Osomatsu-san (c) Akatsuka Fujio
Oso/Ichi hint. Canon setting.
don't like don't read
Buat bang jim. Happy reading
Nii-san."
Suasana yang semula berisik kini mendadak hening begitu kata itu terdengar. Satu ucapan itu membuat beberapa pasang mata menatap penuh selidik ke arah seseorang. Layaknya kalimat yang tabu diucapkan hingga membuat orang merasa heran. Sejak kapan seorang di antara mereka bisa berkata demikian?
"Ada apa, Todomatsu?"
Karamatsu yang pertama kali memecah sunyi di antara Matsuno bersaudara. Hari ini mereka berenam, yakni; Osomatsu, Karamatsu, Choromatsu, Ichimatsu, Jyushimatsu dan Todomatsu sedang bermain di kamar untuk menghabiskan waktu.
Mereka bercanda dan tertawa hingga tiba-tiba Todomatsu selaku yang paling muda berbicara. Rasanya aneh ketika mendengarnya memanggil seseorang dengan sebutan 'nii-san'. Mereka memang bersaudara dan Todomatsu yang paling muda, tetapi biasanya hanya akan memanggil nama satu sama lain tanpa imbuhan apapun. Sebab menurut mereka … itu tidak begitu penting. Lagipula, mereka kembar, bukan?
Jelas saja semuanya tercengang. Mulai dari Jyushimatsu yang paling gesrek hingga Osomatsu tidak mampu berkata-kata. Situasi yang sangat membingungkan itu terjadi selama beberapa menit karena tidak ada yang tahu harus menjawab apa. Apakah mereka harus senang? Atau menunjukkan ekspresi terkejut yang sangat komikal?
"Aku memanggilmu, Karamatsu-nii-san. Bagaimana menurutmu?" Todomatsu kini bertanya dengan senyum polos di wajahnya. Sulit sekali bila harus terus diabaikan seperti ini, mereka harus melakukan sesuatu.
"Terdengar bagus!" Karamatsu menjawab dengan semangat. Rasanya ada suatu kebanggaan di dalam dirinya ketika dipanggil seperti itu. Nii-san? Tidak buruk juga.
Osomatsu menyela. "Tunggu sebentar, Todomatsu. Ada apa denganmu?"
Jelas saja dia jadi penasaran. Kenapa tiba-tiba Todomatsu berpikir seperti itu? Sebenarnya tidak aneh karena pada dasarnya si bungsu punya lima kakak. Secara teknis pun benar dan tidak bisa disalahkan. Tapi … kenapa rasanya begitu aneh, ya? Apa karena baru pertama kali ini mendengarnya?
"Benar. Bila ada sesuatu, cepat katakan." Sambung Choromatsu. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa salah satu dari mereka akan mulai memberi sebutan nii-san.
"Yah," Todomatsu menggaruk pipinya pelan. "Walaupun kita kembar, tapi aku tetap yang termuda. Jadi apa salahnya memanggil nii-san? Ternyata itu tidak seburuk yang kupikirkan."
Choromatsu menatap tajam Todomatsu yang kini berbunga-bunga. "Jadi kau selalu berpikiran buruk tentang kami?!"
"Apa kau iri, Choromatsu?" Jyushimatsu sengaja menyiram minyak pada api. Tidak peduli perasaan kesal Choromatsu yang kian menjadi.
"Jyushimatsu!"
"Kami tidak akan terpisahkan mulai dari sekarang!"
Karamatsu tampak senang dengan panggilan baru yang diberikan oleh Todomatsu. Ia langsung merangkul saudaranya dengan erat dan tertawa girang, sementara yang paling bungsu hanya mengikutinya. Keduanya terlihat sangat senang dengan hal kecil seperti ini.
Ichimatsu terdiam melihat pemandangan itu. Tidak heran bila dengan sifat Karamatsu ia bisa mudah akrab pada siapa saja, termasuk saudara mereka sendiri. Tapi apakah dia harus melihat ini sekarang?
Pada dasarnya, Karamatsu juga sangat baik dan memang selalu bisa diandalkan di antara mereka (setidaknya lebih terpercaya daripada si sulung). Entah mengapa Ichimatsu memikirkannya sekarang. Terkadang, dia juga ingin merasakan kedekatan dengan Karamatsu, sebab tampaknya mereka tidak pernah seperti itu.
Tetapi … sifatnya yang seperti ini agak menghambatnya untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Ichimatsu terbiasa tak banyak bicara dan kebanyakan hanya mengamati saja kelakuan saudara-saudaranya. Hubungan mereka juga masih baik-baik saja, tidak pernah ada masalah besar antara ke-enamnya.
Lagipula, kenapa ia harus mencobanya?
Ichimatsu bertanya pada dirinya sendiri berkali-kali. Ini adalah perubahan yang kecil, tapi kenapa Todomatsu dan Karamatsu terlihat senang sekali? Terutama kakak kedua di antara mereka. Bukankah mereka masih bisa melihat satu sama lain setiap hari? Lalu kenapa harus heboh?
Ichimatsu merasakan iri untuk kali pertama.
