baiklah, aku akan masuk duluan. Pastikan kau tetap di belakangku, Leona-kun."
"Ya, ya. Terserah kau saja, Rook-san."
.
.
.
"yang ada di balik suara itu"
Chapter 2
.
.
.
Seperti yang sudah bisa diduga, banyak orang yang terpukau dengan kehadiran Leona Kingscholar di antara mereka. Tidak hanya para perempuan yang langsung setengah menjerit, tapi juga laki-laki yang sama-sama mengagumi sang putra kedua keluarga Kingscholar itu.
Menjadi pusat perhatian rasanya memang tidak buruk, tapi Leona sedang tidak mood untuk itu. Yang dia inginkan sekarang hanya lah … menonton livestream Hanayuki yang akan dimulai jam 10 malam nanti. Sekarang mungkin baru jam lima, tapi tidak ada salahnya untuk bersiap-siap. Lagipula, kemarin ia baru membeli salah satu drama CD Hanayuki dengan Neige LeBlanche sebagai lawan main. Benda itu seharusnya sampai sore ini.
Bicara soal Neige, sejauh yang Leona tahu, pria itu adalah salah satu seiyuu muda dengan pamor dan bakat yang tidak kalah dari jajaran seiyuu veteran. Belum lagi, dalam sebuah wawancara untuk majalah setahun lalu, Hanayuki mengutarakan kalau ia fan berat Neige sejak awal seiyuu muda itu debut. Drama CD itu adalah yang pertama ia satu projek dengan Neige, dan sudah dipastikan yang paling berharga bagi Hanayuki. Leona ingin sekali mendengarkan dan merasakan sendiri "kebahagiaan" idolanya yang juga punya idola. Namun, acara "penyambutan" ini justru mengacaukan segalanya.
"A-anu … Leona-senpai." Leona sedang menenggak lemon tea pesanannya dengan sedikit menggerutu ketika seorang perempuan menghampiri. Dari ekor matanya, bisa Leona pastikan kalau perempuan itu menjadi "kepala" dari teman-temannya yang lain yang menunggu di belakang. Wajah mereka semua terlihat harap-harap cemas. "M-maaf mengganggu, tapi … apa Leona-senpai b-bisa … bertukar Line dengan kami?"
Leona bisa merasakan adanya harapan yang sangat kuat terpancar dari pandangan para perempuan itu. Ingin rasanya ia menolak, tapi perempuan adalah salah satu kelemahannya. Bukan berarti ia sepenuhnya tunduk dengan makhluk cantik ciptaan Tuhan itu. Hanya saja … Leona tidak bisa bersikap keras kepada mereka.
Mencoba tenang, Leona mengeluarkan ponselnya. "Sebutkan ID kalian satu-satu," ujarnya santai, yang mana langsung disambut jeritan tertahan deretan perempuan itu. Leona dengan sabar mengetik setiap ID yang mereka sebutkan dan mengirim permintaan pertemanan. "Sudah?"
Perempuan yang tadi mengepalai bicara padanya, Sayu—setidaknya itu yang tertulis di profil Line-nya, mengangguk. "Uh … kalau boleh … sekalian Twitter atau Instagram, sesuai yang Leona-senpai punya saja."
Sudah kuduga akan banyak maunya. Leona tidak bisa dibilang aktif di media sosial, tapi setidaknya ia punya satu akun Instagram. Akun ini pun lahir hasil paksaan dari pacar kakaknya—yang sayangnya sebentar lagi akan jadi kakak iparnya. "Ini nama akunku," ujar Leona seraya menunjukkan layar ponselnya. "Kalian follow saja, nanti aku followback kalau sudah di rumah." Ia mengangkat gelas lemon tea-nya setelah mengatakan itu.
Mengerti maksud dari kode yang diberikan Leona, para perempuan itu langsung meminta izin undur diri. Akhirnya Leona kembali sendiri … setidaknya itu yang ia pikir. Tiba-tiba saja ketenangan sementara yang baru ia rasakan direnggut tanpa ampun oleh makhluk cantik ciptaan Tuhan yang lainnya.
"Jangan kau lagi."
"Mereka boleh, tapi aku tidak boleh?"
Leona meneguk minumannya sejenak. "Setidaknya mereka ada maksud yang jelas. Berbeda denganmu."
"Aku juga ada maksud yang jelas." Leona nyaris memutar bola matanya ketika suara Rook terdengar sangat dekat dengan telinganya, "Mau ikut ke karaoke? Yang lain mau ke karaoke habis ini."
