Naruto: Masashi Kishimoto.
RATE: M
WARNING: TYPOS, AU, OOC, DRAMA DAN YANG PENTING, JANGAN PERNAH MEMBACA APAPUN ITU YANG MEMBUAT MATA ANDA IRITASI. TETAPLAH PADA JALUR MASING-MASING, KARENA AKU HANYA MENCOBA MELESTARIKAN APA YANG AKU CINTAI DAN AKAN SELALU MENCINTAI APA YANG MEMBUATKU SENANG.
"Sebuah nama"
Sore yang panas, semakin membuat panas saat suara seorang dari sambungan telephone berteriak-teriak tak karuan. Namun hal itu tak membuat si penerima telephone ikut berteriak, malah sebaliknya, Uchiha Itachi masih tenang mendengarkan.
'Jadi begini cara mainmu, menyuruh orang untuk memata-mataiku, begitu? Kau mendengarkanku kan Itachi?' terlihat suara napas yang tersengal-sengal.
"Hn." Hanya itulah jawabnya.
'Aku benar-benar tak mengerti jalan pikiranmu, dasar aneh.'
Namun seseorang yang baru masuk ke ruangannyalah yang mengalihkan perhatian seorang Uchiha Itachi dari suara berisik di seberang telephone. Kemudian sebuah senyum mengembang diwajah tampannya.
"Aku ingin bicara, apa kau sedang sibuk nii-san?" Suara monoton itu mengalun setelahnya.
Sambungan telephone ia matikan sepihak, sebelum menjawab pertanyaan dari sosok yang baru masuk ke ruangnya, yang tak lain adalah adik tersayangnya.
"Tentu saja tidak, mau keluar bicara sambal menum kopi?" Jawabnya kemudian.
"Tidak perlu, disini saja." Sasuke berjalan melewati tempat duduk sang kakak, menuju spot yang bisa melihat pemandangan senja kota Tokyo dari ketinggian gedung lantai 21 itu.
"Hn." Respon Itachi yang kemudian mengikuti sang adik, memandang kota dengan warna jingga hangat.
Ini adalah pertama kalinya Itachi bertemu sang adik setelah beberapa minggu belakangan Sasuke memutuskan tak pulang ke rumah. Jadi sedikit heran apa yang membuat adiknya itu menemuinya kali ini, apa Ino sudah bicara pada Sasuke?
Ahh… gadis itu dominasinya mengerikan, pikirnya.
Sunyi, ruangan luas itu masih terlihat hening dengan adanya dua orang. Ya, dua orang yang terkenal dengan kedinginanya.
Kemudian Itachi memilih melangkan menuju bar mini yang ada di ruang kerjanya itu, ruangan yang menjadi tempat terprivatnya itu memang dilengkapi fasilitas lengkap yang menjadi kesukaanya dalam menghabiskan waktu. Salah satunya bar mini dan sofa untuk menjamu tamu atau temannya yang berkunjung.
Setelah menuangkan dua gelasa anggur ia menyodorkan pada sang adik.
Sasuke menerimanya, namun masih diam. Dan Itachi enggan bertanya, biarkan sang adik yang memutuskan untuk bicara sendiri.
Detik berlalu, gelas milik Sasuke tandas dalam sekalli tegukan. Kemudian dengan sebuah tarikan napas ia berucap pelan.
"Aku menyerah." Ucapnya.
Hal itu membuat sulung Uchiha menautkan alis meski terlihat masih tenang.
"Mungkin aku akan melepaskan Ino," Jeda yang membuat sang kakak tersedak.
"Uhuk…"
Sasuke mengalihkan tatapannya pada sang kakak. "Tapi aku tidak bisa bertanggung jawab atas kehamilan Karin, gomen."
Mata dengan warna yang sama itu saling menatap dalam diam.
Kemudian, sang sulung memberikan senyum tulusnya. "Karin itu menjadi urusanku, kau tenang saja." Inilah adik yang selama ini Itachi kenal, jauh sebelum ia mengetahui keburukan dari sosok yang ia sayangi itu.
Padangan Sasuke masih tertuju pada sosok didepannya, yang kini kembali memandang senja yang mulai menghilang, menyisakan garis oranye di cakrawala kota Tokyo.
"Kenapa, kenapa nii-san mau melakukannya?" Masih setia menatap sosok kakak didepannya. Ia tak mengerti dengan keras kepala sang kakak yang dengan senang hati menanggung masalah yang ia buat.
