Osomatsu-san (c) Akatsuka Fujio

Karamatsu/Everyone

post-canon, canon settings

buat bang jim


Kesepian.

Itulah yang sedang dirasakan oleh Karamatsu saat ini.

Sebenarnya dia tidak benar-benar sendiri, memiliki lima saudara kembar. Itu adalah jumlah sangat banyak dan dulunya mereka begitu dekat. Mereka bahkan sering melakukan apapun bersama-sama. Tertawa dan bercanda dalam melalui hari-hari.

Namun, entah sejak kapan, jarak di antara mereka mulai muncul. Semakin renggang, saling menjauh hingga sampai tahap enggan bertatap muka. Sesuatu yang tidak seharusnya terjadi pada hubungan persaudaraan mereka. Distan yang amat menyakitkan.

Karamatsu memikirkan masalah mereka sepanjang waktu, tapi bukankah itu percuma jika tak menemukan solusinya? Orang bilang masa SMA adalah yang paling indah, tapi tampaknya itu hanyalah mitos belaka bagi mereka. Relasi Karamatsu dengan lima saudaranya adalah contoh. Ia bahkan tidak tahu dari mana harus mulai mengurai benang kusut ini.

Sebenarnya Karamatsu sangat ingin membicarakan ini. Namun ia takut bila justru akan memperburuk hubungan mereka semua hanya karena dirinya. Dia sama sekali tidak bisa berpikiran optimis karena kenyataannya sudah separah itu. Mereka berenam bahkan jarang berbicara di rumah.

Sangat sulit bila ingin memperbaiki semuanya seperti semula.

Bukannya Karamatsu masa bodoh, atau benar-benar tidak tahu mengenai penyebab kenapa mereka berenam berakhir begini. Semua orang sering kali salah memanggil nama mereka, ini bisa dimaklumi karena mereka kembar. Tetapi, kemudian, enam entitas itu mulai dibandingkan, dipandang merepotkan.

Mungkin dari sana pula lah titik yang mengawali keretakan hubungan mereka.

Bohong bila Karamatsu tidak merasa takut. Banyak pikiran buruk menghantuinya, yang mana hanya bisa melihat semua saudaranya berubah. Ia penakut serta pengecut, kombinasi yang sangat sempurna.

Karamatsu adalah pribadi yang tidak percaya diri. Ia memiliki banyak kekurangan, sehingga takut orang akan berkomentar buruk tentangnya. Namun sebenarnya itu bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan permasalahannya sekarang. Ia lebih takut mendapat anggapan mengganggu dari saudaranya bila dirinya turut ikut campur.

Jadi, sebisa mungkin, Karamatsu juga berusaha membantu saudaranya ketika mereka berada dalam kesulitan. Ia tidak melakukannya secara terang-terangan karena takut itu akan mempengaruhi hubungan mereka sekarang. Dia tidak ingin semuanya bertambah jadi kian buruk.

Misalnya saja ketika Osomatsu tak sengaja mengotori pakaian olahraganya karena terkena tumpahan kopi dari temannya, Karamatsu akan menggantinya dengan seragam miliknya. Atau ketika bekal milik Todomatsu tertinggal, Karamatsu juga akan membawakannya ke sekolah, tidak lupa menyelipkan permen serta makanan manis kesukaan adiknya.

Lain waktu juga ada kejadian seperti ini, ketika Choromatsu tak bisa membawa buku pelajarannya, dia pun meminjamkan miliknya. Karamatsu lewat di sekitar area loker secara kebetulan dan tahu saudaranya itu diisengi oleh teman sekelasnya. Mereka mengunci loker Choromatsu, membuang kuncinya dan mengatainya aneh, kemudian tertawa-tawa seperti tidak berdosa sama sekali.

Lihat, dia hanya seorang pengecut. Tak berani melakukan apapun bahkan ketika saudaranya diperlakukan demikian oleh orang asing. Karamatsu takut jika melangkah, itu akan memperburuk semuanya. Jadi ia memilih diam, berdiri seperti patung dan hanya memperhatikan. Ia merasa tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menghentikan perang dingin di antara mereka.

Karamatsu hanya akan merenung, meratapi apa yang terjadi. Terkadang bahkan melamun karena memikirkannya setiap saat. Apakah saudaranya baik-baik saja hari ini?

Menggelikan. Ia bahkan tidak bisa menanyakan hal sesederhana itu pada saudaranya sekarang karena rasa takutnya. Padahal mereka bertemu setiap hari, tinggal di atap yang sama. Namun rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang membatasi. Seolah memisahkan mereka dengan sendirinya.

Bukankah itu sangat menyedihkan?

Karamatsu pun kembali hanya menjadi pengamat hari ini. Baik di rumah ataupun sekolah. Memperhatikan apakah ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk saudaranya. Maka ia pun memutuskan melihat mereka sebentar hari ini.

