BoBoiBoy © Monsta

Keping Kisah Asmaradana © Roux Marlet

The author gained no material profit from this work of fiction.

Alternate Universe, Historical, Family, Angst

#Octoberabble Day 7: Heaven

Bab 7: Nirwana

.

.

.

.

.

Surakarta, 1915.

.

Ajeng Anindya Candramaya alias Yaya bisa melihat ada banyak lukisan wajah di Istana Mangkunegara. Dalam beberapa hari ke depan, suaminya, Raden Mas Taufan Ramadhan Angkasadjaja, akan mendapatkan gelar baru, yakni Gusti Raden Mas, ahli waris Adipati Mangkunegara di urutan pertama.

Seisi rumah tentu saja dibersihkan untuk menyambut hal besar itu, termasuk berbagai lukisan wajah anggota keluarga Mangkunegara. Meski sudah dilarang-larang oleh para abdi dalem, Yaya tetap mengambil kain dan ikut mengelap bingkai-bingkai kayu yang terpajang di dinding. Istri sang cucu adipati itu sesungguhnya penasaran pada sosok Paman Gempa yang meninggal sehari sebelum pernikahan mereka. Dari cara Taufan berdoa di sisi pusaranya kemarin, tampaknya paman ini seseorang yang sangat dia sayangi. Taufan tampak murung dan menyesal karena terlambat untuk pulang. Dia melewatkan saat-saat terakhir sang paman di dunia. Seperti apa orang yang bisa membuat seorang Taufan berduka sampai sedemikian?

Betul saja, lukisan terbaru yang dipasang pada deretan itu adalah gambar wajah Gusti Raden Mas Gempa Bumiasri. Nama lengkap beserta gelarnya tercantum di bawahnya dalam aksara Jawa. Wajah itu tidak terlalu mirip Taufan; lebih banyak mirip Hang Kasa, kakek Taufan. Sorot matanya teduh dan kuat, senyumnya tampak tegar, kendati rambutnya sudah banyak memutih dan, dari apa yang Yaya dengar, Paman Gempa ini sudah lama sakit. Dalam sekali pandang saja, Yaya bisa tahu Paman Gempa orang yang baik. Apakah ini memang wibawa yang terpancar dari orang sesungguhnya atau pelukisnya yang begitu ahli menuangkan kesan itu ke dalam lukisan?

"Gempa saat ini tentulah sudah ada dalam kedamaian, bebas dari segala rasa sakit."

Sebuah suara membuat Yaya terkejut dan menoleh. Hang Kasa, sang adipati, ada di sebelahnya entah sejak kapan. Yaya buru-buru membungkuk dan menjauh.

"Tuanku Adipati."

"Aku yang melukisnya," ucap Hang Kasa, membuat Yaya terkejut lagi. "Sejak masa muda, aku suka seni lukis. Kugambar sendiri wajah dua putraku yang mendahuluiku pergi ke surga." Sang adipati menunjuk gambar seorang lagi di seberang lukisan Gempa. Gusti Raden Mas Beliung Bayu Widjaja, ayah Taufan. Beliung meninggal lebih dulu dari Gempa dan tampak lebih muda dalam lukisan itu, jauh lebih mirip Taufan dengan ekspresi yang lebih serius.

"Lukisan-lukisan Tuanku sangat indah," puji Yaya tulus.

Hang Kasa hanya tersenyum simpul, masih memandangi lukisan Gempa untuk sejenak, lalu berbalik.

"Mari, ikut aku."

Yaya mengikutinya, menelusuri lorong sampai agak jauh.

"Rumah ini terlalu besar, ya?" Hang Kasa terkekeh sembari berjalan dibantu tongkat. Yaya bergumam mengiyakan tanpa berkomentar lebih jauh demi kesopanan. Ketukan-ketukan tongkat Hang Kasa pada lantai tegel mengiringi perjalanan mereka.

Hang Kasa akhirnya berhenti di depan sebuah lukisan lain. Ukurannya lebih besar dan piguranya bersepuh emas; gambar seorang wanita bersanggul yang amat cantik dan anggun. Sepasang tahi lalat menghias bawah matanya, membuatnya tampak manis.

Yaya menoleh dan baru akan melontarkan pujian lagi ketika menyadari Hang Kasa menangis di sampingnya. Air matanya mengalir deras dalam diam, sorot matanya tak lepas dari sosok dalam lukisan itu.

Dialah Ratna, istri Hang Kasa satu-satunya, ibu dari Gempa dan Beliung, nenek dari Taufan. Satu-satunya wanita yang dicintai Hang Kasa seumur hidupnya.

Semua lukisan yang ada di dinding itu adalah keluarga Hang Kasa dan Taufan, dan kini menjadi bagian dari keluarga baru Yaya. Mereka semua telah berpindah ke tempat tinggal yang kekal.

.

.

.

.

.

Catatan Penulis:

Bakat terpendam Mbah Kasa :")

Terima kasih sudah membaca!

[13 Januari 2024]