Chairmate

By Jimjiminie

BoYa fic story

Genre: romance, friendship, mystery

Warn: mengandung kata-kata kasar

[Disclaimer: Boboiboy dkk milik Monsta, saya hanya meminjam karakternya sebentar tanpa mengambil untung apapun]

.

.

.

.

Happy Reading

.

.

.

.


"Ini udah yang kelima kalinya kamu pecahin jendela ruang guru. Mau sampai berapa kali kamu pecahin, Boboiboy?"

"Sepuluh kali gimana, Pak? Biar jadi genap."

"Boboiboy!"

Pak Kasa menarik napasnya sebentar agar meredakan emosinya. Ditatapnya lagi sang anak didik yang duduk di depannya dengan wajah kelewat tenang, padahal sepuluh menit yang lalu dia baru saja menghancurkan jendela ruang guru sampai guru-guru wanita berteriak histeris karena saking kagetnya. Harus bersikap apalagi dia pada anak bandel ini?

"Maap, Pak. Saya 'kan cuma main bola, eh bolanya malah ke arah situ. Mungkin ada dendam kali bolanya jadi ngarah ke ruang guru terus." katanya santai.

"Alasan aja kamu!" balas Pak Kasa kesal. Nampaknya memang emosinya tak akan hilang jika berhadapan dengan Boboiboy. "Udah, besok panggil Atok kamu. Bapak harus diskusiin hukuman apa yang cocok buat kamu." putus Pak Kasa. Ia tidak mau darah tinggi jika terus meladeni cucu temannya ini.

"Jangan, Pak. Atok sibuk sama cafenya, kasih hukuman sekarang juga nggak papa, Pak. Saya rela, kok." ujar Boboiboy malah memberikan penawaran. Baginya, melibatkan sang kakek akan memperkeruh keadaannya. Boboiboy tak sanggup menghadapinya sekaligus.

Pak Kasa memijit pangkal hidungnya yang pening. Memang butuh kesabaran ekstra menghadapi Boboiboy. Ada saja jawabannya yang di luar nalar.

"Kamu kembali ke kelas sekarang." ucap Pak Kasa lelah.

"Saya nggak jadi dihukum, Pak?"

"Udah sana keluar!"

"Oke siap 86!"

Boboiboy kemudian berjalan riang keluar ruangan Pak Kasa selaku wali kelasnya yang hanya bisa menghela napas panjang melihatnya pergi. Saat ia membuka pintu, wajah Gopal dan Fang adalah hal yang pertama ia temukan. Habis nguping ternyata.

"Kepo banget lo berdua!" decak Boboiboy, berjalan melewati dua sahabatnya. Fang dan Gopal langsung mengikutinya seperti kurcaci.

"Gimana? Lo dihukum apa kali ini?" tanya Gopal penasaran. Usahanya menguping tadi tak membuahkan hasil, Gopal baru ingat belum membersihkan telinganya sebulan lebih. Alhasil sekarang dia budeg.

"Gak tau." balas Boboiboy sambil mempercepat langkahnya agar bisa segera tiba di kantin. Karena asyik bermain bola tadi ia tak sempat makan sampai akhirnya dipanggil Pak Kasa karena memecahkan jendela lagi.

"Serius nggak tau? Kerasukan apa Pak Kasa belum kasih lo hukuman?" tanya Fang. Rupanya teman landaknya itu sama penasarannya seperti Gopal.

"Kerasukan lo." jawab Boboiboy. Fang mencebik kesal.

"Lo sih lagian, udah gue bilang nendang bolanya jangan kenceng-kenceng. Eh malah dikencengin. Kena jendela ruang guru lagi, 'kan!" cerocos Gopal.

"Ya mana gue tau. Udah takdirnya begitu."