Todomatsu masih menempel pada Choromatsu, seperti anak kecil saja. Ia sedikit ketakutan dan terus memegang lengan kakaknya agar tidak terpisah. Mereka tampak dekat, membuat Karamatsu sedikit lega. Setidaknya mereka bersama, begitu pikirnya.

Karamatsu dengar, Jyushimatsu dipanggil ke kantor kesiswaan karena terlambat masuk kelas. Penampilannya juga berubah dan agak membuat Karamatsu khawatir. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi tampaknya saudaranya itu hanya diberi nasihat saja oleh guru yang bersangkutan. Sehingga ia pun bernapas lega ketika mendengar dari balik pintu. Kemudian pergi sebelum saudaranya keluar dari ruangan itu.

Berikutnya adalah Ichimatsu. Dia bersosialisasi dengan cukup baik, seharusnya Karamatsu juga tidak mencemaskan apapun. Setidaknya, Ichimatsu tidak sendirian, begitulah pikirnya. Namun tidak dapat dipungkiri, Karamatsu juga merasa tersisihkan ketika melihatnya. Walaupun ia tahu bahwa Ichimatsu sebenarnya hanya memaksakan dirinya.

Osomatsu? Tanpa perlu menengok pun, Karamatsu tahu apa yang sedang dia lakukan. Mungkin saja melakukan hal-hal bodoh sesuka hatinya.

Sayang sekali, ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk itu.

Karamatsu hanya berpikir, bahwa semuanya akan membaik seiring waktu. Ternyata tidak sama sekali. Ia masih merasa begitu kesepian, bahkan takut ketika ada orang yang memanggilnya. Mereka bukan saudaranya, jadi Karamatsu memiliki kecemasan untuk hal tersebut.

Karamatsu ingin sekali dipanggil oleh saudaranya, bersama-sama lagi seperti dahulu kala. Di mana mereka masih saling bergandengan tangan dan merangkul bahu, tertawa dengan renyah tanpa memikirkan apapun. Bermain, bercanda, apapun itu. Selama bisa menghabiskan waktu dengan saudara-saudaranya, Karamatsu akan merasa senang. Itu sudah lebih dari cukup.

"Matsuno!"

"Hiee!"

Karamatsu panik ketika namanya dipanggil oleh salah seorang teman kelasnya. Ia berkeringat dingin dan kemudian berlari menjauh secepat yang ia bisa. Sangat sulit mengatasi ini, meski tahu bahwa temannya tersebut tidak memiliki maksud apa-apa.

"Matsuno, aku hanya ingin mengumpulkan pekerjaan rumahmu!" Seru temannya itu.

"A-ambil saja di tas!" Balas Karamatsu sambil melenggang pergi. Dia berlari begitu cepat hingga kini telah menghilang dari batas pandang si pemanggil.

" Dia selalu begitu, si Matsuno itu … "

Bisik-bisik di koridor tidak bisa dihindarkan. Suara Karamatsu begitu keras sehingga menarik atensi. Beberapa siswa lain yang kebetulan berada di sana tentu saja akan membicarakan hal tersebut. Mereka berkumpul, mendekat dan kemudian mulai membicarakan Karamatsu.

"Oh, Matsuno yang itu? Dia pengecut sekali, masa' selalu lari ketika dipanggil temannya?"

"Masa', sih?"

"Wajahnya juga berjerawat, apa dia tidak cuci muka, ya?"

"Hahahaha! Kau benar, pasti begitu!"

Mereka tertawa-tawa sampai kemudian seseorang datang menghampiri. Penampilannya acak-acakan, dengan wajah galak dan juga sikap preman. Kedua tangan diletakkan di saku celana, menatap tajam sambil berkata dengan nada marah,

"Kalian ngapain di situ?"

Wajah seram Jyushimatsu membuat bulu kuduk para penggosip itu merinding. Kaki pun segera mundur beberapa langkah sembari gemetaran. Mereka terkejut seolah melihat makhluk dari dunia lain dan refleks berteriak,

" Mampus, itu Jyushimatsu!"

Mereka yang membicarakan Karamatsu langsung kabur begitu saja karena takut dihajar. Belakangan, Jyushimatsu sangat mencolok, jadi lebih mudah dikenali sekarang. Terlebih, pemuda itu juga tampak menakutkan saat menatap. Tentu saja kabur adalah pilihan yang paling baik.

" Cih," decak Jyushimatsu. Orang-orang sampah, beraninya bicara di belakang saja. Ia benar-benar tidak menyukainya. Jadi memberikan mereka sedikit pelajaran seharusnya bukan masalah.

Jyushimatsu menghela napas. Ia kemudian melihat ke arah Karamatsu pergi. Seharusnya sekarang baik-baik saja. Jadi ia pun berbalik pergi. Ia sudah melakukan apa yang harus dilakukan, tidak perlu berlama-lama, kan?