Jujur saja, Ichimatsu tidak terlalu pandai bergaul dan lebih suka menyendiri. Namun itu bukan berarti bahwa ia tak ingin akrab dengan seorang pun. Terlebih bila itu adalah saudaranya sendiri. Seperti sekarang ketika melihat Todomatsu dan Karamatsu yang dekat sekali.
"Hahaha, nii-san, kau baik sekali."
Todomatsu senang karena Karamatsu tampaknya tidak keberatan dengan panggilan yang baru saja diberikan olehnya. Ini juga terdengar bagus, sebab ia merasa benar-benar memiliki kakak. Walaupun sederhana, tapi memang memanggilnya seperti ini membuatnya bahagia.
"Kau juga, Todomatsu. Mau kutraktir sesuatu besok?"
"Bolehkah?" Todomatsu berbinar-binar.
"Tentu saja, karena kau adalah adikku! Nii-san akan membelikan apapun yang kau mau!"
"Terima kasih, Karamatsu-nii-san!"
Suara tawa itu sangat mengganggu Ichimatsu. Sedari tadi ia berusaha mengabaikan, tapi tidak sepenuhnya mampu. Hah. Mengapa terdengar menyedihkan sekali, ya? Ia juga ingin mencoba, setidaknya sekali.
Karamatsu-nii-san.
Kata-kata itu tertelan kembali. Mulutnya bergerak tetapi suaranya tidak dapat keluar. Begitulah, akhirnya Ichimatsu hanya mampu melihat mereka yang saling mengakrabkan diri. Pasti menyenangkan bila bisa mengungkapkan isi hatinya secara terang-terangan seperti Todomatsu. Bisa jadi dia dan Karamatsu makin akrab.
Tetapi dia bukanlah si bungsu.
Ichimatsu tidak tahu bahwa Osomatsu memperhatikannya sedari tadi. Tetapi ia juga tidak mengatakan sesuatu, hanya mengamati dalam diam. Tentu saja dia selalu melihat saudara-saudaranya, tidak terkecuali Ichimatsu. Bahkan tatapannya ke arah Karamatsu dan Todomatsu sangat jelas, namun tampaknya tiada yang menyadari.
Apa yang sedang dipikirkan Ichimatsu sekarang?
Bagi Osomatsu, Ichimatsu adalah yang paling mudah ia baca. Tidak seperti Karamatsu dengan pikiran randomnya, atau Jyushimatsu yang lebih tidak jelas juntrungannya. Todomatsu pun, menyimpan banyak rahasia yang tak pernah ia duga. Choromatsu? Skip. Dia merasa tak perlu tahu apa yang dipikirkan manusia logis itu. Membosankan.
Ichimatsu terlihat sulit dimengerti, tetapi sebenarnya tidak demikian. Bila bisa menemukan waktu yang tepat, sesungguhnya Ichimatsu juga sama seperti mereka. Hatinya juga rapuh, bisa mudah tersakiti dengan kata-kata yang sekiranya buruk. Oleh sebab itulah Osomatsu selalu memperhatikan (walau kadang tidak juga) apa yang ia ucapkan padanya karena takut menyakitinya.
Bukankah itu yang harus dilakukan sebagai saudara tertua? Yah, walaupun dia juga bukan role model yang baik bagi mereka, sih. Tapi itu adalah masalah lain.
Tidak ada yang berbeda di hari itu. Mereka masih berbicara hal-hal omong kosong seperti biasanya. Berkumpul dan bercanda bersama, kemudian mandi dan pergi tidur secara tertib. Rutinitas sehari-hari, apalagi mereka ada enam orang jadi harus selalu tepat waktu disaat seperti ini.
Osomatsu kesulitan tidur karena Ichimatsu berada di sebelahnya. Tidak, dia tidak banyak tingkah atau apa, hanya saja sang kakak melihat adiknya sedikit melamun dan menatap langit-langit. Osomatsu tidak tahu dia memikirkan apa, tetapi itu pasti sesuatu yang mengganggunya.
"Tidak tidur, Ichimacchan?" Panggil Osomatsu menggunakan nama kesayangannya saat memanggil saudaranya tersebut.
"Aku udah ngantuk."
"Tapi matamu tidak terpejam sama sekali, lho. Kau baik-baik saja?"
"Ya."
Ichimatsu tetaplah Ichimatsu. Bila dia tidak ingin mengatakan apa yang ia pikirkan, maka begitulah akhirnya. Osomatsu juga enggan memaksanya, karena ia rasa saudaranya juga memiliki alasan tersendiri mengapa tidak angkat bicara. Mungkin dia harus menunggu? Entahlah.
"Kalau begitu, selamat malam." Ucap Osomatsu pada adiknya sebelum terlelap dalam mimpinya.
Sesi sarapan di keluarga Matsuno adalah sebuah medan perang.
Ibu menghidangkan makanan ke atas meja dan menatanya, sementara si enam kembar menunggu hingga selesai. Begitu Ibu pergi, mereka segera mengambil jatah masing-masing. Sebab jika tidak begitu, mereka pasti akan bertengkar dan meributkan siapa yang mengambil lebih banyak dari jatah seharusnya.