"Tak ada alasan khusus kan Sasuke, selain karena kau adikku." Mata onyx keduanya kembali bertemu.
Namun kini Sasuke yang memutusnya, ia mengalihkan tatapanya keluar dengan kepala ia sandarkan pada cendela kaca besar dibelakannya.
"Kemarin aku membuat kesalahan lagi, mungkin itu akan membuat Ino semakin membenciku." Ujarnya kemudian pelan dengan masih setia menatap keluar cendela. "Karena itu aku menyerah." Tambahnya. "Dia juga mengatakan kalau kau menemuinya?" Rancau Sasuke masih enggan menatap sosok yang ia ajak bicara.
"Ya." Jawab Itachi, yang ikut memandang keluar.
"Bagaimana Ino menurut nii-san?"
"Gadis yang luar biasa."
Senyum terukir diwajah rupawan bungsu Uchiha setelah mendengar jawaban sang kakak. Keduanya kembali larut dalam hening.
"Kau akan pulang ke rumah kan Sasuke?" Sebelum Itachi kembali menuangkan anggur untuk keduanya, dan memecah keheningan.
"Hn, apa ayah masih marah padaku?"
"Aku rasa tidak."
Obrolan ringan dikala senja itu, membuat keduanya tak menyadari waktu berputar cepat, sampai mengantar keduanya pada gelapnya malam.
"Mau pulang bareng?" Tawar Itachi setelah melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangan kanannya menunjukan pukul tujuh.
"Hn, apa kau tega aku pulang naik taksi sendiri lagi?" Kalimat Sasuke membuat Itachi berhenti dari mengemas dokumen di meja kerjanya.
"Kau naik taksi kesini?" Memastikan pendengarannya barusan.
"Hn." Dan hanya dijawab dengan gumaman andalan mereka. Sebelum menambahkan, "Jangan pura-pura lupa kalau aku tak memiliki mobil dan uang lagi nii-san."
Sedangkan Itachi hanya mengedikan bahu mendengarnya. Mungkin keburukan Sasuke tak merubah kasih sayang padanya, dan Sasuke tak perlu berpura-pura menjadi anjing penurut lagi di depan sang kakak.
Mobil mewah sewarna metalik itu melaju membawa dua orang bersaudara menuju kediaman mewah mereka.
Jalanan yang renggang di malam hari membuat tak butuh waktu lama untuk sampai. Di rumah besar nan mewah itu disambut dengan sebuah senyum mengembang dari seorang wanita cantik yang sedang menyiapkan makan malam. Dan seorang pria yang hanya diam melihat kedatangan kedua putranya.
"Tadaima?" Sapa si sulung.
"Okairinasai." Sambut Mikoto.
Sebuah Nama
Dua minggu setelah itu, Sasuke kembali ke sekolah dengan mobil yang biasa ia kendarai. Namun kali ini ia tidak terlambat seperti biasa.
"Yo Sasuke?" Sapa sang sahabat dari arah belakang yang langsung merangkulnya. Sedangkan yang disapa hanya menatap kedireksi dimana sosok gadis yang berdiri diam yang juga sedang menatapnya.
Yamanaka Ino, gadis itu terdiam didepan lokernya melihat pemuda yang sudah hampir dua minggu lebih tidak masuk sekolah. Kini sosok itu berada tepat didepan loker miliknya.
Sedikit khawatir meski disampingnya berdiri seorang Sabaku Gaara, namun bukan pada apa yang akan dilakukan oleh Sasuke padanya yang ia takutkan, melainkan mungkin kedua pemuda itu masih perang dingin akibat kejadian beberpa minggu lalu itu.
"Yo, Gaara, Ino?" Tambah Naruto memecah keheningan diantara mereka.
"Hn." Gaara pun sama, hanya menjawab dengan gumaman meski ia terlihat sedikit lebih santai.
Namun setelah itu, Sasuke berjalan melewati gadis yang masih diam ditempat, tanpa menyapa atau sekedar mengganggunya sebelum yang sudah-sudah.
"Eh?" Naruto yang melihat Sasuke meninggalkannya pun segera menutup lokernya dan mulai menyusul sang sahabat.
Entah hanya perasaan Ino saja atau Sasuke memang menjadi lebih dingin?
Ia dan Gaara pun segera menuju kelas pertama mereka.