[ Karamatsu yang bersembunyi di balik dinding hanya bisa terdiam. ]


"Klub drama?"

"Benar, Matsuno. Apa kau tertarik?"

Karamatsu berkedip. Ia tengah berjalan di lorong hari ini untuk ke kantin. Kemudian tanpa sengaja bertemu dengan salah satu anggota klub drama di jalan. Orang itu pun tiba-tiba saja menanyainya apakah ia tertarik untuk masuk bersamanya.

Kali ini Karamatsu tidak kaget, karena ia tahu anggota klub drama itu berjalan berlawanan arah darinya jadi tidak terlalu mendadak baginya. Karamatsu melihatnya membawa selebaran, pasti orang itu diminta mencari anggota baru. Yang benar saja, kenapa harus dirinya dan bukan orang lain?

"Kau bisa belajar banyak hal di klub drama!" Orang itu masih berusaha membujuk Karamatsu.

"Ta-tapi aku belum pernah berakting sebelumnya."

"Justru karena itu, kau harus mencobanya!"

"Aku takut tidak sesuai harapanmu … "

"Sudahlah, ayo ikut saja! Oke? Kami mengandalkanmu, jadi ayo isi formulir anggota dulu!"

Karamatsu kelabakan, tapi tidak enak jika menolak secara terang-terangan. Akhirnya ia pun terseret ke klub drama untuk melakukan registrasi sebagai anggota. Sejujurnya, Karamatsu bahkan tidak pernah mengira akan mendapatkan tawaran secara langsung seperti ini.

"Nah, isi namamu di sini, kemudian kelas, lalu … "

Karamatsu tidak begitu mendengarkan. Ia sibuk berpikir mengapa sekarang dirinya berada di sini. Memangnya dia punya kemampuan? Kira-kira seperti itulah. Orang yang merekrutnya, ia juga baru bertemu hari ini tapi mereka bicara seolah-olah sudah saling mengenal. Ataukah ini hanya perasaannya saja?

Mengikuti instruksi, akhirnya Karamatsu pun menyelesaikan formulir pendaftarannya. Semua terjadi begitu cepat hingga ia belum memproses segala sesuatunya di benak. Apakah ini nyata? Atau sebenarnya dia hanya bermimpi saja? Karena jika dipikir-pikir, semuanya sangat aneh dan terlalu mendadak.

"Yosh! Kau bisa mulai datang besok, Matsuno!"

Karamatsu berusaha menyela, "Ta-tapi aku … "

"Kau sudah mengisi formulirnya, oke?"

"Ba-baik."

Karamatsu terlalu takut menyampaikan pendapatnya, jadi ia memilih diam. Lagipula dia juga sudah mendaftar, menolak akan makin sulit. Tapi apa yang akan terjadi padanya setelah ini? Dia tak memiliki pengalaman apa-apa. Sulit sekali rasanya untuk tenang.

Sampai pulang pun, Karamatsu masih memikirkan soal itu. Bagaimana ini? Dia takut hanya akan jadi beban di klub drama. Walau harus diakui, bahwa sebenarnya Karamatsu senang karena diajak meski bukan dari seseorang yang ia kenal. Tapi keduanya adalah hal yang berbeda.

Di rumah, sebenarnya juga tak ada hal khusus. Semua saudaranya masih begitu, membuat Karamatsu sedih. Mereka saling menjaga jarak dan sibuk dengan urusan masing-masing. Berkumpul, tapi seolah tak ada apapun yang menghubungkan mereka meskipun nyatanya sedarah. Apa memang benar-benar tidak ada harapan supaya mereka bisa kembali ?

Karamatsu tahu tidak akan semudah itu, jadi ia melakukan apa yang bisa dilakukannya. Seperti membantu menata sepatu saudara-saudaranya di rak, atau sekadar membereskan kekacauan yang mereka buat di kamar. Misalnya saja, makan snack dan bungkusnya tidak dibuang. Sesuatu yang sederhana seperti itu saja sedikit memuaskannya.

Namun selang beberapa waktu, ternyata itu tidaklah cukup. Sehingga Karamatsu akan diam-diam menempel pada saudaranya karena rasa rindu yang terus menumpuk. Ia hanya berani menyelinap masuk ke selimut Ichimatsu atau Jyushimatsu, sebab yang lainnya bukanlah opsi yang bagus. Mungkin bisa dikatakan ini adalah firasatnya karena sudah lama mengenal mereka.

Karamatsu bisa tidur dengan nyenyak setelah itu. Ia tidak tahu apakah ini sebuah ketergantungan atau tidak karena sesekali melakukannya. Ia harap, baik Ichimatsu maupun Jyushimatsu tidak ada yang menyadari tingkahnya. Dia masih belum mau dicap aneh oleh saudaranya sendiri.

Ketika Karamatsu terlelap, Jyushimatsu dan Ichimatsu bergantian menatap saudara mereka itu. Lalu saling bertukar pandang, seolah mengerti apa yang dibicarakan pihak lain dalam hati.