Fang dan Gopal menggelengkan kepalanya pasrah. Mereka terus berjalan melewati koridor yang dipenuhi siswa-siswi SMA Pulau Rintis. Ketika mereka berbelok ke arah pintu kantin, bel berdering panjang. Menciptakan dengusan kesal dari Boboiboy. Berterima kasihlah pada Pak Kasa karena sudah memakan waktu istirahatnya hanya untuk diinterogasi. Tepukan iba di kedua bahunya ditepis Boboiboy dengan kasar, sebelum akhirnya cowok itu terpaksa memutar arah ke kelas. Mengabaikan tawa mirip kuntilanak dari Fang dan Gopal.

Sesampainya di kelas, ketiganya sudah menemukan teman-temannya duduk rapi dan sang ketua kelas berdiri di depan seperti penguasa.

"Ada apaan nih?" tanya Fang terheran-heran. Jelas itu menjadi pertanyaan, karena biasanya hanya akan ada informasi penting jika mereka duduk rapi begini.

"Duduk. Gue mau kasih pengumuman." ucap Yaya, selaku ketua kelas mereka.

Ketiganya saling berpandangan sebelum akhirnya duduk di kursi mereka yang dekat dengan jendela. Boboiboy membaringkan kepalanya di meja dan menghadap ke jendela, enggan mendengarkan. Sementara yang lain menunggu dengan sabar Yaya berbicara.

"Pak Kasa kasih tahu nilai ujian matematika ke gue tadi. Dan ada pengumuman penting."

Seluruh teman-temannya langsung saling berbisik ribut. Yaya menghela napas gusar, memukul meja di depannya dengan keras untuk menarik perhatian mereka lagi.

"Diem dulu bisa, gak?!" teriaknya kesal. Kelas seketika hening, Yaya akhirnya kembali bersuara dengan lantang. "Mulai minggu depan, tempat duduk bakal dirolling." Reaksi teman-temannya langsung dihiasi dengan ekspresi terkejut. "Dan yang mengatur adalah Pak Kasa. Nggak ada yang protes sampai minta tuker teman sebangku. Yang mau protes, silakan langsung ke Pak Kasa. List nama-namanya udah gue kirim ke grup." lanjut Yaya tenang sambil mengacungkan ponselnya, memperlihatkan layar roomchat grup kelas mereka. Setelah itu, Yaya kembali duduk ke kursinya, berusaha menulikan telinganya dari protesan teman-temannya.

"Yaelah, kayak anak kecil aja dah diatur segala!"

"Anjir, kok gue sama Gopal sih?!"

"Yeuuu, siapa juga yang mau sama lo?!"

"Yahh, Yaya kita berpisah!"

"Yess, gue sama Stanley, bisa nyontek kalo ujian!"

"Anjir."

Dan masih banyak lagi cerocosan teman-temannya. Yaya ikut menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat kelas. Ia mulai berhitung dalam hati. Dan ketika tiba di angka 3, seseorang sudah berdiri di depannya sambil melempar ponsel ke mejanya. Yaya sudah menduga itu.

"Gue gak mau duduk sama lo." katanya tanpa basa-basi.

Yaya mengangkat kepalanya, membalas tatapan Boboiboy yang mengarah tajam padanya. "Kan tadi gue udah bilang. Jangan protes ke gue. Ke Pak Kasa." balasnya. Ia memajukan tubuhnya sedikit, menatap tanpa takut Boboiboy yang sudah terselimuti emosi. "Emangnya lo pikir gue mau, satu bangku sama anak biang masalah kayak lo?"

"Wah..." Boboiboy kehabisan kata-kata. Ia membalas tatapan Yaya seolah keduanya bisa saling membunuh. "Lo berasa jadi anak teladan ya, terus seenaknya aja ngatain orang?"

Yaya tertawa kencang. "Gue bicarain fakta, bukan ngomong seenaknya." ujar Yaya. "Harusnya cowok kayak lo itu introspeksi diri. Bisa jadi ini karna ulah lo 'kan, makanya Pak Kasa rolling tempat duduk kita?" katanya dengan nada serendah mungkin. Yaya memundurkan tubuhnya lagi, pura-pura memainkan ponselnya di depan Boboiboy dengan cuek.