Suasana begitu tenang, tetapi Matsuno bersaudara tidak boleh lengah sedikitpun. Kemarin, Choromatsu yang kecolongan sosis. Tempo hari, juga ada yang kehilangan jatah telur. Mereka tidak bisa saling percaya dalam hal ini.
Untungnya hari itu tidak terjadi peristiwa yang tidak diharapkan. Semuanya berlangsung damai sampai selesai. Mungkin karena efek hari Minggu, mereka ingin segera bersantai. Bermain ke luar atau bermalas-malasan menonton televisi.
Jyushimatsu mengajak mereka bermain di luar, sekalian berlatih. Semua orang mengikutinya, kecuali Osomatsu dan Ichimatsu. Mereka berdua resmi menjadi penunggu rumah karena ayah dan ibu juga harus pergi menghadiri undangan. Osomatsu karena ingin menonton televisi, sedangkan Ichimatsu memang malas jika harus keluar di hari yang panas ini. Ramalan cuaca kemarin berkata seperti itu.
"Acara televisinya gak ada yang menarik."
Osomatsu menguap, mulai bosan melihat tayangan tidak bermutu. Seharusnya ada animasi serial kesukaannya hari ini, tapi entah mengapa jadwalnya diganti dan ia jadi menyesal karena tidak mengikuti ajakan Jyushimatsu. Tapi semua sudah terlanjur, apa yang bisa dia lakukan sekarang selain menerima keadaan?
Si sulung melirik pada Ichimatsu yang duduk di sebelahnya. Sepertinya acara televisi ini juga membosankan baginya. Tetapi, ia juga jadi teringat perihal kemarin ketika Ichimatsu tampak murung saat melihat kedekatan Todomatsu dan Karamatsu. Apa ia coba bertanya saja, ya?
"Ichimatsu," panggilnya. "sebenarnya aku pengen nanya sesuatu padamu."
Pihak yang dipanggil namanya menoleh. "Ada apa?"
"Maaf jika aku salah, tapi apa kau juga ingin memanggil Karamatsu dengan sebutan 'nii-san' sama seperti Todomatsu?"
Hening.
Walaupun Osomatsu sudah tahu kebenarannya, ia ingin dengar dari mulut Ichimatsu sendiri. Saudaranya tidak pernah banyak bicara, dan hanya bersikap demikian bila saat-saat penting saja. Osomatsu ingin Ichimatsu juga menyampaikan pendapatnya dengan jelas. Bagaimana jika itu menyebabkan stres? Memendam sesuatu terlalu lama juga tidak baik, kan?
"Gak juga."
Tuh, kan. Jawaban itu sudah menjelaskan segalanya. Ichimatsu bahkan sangat sulit untuk jujur pada dirinya sendiri. Membuat Osomatsu makin mendorongnya untuk mengaku.
"Beneran? Tapi kemarin kau melihat mereka dengan wajah murung. Apa kau yakin?"
"Kenapa kau cerewet sekali, Osomatsu?"
"Hei, aku hanya mencoba membantumu. Jika kau masih terlalu malu mencobanya langsung ke Karamatsu, kau bisa … berlatih denganku?"
Sejujurnya Osomatsu baru saja mendapatkan ide itu. Tapi mengingat sifat Ichimatsu, apa dia akan ditolak mentah-mentah? Sial. Ia tidak mempertimbangkannya sama sekali karena itu terlintas begitu saja di kepalanya.
Ichimatsu menatap penuh selidik. "Ngapain aku harus berlatih denganmu?"
Siapa yang tahu jika ada niat terselubung darinya? Misalnya saja, ingin mengerjainya? Walau sebenarnya Ichimatsu juga tak begitu yakin akan hal tersebut karena Osomatsu selalu blak-blakan mengungkapkan apa yang dipikirkannya.
"Soalnya gak ada orang lain di rumah." Balas Osomatsu santai.
Ichimatsu tidak tahu mengapa Osomatsu tiba-tiba membicarakan hal tersebut. Apakah dia memang terlihat sejelas itu kemarin? Tapi tidak ada satupun yang bertanya padanya, jadi ia pikir Osomatsu juga tidak peduli dengannya. Tunggu, kenapa itu terdengar menyedihkan?
Memang benar Ichimatsu ingin bisa memanggil 'nii-san' pada Karamatsu. Itu adalah hal yang benar, karena meskipun mereka kembar, tetap saja ada urutannya. Sama seperti yang dikatakan Todomatsu kemarin. Itu juga terdengar lebih sopan dan mungkin bisa menjadi indikator yang membedakan mereka.
"Hmm. Aku mikir dulu." Sahut Ichimatsu pada akhirnya.
"Gak apa-apa, aku gak akan memaksamu untuk segera melakukannya."
Yah, Osomatsu bisa bernapas lega. Sedikit saja, sih. Sebab Ichimatsu tidak benar-benar menolak idenya ini. Akhirnya, dia bisa mulai jujur pada dirinya … walau tidak begitu banyak.
"N-Nii-san."
Eh?