Tentu saja keduanya tahu beberapa kebaikan Karamatsu pada mereka, jadi melakukan semacam timbal balik. Lagipula, hubungan mereka dengan Karamatsu sebenarnya tidak terlalu buruk karena kakak nomor dua itu lebih banyak diam daripada yang lainnya. Sehingga sebenarnya tidak ada perselisihan, tetapi karena suasananya sedang tidak enak, jadi berbicara juga terasa sungkan.

Mereka kemudian memutuskan untuk segera tidur juga dan membagi lebih banyak selimut untuk Karamatsu. Setelah itu memejamkan mata dan menuju ke alam mimpi.

[ Mereka tidak tahu, Karamatsu belum sepenuhnya tertidur saat itu. ]


Kegiatan klub drama sebenarnya cukup seru.

Karena anggotanya agak banyak, suasananya jadi ramai. Karamatsu datang dengan keraguan, karena ia tidak percaya diri. Tetapi siswa yang merekrutnya kemarin melihatnya dan kemudian menyeret Karamatsu untuk bergabung.

Karamatsu sungguh tidak tahu apa-apa soal drama. Namun siswa yang mengajaknya itu tiba-tiba berkata,

"Tidak apa-apa, Matsuno. Karena baru bergabung, kau boleh melihat-lihat dulu latihan kami. Sesuatu seperti itu datang secara alami, jadi kami juga tidak mau memaksa."

Sesungguhnya Karamatsu begitu enggan, tetapi akhirnya dia setuju karena hanya harus melihat. Latihan klub drama, ya … mungkin tidak ada salahnya menonton sesekali. Hanya saja, Karamatsu tidak ingin melihat dari depan, jadi ia berjalan menjauh dari panggung yang akan digunakan sebagai latihan.

Karamatsu pernah dengar bahwa klub drama sekolah mereka cukup bagus, tapi tak pernah melihatnya secara langsung. Mungkin ini hanya kesempatan sekali seumur hidup, karena setelah ini sepertinya ia ingin mengundurkan diri saja sebagai anggota.

Pertunjukan latihan memakai skrip Hansel dan Gretel, cerita yang cukup populer. Bahkan Karamatsu yang tak terlalu banyak tahu soal kisah-kisah fiksi pernah mendengarnya.

Semua orang segera mengambil posisi masing-masing, kemudian pengarah alias sutradara akan memberikan aba-aba untuk mulai, berhenti, dan sebagainya. Narator pun bersiap-siap sambil mengecek pelantang suaranya berkali-kali. Karena ini latihan, jadi tidak ada yang menggunakan kostum. Mereka hanya mengenakan baju olahraga atau seadanya.

Latihan pun dimulai. Narator membacakan narasinya, kemudian para pemeran mulai muncul di atas panggung. Mereka berakting di atas sana sambil mengucapkan dialog yang telah dipelajari sebelumnya. Sebenarnya, itu hanyalah cerita biasa, menurut Karamatsu. Kisah fiksi polanya memang selalu seperti itu, bukan?

Namun yang tidak disangka, adalah betapa lihai para aktor ketika bersandiwara. Memang tidak sempurna, tapi sangat terasa menjiwai. Mereka membawakan peran mereka dengan baik dan membuat dirinya hanyut dalam pertunjukan itu hingga selesai. Semua perasaan yang terbawa dari pentas telah mencapai hatinya.

Itu bagus sekali.

Karamatsu tanpa sadar terpukau, matanya berbinar-binar seolah menemukan tujuan baru. Padahal ia berencana segera pergi dari klub drama, tetapi melihat penampilan mereka berhasil sedikit menggoyahkan niatnya.

Para anggota bubar setelah pertunjukan latihan selesai. Mereka melakukan sedikit review dan kemudian mengecek ulang naskah untuk diperbaiki. Benar-benar sangat totalitas. Karamatsu tidak pernah punya gambaran sebuah klub sebelumnya, tapi sekarang ia bisa melihatnya secara langsung. Kegiatan seperti ini … tidak buruk juga.

Eh?

"Matsuno, bagaimana? Pertunjukan kami sedikit bagus, kan?" Siswa yang mengajak Karamatsu kemari menghampirinya. Beruntung Karamatsu tidak terkejut karena dia datang dari arah depan.

"I-iya … " balas Karamatsu.

"Kalau begitu, kau tidak ada masalah bergabung dengan kami, kan?"

"A-apa yang—"

"Woah, terima kasih, Matsuno! Aku tunggu kembali kau untuk datang besok!"

Karamatsu tidak tahu harus menjawab apa. Ia merasa sungkan jika harus menolak secara terus terang, tetapi menerimanya begitu saja juga membuatnya takut. Namun pada akhirnya, Karamatsu tidak berkata apa-apa dan hanya menggaruk kepalanya.