Dan di kelaspun Sasuke yang duduk dengan Naruto terlihat lebih pendiam, tidak mencoba mencari masalah dengan sang guru. Hal ini mengingatkan Ino pada awal ia menjadi murid sekolah menengah atas. Pertama kali melihat sosok Sasuke, terlihat dingin dengan kecongkaknya mengintimidasi siapapun. Namun disitulah menguar pesona yang tak bisa ditolak oleh siapapun.
Kalau ditanyan bagaimana perasaan Ino sekarang, setelah kejadian Sasuke memaksanya kemarin. Hal itu membuat Ino jadi merasa bersalah. Kenapa? Benar apa yang diucap Sasuke, ia menajdi brengsek karena demi mencoba menjaga keputusan Ino yang terdengar naif. Meski apa yang dilakukan Sasuke tidak bisa dibenarkan juga.
Dan kini ia bertanya-tanya, meski ada kesempatan seperti kemarin, kenapa Sasuke tak melanjutkan apa yang telah ia mulai? Bahkan dalam keadaan brutal ia masih bisa menekan egonya, apa Sasuke masih memikirkannya, apa pemuda itu benar-benar mencintainya? Dan menjaganya meski dengan cara yang salah?
Mata onyx itu menatapnya, kedua iris yang berbeda warna itu saling memandnag namun secepat itu Ino mengalihkan tatapannya.
"Baka." Gumamnya lirih.
Sedangkan Sasuke yang memang berniat untuk menyerah, merasa Ino pasti akan baik-baik saja tanpa dirinya yang telah membuat gadis itu trauma, mungkin. Dan mungkin juga Gaara bisa menjaganya melebihi cara yang ia lakukan.
Dan lagi, kalau sahabat bakanya yang duduk tepat disampinya ini saja bisa move on dari gadis yang ia gilai, Haruno Sakura, kenapa ia tidak bisa kan?
Tapi bukan berarti ini akan mudah, karena ia tidak akan menolak bila Ino masih mau dengannya. Senyum tipis terukir diwajah rupawannya.
Sebuah Nama
Time skip…
Semua seolah sama, meski tentu saja berbeda. Sejak saat itu dihari ini, Sabaku Gaara sedang menunggu sang kekasih pirangnya, entah sudah berapa lama ia menjalani rutinitas seperti ini, meski rasanya baru kemarin tapi percaya lah hal ini sudah terjadi cukup lama.
Sejak sekolah menengah atas di musim kedua kan mereka Bersama? Namun entah apa yang membuat Yamanaka Ino masih mengulur waktu untuknya. Hari ini pun akan menjadi makan malam yang sudah-sudah untuk mereka.
Cincin bertahta batu permata sewarna mata sang gadis ia mainkan ditangannya. Mereka memang berencana makan malam di restoran langganan mereka. Gaara dengan setelan jas kerja semiformal, dengan tatanan yang lebih rapi dari saat remaja dulu.
Kira-kira sudah sekitar lima tahun sejak mereka lulus dan melanjutkan di perguruan tinggi. Ia yang mengambil jurusan bisnis seperti yang diharapkan sang ayah agar bisa mengambil alih bisnis keluarganya, sedangkan kekasihnya Yamanaka Ino ia mengambil jurusan sastra Jepang, ia ingin menjadi seorang guru. Dan apa yang menjadi cita-citanya tentu saja dengan mudah ia dapatkan sebab gadisnya itu memang pandai melebihi penampilannya tentu saja.
Dan sekarang sudah tahun kedua mereka lulus dari perguruan tinggi, dan mulai mejalani rutinitas pekerjaan yang memyita banyak waktu.
Kalau kalian bertanya tentang kedua sahabatnya, ia akan ceritakan. Uchiha Sasuke memutuskan kuliah di London. Semua masalahnya terselesaikan dengan rapi oleh si jenius Uchiha, Itachi, tentu saja. Sang kakak mengambil alih semua kekacauan yang disebabkan sang adik, tanpa beban berarti.
Tak lama setelah mereka memasuki musim ketiga di sekolah menjelang akhir tahun mereka. Uzumaki Karin, melahirkan seorang gadis cantik di Amerika. Dan tentu saja dengan campur tangan Itachi, Karin tak berkutik untuk melenyapkan bayinya, karena tak lama bayi mungil itu diambil dan dibawa oleh Itachi pulang ke Jepang.