Osomatsu hampir saja melompat ketika mendengarnya. Itu sangat mengejutkan dan tidak baik bagi kesehatan jantungnya. Dadanya berdebar-debar, apa dia terkena serangan panik? Tenang, Osomatsu, itu hanya panggilan. Bagaimana bisa Karamatsu tampak tenang kemarin setelah mendengar semua ini?
Ichimatsu melihat raut Osomatsu menjadi agak aneh. Apa ini terlalu berlebihan, ya? Ia jadi sedikit tidak percaya diri sekarang. Mungkin sebaiknya ia tidak pernah setuju dengan ini sejak awal. Hasilnya akan tetap sama saja, kan?
"Kenapa wajahmu begitu? Sudah kuduga ini tidak akan berhasil."
Osomatsu kelagapan. "M-maaf, aku terlalu terkejut, Ichimatsu! Itu sama sekali tidak buruk! Ayo kita coba lagi. Bukankah kau ingin memanggil Karamatsu seperti itu juga?"
Ichimatsu mengangguk. "Baiklah, bakal kuulangi."
Senyuman terkembang di wajah Osomatsu. Si sulung kemudian berkacak pinggang dan berkata, "Benar, kita harus berlatih sampai kau bisa mengucapkan 'nii-san' dengan baik dan benar."
SREEK
"Kalian ngapain?"
Ichimatsu terlonjak ketika mendengar suara selain milik Osomatsu. Ia melihat ke arah pintu dan ternyata saudaranya sudah kembali dari luar. Ternyata itu Jyushimatsu. Mengagetkan saja.
"Sepertinya menyenangkan, apa yang kalian lakukan? Berlatih apa?" Jyushimatsu membredeli pertanyaan dan sama sekali tak berniat memberikan waktu untuk berpikir. Ia hanya sedikit mendengar dari luar, jadi ingin memastikan apa yang keduanya bicarakan.
"Oh, kami sedang berlatih supaya Ichimatsu bisa mengucapkan kata 'nii-san'." Jelas Osomatsu. Meski ia juga sedikit kaget dengan itu, tapi demi membantu Ichimatsu, dia akan melakukan apapun.
Jyushimatsu berbinar-binar. "Sepertinya menarik! Aku boleh ikutan?"
"Bagaimana, Ichimatsu?" Tanya Osomatsu pada orang yang bersangkutan. Awalnya ini hanya sesinya, jadi ia merasa perlu bertanya.
Kenapa pula Osomatsu harus bertanya padanya? Batin Ichimatsu berkata demikian. Bukankah dia adalah yang tertua dan bisa memutuskan? Itulah yang sering dilakukan oleh Osomatsu, memutuskan semuanya sendiri dan tidak mau mendengar orang lain. Kenapa hari ini dia aneh sekali?
"Terserah aja, lah." Balas Ichimatsu dengan tidak bersemangat.
Osomatsu merasa tidak enak, tapi akan lebih aneh jika menolak permintaan saudaranya yang lain. "Oke, kau bisa gabung, Jyushimatsu."
"Horeee!" Jyushimatsu menggoyangkan lengan pakaiannya untuk bersorak sendiri. Ichimatsu heran, apa sih yang menarik dari hal in? Mengapa Jyushimatsu ingin ikutan juga? Tapi, biarlah.
"Tunggu, mana yang lain? Mereka gak pulang sama kamu?" Osomatsu bertanya karena hanya melihat Jyushimatsu datang seorang diri. Bukannya tadi mereka pergi bersama-sama?
Jyushimatsu mengetuk pelan kepalanya. Ia tampaknya mengingat sesuatu.
"Ah, sepertinya aku meninggalkan mereka karena ingin segera pulang. Bagaimana kalau kita mulai saja latihannya?"
"Kau gak ngerasa mereka akan marah?" Celetuk Ichimatsu.
"Urusan nanti dipikirin nanti saja." Jyushimatsu hohohihe.
Osomatsu berdehem, yah, berarti itu nanti bukan urusannya lagi. Sekarang ia hanya perlu memberitahu Jyushimatsu mengenai latihan memanggil 'nii-san' ini.
"Apa kau tahu harus ngapain?"
Jyushimatsu memiringkan kepalanya. "Gimana?"
"Coba tambahkan imbuhan 'nii-san' di nama kami." Jelas Osomatsu.
Jyushimatsu mengangguk. "Osomatsu nii-san? Ichimatsu nii-san? Wah, ini ternyata gampang sekali!"
Melihat Jyushimatsu yang bisa melakukannya dalam sekali coba membuat Ichimatsu lagi-lagi merasa iri. Mengapa orang lain bisa mengatakannya dengan mudah namun dirinya tidak? Bukankah ini adalah sebuah misteri? Apa yang harus dia lakukan supaya tidak ragu untuk mencoba memanggil kakak-kakaknya dengan sebutan 'nii-san'?
"Jyushimatsu!"
Pihak yang dipanggil namanya menengok ke belakang, di mana ternyata Karamatsu, Choromatsu dan juga Todomatsu terengah-engah. Tampaknya mereka usai berlari untuk mencari Jyushimatsu. Ia langsung memasang wajah bodohnya dan pura-pura tidak mendengar hingga membuat ketiganya kesal.