Pemuda itu kembali ke kelas setelahnya. Ia takkan datang lagi ke tempat itu, lebih baik kembali pada hari-harinya yang biasa. Duduk di kursi, menunggu angin datang membelai helai rambutnya. Atau memikirkan saudara-saudaranya. Sudah berapa lama mereka seperti ini?

Karamatsu tidak mau menghitung berapa banyak waktu yang berlalu.

Meski demikian, Karamatsu tahu bahwa masih ada saudaranya yang sedikit peduli padanya. Mungkin itu hanya Ichimatsu dan Jyushimatsu untuk sekarang, tetapi ini menunjukkan bahwa relasi mereka masih memiliki harapan. Hanya saja, Karamatsu masih merasa ketakutan. Ia tidak bisa mengumpulkan keberanian.

Karamatsu masih melihat mereka, mengamati dan kadang membantu saudaranya yang kesulitan tanpa rasa pamrih. Dia melakukannya karena ingin, tiada paksaan. Ini untuk saudaraku, begitulah yang selalu ia pikirkan. Ia tidak peduli, bahkan bila seorang di antara mereka merasa keberatan dengan tindakannya.

Hari demi hari terlewati hingga sehari sebelum kelulusan mereka. Siang itu, Karamatsu mendapatkan surat dari seseorang bernama Takahashi, tertulis nama di bagian pengirimnya seperti itu. Kata 'Untuk Matsuno' pada amplop menunjukkan bahwa mungkin ini ditujukan untuk salah satu saudaranya. Mereka ada enam, omong-omong, termasuk dirinya.

Sayangnya, rasa cemas Karamatsu terus muncul. Ia duduk di bangku sambil menghela napas, memegang sepucuk surat yang entah apa isinya. Apakah dia harus membacanya sekarang? Atau memberitahu saudaranya terlebih dahulu?

Karena Karamatsu merasa ini kesempatan yang bagus untuk bicara dengan saudaranya, maka Ia memutuskan tidak untuk membacanya dan mencari mereka. Ini memang hanya sebuah surat, siapapun penerimanya bukanlah masalah selama bisa menjadi alasan yang bagus.

Karamatsu mulai mencari saudaranya setelah itu. Pergi ke tempat di mana mereka biasa muncul, sebab ia-lah yang selalu mengamati mereka setiap hari. Namun entah kenapa, Karamatsu tidak bertemu dengan satu pun dari mereka hari ini. Bahkan meski saling menjauh, seharusnya Karamatsu masih bisa melihatnya.

Namun hingga sore hari, hasil pencariannya nihil. Saudaranya bagai hilang ditelan bumi padahal Karamatsu yakin mereka takkan pergi begitu saja. Lalu ke mana mereka hari ini? Apakah mereka akan meninggalkan Karamatsu sendirian seperti ini?

Itu menakutkan.

Dalam perjalanan pulang, Karamatsu hanya mendengar langkah kakinya sendiri. Berikut bayangan panjang, terbentuk dari bias cahaya yang menemani dirinya saat ini. Begitu sepi, begitu sunyi. Tak ada gelak tawa atau candaan dalam beberapa waktu ini.

Karamatsu masih tidak terbiasa dengan kesepian meskipun selalu pulang sendiri belakangan. Tapi hari ini rasanya lebih menyedihkan daripada kemarin-kemarin.

Apakah tidak akan ada yang berubah?

Karamatsu tiba di rumah, berpikir mungkin saudaranya kembali duluan. Tetapi, situasinya masih sama. Hanya ada dirinya dan juga udara kosong. Baik di kamar, ruang makan, pun semua sudut ruang yang sudah ia sisir. Mungkin ada alasan lain mengapa saudaranya belum pulang.

Karamatsu mencari lagi, berusaha berkeliling. Siapa tahu saudaranya mampir ke sebuah tempat. Mulai dari pachinko, tempat Profesor Dekapan, kedai oden milik Chibita, hingga hampir ke tepi kota. Terik matahari tidak ia pedulikan, hingga keringat pun menetes begitu banyak. Mungkin juga sol sepatunya sudah aus sekarang. Tapi tetap saja, ia tidak menemui siapapun hingga kakinya terasa begitu letih.

Berjalan dengan lunglai, Karamatsu akhirnya pergi ke taman. Biasanya jika tidak ada kegiatan, kadangkala ada saudaranya yang mampir ke mari. Namun sepertinya ini bukanlah hari keberuntungan Karamatsu karena ia sama sekali tak melihat saudaranya di sini.

Karamatsu sudah lelah dengan semuanya, dia menyadari itu. Menjadi orang yang hanya selalu diam bukanlah hal yang baik. Ia menangkup wajahnya sendiri dan menarik napas dalam-dalam, sebelum diembuskan kembali. Tenanglah, Karamatsu, pasti ada cara— ia meyakinkan dirinya sendiri seperti itu.

