"Mahabesar" © Roux Marlet
BoBoiBoy © Monsta
Tak ada keuntungan material dari cerita ini
Family, Angst, ElementalSiblings!AU, Septuplet
Jumlah kata: 817
Dipublikasikan di Twitter pada 14 Juli 2023
#IFA2023 #rubrikIFA2023
Prompt 5: paus
.
.
.
.
.
Bahkan meski dalam kondisi pusing dan masih mual sisa mabuk di pesawat, diiringi omelan sayang dari kakak sulungnya, Taufan bin Amato masih bisa mencermati bahwa adiknya lebih ceria dari biasanya.
"Kak Hali," panggil Taufan. "Lihat si Ice."
Ice, si nomor lima. Dia menggandeng kakak kembarnya, Blaze, dengan riang dan malah dia yang berjalan lebih cepat di pintu keluar bandara. Seperti enam saudaranya yang lain, Taufan tahu dua agenda besar mereka selama di Jerman ini: mencari calon sekolah dan liburan.
Ketujuh putra kembar Amato sebentar lagi berusia delapan belas tahun. Mereka semua ada di tahun terakhir sekolah menengah dan akan melanjutkan studi sesuai minat masing-masing. Bukannya di tanah air mereka di ujung Semenanjung Malaka tidak ada perguruan tinggi yang cukup baik; faktanya, lima dari tujuh saudara itu justru akan berkuliah di Kuala Lumpur dan sekitarnya.
Yang terutama mereka cari di Jerman ini adalah sekolah kedokteran yang menerima peserta didik difabel untuk si bungsu, Solar. Kecelakaan berat yang dialaminya tahun lalu membuatnya kehilangan kemampuan berbicara dan kelumpuhan dua pasang anggota geraknya. Solar tidak mau menyerah dengan impiannya menjadi dokter, namun kondisinya belum bisa diakomodasi perguruan tinggi kedokteran yang ada di Malaysia.
Amato, lewat relasinya di PBB, berhasil mendapatkan informasi universitas ternama di Berlin yang ramah difabel.
Jika segala rencana mereka ini diizinkan oleh Tuhan, perlu ada yang menemani Solar di Jerman, bukan?
"Kamu semangat banget, Ice," komentar Taufan sambil nyengir, saat mereka semua masuk ke minivan sewaan.
Ice hanya mengulum senyumnya sambil mengeluarkan ponselnya. Ada boneka paus mungil yang menggantung dari perangkat itu, yang dengan gemas disentil-sentil oleh Blaze yang duduk di sebelahnya.
Jurusan biologi maritim di kampus kedokteran incaran Solar ini juga berakreditasi tinggi. Setelah banyak diskusi dan debat kusir yang sama sekali tak singkat di rumah, telah diputuskan bahwa Ice yang akan mendampingi Solar berkuliah di Jerman kelak.
Blaze sempat keberatan, tentu saja. Namun, semuanya setuju mendukung Solar untuk mencoba menapaki gunung tinggi menuju cita-cita yang awalnya dikira mustahil bagi kondisinya. Dari semua opsi peminatan studi lanjutan yang mereka inginkan dan setimpal dengan biaya yang besar di luar negeri, jurusan pilihan Ice adalah yang paling bisa diatur pada lokasi yang sedekat mungkin dengan tempat studi Solar. Beruntungnya jurusan itu juga satu kampus.
"Kak Ice, nanti bangunkan Solar tiap pagi, ya! Kak Ice, 'kan, sudah nggak ngantukan seperti dulu!" celetuk Duri yang duduk di samping Solar.
"Hehehe …." Ice tertawa garing. Benar juga, itu sesuatu yang patut dikhawatirkan dan belum terpikirkan. Ice selalu sulit bangun di pagi hari, sedangkan Solar juga seorang yang suka begadang di malam hari. Bisa dibayangkan kalau mereka hanya serumah berdua?
"Nanti Ayah akan usahakan pengurus rumah yang menginap," usul Amato.
"Atau, Ibu yang sering-sering berkunjung ke Berlin," tanggap Amadea, yang duduk di sisi suaminya.
"Wah, Duri sudah kepikiran sampai situ, ya," ujar Gempa sambil menepuk puncak kepala adiknya itu. "Rencananya juga masih cukup lama. Kita bahkan belum ujian kelulusan."
"Argh, jangan diingetin, dong, Kak. Aku udah bosan belajar buat ujian," keluh Blaze.
"Lha, siapa memangnya yang nyuruh kamu kuliah bisnis demi Kokotiam?" kecam Halilintar. "Belajarnya harus rajin, dong!"
"Ukh, iya, iya, Kak Hali," sungut si nomor empat.
"Ampun, Abang Hakim yang Mulia," celetuk Taufan, yang dibalas death glare dari Halilintar.
"Hehe. Terbaik!" ujar Tok Aba.
Setahun pun belum genap sejak rentetan peristiwa yang mengubah banyak hal dalam keluarga itu. Sebagai pemilik ingatan fotografis, Taufan kadang mengalami kilas balik menyakitkan seputar kejadian paling traumatis di atas helikopter.
Kalau hal-hal buruk datang lagi dalam ingatannya, Taufan akan mencari memori lain yang lebih menyenangkan. Seperti saat ini. Karena tak bisa dipungkiri, setiap kali dia memandang Solar yang duduk di kursi roda, Taufan akan selalu ingat beban apa yang harus ditanggung adik bungsunya itu seumur hidup. Setiap kali dia melihat Ice, Taufan juga ingat bahwa adiknya yang satu itu pun pernah berjuang antara hidup dan mati seperti Solar. Mereka berdua sama-sama bertahan hidup dengan keajaiban. Mereka bertahan.
Mereka tetap ada. Berjuang lagi untuk impian masing-masing.
Taufan juga terkenang bertahun silam, di Aquaria KLCC, Kuala Lumpur Convention Center. Mereka semua umur enam tahun. Dia sangat ingat bahwa Ice begitu terpukau di wahana akuarium raksasa itu.
Ada banyak sekali ikan, penyu, belut, bahkan hiu—hampir semua varian makhluk air bisa dilihat dari balik kaca raksasa. Namun, tak ada paus seperti yang pernah dilihat Ice di televisi. Mamalia besar penghuni samudera itu tak ada di laut artifisial untuk ditonton.
Sebelum pulang, Ice melihat ada yang menjual boneka paus dan merengek minta dibelikan, bahkan sempat menangis karena awalnya Amato keberatan (mereka sudah punya banyak boneka di rumah).
Paus adalah makhluk dengan paru-paru yang bisa bertahan hidup di bawah air.
Dia identik dengan kesendirian, tapi sekaligus simbol empati untuk kaum kelompoknya. Dia punya cara berkomunikasi yang khas tanpa mengusik makhluk yang lain. Dia adalah yang terbesar di lautan tanpa perlu agresif.
Sebentar lagi, Ice akan bisa mendalami lebih dalam lagi, entitas di kedalaman lautan yang mahaluas yang hanya sepersekian kecil saja dari ciptaan Yang Mahakuasa.
Termasuk paus yang telah menjadi inspirasinya sejak kecil.
.
.
.
.
.
Author's Note:
Masih semacam sekuel dari "Harapan yang Menyingsing".
Psst, akan datang sekuel selanjutnya untuk serial tersebut, terpisah dari kumpulan drabble ini! Nantikanlah: "Sunshine After the Rain"!