"Osomatsu nii-san, Ichimatsu nii-san, bisakah kalian membantuku?" Bujuk Jyushimatsu, berharap kedua saudaranya yang lain berkenan untuk menolongnya. Bila sudah kena amuk, maka tamatlah dirinya.
" … "
Baik Osomatsu maupun Ichimatsu tidak membalas. Keduanya merasa tidak ada hubungannya dengan apa yang akan terjadi pada Jyushimatsu.
Buagh! Buagh! Buagh!
[ Hari itu tidak berakhir dengan damai. ]
Matsuno bersaudara pun memulai sesi latihan mereka. Osomatsu selaku yang tertua berdehem dan kemudian membuka acara tersebut.
"Baiklah, sekarang mari kita mulai latihannya. Cukup memanggil yang lebih tua dengan imbuhan 'nii-san'." Jelas Osomatsu. Mereka harus berhasil melakukan latihan ini, entah bagaimanapun caranya!
Sebenarnya, Osomatsu tidak begitu memikirkan hal tersebut, tetapi dia ingin membantu Ichimatsu saja. Kalau dipikir, bila melakukannya berdua saja juga terasa agak canggung. Karena itu lebih baik melibatkan semuanya sekalian.
"Sebentar, kenapa aku harus memanggilmu 'nii-san'?" Sela Choromatsu, tampaknya tidak terima.
"Kenapa? Aku kan memang lebih tua darimu." Osomatsu sewot.
Choromatsu membalas, "Tapi tidak lebih dari satu hari. Mana bisa itu dihitung. Kita ini kembar, tahu. Apa kau mengerti apa maksudnya?"
"Eh, benar juga, ya. Kenapa kami harus latihan memanggil 'nii-san'?" Jyushimatsu bertanya. Tampaknya ia lupa.
Aura kegelapan mendadak menguar dari Ichimatsu, menunjukkan dirinya sedang tidak senang. "Kau yang memintanya kemarin, kan?"
Jyushimatsu bersimpuh. "Ampuni hamba, Ichimatsu- nii-san!"
"Wah, Jyushimatsu sudah berhasil melakukannya, sial!" Karamatsu berseru. "Aku juga pasti bisa melakukannya!"
Mereka berdua tertawa, meninggalkan Ichimatsu dengan pikirannya.
Nii-san.
Ichimatsu lagi-lagi merasa murung karena Jyushimatsu dapat mengucapkannya dengan mudah. Apakah latihan ini benar-benar akan berhasil? Sekarang ia jadi tidak yakin.
Todomatsu akhirnya berbicara, "Aku sih gak masalah karena kalian semua adalah kakakku, yah, secara teknis. Tapi apa kalian gak bakal bingung? Sebenarnya aku hanya mengkhawatirkan itu."
"Tidak juga. Kita kan tinggal mengurutkan saja. Aku, Karamatsu, Choromatsu, Ichimatsu, Jyushimatsu, lalu Todomatsu." Jelas Osomatsu.
"Oh, kau benar." Karamatsu mengangguk. "Osomatsu, aku, Ichimatsu, Jyushimatsu, Todomatsu—"
"Kau gak nganggep aku, Karamatsu?" Choromatsu bertanya dengan nada kesal.
Karamatsu mengulangi. "Oh, sebentar. Berarti Choromatsu, Osomatsu—"
"Gimana bisa urutannya berubah, Karamatsu?!" Protes Osomatsu.
"Ternyata sulit sekali menghapalkannya." Karamatsu memegangi kepalanya. Ia tidak biasa melakukan ini, jadi mungkin perlu waktu. Mengapa mengingatnya sangat susah?!
"Kau hanya perlu berlatih, bukankah karena itu kita melakukan ini?" Sahut Ichimatsu enteng.
"Ichimatsu, coba kau dulu yang memberi contoh." Kata Karamatsu. Enak saja dia bisa berkomentar sesuka hatinya. Karamatsu akan menunjukkan betapa sulitnya untuk menghapal urutan mereka!
"E-eh, aku? Tapi kenapa?" Ichimatsu bingung.
"Bukankah itu tujuan dari latihan ini? Siapapun yang memulai gak jadi masalah, kan?" Sahut Todomatsu.
"Tapi bukankah kita harus ngurutin dulu?" Jyushimatsu berkata, mengingatkan mereka. Agak tidak disangka dia yang justru berbicara demikian, jadi semuanya memasang wajah aneh ketika mendengarnya.
"Kalian kenapa?" Jyushimatsu heran. Apa saudara-saudaranya sedang tidak enak badan?
Choromatsu mencari ide untuk mengalihkan topik pembicaraan. Rasanya terlalu canggung jika meneruskan ini.
"Ah, aku punya ide! Bagaimana kalau kita duduk berjejeran sesuai urutan, jadi kita gak bakal bingung siapa yang lebih tua dan harus dipanggil 'nii-san'."
"Wah, ide yang bagus!" Karamatsu dan Jyushimatsu memberikan jempol untuk Choromatsu. Pertanda bahwa mereka setuju.