Karena sudah agak larut, Karamatsu pulang. Rupanya saudara-saudaranya juga sudah kembali, tampaknya mereka baru saja akan makan malam. Karamatsu langsung bergabung dengan mereka, namun masih diam.

Selesai mandi, mereka menyiapkan futon untuk tidur bersama. Sedari tadi Karamatsu tidak berkata apa-apa, tak ada juga yang menanyainya. Suasana nya masih tetap seperti ini. Ia membantu menggelar futon dan menata selimut setelah itu.

Mereka tiduran bersisian seperti biasa. Karamatsu sudah mendengar suara dengkuran, tetapi ia tidak bisa menahan dirinya lagi untuk berbicara sekarang. Kesempatan mungkin tidak akan datang lagi di lain waktu, bukan?

"Besok, temui aku sepulang sekolah."

Tidak ada jawaban.

Karamatsu menghela napas, mungkin mereka sudah tidur jadi dirinya juga tidak berharap banyak. Entah dari mana datangnya keberanian itu, ia ingin melakukan apa yang ia bisa, walau tidak tahu apakah akan berhasil atau tidak. Hanya saja, dia tidak ingin mereka berenam terus stagnan dan berhenti di tempat yang sama terus-menerus. Dia ingin hubungan mereka berubah.

Kembali seperti dulu.


Hari ini adalah penentuan dari titik balik, atau itulah yang setidaknya diinginkan oleh Karamatsu. Ia tidak tahu apakah mereka semua akan datang, tetapi pemuda itu memutuskan untuk berhenti berlari.

Ia sudah lelah.

Maka Karamatsu menarik napas dalam-dalam, lalu diembuskannya kembali. Ia melangkah menuju atap sekolah sembari memantapkan hati. Apapun yang terjadi, dia harus mengungkapkan perasaannya hari ini.

Ketika Karamatsu tiba di sana, semua saudaranya hadir—sedikit tidak menyangka, sebenarnya. Tetapi ini lebih baik karena mereka semua akhirnya bisa saling bicara. Jadi ternyata semalam mereka semua mendengarnya. Ada sedikit perasaan lega dalam hati Karamatsu karena permintaannya tidak diabaikan.

"Jadi kenapa kau memanggil kami, Karamatsu?"

Osomatsu yang bertanya duluan, mewakili yang lain. Karamatsu berusaha menyingkirkan rasa takutnya yang mendadak muncul lagi, dia sudah melangkah sejauh ini, sekarang atau tidak sama sekali.

"Baiklah, aku akan bicara."

Kau bisa melakukannya, Karamatsu, batin pemuda itu pada dirinya sendiri. Ia pun menatap saudara-saudaranya, lantas angkat suara.

"Aku tidak suka kita seperti ini. Maksudku … saling menjauh dan berpura tidak mengenal satu sama lain. Apa gunanya kita meneruskan ini? Jadi, bisakah kita berhenti?"

Karamatsu akhirnya mengatakannya. Ia hampir tidak percaya dengan dirinya sendiri. Walau ia akui memang sulit, tetapi ia sudah berhasil melaluinya.

"Apa? Kau mengumpulkan kami hanya untuk mengatakan itu?" Tanya Choromatsu.

"Aku hanya tidak ingin melihat kalian keluar dari zona nyaman dan memaksakan diri seperti itu. Aku tidak tahan melihatnya lagi! Kenapa kalian mencoba terlihat berbeda dengan cara yang memuakkan? Kita ini kembar!"

Karamatsu terengah-engah usai berbicara. Apakah itu cukup untuk meyakinkan mereka?

"Sebenarnya ada satu hal lagi—"

Karamatsu mengulurkan tangannya, mencari surat itu di saku belakang celananya. Ia bermaksud menjelaskan alasan mengapa mengumpulkan mereka semua sekarang. Tetapi ketika ia tengah melakukannya, saudara-saudaranya justru memulai pertengkaran sendiri.

" Well, aku baik-baik saja dengan ini." Kata Osomatsu. Sebab pada dasarnya dia memang tidak berubah.

Choromatsu terpancing. "Kau baik-baik saja? Kau tidak tahu bagaimana rasanya jadi aku, makanya kau bisa bilang begitu!"

"Apa sih masalahmu? Kau pikir aku suka seperti ini?!" Sahut Ichimatsu.

"Hei, akulah yang paling kesulitan di sini!" Jyushimatsu pun ikut menimpali.

Todomatsu tampak kebingungan melihat saudaranya bertengkar. Ia ingin melerai, tapi tidak berani. Sedangkan Karamatsu tidak jadi mengambil surat dari Takahashi begitu melihat apa yang mereka lakukan.

"Semuanya, hentikan! Kita harus bicara baik-baik!" Serunya. Tetapi tampaknya tak ada yang mendengar.