Gadis yang mungkin sudah menginjak masa sekolah dasar itu Itachi berinama Sarada. Dilihat dari penampilannya memang identik sekali dengan Uchiha. Lalu siapa yang menjadi ayah gadis itu? Tentu saja Itachi menjadi walinya. Karena Sasuke sama sekali enggan dengannya.
Dan kenyatanya Uchiha Sasuke tak pernah berniat kembali ke Jepang sampai sekarang, mungkin karena anak itu.
Atau mungkin itulah yang terbaik. Itachi terlihat begitu menyayangi keponakannya itu melebih orang tua kandungnya. Dan yup, benar, Ino sekarang sedang mengajar di sekolah elit tempat Uchiha Sarada bersekolah.
Dan kabarnya mereka sangat dekat. Lalu apa itu membuatnya resah? Tentu saja tidak.
Entah sudah keberapa kalinya ia menyesap kopi di cangkir yang hanya tinggal setengah, namun sang kekasih yang ia tunggu belum juga menampakan diri. Terakhir ia menghubunginya memang akan sedikit terlambat.
Hembusan napas panjang ia ambil.
Kembali ia membawa pikirannya berselancara pada jaman dulu, dimana ia mengingat sahabat rambut kuningnya. Namikaze Naruto, pemuda itu pun ikut mengambil bisnis di universitas yang sama dengannya. Dan disananlah ia bertemu dengan Shion, seorang gadis yang sedikit banyak mirip dengan gadis Haruno. Dari sifat terlihat mirip namun tidak pada penampilan.
Shion gadis yang mengambil bisnis sama dengan mereka. jatuh cinta terlebih dulu pada sahabat berisiknya. Lalu setelah mereka lulus kuliah mereka mutuskan menikah. Lalu, bagaimana denga Sakura?
Haruno Sakura, mengambil universitasa yang berbeda dengan mereka. dan medengar kabar bahwa gadis itu masuk kedokteran sama seperti keluarganya. Lalu bagaimana dengan kehidupan pribadinya, Gaara tak tau, dan tak mau tau. Karena pada kenyataanya, Ino dan Sakura tidak lagi bertegur sapa sampai sekarang.
Lalu Hinata? Gaara malah tak tau apa yang terjadi dengan gadis itu setelah mereka lulus. Yang pasti persahabata mereka merenggang semakin jauh. Dan Gaara tidak pernah bertanya pada Ino soal persahabatan mereka. Meski ia tak pernah tau jalan pikiran seorang gadis tapi ia sedikit paham tentang kekomplekan mereka. Hal kecil bisa mereka buat besar dan sebaliknya.
Tak lama seorang gadis dengan gaun berwarna biru gelap datang dengan senyum ceria menghiasi wajah ayunya.
"Gomenasai Sabaku-sama, atas keterlambatan saya." Klarifikasi yang jelas ia buat-buat.
Gaara hanya diam memperhatikan sosok didepannya. Diusia mereka yang menginjak hampir seperempat abad, namun kecantikannya malah terliahat terpahat nyata pada Yamanaka Ino. Karena gadis itu terlihat lebih dewasa.
"Kau sengaja terlambat kan?" Komentar Gaara terlihat tak acuh dengan kembali menyesap kopinya. Berpura-pura kesal.
Ino hanya mengerecutkan bibir tak terima dengan tuduhan Gaara. "Bagaimana kau bisa bilang begitu, kau tau kan aku harus naik taksi untuk sampai kesini." Terangnya.
Senyum kecil Gaara berikan sebelum kembali memberi tanggapan. "Salahmu sendiri tidak mau aku jemput."
Ino berjalan medekati kekasihnya di tempat duduknya, meja melingkar yang hanya diisi dua tempat duduk tak terlalu besar itu menjadi pembatas ia berdiri sekarang.
Setelah ia dekat, Ino memberikan sebuah kecupan singkat dipipi sang pemuda. "Terimakasih sudah menungguku." Ucapanya setelahnya. Lalu ia memutuskan duduk didepan Gaara.
Gaara masih memperhatikan sang kekasih dengan diam. Gadis biasa yang mampuh membuat persahabatanya berantakan dan hatinya pun sama. Sial bukan?
"Kau belum memesan makanan?" Tanya Ino.
"Kau saja yang memesan." Cincin yang sejak tadi ia mainkan ditangan, kini ia genggam erat. Entah apa yang akan ia lakukan dengan cincin itu setelah ini.