"Lo–"

Sebelum Boboiboy selesai dengan ucapannya, salah satu temannya ribut memberi tahu bahwa guru mapel selanjutnya sudah datang.

Boboiboy mengepalkan tangannya kuat. Dihembuskannya napas kasar untuk menenangkan dirinya sebentar. "Awas ya lo." ancamnya, lalu kembali ke tempat duduknya. Yaya hanya memutar matanya malas, mengabaikan ucapan Boboiboy untuknya.

Setibanya di tempat duduk, Boboiboy langsung merebahkan kepalanya di meja dan menghadap ke jendela. Dia akan tidur saat pelajaran karena moodnya sudah terlanjur hancur gara-gara Yaya. Gadis itu benar-benar menyebalkan.

"Lo ngapa sih sama Yaya? Ribut mulu dah dari dulu udah kayak Tom and Jerry." celetuk Fang sambil memakan pilus entah darimana. Cowok itu duduk di depannya. Gopal yang duduk persis di sebelahnya mengangguk setuju.

"Kalo kata gue ya, lo berdua damai dari sekarang. Daripada nanti udah sebangku ribut terus, pusing gue liatnya." sahut Gopal.

Boboiboy mendengus. "Bacot lo berdua." Ia semakin menenggelamkan kepalanya di lipatan lengannya, berusaha untuk tidur meski tak mengantuk.

Fakta yang Fang lontarkan padanya tadi memang sudah diketahui oleh hampir seluruh angkatan mereka. Boboiboy dan Yaya. Dua insan itu tak pernah akur sejak kelas sepuluh. Kebiasaan mereka yang saling bertolak belakang membuat pemikiran keduanya pun berbeda. Yaya yang selalu menjadi panutan, dan Boboiboy yang tak pernah absen membuat masalah. Setiap hari, pasti ada saja yang mereka ributkan. Begitulah mereka dikenal.

Boboiboy berdecak. Usahanya untuk tidur tak membuahkan hasil. Dirogohnya saku untuk mengambil ponselnya, berniat bermain game diam-diam meski gurunya tengah menjelaskan materi di depan sana. Namun matanya harus menemukan notifikasi pesan dari atoknya. Baru tiba satu menit yang lalu.

Atok Kece: Atok denger kamu mecahin jendela ruang guru lagi? Ya Allah cucu siapa sih kamu! Pulang nanti jaga cafe sampai malam. Atok mau healing

Boboiboy menghela napas panjang. Tambah lagi sudah pengacau mood-nya hari ini.

.


.

Yaya membuka pintu rumahnya dengan pelan. Sepi dan sunyi. Suasana yang selalu ia dapati setiap pulang sekolah. Cewek itu menghela napas. Menyeret kakinya menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Saat tiba di tangga, suara Bi Kalisa terdengar, pasti dia tahu dirinya pulang.

"Non Yaya mau makan? Bibi siapkan, ya?"

"Terserah." jawab Yaya singkat, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Kasur menjadi tujuan utamanya ketika membuka pintu kamar. Yaya merebahkan tubuhnya yang lelah di sana, memandangi langit-langit kamarnya yang seputih kertas. Selalu seperti ini. Tak berubah sedikitpun sejak tiga tahun lamanya.

Yaya berguling ke samping. Mengambil ponselnya di saku untuk mencari kontak seseorang. Tatapannya berubah sendu karena tak ada satu pun kabar darinya. Haruskah ia lagi yang menghubunginya lebih dulu? Atau menunggunya memberikan pesan sesuai yang ia janjikan padanya?

Rasa bimbang menyerangnya. Perlu hingga lima menit batinnya bertengkar, sebelum akhirnya ia mengetik pesan singkat yang ia harap dibalas secepat mungkin.

Ayah kapan pulang?

