❤️
Hinata memalingkan muka. Gadis nakal itu menggembungkan pipi, menyajikan wajah paling cemberutnya.
"Kenapa? Bukannya sudah pas, ya?" Naruto mengusap rambutnya. Lelaki berusia 27 tahun itu menatap Hinata sedikit dongkol, walaupun pada akhirnya yang terlukis tetaplah ekspresi sayang.
"Pas? Nol itu pas?" Hinata menoleh pada Naruto lagi sembari mengentakkan kaki. Dahi gadis itu mengernyit keras.
"Kertas ujianmu saja kosong. Kamu minta apa? Mengerjakan pun tidak. Pemalas!" suara Naruto meninggi.
"Kau 'kan bisa tulis saja yang lain, asal bukan nol!"
"Berapa?"
"90."
"Hahaha," Naruto tertawa. Gadis di hadapannya ini benar-benar tidak disiplin. "Mana bisa?"
"Ayolah, Naruto!" paksa Hinata.
Naruto memundurkan kursinya dari meja, membuat sedikit ruang kosong. Dia menepuk-nepuk paha sebelah kanannya. Sebuah kode.
Mengerti, Hinata pun bangkit. Gadis montok itu menghampiri Naruto, lalu menjatuhkan pantatnya ke pangkuan sang guru.
"CCTVnya sedang rusak kok!" ujar Naruto dengan seringai. Wajahnya sekarang seperti rubah yang mengincar mangsa.
"Kalau begini, aku minta 100." Hinata menggeliat. Kedua lengannya mengalung ke leher Naruto.
"60." Naruto mengecup pucuk hidung Hinata.
"Haa?"
"80 paling tinggi. Bagaimana?" Tangan Naruto meremas-remas buah dada Hinata dari balik seragam gadis itu.
Hinata mendesah manja. Dicubitnya kedua pipi Naruto. "85. Bonus mulut."
"Ah~ baiklah."
Bunyi kecupan melayang di udara. Pukul 15.01 hari Sabtu di sekolah, yang tersisa mungkin hanya mereka berdua.
"Lima menit, yahh."
❤️
"Hinataahhrrr." Seperti serigala yang sedang bersantap lezat, Naruto menggeram dengan suara bergetar. Mulutnya berkecapan, menyusu salah satu gunung besar Hinata.
"Ng-ah, ah ❤️" Sementara, Hinata hanya bisa menerima semua serangan Naruto. Didekapnya kepala guru muda itu, meresapi setiap rangsangan yang ada.
"Angkat tanganmu."
"Naruh, ah. ❤️"
Di bawah meja, sepasang kekasih itu beradu. Hinata rebah, terlentang dengan kaki tertekuk tanpa sehelai pun pakaian atas. Sementara Naruto, menggagahinya, menjamahi dengan segenap jiwa. Jeritan manja dan geraman bercampur bersama detik jarum jam. Udara menjadi panas tak terelakkan.
Desahan Hinata tak ada hentinya. Meskipun di luar sana dia adalah gadis nakal yang sepanjang hari merengut, tetapi dia bisa jadi sangat jinak saat bersama Naruto. Tangan Naruto yang kasar, sentuhan lelaki itu pada kulitnya, ciuman, kata-kata, tenaga yang kuat ... semua membuat Hinata jatuh cinta. Gadis itu mengembuskan napas sukacita tiap kali lelaki itu memeluknya.
Juga bagi Naruto. Sebagai laki-laki, dia bisa katakan kalau tubuh Hinata tidak ada duanya. Gadis manisnya ini seperti buah stroberi yang ranum, begitu merah dan segar. Egonya selalu runtuh ketika melihat Hinata. Naruto ingin menggodanya sepanjang waktu. Dia selalu bernafsu pada Hinata, wajahnya, suaranya, tingkah manjanya, dan ... payudaranya ... Ya, payudaranya.
Hinata memejamkan mata. Sentuhan Naruto membuatnya lemah. Dengan sedikit jilatan dan gigitan kecil di dalam mulutnya, lelaki itu menghisap sebanyak yang dia bisa. Tangannya yang menganggur tak lupa meremas-remas sebelah buah dada gadis itu.
"Pak Guru, kau suka~?" tanya Hinata dengan nada menggoda. Jemari lentiknya menggrusuk rambut Naruto. Meski Naruto yang meminta lebih dulu, tetapi lelaki itu yang jauh lebih menikmati.