"Kenapa kau berpikir dirimu yang paling menderita, hah?"

"Itu karena kau tidak mengalami yang kurasakan!"

"Karena wajah kita sama, jadi orang-orang tidak pernah melihat perbedaan di antara kita!"

"Memangnya itu salahku kita terlahir seperti ini?!"

"Tentu saja! Kalau kau tidak berwajah sama denganku, ini tidak akan terjadi! Aku hampir tidak tahan dengan semua ini!"

"Jika kau tidak kuat, kenapa tidak mati saja, hah?!"

"Kalau begitu mengapa tidak kau yang duluan, brengsek?!"

"Berisik, lebih baik kalian mati bersama-sama!"

Karamatsu terpaku. Mengapa mereka bisa mengucapkan kata 'mati' semudah itu? Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh saudara-saudaranya? Mungkinkah dia yang salah dengar?

"Cepat mati saja, sana!"

"Mau kubunuh, ya?!"

"Maju sini!"

Rupanya tidak.

Bukan hanya makian, mereka semua juga saling berkelahi sekarang. Menghajar satu sama lain seolah-olah bertemu dengan musuh bebuyutan setelah sekian lama.

"He-hentikan … "

Karamatsu mulai ketakutan karena semuanya berada di luar kendali. Melihat saudaranya memukul yang lain, membuat hatinya sedih. Padahal hari ini ia ingin mereka semua berbaikan.

"Hentikan! Kumohon, hentikan!" Kali ini Karamatsu berseru lebih keras, namun masih tidak ada yang mengindahkannya.

Memutar otak, Karamatsu berpikir bagaimana caranya bisa mendapatkan atensi. Ia melihat pembatas atap secara kebetulan dan teringat dengan pertunjukan latihan klub drama. Ia menelan ludah, belum pernah melakukan ini sebelumnya. Namun bila ia bisa bersandiwara dengan baik, mungkin saja akan ada yang mendengarkannya, kan?

Sekarang bukan waktunya untuk ragu, maka Karamatsu menaiki pagar atap, memosisikan dirinya di sana dan kemudian berteriak untuk mendapat perhatian.

"Berhenti atau aku akan melompat dari sini!"

Keributan itu menjadi senyap seketika. Semua orang berhenti berkelahi dan memaki, saat mendengar serta melihat Karamatsu yang kini berada di atas pagar atap.

"Karamatsu, apa yang kau lakukan di sana?" Tanya Osomatsu.

"Karena kalian tidak ada yang mau berhenti! Aku benci melihat kalian saling mencaci dan menyumpahi!"

Todomatsu merasa tertolong dengan tindakan Karamatsu untuk menghentikan semua saudara mereka yang berkelahi. Sebab ia juga bingung bagaimana harus menghentikan mereka dan hanya dapat melihat.

"Kenapa kami harus mendengarkanmu?" Sahut Ichimatsu.

Choromatsu membenarkan. "Benar, ini urusan kami."

Usaha Karamatsu tampaknya sia-sia dan Todomatsu menatap khawatir. Apakah ini akan baik-baik saja?

Ketika mereka semua berkelahi lagi, tanpa sengaja pagar atap tersenggol dan membuat Karamatsu kehilangan keseimbangan. Kakinya berusaha menahan sebisanya, tetapi karena terlalu mendadak, tubuhnya ikutan oleng.

"Huaaaa!"

Teriakan Karamatsu menyadarkan mereka yang tengah ribut. Mereka semua panik dan langsung bergegas menuju ke pagar atap yang tidak jauh dari jangkauan mereka. Kepanikan langsung menyelimuti, seolah menyadarkan mereka mengenai hal yang lebih penting daripada pertengkaran seperti ini.

Waktu terasa berjalan begitu lambat ketika mereka ingin meraih Karamatsu. Osomatsu memegang Jyushimatsu, kemudian Ichimatsu, diteruskan oleh Todomatsu dan juga Choromatsu yang berusaha menangkap tangan Karamatsu.

Tap

"Karamatsu nii-san, kau tidak apa-apa?!" Tanya Choromatsu.

"Aku baik-baik saja!" Balas Karamatsu. Meski begitu, ia takut sekali karena sedang berada di tempat yang tinggi. Ia bahkan bisa merasakan angin yang cukup kencang di tempat ini. Jika tubuhnya ringan, maka bisa dipastikan akan tertiup dengan mudah.

"Bertahanlah, Karamatsu, kami akan menolongmu!" Teriak Osomatsu.

"Pegangan yang kuat!" Imbuh Ichimatsu.

Tubuh Karamatsu masih bergelantungan, terlambat sedikit saja maka akan jatuh ke bawah. Choromatsu menariknya, dibantu oleh yang lain yang berada di belakang dan menahannya. Perlahan-lahan, mereka pun berhasil menaikkan kembali Karamatsu ke atap.