"Aku oke." Todomatsu juga tidak menolaknya.
Osomatsu terdiam sejenak dan berpikir, sembari sedikit melirik ke arah Ichimatsu. Dia diam saja, berarti tidak ada masalah, seharusnya. Sebenarnya, rencananya hanya mereka berdua saja, bukan? Tapi karena yang lain ikutan jadi dia juga harus mempertimbangkannya. Terutama yang tidak bisa mengingat urutan mereka.
"Itu masuk akal, baiklah, kita lakukan saja."
Akhirnya mereka berenam duduk berjejeran. Mulai dari Osomatsu, Karamatsu, Choromatsu, Jyushimatsu—
"Sebentar, bukankah harusnya aku setelah Choromatsu?" Ichimatsu berkedut kesal.
"Baiklah, kita ulangi."
Akhirnya mereka berenam duduk berjejeran. Mulai dari Osomatsu, Choromatsu, Ichimatsu—
"Kenapa sekarang jadi giliranku yang menghilang?!" Tidak terima, Karamatsu mencak-mencak. Beruntung dia berhasil dihentikan oleh Jyushimatsu dan Choromatsu agar tidak menyebabkan kegaduhan lebih lanjut.
"Udahlah, biar aku aja yang ngurutin."
Todomatsu menghela napas lelah. Mengapa semua saudaranya seperti ini? Tidak ada yang bisa diharapkan sama sekali. Kalau seperti ini, bukankah sebaiknya dia saja yang menjadi saudara tertua?
Ah, jangan, deh. Itu sangat merepotkan bila dia harus bertanggung jawab jika terjadi apa-apa.
Akhirnya dengan bantuan Todomatsu, mereka pun berhasil mengurutkan diri masing-masing. Duduk bersisian dan sekarang adalah waktunya berlatih mengucapkan kata 'nii-san'. Tetapi mereka semua hanya terdiam, tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun selama bermenit-menit.
Suasana yang tidak mengenakkan.
"Jadi … dari mana kita harus memulainya?" Tanya Karamatsu.
Todomatsu menoleh. "Bukannya dari yang tertua dulu?"
"Gak mendingan dari kamu aja?" Sahut Jyushimatsu.
Choromatsu menjentikkan jari. "Kita putuskan pakai vote saja kalau begitu. Siapa yang mau mulai dari Osomatsu? Angkat tangan."
Tidak ada yang bergerak.
"Woi, aku sakit hati, nih!" Pekik Osomatsu.
"Eh, sebentar. Ichimatsu mengangkat tangannya." Karamatsu menunjuk ke arah yang bersangkutan.
Benar saja, Ichimatsu memang memilih Osomatsu sebagai titik awal. Semuanya memandangi Ichimatsu dengan tatapan yang sulit diartikan. Choromatsu pun sampai bertanya,
"Kau serius, Ichimatsu?"
"Apa masalah kalian? Tentu saja harus urut seperti itu, kan? Nanti bingung lagi jika dimulai dari Todomatsu." Balas Ichimatsu. Mengapa mereka semua membesar-besarkan perkara kecil? Lebih baik cepat diselesaikan daripada harus berlama-lama di tempat yang sama.
Semua tampak setuju karena itu terdengar lebih masuk akal. "Oh—begitu rupanya!"
Osomatsu berdehem. "Oke, Karamatsu, kau duluan yang mulai."
Karamatsu mengangguk. "Baiklah, Osomatsu nii —"
KLONTANG
"A-apa itu?" Mereka terkejut karena tiba-tiba mendengar suara yang begitu keras. Semua refleks keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi. Rupanya ibu terjatuh dengan panci di sekelilingnya.
"Ibu, apa yang terjadi?!" Seru enam kembar Matsuno bersamaan. Khawatir bila ada apa-apa terhadap ibu mereka.
Ibu yang terjatuh menatap mereka semua. "Ah, ibu mau memindahkan panci yang tidak terpakai ke bawah karena ingin menjualnya. Orang yang membelinya akan datang dan mengambilnya di depan."
"Kami akan membantu!"
"Ah, terima kasih banyak!"
.
.
.
Setelah membantu ibu, mereka pun kembali ke posisi semula. Kali ini, Karamatsu berdehem. Ia kemudian hendak mengucapkan imbuhan itu. Ibu sudah dibantu, jadi ini harusnya bisa berjalan dengan lancar.
"Osomatsu nii—"
"Osomatsu, Karamatsu, Choromatsu, Ichimatsu, Jyushimatsu, dan Todomatsu. Hatabou mencari kalian!" Ibu berseru. Walau berasal dari luar ruangan, suaranya masih terdengar karena rumah mereka tidak begitu luas.
"AAAAAKHHHHHHH!"
Karamatsu mengerang frustrasi. Dari tadi dia belum latihan dengan benar karena hal-hal tidak terduga terus bermunculan. Mengapa seakan takdir menghalangi latihan ini supaya tidak terjadi? Apakah … tidak akan ada lagi yang memanggilnya nii-san selain Todomatsu setelah ini?
"Bukankah kita harus menemuinya?" Tanya Ichimatsu. Sebenarnya, ia tidak begitu peduli. Tapi ini mengganggu latihan mereka.