Entah kenapa Leona merasa tidak tenang mendengar suara rendah Rook. Seakan ada yang berbeda dari suaranya, tapi Leona tidak tahu apa. Setelah kembali merasa tenang, Leona membalas, "Tidak, terima kasih. Aku masih ada kerjaan."
"Oya? Ada tugas? Tapi tadi aku tanya Idia-kun kau kosong."
"… Hah?" Apa katanya barusan?
"Kau harus menerima paket atau semacamnya hari ini, dan hal berikutnya yang ingin kau lakukan adalah membuka paketnya sesegera mungkin," Rook membeberkan info yang ia dapat dari Idia begitu saja. "Kau juga bukan orang yang senang ambil part-time. Dengan kondisi keluargamu, sungguh tidak memungkinkan bagimu mengambil part-time job. Jadi, selain ada tugas atau hal penting lain—seperti menunggu paket-apa-pun-itu, aku rasa kau tidak mungkin ada kerjaan malam ini."
Si keparat ini …. Leona mungkin tidak bisa keras terhadap perempuan. Namun, kalau urusannya sudah menyangkut Rook Hunt, maka beda lagi ceritanya. Deretan kata yang ia ucapkan tadi sangat amat dipenuhi hasil "penyelidikan" serta asumsi tanpa dasar yang jelas—walaupun alasannya terbilang kuat. Bulu-bulu halus di sekitar leher Leona berdiri ketika ia membuka suara, "Kau … sungguh senang mencampuri urusan orang lain dan memojokkan mereka sampai kau mendapatkan yang kau mau, huh."
"Fufu, aku anggap itu pujian." Senyumannya menyimpan berbagai macam maksud dan Leona tidak suka itu. "Jadi? Kau ikut, kan? Orang-orang ingin dengar suara nyanyian seorang Leona Kingscholar yang tersohor. Apalagi dengan suara rendah dan indahmu itu. Semuanya pasti suka."
Leona meremat gelas minumannya. "Oh, ya? Orang yang punya suara bagus belum tentu pandai menyanyi. Apa kau tidak tahu itu?"
"Aku sudah pernah dengar Leona-kun menyanyi."
"…"
"Di festival budaya masa SMA-mu. Kebetulan aku punya rekamannya."
"..."
APA? BARUSAN DIA BILANG APA?
Tidak hanya di leher, Leona bisa merasakan bulu-bulu halusnya di seluruh badan berdiri kali ini. Gadis di hadapannya ini … benar-benar di luar nalar. Lagipula, untuk apa ia menyimpan rekaman semasa Leona SMA?! Memangnya mereka satu sekolah? Kalaupun satu sekolah, harusnya Rook kelas satu saat ia kelas tiga, dan kejadian memalukan dirinya yang dipaksa bernyanyi di festival budaya adalah saat ia kelas dua. Mana mungkin …?!
"Kau bisa bernyanyi, Leona-kun. Suaramu bagus. Sayang rasanya kalau kau tidak bisa menunjukkannya pada orang-orang, terutama para kouhai yang mengagumi senpai-nya." Mata hijaunya melirik ke kumpulan orang di belakang yang memiliki mata sama dengan kelompok perempuan tadi. Mereka sangat ingin Leona ikut ke karaoke dan mendengarnya bernyanyi.
Helaan nafas terpanjangnya—setidaknya di tahun itu—akhirnya keluar. Leona, lagi-lagi, memilih menyerah pada keadaan karena sudah merasa sangat amat terpojok. "Yaaaa, ya, ya, ya. Aku akan ikut."
"Kalian dengar itu?"
"YEAAAAAAYYY!" Seketika kumpulan orang itu bersorak-sorai. Mereka bahkan sudah tidak berniat menutupi perasaan mereka.
"Kita akan berganti tempat setelah semuanya selesai makan!" Rook kembali berseru yang juga dibalas oleh sorak-sorai berikutnya. Gadis itu memamerkan senyum kemenangan pada Leona, yang langsung dibalas dengan erangan penuh emosi.
Persetan perempuan. Apabila membunuh itu tidak dilarang, mungkin sudah ada pembantaian tak bermoral terjadi di restoran ini—dengan Leona Kingscholar sebagai pelakunya.
.
.
.
Leona kembali mengecek ponselnya, cemas. Jam sudah menunjuk pukul delapan dan ia masih terjebak di tengah orang-orang menyusahkan. Mereka sudah mendengar Leona bernyanyi—karena ia dipaksa untuk jadi yang pertama, tapi dia masih tidak diberi izin untuk bebas.
