"Meluncur" © Roux Marlet
BoBoiBoy © Monsta
Tak ada keuntungan material dari cerita ini
Terinspirasi dari kisah nyata
Family, Angst, Caregivers, Bipolar, Journaling
Tokoh: Ice, Blaze, Gempa
Jumlah kata: 735
Dipublikasikan di Twitter pada 15 Juli 2023
#IFA2023 #rubrikIFA2023
Prompt 6: roket
.
.
.
.
.
Tuhan,
Syukur atas anugerah-Mu di hari ini. Aneh rasanya bahwa aku masih bisa menulis journaling ini ketika aku bahkan tak bisa benar-benar merasa bersyukur. Belakangan ini, banyak roket meluncur dalam hidupku.
Kemarin, aku mendapat promosi jabatan. Inilah roket yang pertama: jabatanku naik dua tingkat sekaligus menjadi level supervisor. Semua tentunya karena kerja keras dan Engkau yang berkenan. Kak Gempa sangat senang mendengarnya, dia sampai menangis memelukku.
Karierku melejit hanya dalam dua tahun aku bekerja di perusahaan yang kuimpikan.
Roket yang kedua, seiring dengan roket yang pertama, meluncurkanku terlalu kuat sampai rasanya terempas di luar angkasa, di ruang hampa udara. Teman-temanku resign hampir berbarengan di saat aku sangat butuh dukungan mereka. Memang hak mereka untuk memilih tempat kerja yang lain, tapi aku tak hanya kehilangan rekan sekerja, aku juga bakal merindukan keusilan Taufan, omelan Halilintar, komentar pedas Solar, dan manisnya Duri yang baik hati.
Dan roket yang satu lagi … di saat semua pekerjaan dan pertemanan terasa begitu melelahkan, kuharap bisa menemukan sedikit kelegaan di rumah. Tapi, itu semua hanya angan. Karena roket yang satu ini terus meluncur naik-turun tanpa henti di rumahku.
Aku tidak bilang apa-apa, tidak bertanya apa-apa soal memar dan lecet di mana-mana di tangan Kak Gempa kemarin siang. Dia tetap tersenyum seperti biasa, memasak sepenuh hati untuk porsi tiga orang seperti tak terjadi apa-apa. Tetap bisa mengajar anak-anak les mengaji di ruang tamu sambil berusaha mengabaikan suara orang bermain game di dalam kamar yang lain. Kalau sudah sempat meledak marah atau menangis histeris tanpa alasan, biasanya Kak Blaze bakalan main game sampai capek lalu tidur sampai esok harinya.
Luncuran roket mania itu kemudian terjun bebas dan aku atau Kak Gempa harus benar-benar hati-hati untuk mengawasi benda-benda tajam yang ada di rumah. Kak Gempa selalu mengunci semua pisau dapur dan garpu dalam lemari, dan kuncinya dia masukkan dalam kaus kakinya (ini tempat jitu untuk menyimpan!)
Sesulit ini rasanya tinggal serumah bersama seorang dengan bipolar. Kak Blaze jadi begitu sejak Ayah dan Ibu tiada, tapi dia juga sudah dalam pengobatan yang tersendat-sendat. Bukan hanya sekali Kak Blaze pernah membuang obat-obatan mahal itu. Kak Gempa selalu berhasil menghindarkanku diserang Kak Blaze saat dia mengamuk dalam fase mania, tapi mau sampai kapan dia bisa bertahan? Kesabaran dan kekuatan fisik Kak Gempa tentu ada batasnya. Kadang aku sangat heran dengan Kak Gempa yang tidak pernah marah terhadap Kak Blaze. Kak Gempa sama sekali tak pernah memukul kakak keduaku itu, dia selalu hanya bertahan kalau Kak Blaze sudah main tangan atau kaki.
Di beberapa momen, kalau Kak Blaze sedang ada di fase depresi, akulah yang bisa jadi penghiburnya. Dia sama sekali tidak agresif di saat begitu dan hanya butuh pendengar untuk curahan hatinya, justru kadang kotak obatnya harus kujauhkan supaya dia tidak berpikiran untuk menelan semuanya sekaligus.
Sudah lama, Kak Blaze iri terhadapku. Ice, si anak bungsu dari tiga bersaudara yang prestasinya meluncur bagai roket sejak kecil. Ayah dan Ibu sering memujiku, tapi Kak Gempa selalu ingatkan untuk jangan jadi orang sombong. Semua prestasiku, semua dari-Mu, Tuhan.
Kak Blaze, yang lebih suka main daripada belajar, sering dibandingkan denganku tanpa sadar. Kak Blaze, yang memang banyak berkeringat dan tak peduli bau badan, ternyata kerap kali di-bully di sekolah tanpa aku tahu. Hanya di masa-masa ketika dia ada di titik terendah penyakitnya inilah dia mau mengungkapkan semua itu kepadaku. Membuatku merasa bersalah padahal aku juga tak tahu siapa yang salah. Sebaliknya, kadang-kadang perkataan Kak Blaze di fase yang mana pun bisa begitu menyakitkan. Aku tak bisa menebalkan telinga seperti Kak Gempa, yang selalu bilang bahwa kata-kata Kak Blaze bukanlah wujud perasaannya yang sesungguhnya, tapi dipengaruhi sakitnya.
Tuhan, aku juga boleh mengeluh, 'kan? Aku selalu jadi anak yang baik, aku patuh pada Ayah dan Ibu dan Kak Gempa, lalu kenapa aku harus menjalani semua ini? Aku tak cukup kuat untuk mengejar kecepatan luncuran ini.
Tapi, berkeluh kesah terus-menerus pun tak ada gunanya. Dengan banyaknya luncuran di sekitarku belakangan ini, aku jadi lupa untuk apa aku diciptakan.
Aku lupa untuk apa aku terlahir sebagai si bungsu dalam keluarga ini. Aku lupa kenapa aku dipilih menjadi pimpinan dalam pekerjaanku. Aku telah dikaburkan oleh prestasiku sendiri, padahal itu semua pemberian-Mu. Bukankah semuanya juga untuk memuliakan nama-Mu?
Tanpa sadar, aku jadi sombong hanya dengan memikirkan bahwa aku orang baik. Orang yang betul-betul baik tidak akan menyebut dirinya baik.
Tuhan, aku percaya semuanya akan indah pada waktunya. Kapan, bagaimana, manusia hanya bisa berusaha.
Sampai akhirnya nanti, kami semua akan meluncur kembali ke hadirat-Mu yang baka.
.
.
.
.
.
Author's Note:
Peluk virtual untuk siapa pun yang membaca ini dan sedang berjuang!
.
Cerita ini akhirnya dikembangkan dan dilanjutkan dalam bahasa Inggris di AO3, judulnya "Love at Border Stake"