"Bilang saja kita sibuk." Sahut Jyushimatsu. Tumben pikirannya bisa berjalan dengan benar.
Choromatsu membenahi posisi kacamata imajinernya. "Todomatsu, sampaikan."
"Ibu, maaf, kami sedang sibuk sekarang!" Seru Todomatsu, langsung menyampaikan begitu diberi amanat.
"Baiklah!" Sahut ibu.
Hah. Sekarang mereka berenam kembali ke titik awal lagi. Kali ini Karamatsu menarik napas, mencoba meyakinkan dirinya bahwa takkan terjadi apapun. Semua halangan sudah tidak ada. Ia lalu bersiap-siap untuk mengucapkannya.
"Osomatsu-nii-san."
"Wah, kau berhasil melakukannya! Aku gak sabar buat giliranku!" Jyushimatsu berbinar-binar.
"Ternyata mudah, ya." Kata Karamatsu.
"Benar, kan?" Timpal Todomatsu.
Oke. Tidak ada masalah. Kemudian berikutnya, adalah giliran Choromatsu.
"Osomatsu nii-san."
Sunyi.
Sepi.
Padahal sudah tidak ada gangguan , tapi kenapa begini? Karamatsu saja berhasil. Choromatsu tidak mengerti sebelum dirinya melihat wajah pucat Osomatsu.
"Kau kenapa?" Heran Choromatsu.
"Ukh," Osomatsu menutup mulutnya. "Rasanya aku mual mendengarmu memanggilku begitu."
Karamatsu menyilangkan lengan. "Apaan, sih. Katamu kita harus berlatih."
"Benar, tapi ketika aku mendengar dari Choromatsu rasanya—huekkkk bleh bleh bleh." Osomatsu muntah pelangi karena tidak tahan. Semua langsung berseru secara serempak,
"Osomatsu nii-san!"
[Setidaknya latihan mereka sudah mulai membuahkan hasil.]
Setelah melewati perjuangan yang begitu berat dengan keringat, darah, dan air mata, kini enam bersaudara Matsuno mulai terbiasa memanggil dengan sebutan 'nii-san' terhadap yang lebih tua. Meskipun kadang masih terbolak-balik.
"Todomatsu nii-san!"
"Jyushimatsu nii-san, urutannya terbalik."
"Oh, maaf. Aku lupa. Tehee."
Semacam itu.
Hari ini Ichimatsu juga berniat mencobanya. Tetapi dia tidak tahu harus mulai dari mana. Bagaimana dia harus mengatakannya? Apakah dia memanggil Osomatsu dulu, baru kemudian Karamatsu dan Choromatsu? Atau bagaimana?
"Ichimatsu, kenapa ngelamun?"
"Ah, maaf. Aku lagi mikirin sesuatu."
Hari ini hanya ada Osomatsu dan Ichimatsu di rumah. Todomatsu ada acara dengan temannya, Jyushimatsu sibuk berlatih, Choromatsu pergi entah ke mana. Karamatsu? Entahlah, dia juga tidak mengatakan apa-apa.
Sedangkan Osomatsu tidak ingin mengganggu mereka, begitu pula Ichimatsu yang tak memiliki rencana. Akhirnya hanya mereka berdua, selain ibu mereka karena sang ayah belum pulang dari pekerjaannya.
"Ceritain aja." Osomatsu berusaha membujuknya. Ini adalah saat yang tepat jika ia ingin makin mengenal Ichimatsu. Sebagai yang tertua memang harus memperhatikan semua saudaranya, kan?
"Gak perlu."
"Kenapa enggak? Oh, iya. Hanya kau satu-satunya yang belum memanggilku nii-san, Kapan kau akan melakukannya?"
"Gak tahu."
"Ichimatsu," Osomatsu meraih bahunya dan memaksanya untuk melihat ke arahnya. "Ayo dicoba."
"Apa sih yang kau lakukan?" Ichimatsu merasa risih. Ada apa dengan Osomatsu yang begitu memaksa hari ini? Biasanya dia tidak pernah bersikap seperti itu, meski sifatnya juga agak mengesalkan.
Soal panggilan itu, benar. Hanya Ichimatsu yang belum bisa melakukannya, sementara saudaranya yang lain sudah mulai membiasakan diri mereka meski masih ada kesalahan. Namun bagi Ichimatsu, ini adalah sebuah tantangan yang sangat sulit. Mungkin karena sebelumnya ia kurang akrab dengan mereka?
Entahlah.
Baru kali ini Ichimatsu berpikir seperti itu. Padahal mereka bersaudara, kembar enam pula. Tetapi ia selalu merasa jauh dari mereka. Apakah dirinya ini aneh karena berbeda?
"Aku gak tahu apa yang kamu pikirin, tapi jadilah dirimu sendiri, Ichimatsu. Bukankah kau yang menginginkan ini? Lalu kenapa sekarang kau lari?" Osomatsu bertanya.
Dia berusaha bersabar dan tidak terlalu memaksa, tapi sepertinya hari ini adalah batasnya bisa memberi toleransi untuk Ichimatsu yang masih belum ada perkembangan.