"Aku merasa seperti di kebun binatang." Yang barusan itu tidak diucapkan dengan rendah. Leona sengaja supaya orang-orang bisa mendengarnya dan merasa ilfeel. Di saat seperti ini, Leona lebih rela namanya jelek dengan jaminan kebebasan, daripada harus "dikurung" tanpa kejelasan di ruangan gelap ini. Namun mereka justru tertawa dan dengan ajaibnya, meminta Leona untuk bernyanyi yang kedua kali. Tiap tetes darah di ujung kepalanya sudah mendidih, mungkin sebentar lagi meledak.
"Daripada menyuruhku," Tangannya bergerak, menunjuk Rook yang sedang membereskan barang-barangnya di ujung ruangan, "mending suruh ketua kalian. Dia bahkan belum bernyanyi satu lagu pun sejak kita di sini. Sekarang malah mau pergi, tuh."
Mata Rook berkedip beberapa kali ketika menyadari semua tatapan tertuju padanya. Terjadi hening sesaat, sampai akhirnya gadis itu tertawa. "Haha! Ketahuan, ya," sahutnya santai. "Aku baru ingat kalau aku ada janji. Ingin sekali aku tetap di sini sampai selesai, tapi sepertinya aku harus pulang."
"Kenapa? Kau takut?" Setelah menyeret Leona ke perkara ini, sekarang dia berencana kabur? Mana mungkin Leona akan membiarkannya. "Nyanyi satu lagu, baru boleh pergi."
Suasana di ruang karaoke jadi semakin hening setelah Leona mengeluarkan "taringnya." Belum lagi Rook yang tidak kunjung memberi respons. Udaranya sudah semakin berat, tapi akhirnya gadis pirang itu mengaku kalah. "Baiklah. Satu lagu saja, lalu aku izin pulang."
"Aku juga," Leona kembali menambahkan. "Rook pulang, aku juga pulang."
"..." Rook tersenyum lelah. Ia meminta mic dari salah satu adik kelas, lalu berdiri di tengah ruangan. "Kalau begitu, sekalian saja."
"Apa?" Satu mic lainnya tiba-tiba melayang ke arah Leona. Beruntung ia sigap dan berhasil menangkapnya sebelum jatuh mengenai kepala. "Tsk, orang gila ...!"
"Kita duet, Leona-kun," goda Rook dengan mengerlingkan mata. "Kalau kau bersedia duet, aku tidak akan mengganggumu selama dua minggu penuh. Jangan takut, kau bisa percaya kata-kataku."
Leona menghela nafasnya saat berdiri. "Buat itu jadi empat semester," balas Leona dengan menggunakan mic.
Rook hanya tertawa, memperhatikan Leona yang sedang berjalan ke tengah ruangan dan berdiri di sebelahnya. "Maaf, ya, anak-anak," Rook ikut bicara dengan mic, "sepertinya ini akan jadi penampilan terakhir dari kakak tingkat favorit kalian."
Di luar dugaan, ketegangan yang tadi sempat mengeras seketika lebur. Rook Hunt dengan segala karismanya berhasil membuat itu terjadi. Para junior menghapus ketakutan sesaat mereka, dan mulai bersorak melihat dua senior favorit mereka akan berduet. Sayangnya ada beberapa perempuan yang terlihat kurang senang. Rook yakin mereka cemburu dengannya karena bisa duet dengan Leona. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa selain memberi mereka senyuman rasa bersalah.
"Kuharap kau tidak masalah dengan lagu ini, Nona Hunt." Sementara Leona Kingscholar seperti melepaskan diri dari dunia. Sejak tadi ia sibuk mencari lagu untuk mereka duet, tidak sedikit pun berniat membantu Rook menangani mood para junior.
Rook melihat ke layar, lalu mengangguk-anggukkan kepala. "Lagu jadul, eh. Aku tidak menyangka kau se-klasik ini."
"Lagu yang kunyanyikan di awal tadi juga dari penyanyi yang sama."
"Kukira itu dipilihkan oleh anak-anak ...?" Leona tidak lagi membalas. Ia terlihat mempersiapkan diri, yang mana itu memancing Rook untuk ikut bersiap. "You look more professional than I thought. Sedikit tidak disangka."
"Terbiasa oleh kewajiban keluarga. Nothing special." Itu adalah percakapan terakhir mereka sebelum lagu mereka dimulai.