Satu menit. Dua menit. Lima menit. Dan tiba di sepuluh menit hingga Bi Kalisa datang membawakan makanan untuknya. Tak ada balasan yang mendatangi ponselnya sampai saat itu.

Yaya menyerah. Melempar ponselnya asal di kasur dan menutup matanya dengan sebelah lengan. Ia berharap bisa tidur. Namun tidur di sore hari sama sekali bukan rutinitasnya. Yang ada ia akan terserang sakit kepala. Gusar, cewek itu bangkit duduk. Meraih ponselnya lagi dan menemukan notifikasi pesan. Yaya hampir memekik kegirangan jika saja tak membaca siapa pengirimnya.

Bukan dari sang ayah. Melainkan dari wali kelasnya.

Pak Kasa: Yaya, terimakasih ya sudah membantu bapak menentukan tempat duduk untuk minggu depan nanti. Selamat istirahat.

Yaya melipat bibirnya. Wali kelasnya memang perhatian, sangat malah. Meski tahu itu, Yaya tak pernah sangka Pak Kasa akan berterima kasih padanya sampai menghubunginya secara pribadi. Ia mengetik balasan dengan cepat, berkata bahwa ia tak keberatan sama sekali dengan itu.

Benar. Ia yang mengatur rolling tempat duduk tadi. Bukan Pak Kasa. Ia berbohong tadi.

Sambil menggenggam ponselnya dengan sebelah tangan, Yaya membulatkan tekadnya.

"Boboiboy... gue harus tau tentang lo."

.


.

"Ha! Tiba pun kau."

Seorang pria paruh baya langsung menyambutnya saat ia membuka pintu. Boboiboy tak membalasnya, ia melenggang masuk ke dalam cafe dan menaruh helm di atas meja counter, tak jauh dari tempat Tok Aba berdiri. Diraihnya gelas kecil yang diletakkan di meja counter, lalu menuangkan air putih untuk ia teguk sampai kandas. Tok Aba yang melihatnya berkacak pinggang.

"Kenapa pecahin jendela lagi? Kamu main bola apa mau ngehancurin ruang guru?"

Boboiboy meletakkan gelasnya dengan tidak santai. "Atok, Boboiboy baru nyampe. Nanti aja ngomelnya bisa nggak?" protes sang cucu. Ia sudah menduga Tok Aba akan mewawancarainya terkait masalah tadi, tapi jangan sekarang juga. Untung tidak ada pelanggan saat ini, kalau ada mau ditaruh dimana wajahnya?

Tok Aba tampak menghela napas panjang. "Boboiboy. Atok sekolahin kamu biar kamu pinter kayak ayah kamu. Bukan jadi berandalan!" tegurnya. Cucunya pura-pura tak mendengarkan dengan cara menuangkan airnya lagi. Dia sudah seperti orang tak minum berhari-hari. "Atok juga malu sama Pak Kasa, walaupun dia temen Atok sendiri. Kamu denger?"

Boboiboy hanya diam sambil memutar-mutar bibir gelas di mulutnya. Ia tentu tahu itu. Pak Kasa dan Tok Aba adalah sahabat sedari lama. Meski Tok Aba lebih tua lima tahun, namun kedekatan mereka sudah hampir mirip saudara. Membuat Boboiboy sedikit kagum dengan hubungan mereka.

"Boboiboy!"

"Iya, iya, Boboiboy denger." balas cowok itu sebelum kemudian bangkit, memutari meja counter dan berdiri di sebelah Tok Aba yang memandanginya jengkel. "Boboiboy yang jaga cafe sampai malem hari ini. Atok healing aja, gih." katanya dengan senyum dilembut-lembutkan. Itu adalah triknya agar Tok Aba berhenti marah.

Dengan gregetan, Tok Aba menempeleng kepala Boboiboy tidak terlalu kencang. Cowok itu mengaduh sakit, lalu mengerucutkan bibirnya sebal saat Tok Aba melepas celemeknya dan pergi keluar cafe. Tapi sebelum pria paruh baya itu keluar, ia berucap.

