Desclaimer: Naruto, Masashi Kishimoto
Old Yellow Bricks
Unagyux
2023
CHAPTER 1: PROLOG
Ini bukanlah sebuah kisah yang patut aku ceritakan kepada khalayak ramai, mungkin juga tak banyak yang peduli tentang kisahku. Karena duniaku terlarang dan rentan.
Orang-orang menyebutku sebagai Lonte, Jablay, Lacur, kau boleh menambahkan sebutan lain kalau kau mau, selama itu mendeskripsikan pekerja seks di tahun 90-an, itu aku. Tapi kalau boleh aku jujur tentu aku lebih suka dipanggil Geisha, sebab menjadi Geisha berarti bukan hanya sekedar pekerja seks, kami juga merupakan pekerja seni.
Kami harus terampil dalam melayani pelanggan seperti menuang sake, menyanyi, menari, memainkan shamisen, juga harus pandai bicara. Sejak lulus Sekolah Dasar aku dilatih untuk melakukan kegiatan tersebut, sampai akhirnya tuan Jiraiya memberiku kesempatan untuk memulai hari pertama bekerja di Icha-icha Paradise.
Aku pernah sibuk sekali melayani pria dewasa dan paruh baya yang krisis eksistensi, pulang kerja berkata pada istrinya di telepon bahwa ia akan melewatkan makan malam karena ada lemburan di kantornya. Pernah juga melayani orang-orang bisnis yang mampir untuk rapat sembari menghibur diri. Tapi itu dulu—dua dekade lalu. Kini, saat aku terbaring di tempat tidur sambil mendengarkan badai musim panas yang sedang mengamuk diluar, rasanya semua seperti baru terjadi kemarin.
Aku tidak bilang pekerjaan ini menyenangkan, tapi toh, aku menerima semuanya seperti apa adanya. Mungkin ini jalan takdirku untuk tinggal di Icha-icha Paradise. Dan jika Icha-Icha Paradise ini punya telinga untuk mendengar juga lidah untuk bicara, pasti Icha-icha Paradise-lah yang paling bisa menuangkan cerita tersebut.
Masih jelas dalam pikiranku ketika pertama kali menginjakkan kaki di Tokyo, melihat diriku dikelilingi gedung pancakar langit dan dikerubungi warga lokal hendak pergi bekerja. Aku tidak bisa menghentikan diriku menatap gedung dan bertanya-tanya ada apa didalamnya. Berpikir bahwa suatu saat mungkin saja aku berada di dalamnya.
Dan ketika menyadari hal yang membawaku kesini, disitulah aku akan merasakan rindu pada ayah dan ibuku juga dendam kepada Tuan Danzo. Tapi kemudian aku benci pada diri sendiri, karena pada saat aku mulai senang lagi dalam kehidupan Geisha, aku lupa pada dua perasaan ini: rindu dan dendam, karena setiap hari adalah hari yang berbeda untukku disini. Hari-hari yang menguras emosi juga mengisi relung hati, yang memberi kesempatan kepadaku untuk mengenal sesuatu yang kabur dari pandanganku selama ini, Cinta.
Cinta sejati selamanya
Setidaknya kami berdua pernah percaya bahwa hal tersebut nyata adanya, walau selamanya terlalu lama bagi seseorang.
Minggu lalu, tepatnya tujuh hari terburuk dalam hidupku, aku sudah tidak mampu lagi memberi jarak dengan masa lalu. Akhir-akhir ini aku sering bermimpi kembali ke 1990, sewaktu aku masih remaja. Aku masih ingat suasana yang dibayangi oleh demonstrasi penduduk Jepang terhadap inflasi keuangan yang menyebabkan kenaikan harga bahan baku saat itu.
Dalam mimpiku, aku sedang duduk di atas rooftop gedung tua terbengkalai bersama seseorang. Keadaan keliling sangat gelap sampai-sampai aku sendiri tidak melihat mimpiku lagi. Namun, tempat hanyalah berfungsi sebagai titik acuan karena kenyataannya, aku mampu mengingat detailnya dengan sangat jelas: jalan aspal berliku yang diapit selokan berair dengan rerumputan kasar tak terawat disekitarnya. Sebelum kami bertemu, tak banyak yang mengetahui dan melewati jalan kecil tersebut. Orang-orang hanya tau di daerah yang di dominasi warna kelabu dan hijau tersebut ada sebuah jalan kecil; jalan yang namanya diadopsi dari referensi daun-daun rimbun yang berjatuhan, jalan Konoha.
Saat berdiri di atas gedung, aku dan dirinya tidak hanya melihat kemerlap kota, kelap-kelip lampu jalanan dan lalu-lalang kereta. Kami berdua juga melihat tempat-tempat yang kami yakini akan kami sambangi suatu hari nanti. Di tepi balkon sambil menghisap rokok hasil curian kami menyanyikan lagu lawas Dust in the wind. Musik boleh berganti seiring perubahan dekade, tetapi janji yang terucap di tempat ini tak pernah berubah.
Kami membayangkan suatu hari nanti saat usia kami sudah lanjut, kami akan duduk bersama diatas kursi malas. Saat itu kami pasti akan menceritakan masa-masa kehidupan kami sambil tersenyum bahagia.
Namun sekarang, aku yang paling tahu keadaannya, itu pasti. Selama lebih dari setahun aku selalu meyakinkan diri sendiri bahwa semua baik-baik saja. Dan bahwa hidup akan terus berjalan seperti biasanya walau tanpa dirinya. Bahkan terkadang aku sampai mempercayainya.
Ketika saat itu tiba, yang aku lakukan tidak lain memutar lagu favorit kami berdua saat itu. "Take on me." "Bohemian Rhapsody." "Staying Alive."
Sambil berhati-hati agar tak membangunkan orang yang tidur di sebelahku, aku memindahkan selimut lalu bangkit dari tempat tidur. Beberapa saat aku terdiam, berdiri disana dan menatap laki-laki itu yang tertutup bayanganku sendiri. Bahkan disaat tidur pun, ekspresi wajahnya tidak terlihat damai.
Aku mengambil telepon, lalu meninggalkan kamar menyusuri koridor sunyi menuju balkon. Disana aku menatap badai di luar sambil mengumpulkan keberanian. Saat aku menekan tombol-tombol angka yang sudah aku hafal, aku masih belum tau apa yang akan aku katakan kepada seseorang di seberang sana setelah selama bertahun-tahun kami tak saling bicara.
Aku bingung bagaimana harus memulainya. Apakah seperti: mingguku buruk… hidupku hancur… atau hanya sekedar, aku membutuhkanmu?
Di tempat lain yang jauh dari suara-suara gemuruh badai, telepon pun berdering.
...
Glosarium
Shamisen: Alat musik tiga dawai