Rook sempat mencuri pandang ke pria di sampingnya yang sudah mengepalai. Tak peduli betapa menyebalkannya sikap pria ini padanya di banyak kesempatan, harus Rook akui, Leona Kingscholar memang sangat lah tampan. Mungkin kalau dia bisa sedikit lebih baik padanya, Rook bisa jatuh ke perangkap yang disebut cinta.
Seketika Rook mendengus pelan. Sambil menyanyikan bagiannya, ia berpikir:
Mana mungkin itu bisa terjadi. Iya, kan?
.
.
.
"Okaeri, Leona."
"..." Langkahnya yang hendak menaiki anak tangga terhenti. Seorang pelayan menghampiri, seolah ingin membantu membawakan tasnya, sementara seorang lagi mengekor di belakang pelayan tersebut. "... Tadaima," Leona membalas ucapan selamat datang dari orang itu. "Kau tidak mungkin akan menceramahiku, kan, Aniki? Aku sudah kirim pesan izinnya tadi."
"Ya, kau dilepaskan untuk sekarang. Lagipula, tidak sesusah itu untuk berkabar, kan?" Kakak dari Leona, sekaligus anak pertama—yang juga akan jadi penerus—keluarga konglomerat Kingscholar: Falena. Kedua tangannya terlipat di depan dada, yang mana di mata Leona seolah ingin pamer otot lengannya yang besar itu. "Kau sudah makan?"
"Sesuai yang kusebut di pesanku tadi." Leona menolak pelayan yang hendak membantu membawakan tasnya. Ia mengisyaratkan pelayan itu untuk pergi.
Kepala Falena mengangguk, melanjutkan perintah yang diberikan Leona kepada si pelayan. "Kifaji-san tadi mampir ke sini saat kau belum pulang."
"..." Hampir Leona memutar bola matanya tepat setelah ia mendengar nama itu. "Dia mau main catur lagi sama aku?"
"Tidak."
"Kalau begitu, aku mau ke kamar."
"Leona."
Baru dua anak tangga dilalui, dengan terpaksa Leona menghentikannya lagi. Ia berbalik, memberi kakaknya tatapan yang kurang menyenangkan. "Masih ada yang ingin Anda katakan, Tuan?"
"Berhenti bicara seperti itu, Leona."
Leona tertawa remeh. "Lalu aku harus bagaimana di hadapan sang tuan sempurna? Anak kesayangan Tou-san? Bukannya aku harus sopan?"
Falena memijit pelipisnya. Rasa pening menyakitkan itu selalu muncul setiap ia bicara dengan Leona. "... Pastikan kau ada saat makan malam besok."
"... Kenapa?"
Falena yang tampak menahan nafas sukses membuat Leona melakukan hal yang sama. "... Tou-san pulang besok."
"..."
"Itu yang Kifaji-san bilang tadi." Lidah Falena terasa sedikit kaku. Apa pun topik yang menyangkut ayah mereka, rasanya mampu kian merenggangkan hubungannya dengan adiknya sendiri. Meski begitu, sebagai kakak sekaligus anak pertama, ia tidak punya pilihan. "... Dia berharap kau bisa hadir. Sudah dua tahun sejak terakhir kita makan bersama."
"..." Leona memperhatikan tiap sudut wajah kakaknya. Ia sadar betul kalau Falena tidak ingin membicarakan ini. Bahkan perasaannya yang tidak ingin mempertemukan Leona dengan ayah mereka setelah apa yang terjadi dua tahun lalu, mampu tersampaikan dengan sangat baik. Sebuah ruang kecil di hatinya mengakui kalau kakaknya memiliki perasaan itu; perasaan sayang. Kadang Leona harus menahan sakit di dada kiri ketika ia berbicara tidak sopan dan bernada tinggi pada Falena. Namun, seakan lupa dengan caranya mengontrol tubuh sendiri, Leona selalu membiarkan kata-kata menyakitkan itu keluar begitu saja dari dua celah bibirnya.
"Persetan." Tanpa perlu balik badan lagi, Leona mengabaikan setiap panggilan dari sang kakak dan terus berjalan ke kamarnya. Apa pun yang akan terjadi hari ini—atau besok, tidak boleh sampai mengganggu waktunya yang ingin berduaan dengan Hanayuki. Kedengaran menyedihkan, tapi hanya itu opsi pelarian yang tersedia sekarang.
.
.
.
Next: Chapter 3