Pihak penarik terengah-engah karena itu adalah prosedur yang sangat sulit. Posisi mereka juga di atap, sedikit kesalahan saja maka akan berakhir dengan sangat buruk. Tetapi napas Karamatsu juga terputus-putus, karena baru saja selamat dari bahaya.

Setelah itu hanya ada keheningan. Dengan tubuh babak belur dan juga semilir angin yang menemani. Tampaknya juga tidak ada yang berniat bicara, begitu pula dengan Karamatsu. Jadi … apakah akhirnya hanya seperti ini?

Mereka pulang setelah itu. Kali ini Karamatsu tidak sendirian, berikut dengan bayangan panjang yang biasanya hanya ada tunggal kini menjadi beberapa. Bukan lagi suara langkah kakinya saja yang terdengar. Tetapi suasananya masih tidak enak, sehingga tak ada seorang pun yang mencoba berbicara.

Karamatsu tidak hanya mendengar suara langkah kaki. Namun juga isakan pelan dari mereka yang berjalan beriringan dengannya. Mereka semua berusaha menahan dan menutupinya dengan tangan. Membuat Karamatsu merasa tidak enak. Tetapi lebih baik ia berpura-pura tidak tahu saja.

"Karamatsu, maafkan kami."

Osomatsu yang pertama kali memecah keheningan itu. Mata dan hidungnya sudah sangat merah. Karamatsu hanya menoleh, kemudian memalingkan wajah ke arah lain setelah mengangguk.

"Kata-kata kami memang keterlaluan, hiks."

Ichimatsu tersedak setelah berucap demikian. Tangisnya pecah dengan hebat. Karamatsu baru ingat dia memiliki hati yang sangat rapuh, jadi wajar saja bila sampai seperti ini.

"Kami takkan mengulanginya lagi," kata Choromatsu. Ia merapatkan telapak tangan di wajahnya, tidak mau wajah buruknya terlihat.

"Benar, apa yang sebenarnya aku pikirkan? Menyuruh saudaraku sendiri mati. Itu … itu mengerikan sekali … "

Jyushimatsu menangis kencang, hingga membuat yang lainnya jadi ikut-ikutan. Beruntung mereka sedang berada di area yang sepi, jadi Karamatsu tidak mempermasalahkannya. Sebenarnya ia tidak mengharapkan permintaan maaf dari mereka, hanya ingin semuanya kembali seperti semula.

Mereka berenam berhenti karena ada palang kereta yang turun di dekat beberapa pohon sakura yang terletak pada pinggir jalan. Sembari menunggu, mereka hanya berdiri dan terisak kecuali Karamatsu. Todomatsu pun mendekati saudara tertua kedua mereka dan memeluknya erat-erat.

"Karamatsu nii-san, aku akan selalu menemani nii-san!"

Karamatsu hanya diam. Suara dari penanda kereta yang akan lewat mulai berbunyi. Ia hanya berdiri dan tidak membalas. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan.

"Be-benar!" Ichimatsu tampak seperti ingat sesuatu. "Kami takkan berusaha keluar dari zona nyaman kami. Itu kan yang kau inginkan?"

"Begitu, jadi kita tidak perlu memaksakan diri lagi." Choromatsu menunduk, berusaha menyeka air matanya. Kalau dipikir-pikir, bersandiwara seperti itu terus sangat melelahkan karena mereka tidak lagi menjadi diri sendiri. Ucapan Karamatsu benar.

"Kami akan selalu bersamamu, kami berjanji!" Seru mereka serempak, mungkin karena ikatan sebagai saudara yang cukup kuat sehingga bisa memikirkan hal yang sama. Mereka kembar, wajar jika memiliki banyak kesamaan, bukan?

Namun Karamatsu masih tidak menjawab. Ia hanya memandang lurus ke depan sembari melamunkan sesuatu.

"Apa kau masih marah, Karamatsu nii-san?" Tanya Jyushimatsu takut-takut. Sebab Karamatsu tidak berbicara sedari tadi.

Osomatsu hanya diam meski jejak air matanya masih ada. Tentu saja ia bersedih ketika membayangkan Karamatsu hampir saja tiada dari kehidupan mereka. Ia pun menunggu Karamatsu membalas ucapan itu. Ia juga merasa bersalah dan ingin tahu apa tanggapan Karamatsu akan hal ini. Benarkah dia masih marah?

Karamatsu pun membuka mulutnya,

"Aku—"

Kereta lewat dengan kecepatan tinggi di hadapan mereka, dengan suara yang cukup keras. Angin menyibak sedikit rambut ke-enamnya dan juga menerbangkan beberapa kelopak bunga sakura dari sekitar yang berguguran kemana-mana. Lima saudara yang lain melihat ke arah Karamatsu, terbeliak. Setelah dua menit, kereta sudah berlalu dan palang pun terbuka kembali.

Karamatsu berjalan duluan, kemudian disusul oleh saudara-saudaranya.