Dua menit berlalu tanpa suara. Naruto yang sedari tadi tenggelam di tengah lembah, akhirnya mengangkat kepala. Wajahnya gelap. Sorot matanya mengatakan kalau dia siap menerkam lagi.
"Satu menit terakhir, Hinata," geram Naruto dengan suara payau.
Ya, perjanjiannya 5 menit.
Hinata menggeleng. "Tak akan cukup. Aku belum 'sebasah' itu."
Naruto mencengkeram lengan Hinata erat. Mata birunya berkobar dengan api yang membara. "Aku sudah 'sakit'."
Hinata mendorong Naruto menjauh. Gadis cantik itu lantas berbalik badan, menempelkan kedua tangannya ke tembok seperti cicak. Kakinya masih terlipat. Berangsur-angsur kemudian, diangkatnya pantatnya yang masih terbungkus rok sekolah, bergoyang sedikit, mengajukan sebuah penawaran lain. "Kuberi tambahan 5 menit. Tapi, imbalannya Burger King. Bagaimana?"
Naruto terkekeh. Hinata selalu pandai bernegosiasi. "Burger King, Starbucks, Sephora, dan Uniqlo. Kita akan pergi ke sana semua," bisik lelaki itu ke telinga Hinata. "Dan 90 di rapor."
"Ahh~"
Naruto mencium leher Hinata panjang. Kali ini, bunyi ritsleting turun.
❤️
"Sabtu, Sabtu begini masih di sini saja, Naruto?" Pintu kantor guru berderit bersamaan dengan masuknya seorang perempuan paruh baya.
Di depan layar laptopnya, Naruto mengetikkan sesuatu. "Ah, ya, Kurenai. Aku masih harus bikin laporan."
"Rajin banget? Malam minggu, nih, lebih baik merencanakan kencan dengan kekasihmu."
"Ahaha? Ide bagus," jawab Naruto. "Unghh!"
"Eh?"
"A-ah. Tiba-tiba mataku keram."
"Main laptop sampai sore begini, sih."
Naruto menunduk, menatap pada seseorang yang ada di bawah kolong meja kerjanya. Dengan wajah sayu menggoda, Hinata tampak asyik mengulum kejantanannya. Memandangnya membuat air liur Naruto jatuh sekilas.
"Tapi benar juga, ya, setelah ini 'kan kenaikan kelas. Apakah aku juga harus mencicil menggarap laporan mulai sekarang?" Kurenai menyambung. Perempuan itu masuk semakin dalam ke tengah ruangan, mengubek laci meja kerjanya.
"Ah, itu juga harus diperhitungkan, sih," balas Naruto. Sial, kapan dia akan keluar? "Argh!"
"Eh? Ada apa lagi?"
"Ti-tidak. Sekarang kakiku tiba-tiba keram."
"Ooo ..."
Naruto meringis. Hinata menggigitnya! Beberapa detik kemudian, lelaki itu merasakan sensasi jilatan. Ketika dia menengok pada Hinata lagi, gadis manisnya yang masih belum berpakaian itu malah makin asyik dengan "permen"-nya. Naruto mendesis. Ada kenikmatan tersendiri ketika di-blow job di ruangan yang ada seseorang lain di sekeliling.
"Ah, ketemu! Baiklah, saatnya kembali." Kurenai memasukkan entah apa ke sakunya.
"Wah!"
"Aku pulang dulu, ya, Naruto. Semangat! Bye!"
"Ah, ya! Kau juga!"
Derit pintu terdengar lagi. Kali ini mengantarkan seseorang keluar.
Naruto menoleh bebas pada Hinata. Seringai tercetak di wajah lelaki itu. Tidak ada 5 detik setelah kepergian Kurenai, Hinata sudah melakukan servis lain: Payudara besar gadis itu menjepit kejantanan Naruto.
"Cantiknya ..."
"Bonus 5 menit lagi." Hinata mengerling.
"Buat apa?"
"Tak apa. Aku sedang baik hati."
"Bukan sedang gairah?"
"Ah!" Kerut cemberut bersarang di wajah Hinata entah untuk yang ke berapa kali. Namun sesaat kemudian, kerut itu berubah jadi senyum. "Ya, itu juga," lanjutnya sembari menjulurkan lidah.
Naruto menyingkirkan kursinya.
Kelinci mungil itu bergelut lagi dengan sang rubah untuk 5 menit ke depan.
❤️