"Atok sudah masakkan lauk kesukaan kamu di rumah. Jangan lupa makan."

Tapi tetap saja, semarah-marahnya Tok Aba, ia tetap atoknya yang perhatian dan sayang padanya.

Setelah Tok Aba pergi, Boboiboy menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum tipis dan mulai membersihkan cafe. Sebenarnya ini adalah rutinitasnya setiap hari sepulang sekolah. Membantu Tok Aba mengelola cafe bernama Koko Tiam milik mereka yang sudah atoknya rintis sejak ia belum lahir. Biasanya Tok Aba akan menemaninya hingga malam, tapi untuk hari ini, ia terpaksa melakukan semuanya sendirian karena ulahnya di sekolah tadi. Pak Kasa ternyata benar-benar mengadukannya pada Tok Aba.

Selesai membersihkan cafe, Boboiboy beralih mengecek persediaan di dapur. Walaupun cafe mereka sudah lumayan dikenal sampai saat ini, namun Tok Aba belum berminat merekrut karyawan baru. Boboiboy juga tak mengerti apa alasannya, karena seringkali mereka kewalahan melayani para pelanggan sebab hanya berdua. Ketika ditanya pun, Tok Aba hanya menjawab 'masih bisa dilakukan berdua kok', membuat Boboiboy malas bertanya lagi.

Pada saat cowok itu ingin membuka kulkas, suara gemerincing dari bel pintu cafe menyentaknya. Boboiboy buru-buru keluar, bersiap melontarkan kalimat sapaan saat kedua matanya mendapati Fang dan Gopal di sana.

"Kayak biasa ya, Bos!" seru mereka, mengambil tempat di salah satu meja dengan tenang.

"Cish. Orang gila ternyata." decak Boboiboy. Tapi tangannya tetap bergerak membuat pesanan mereka. Es kopi khusus untuk Fang, dan coklat panas untuk Gopal. Sebenarnya cafe coklat mereka tak menjual kopi, tapi Fang dengan seenak jidat request menu minimal es kopi ada biar dia bisa sering kesini. Kurang ajar memang.

"Nih." Boboiboy menghidangkannya dengan cara tak sopan, Fang dan Gopal menghadiahinya tatapan sinis. Tanpa mempedulikannya, Boboiboy menarik kursi ke meja mereka, duduk dengan salah satu kaki diangkat dan tangan kanan bertengger di sandaran kursi.

"Atok lo kemana?" tanya Fang setelah menyeruput minumannya.

"Healing."

"Pffttt." Gopal hampir menyemburkan coklat panasnya karena tak dapat menahan tawa. "Kocak banget atok lo." komentarnya dengan tertawa keras.

Boboiboy mengendikkan bahu. "Nggak ngerti gue juga. Suka-suka dia, lah."

"Baguslah. Atok lo bisa nyenengin diri sendiri dengan cara yang tenang. Gak kayak lo..."

"Bacot." sentak Boboiboy kesal. Karena ia tahu betul Fang menyinggung kembali insiden jendela ruang guru.

Tawa Gopal dan Fang langsung terdengar. Boboiboy hanya mendengus kesal, tak mau repot-repot menghilangkan tawa keduanya.

"Tapi, ya. Rolling tempat duduk kayaknya gara-gara lo deh."

Boboiboy memelotot tajam. "Kok gue?!"

"Yaa, terbukti dari lo abis dipanggil pak Kasa, Yaya tiba-tiba ngumumin rolling tempat duduk. Karna nila setitik, rusak kopi sebelanga."

"Susu bego." ralat Fang.

"Oiya."

Boboiboy berdecih. Apa hubungannya peribahasa itu dengannya? Lalu kenapa itu jadi salahnya padahal jelas-jelas Pak Kasa belum memberikannya hukuman? Itu mah kebetulan doang kali.

