Title: The Boy From Next-Door Class
Genre: Friendship, Childhood friends
Rate: K
Words: 1k+
.
Sepatu itu tergantung di pagar, basah, kotor, dan bau. Benar-benar tidak pantas untuk digunakan. Namun Harry tidak punya pilihan lain selain memakainya kembali. Sambil menahan amarahnya, jemari kecil Harry melepaskan ikatan yang menggantung sepatunya. Kakinya enggan masuk, tapi ia harus tetap memakainya.
"Oh, lihatlah dia. Menyedihkan sekali." Suara yang menggelegar di sepanjang lorong itu menghampiri Harry.
Tanpa menoleh pun Harry tau siapa yang datang. Dudley dan pasukannya. Orang-orang yang membuat sepatunya jadi seperti barang rongsokan begini.
Harry mengepalkan tinjunya. Rasa marah dan benci menguasainya, namun rasa takut juga ikut. Matanya sudah memanas. Harry muak pada dirinya sendiri. Suara tawa dari orang-orang di sekitarnya membuat telinga Harry sakit. Ia menolak untuk menoleh ke arah Dudley dan pasukannya, tapi tetap saja Harry bisa melihat wajah menyebalkan mereka. Tidak ada pilihan lain. Harry lagi-lagi hanya bisa lari.
Kakinya memaksanya untuk duduk saat Harry sudah berada di belakang sekolah. Tempat favortinya untuk sendirian. Saksi bisu yang menyaksikan air matanya mengalir tanpa tertahan. Ya, ia menangis. Tangannya berkali-kali menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Tetapi, air mata itu seolah tak mau berhenti, walaupun Harry membenci dirinya yang menangis.
Di saat seperti inilah Harry akan bicara pada dirinya sendiri. Ia akan memarahi dirinya yang tidak mau berubah. Sejak dulu Harry bertekad untuk membalas apa yang dilakukan sepupunya itu. Tetapi, hingga sekarang pun, Harry tidak pernah melakukannya. Malah, Harry merasakan bahwa dirinya semakin lemah.
Sebelas tahun hidup dengan keluarga pamannya bagaikan neraka. Setidaknya, Harry sangat menginginkan dirinya berada di sekolah yang berbeda dengan Dudley. Saat pamannya ingin memasukkannya ke sekolah yang berbeda dengan Dudley, ia senang bukan main. Tetapi kemudian pamannya berubah pikiran. Menurutnya, hal itu merepotkan karena harus berurusan dengan dua sekolah. Jadilah sekarang Harry lagi-lagi menjadi incaran Dudley dan para perundung lainnya. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak ditakdirkan apa pun selain kehidupan yang sial.
"Hei."
Harry langsung mendongak mendengar suara itu. Matanya yang berair membuat pandangannya buram, namun itu tidak mencegah Harry mengetahui siapa yang datang. Rambut pirang itu sangat dikenalnya. Semua orang mengenalnya.
Harry buru-buru menghapus air matanya. Ia juga langsung berdiri. Otaknya memerintahkannya untuk pergi saat itu juga. Ia harus kabur secepat mungkin. Harry tidak bisa membiarkan dirinya dibully lagi. Apalagi oleh Draco Malfoy. Anak laki-laki dari kelas sebelah yang terkenal arogan.
Kakinya sudah melangkah. Hanya mengambil satu langkah. Harry tidak bisa pergi lebih jauh karena Draco menahan lengannya.
"Kau mau ke mana?" tanya Draco dengan wajah tanpa eskpresi yang berarti. Begitulah ia selalu dikenal.
Harry tidak menjawab. Ia takut. Entah kata-kata kejam apa yang akan Draco berikan padanya. Karena itulah ia berusaha untuk melepaskan tangannya. Tetapi Draco tidak melepaskannya, malahan dia juga menahan tangan Harry yang satu lagi agar ia tidak bisa pergi.
"It's alright. Jangan takut padaku." Suara Draco terdengar datar, sama seperti biasanya. Tapi ada yang berbeda kali ini. Dan perbedaan itu hanya muncul karena Harry.
Air matanya kembali mengalir. Ia mencoba melepaskan tangannya untuk menghapus air mata yang memalukan itu. Tapi saat tangannya sendiri sempat menyentuh wajahnya, Harry terkejut. Tangan yang lebih dingin itu sudah lebih dahulu melakukannya. Draco menghapus air mata di kedua pipi Harry. Ia juga mengelus rambutnya yang berantakan, menenangkannya.
"Apa mereka melakukannya lagi padamu?"