Mungkin saja Ino akan memintanya untuk menunggu lagi. Sampai ia tak mengerti apa yang membuat Ino membuang-buang waktu seperti ini? Kopi yang sudah dingin dicangkirnya itu ia tegung sampai habis, mengabaikan makanan yang dipesan sang gadis sudah datang.
Ino menaikan satu alis pirangnya, melihat apa yang dilakukan sang pemuda.
"Kau baik-baik saja?" Tanyanya disela mengunyah makanannya.
"Hn."
Tak sepenuhnya ia abaikan,karena kini ia berhenti dari segala aktifitasnya dan intens memperhatikan lawan bicara didepannya.
Dua warna mata yang berbeda saling bertemu, menatap dalam satu sama lain, mencoba mencari jawaban didalamnya.
Namun selang beberapa detik Gaara yang memutus tatapannya, dengan menghembuskan napas Panjang sebelum menyodorkan cincin yang sejak tadi berada digenggamannya.
"Ayo kita menikah."
Kalimat datar yang keluar dari mulut pemuda depannya, seharusnya terdengar romantis atau paling tidak kekasihnya itu bisa melakukannya lebih baik lagi. Namun hal itu malah membuatnya tertawa kecil.
Gaara dibuat menautkan alis tipisnya dengan tanggapan Ino.
"Apa kau tidak bisa melakukannya dengan lebih romantis lagi tuan Sabaku?" Komentar Ino setelah selesai dengan ketawanya.
"Ck"
Gaara mendecak mendengarnya. Bukan ia tak bisa dan tak mau membuat momen romantis saat menyatakan lamarannya seperti ini. Namun, ayolah ini bukan kali pertama ia melakukannya, dan dari kesekian kalinya yang ia lakukan kali ini adalah hal terpayah yang bisa ia usahakan untuk mengajaknya menikah.
Sudah puluhan kali ia menyatakan permitaan ini dengan bermacam-macam hal romantis dan usaha dengan harapan ia ingin membuat moment sekali seumur hidupnya bisa berkesan di mata Ino.
Namun hal itu menjadi sia-sia dan itu bukan sekali dalam hidupnya, karena kenyataannya ia melakukannya berkali-kali dengan hasil yang nihil. Jadi kali ini dengan ke frustasiannya ia melakukan dengan cara yang sangat biasa. Tak ada kata cinta atau perlakuan istimewa.
Jadi dengan cincin yang sama ia sodorkan pada gadis didepannya dengan dingin.
"Ayolah Ino, ini bukan yang pertama, dan sudah puluhan kali aku memintanya."
Ino dibuat mengerucutkan bibir mungilnya mendengar kalimat sang pemuda.
"Apa lagi yang membuatmu menolaknya?" Tambah Gaara.
Tangan yang masih memegang cicin diatas meja itu ia genggam, dengan senyum yang cukup menawan Ino berikan setelah mendengar kalimat perkalimat yang keluar dari mulut pemuda yang melamarnya ini.
Ya, benar. Gaara tidak berbohong saat mengatakan semua kalimatnya, ia lah yang selalu nenunda hubungan serius dari sang pemuda. Ia juga tidak tau apa yang membuat ia belum mau untuk menikah, bukan ia tak percaya dengan keseriusan Gaara, karena kenyataanya pemuda itu telah setia menunggunya sampai saat ini, dengan hal yang munkin tidak bisa dilakukan oleh Sasuke dulu.
Bukan juga karena ia tidak mencintai pemuda ini. Ia sangat menganguminya meski pasti Gaara tak perna tau. Cara Gaara memperlakukannya selama ini. Seolah ia adalah gadis yang paling berharga di muka bumi.
Bukan kah cinta bisa datang seiring berjalannya waktu dan dengan waktu yang mereka habiskan selama ini, bukan tak mungkin Ino menutup mata dengan pesona pemuda di depannya ini. Meski banyak yang bilang Gaara dan Sasuke adalah dua orang yang sama, dengan kepribadian dan kasta yang sama. Tapi percayalah mereka berbeda. Cara mencintainya berbeda.
Jadi bukan semata-mata karena melarikan diri dari masa lalu Ino menjalaninya dengan Gaara saat ini.
"Kau ingin aku menunggumu sampai kapan?" Gaara kembali mengalikan lamunan Ino.
"Boleh aku tau, apa yang membuatmu ingin menikahiku Gaara?"
Senyum mengejek Gaara berikan mendengar kalimat Ino.