"Tiga hari lagi hidup lo gak tenang." ujar Fang mengingatkan. Ini hari jum'at, dan mulai senin nanti tempat duduk mereka berubah. Dimana Boboiboy akan sebangku dengan Yaya selaku musuh bebuyutannya. "Semoga tensi lo nggak naik, ya." ejek si rambut landak itu.

"Anjing."

.


.

Cafe tutup jam 9 malam. Boboiboy sudah bersiap pulang setelah mengunci semua gembok. Selesai sudah hukumannya malam ini. Dipakainya jaket dan helm yang selalu menemaninya berkendara. Dengan tenang, cowok itu menyalakan motor matic-nya untuk pulang ke rumah yang hanya berjarak dua kilometer dari cafe.

Sesampainya di rumah, Boboiboy tak menemukan Tok Aba dimanapun. Ia menebak Tok Aba masih asyik memancing bersama Pak Zola, yaitu bapak-bapak nyentrik di komplek perumahan mereka, atau mampir ke rumah Pak Kasa buat ghibah. Entah mana yang benar. Biarkanlah, yang penting atoknya hepi.

Setelah membersihkan diri, Boboiboy menuju kamarnya. Lelah langsung menguasainya ketika ia merebahkan diri di kasur. Cowok itu tak langsung tidur, melainkan membuka ponselnya terlebih dahulu. Ada yang harus ia lakukan malam ini. Yaitu membuat peraturan selama ia duduk sebangku dengan Yaya.

"Gue akan buat lo menyesal, Yaya Yah." gumam Boboiboy seraya tersenyum licik. Ancamannya tadi bukan sekedar ancaman. Boboiboy harus mencari cara agar Yaya tak tenang selama duduk dengannya.

Yaya memang musuhnya semenjak mereka masuk SMA. Entah bagaimana awalnya, Boboiboy hanya ingat mereka berdua pernah diikutsertakan dalam olimpiade oleh pihak sekolah. Mereka sempat belajar bersama agar bisa memenangkan olimpiade itu. Tapi karena dirinya dipaksa ikut, Boboiboy hanya belajar seadanya dan menemani Yaya berlatih. Namun tanpa disangka, ia malah menjadi juara pertama, sementara Yaya kalah.

Sejak itu, sikap Yaya padanya berubah. Boboiboy tak tahu cewek itu merasa dikhianati atau iri padanya. Yaya tak pernah mengatakan alasannya dengan jelas. Sampai akhirnya Boboiboy lelah, mulai menjauhi Yaya dan membuat mereka menjadi asing. Ia tak ikut olimpiade lagi meski guru-guru membujuknya karena kecerdasannya yang tak disangka. Ia hanya tak mau menjadi saingan Yaya, dan ingin berteman dengan cewek itu lagi. Maka dari itu Boboiboy memilih jalan yang salah, dengan menjadi berandalan sekolah walaupun otaknya sangat cerdas. Tapi rupanya, Yaya tetap tak mau berteman dengannya. Sepertinya memang cewek itu membencinya.

"Okeh, jadi!" seru cowok itu girang saat melihat list peraturan yang ia buat sudah selesai. Terhitung ada 20 peraturan yang akan ia kirim pada musuh bebuyutannya. "Mampus lo, Yaya." kekehnya puas.

List peraturan itu langsung ia kirim pada Yaya. Wajahnya terlihat tak sabar menunggu reaksi yang akan diberikan cewek itu. Lima menit berlalu dan tanda-tanda Yaya membacanya belum terlihat. Boboiboy menguap lebar, merasakan kantuk yang sudah ia tahan sedari tadi. Cowok itu dengan cepat terlelap dengan tangannya masih menggenggam ponsel yang memperlihatkan roomchatnya bersama Yaya.

Boboiboy tiba-tiba mengernyit dalam tidurnya kala sebuah mimpi buruk kembali menghantuinya. Kepalanya menggeleng gelisah, dia melihat kobaran api yang menyala-nyala di depannya. Panas. Sesak. Ia tak bisa bernapas dan tak bisa kemana-mana. Terduduk pasrah di antara kobaran api itu sambil menangis tersedu.