Harry tidak perlu bertanya lagi siapa mereka yang dimaksud Draco. Dan ia tidak perlu bingung kenapa Draco sampai tahu akan hal itu. Semua orang di sekolah tahu siapa pemangsa dan mangsa di sini.
Dengan mata yang sembab, Harry mengangguk.
"Kenapa kau tidak marah?" tanya Draco masih menangkup wajah Harry yang basah. "Kenapa kau tidak melawan mereka?"
Jujur, Harry bingung harus menjawab apa. Ia tidak mau jawaban yang ia berikan akan membuatnya terdengar seperti seorang pengecut. Alasan lainnya, karena ia terlalu bingung. Ia tidak pernah menduga jika Draco Malfoy akan bicara padanya, dengan penuh perhatian. Padahal selama ini ia pikir Draco yang arogan itu akan memperlakukannya sama seperti Dudley dan yang lain.
Mengetahui bahwa Harry tidak akan menjawab, Draco tidak memaksa. Ia juga sudah menarik tangannya karena Harry sudah berhenti menangis, meskipun matanya masih merah dan basah.
Membuka mulutnya, Harry memberanikan diri untuk bersuara. "Apa kau ... mau menemaniku di sini?" tanyanya dengan penuh kehati-hatian.
"Tentu," jawaban singkat Draco membuat Harry tersenyum. Dan hal itu juga membuatnya ikut tersenyum.
Harry kemudian kembali duduk di tempat awalnya. Ia menepuk-nepuk tempat di sampingnya, meminta Draco untuk duduk. Senyumnya semakin lebar karena Draco duduk tanpa pikir panjang. Harry pun mulai berbicara. Apa pun. Harry menceritakan apa pun kepada Draco. Dan dia menyukainya.
Besoknya, tidak banyak yang berubah. Harry masih saja berjalan sambil menundukkan kepala. Ia juga sebisa mungkin berjalan pelan agar tidak berbarengan dengan Dudley. Saat sampai di kelasnya pun, Harry masih terus menunduk. Ia duduk di kursinya dengan tenang, mencoba menghindari murid-murid lain yang ingin mengganggunya lagi hari ini.
"Harry?"
Suara gurunya membuat Harry mengangkat kepala.
"Kemarilah. Ikut denganku." Sang guru yang berdiri di pintu memanggilnya. "Ah, bawa juga semua barang-barangmu."
Tentu saja Harry bingung. Kenapa ia tiba-tiba dipanggil? Dan, kenapa ia harus membawa barang-barangnya? Apakah pamannya kembali berubah pikiran dan akan memindahkannya ke sekolah lain? Kalau memang begitu, Harry senang. Tapi, tidak sepenuhnya senang.
Sambil memeluk tasnya erat-erat, Harry mengikuti gurunya. Ia makin bingung saat mereka berhenti di depan kelas lain.
"Mulai sekarang kau dipindahkan ke kelas ini," guru itu menjelaskan, "memang mendadak, tapi begitulah. Draco ingin kau berada di kelas yang sama dengannya. Jadi, dia meminta ayahnya untuk bicara denganku. Sekarang masuklah. Duduk di mana pun yang kau suka." Dan setelah mengatakannya, guru itu meninggalkan Harry yang masih bingung.
Harry masih berdiri di depan pintu. Ia menatap seisi kelas yang tampaknya tidak terganggu dengan kehadirannya. Bahkan beberapa dari mereka melihat sekilas sambil tersenyum, menyapanya.
"Kau tidak masuk?"
Harry terkejut karena seseorang menepuk pundaknya. Ternyata itu Draco yang baru saja datang.
"Ayo," ajak Draco sambil berjalan duluan. Ia segera pergi menuju salah satu meja. "Weasley, menyingkir. Harry akan duduk di sana mulai hari ini."
Sementara itu, Harry masih belum bisa menggerakkan kakinya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa sekarang. Kalau bisa, Harry ingin berteriak. Memang ia hanya beda kelas dengan Dudley, tapi sekarang, Harry berada di kelas yang sama dengan seorang temannya. Seseorang yang sangat spesial, hingga Harry merasa beruntung telah mendapatkannya. Ia pun melangkahkan kakinya, segera menyusul Draco yang tengah berdebat dengan Ron agar Harry bisa duduk di depannya.
.
.
The Boy From Next-Door Class— Complete
.
.
.
A/N
Aku nemu video anak kecil yang nangis karena habis dibully teman-temannya terus datang anak lain buat nenangin dia. Dan bagi aku itu gemesiiiiiiiiiiin banget! Aku gak bisa tahan buat gak bikin fic sama drarry yang gemes ini :"