"Aku …, " jeda. "aku gak kaya gitu."
Ichimatsu yakin dirinya tidak lari, dia hanya perlu waktu. Mengapa Osomatsu tidak mengerti? Lagipula … kenapa dia harus mengikuti tempo orang lain? Bukankah selama hasilnya sama itu tidak apa-apa?
"Hah, aku juga gak mau maksa, tapi kau tahu, Ichimatsu," Osomatsu menatapnya lurus. "Kau sepertinya gak ingin mencoba sama sekali, bahkan setelah kita berlatih."
Ichimatsu tidak menjawab, hanya menunduk. "Apa sebegitunya kau ingin dipanggil begitu?"
"Iya!" Seru Osomatsu, sedikit membuat Ichimatsu terkejut.
"Tenang sedikit, bagaimana jika kita dikira berkelahi?"
Osomatsu berkacak pinggang. "Biarin aja. Kenapa harus peduli sama omongan orang lain? Kaya bukan kamu aja. Jadilah dirimu sendiri, Ichimatsu. Aku hanya tidak tahan melihatmu menyerah semudah ini."
Menyerah?
Ah, jadi begitu.
Sebenarnya, Ichimatsu memutuskan untuk menyerah sejak awal. Dia bahkan tidak mau mencoba. Beberapa kali ia memang bisa memanggil Osomatsu dengan imbuhan 'nii-san' selama latihan.
Dia hanya akan melihat, kemudian menggerutu mengapa orang-orang bisa melakukan hal yang tidak dia mampu. Dia hanya akan memendam semua yang ia pikirkan dalam hati. Dia hanya akan menutup mulutnya, mencegah ucapan yang mungkin akan menunjukkan perasaannya.
Dia hanya akan memandangi dari kejauhan dan berusaha melindungi hatinya sendiri.
Ichimatsu takut bahwa hasilnya tidak akan sesuai harapannya. Hatinya terlalu lemah untuk sebuah penolakan, bahkan meski tidak akan ada yang membicarakannya. Ia mungkin khawatir bila ada yang merasa tidak nyaman dipanggil seperti itu, walaupun jelas-jelas semua saudaranya tak pernah mempermasalahkannya.
Apakah dia yang memang selalu seperti ini?
"Maaf." Ichimatsu tidak tahu harus berkata apa lagi.
Osomatsu menggeleng. "Gak perlu, kau hanya perlu lakukan saja. Ayo, Ichimatsu, kau pasti bisa."
Ichimatsu masih cemas, tetapi berusaha menyingkirkan kabut yang selalu menghalanginya. Osomatsu sudah berkata demikian, ia harus mencoba percaya. Lagipula, sekarang hanya ada mereka berdua. Ia tak perlu lagi memikirkan hal lain yang tak penting.
"O—" masih kelu, Ichimatsu tetap berusaha memberanikan dirinya.
"Benar, teruskan seperti itu." Osomatsu memberi semangat padanya.
Semua rasanya berputar. Ichimatsu masih ragu, namun bukankah dia yang menginginkan ini juga? Awalnya, itu karena dia juga ingin akrab dengan Karamatsu. Mau tidak mau, ini adalah keputusannya sejak awal dan ia harus mempertanggungjawabkannya.
Ichimatsu menarik napas, kemudian mengembuskannya perlahan. Lalu dengan mengumpulkan niatnya, mulutnya pun terbuka.
"O-Osomatsu … nii-san."
Akhirnya kata itu terucap juga, yang selalu tertahan di tenggorokannya beberapa waktu ini. Rasanya begitu lega, karena sesuatu yang mengganjal sudah tidak ada. Ichimatsu tidak menyangka dia bisa mencapainya dengan bantuan Osomatsu.
"Lihat, gak susah, kan?" Osomatsu tersenyum lebar, begitu menyilaukan bagi Ichimatsu.
"Benar, nii-san." Ichimatsu masih tidak percaya itu ternyata mudah sekali dikatakan. Apa yang selama ini dia cemaskan? Mengapa butuh waktu begitu lama untuk menyadarinya?
"Nah, begitu dong! Aku senang sekali mendengarnya!"
Satu hal yang tidak disangka Ichimatsu adalah Osomatsu yang mendadak memeluknya erat-erat. Ia hampir saja terhuyung ke belakang, tapi untungnya masih bisa menahan. Sepertinya kakaknya senang sekali dengan hal ini. Ini memang mengharukan, tetapi …
"Aku sesak napas, nii-san." Kata Ichimatsu.
"Maaf, maaf!" Osomatsu merenggangkan pelukan mereka. Bisa gawat kalau saudaranya mati karena kehabisan napas gara-gara dirinya. Tangannya yang semula berada di bagian punggung, kini beralih menggenggam telapak Ichimatsu.
"Nii-san senang sekali!"
Senyuman menyilaukan itu datang lagi. Detik itu, Ichimatsu hanya terpaku. Merasakan betapa tulusnya kalimat dari Osomatsu. Perlahan, ia juga menyunggingkan sudut bibirnya, meski tipis sekali.
Aku juga.