"Tidak..." rintihnya. Ia semakin gelisah dalam tidurnya. Matanya menemukan sesosok pria menghampirinya, lalu menggendongnya yang memberontak sambil menangis.

"Tidak... kumohon..." Seluruh tubuhnya sudah gemetaran hebat. Boboiboy berharap mimpi itu pergi meninggalkannya, namun sebuah suara memenuhi seluruh indera pendengarannya, terasa sangat nyata.

Ayahmu tidak akan selamat. Ayahmu akan mati. Ayahmu pantas mati.

"TIDAK!"

Boboiboy terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin bercucuran di kepalanya, matanya terlihat sangat ketakutan memandang sekitarnya untuk mencari siapa yang mengatakan itu. Namun tak ada siapa-siapa selain dirinya. Suara itu pasti dari mimpinya, seperti yang lalu-lalu.

Boboiboy mencoba menarik napas, memegangi dadanya yang masih sedikit sesak. Ia menundukkan kepalanya dalam. Memejamkan matanya erat supaya mimpi buruk itu tak terbayang di kepalanya.

Setelah mendapat ketenangan yang cukup, Boboiboy bergerak pelan menuju meja belajarnya. Sebuah bingkai foto terpajang rapi di sana, memperlihatkan potret seorang pria bersama anak kecil yang tersenyum lebar di gendongannya. Itu adalah dirinya dan sang ayah. Senyum kecil tanpa sadar terbit di wajah Boboiboy. Tangannya meraih bingkai foto itu dengan pelan, memandanginya sendu bersama perasaan rindunya.

"Ayah... aku kangen..." bisik Boboiboy. Jarinya mengusap gambar sang ayah, berharap ayahnya benar-benar ada di sini. Tapi itu hanyalah harapannya semata. Karena ayahnya sudah tiada.

Mimpi buruk itu jugalah yang menghubungkannya dengan kematian sang ayah. Setiap ia merindukannya, mimpi itu pasti datang. Begitu samar dan tidak jelas. Yang Boboiboy tahu, ayahnya tewas dalam insiden kebakaran di rumahnya sendiri. Ia juga berada di sana kala itu, namun ingatannya tak menyimpan banyak tentang apa yang terjadi sebenarnya. Boboiboy tak bisa mengingatnya berapa kali pun ia mencoba. Orang-orang mengatakan itu adalah kecelakaan, karena hanya ada dirinya dan sang ayah saat itu. Tapi di dalam mimpinya ada seseorang selain mereka. Entah siapa. Boboiboy yakin, ada yang tidak beres dengan kejadian itu.

Boboiboy menghela napas. Meletakkan kembali bingkai foto itu di tempatnya semula. Ia melirik jam yang menunjuk waktu hampir tengah malam. Tok Aba pasti sudah pulang, ia sangat lega teriakannya tadi tak membangunkannya. Karena Tok Aba tidak perlu mengetahui bahwa cucunya kembali memimpikan hal yang sama lagi, untuk kesekian kalinya.

Memutuskan untuk melanjutkan tidurnya, Boboiboy kembali merebahkan dirinya di kasur. Ia kemudian teringat sesuatu, lantas meraih ponselnya untuk mengecek balasan Yaya.

Saat kedua matanya melihat dua centang biru di sudut bubble chat-nya, Boboiboy mengernyit sebal.

"Dibaca doang?!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

tbc


a/n

guee comeback dengan kisah baru BoYa lagi

evaluasi diri gue di accidental meeting kemarin, alur ceritanya ga tersusun dengan rapi, maka dari itu gue bakal lebih teliti lagi buat ff ini. yah, soal update gue gabisa janji update kilat, karena memang betul-betul susah

tapi gapapa, gue bakal usahain. tengkyu yang udah baca yaa