Ino menautkan alisnya.
"Apa kau tidak percaya aku mencitaimu Ino, apa kau masih berpikir aku ingin menikahimu hanya karena mendapatkan keperawananmu?"
Cukup sarkas kalimat yang meluncur pelan dari mulut pemuda didepannya.
"Terserah kalau kau masih tidak ingin menikah, aku tak masalah."
Cincin yang dari tadi ia genggam erat kini ia lempar jauh melewati balkon restaurant yang memang berada di lantai dua.
Wajah rupawan itu kembali datar, sedangkan Ino melotot dengan tindakan sang kekasih.
"Apa yang kau lakukan?" Ino bertanya tak mengerti dangan ketidak percayaannya.
"Apa?" Gaara balik bertanya
Masih dengan wajah masam Ino berdiri dari duduknya lalu belari menuju tempat entah dimana cicin bermata aquamarine itu jatuh.
Setelah sampai dilantai bawa yang untungnya lantainya cukup bersih untuk menjadi tempat jatuhnya sebuah benda kecil. Dengan mengerutu, ia membawa matanya mencari cincin yang baru dilempar oleh seorang pemuda. Meski cukup mustahil untuk menemukannya.
Sedangkan Gaara dibuat menautkan alis tipisnya dengan tindakan Ino. Tanpa bertanya, ia mengikuti Ino turun melupakan makan malamnya. Meski ia tak mengerti apa yang Ino lakukan.
"Apa yang kau lakukan?" Gaara bertanya, meski ia tau yang sang gadis itu lakukan.
Mencari cincin yang ia lempar tadi, bukankah sungguh tidak berguna?
Ino tak menjawah, ia masih focus dengan apa yang ia cari. Dalam hati ia marah dengan tindakan Gaara yang sangat kekanakan.
Detik dan menit berlalu, ia mulai Lelah. Ino menghela napas hasilnya nihil, ia tak bisa menemukan cincin itu. Kini ia membawa tubuh semampainya berjongkok, menengelamkan majahnya pada lututnya dan mulai terisak disana.
Gaara yang sejak tadi hanya diam dengan melipat tangannya didepan dada dibuat panik dengan Ino yang sekarang.
"Sudahlah Ino, aku bisa membelinya lagi kalau kau mau. Tak perlu mencarinya."
Ucap enteng sang pemuda yang membuat Ino kembali mendongak menatapnya. Wajah ayunya ada jejak air mata disana.
Ino benar menangis?
"Jadi seperti ini caramu memperlakukan sesuatu?" Dengan sedikit terisak Ino bersuara.
Gaara berjalan mendekat, ia tercekat. Apa ia salah?
"Bukankah kau tidak menginnginkan cincin itu, jadi untuk apa aku menyimpannya."
Mendengar kalimat Gaara, Ino berdiri.
"Siapa bilang aku tak menginginkannya, kau mudah sekali menyimpulkan sesuatu ya?"
Gaara melebarkan mata, mendengarnya.
"Jadi, apa kau mau menikah denganku?"
"Ya, aku mau cincin itu."
Senyum miring terukir diwajah tampannya, yang semakin menanbah ketampannya.
"Untukmu." Sebuah cincin bertahta batu aquamarine tersodor didepan wajah sembab sang gadis.
Mata sewarna batu aqua itu melebar. "Kau?" Ino tercekat dengan kata-katanya sendiri. Bibir pinknya menyebik. Pemuda ini mengerjainya. Dan sialnya Gaara berhasil membuat ia khawatir. "Sialan." Ucapnya kemudian dengan mengambil cincin ditangan sang kekasih dengan kasar. Lalu mengengamnya erat, sebelum menghambur kepelukan sang pemuda.
Gaara tersenyum. "Aku menyukai cincinya seperti aku mencitaimu, jadi tidak mungkin aku akan melakukan hal bodoh membuangnya." Kalimat yang cukup panjang terucap didalam pelukan mereka.
"Jadi Ino, kau lebih takut kehilanganku apa kehingan cincin itu." Kembali, dalam pelukan eratnya ia berceletuk.
Sebelum menjawab, Ino memilih melepas pelukannya. Wajah sembabnya memandang sang kekasih didepannya. "Kau lebih tau jawabnya tuan." Sebuah senyum cantik menghiasi wajahnya.
Gaara dibuat speechless dengan tindakan yang sepele itu.
Complications
To be continue…
