Desclaimer: Naruto, Masashi Kishimoto


Old Yellow Bricks

Unagyux

2023


CHAPTER 2: ICHA-ICHA PARADISE


Ada sebuah gang di pusat kota, dekat dengan Shibuya Scramble Crossing, sebuah jalan di sisi kiri Shibuya 109 saat kau berdiri di depan stasiun Shibuya menghadap Shibuya cross-road. kau hanya harus berjalan di sepanjang jalan utama dan menemukan gapura bertuliskan Dogenzaka Alley.

Dogenzaka adalah tempat berkumpulnya makanan dan restoran trendi, sebagian besarnya diisi oleh izakaya (bar) dan restoran makanan jepang. banyak juga berderet restoran lain khas barat dan makanan asia lainnya, namun fitur paling khas dari Dogenzaka yakni toko-toko rahasia yang tersembunyi di jalan belakang dengan suasana kuno. justru tempat inilah hidden gems yang dicari-cari para pelancong yang ingin merasakan "jepang sesungguhnya".

Aku tinggal disebuah bangunan dengan lampu temaram, terhimpit antara bar dan kedai makan ramen terenak seantero jepang, setidaknya begitu menurutku. memang hanya paman Ichiraku dan anaknya Ayame yang bisa membuat ramen dengan citarasa otentik sesungguhnya. kebanyakan tempat ramen lainnya sudah terkena pengaruh budaya asing. aku membaca di sebuah majalah lokal yang mengatakan kebanyakan orang barat tidak terlalu suka makanan yang pedas, maka dari itu, jelas bahwa banyak restauran yang mengadaptasi beberapa menu barat atau mengubah resepnya hanya supaya bisa menerima tamu mancanegara. tapi tidak dengan paman Ichiraku. ia sangat kolot dan bersikeras saja dengan resep turunan keluarganya, yang sekarang sedang ia turunkan ke anaknya kak Ayame. Rumah makan yang sangat sederhana namun fungsional, hanya sebuah bangunan dapur dengan meja sekat yang berfungsi sebagai corner sekaligus meja dan di depannya terdapat beberapa kursi untuk makan.

Disini aku tinggal selama 10 tahun, disini juga aku melakukan keahlian-keahlianku sebagai Geisha—pekerja seni: seperti menyanyi, bermain musik, menuangkan minuman, memijat, dan memberikan tubuhku untuk dinikmati oleh banyak lelaki yang datang ke Icha-icha paradise.

Aku bahagia dengan kehidupan ini, aku sudah dibina sejak usia muda dan mengerti bahwa sebagai seorang Geisha, kedudukanku terhormat. Sampai kapan kebahagiaan ini bertahan? Aku tidak tau. Aku mengerti bahwa ada saatnya orang tertawa, ada pula saatnya orang merasakan kekosongan dalam dirinya.

Icha-icha Paradise sendiri berdiri pada tahun 1971. Tuan Jiraiya mendirikan usahanya karena mendapat ilham saat sedang menyendiri di pemandian air panas. Dua alasan—yang pertama, karena ia menang berjudi saat sedang mabuk berat, ia memenangkan uang yang sangat banyak. Alasan yang kedua, kesukaannya pada wanita dan hiburan malam membawa anginnya menjadi pengusaha di bidang makanan dan hiburan. Apalah tempat hiburan tanpa makanan yang nikmat. Tipikal manusia yang all in. setidaknya walau berkat keberuntungan, ia benar-benar menghabiskan uang judinya untuk hal bermanfaat. Tuhan sungguh baik kepadanya.

Sebegitu jauh aku mengenal Tuan Jiraiya, tak satupun perangainya yang aku pahami. Ia mudah menyesuaikan diri, tapi kesan yang boleh aku dapat adalah, baginya wanita ibarat barang bernyawa belaka. Kelak aku akan bisa berkata, bahwa pandangan Tuan Jiraiya adalah sisa kesombongan masa silam. Tuan Jiraiya memang lahir dari masa itu, pandangan kolot yang merasa bahwa laki-laki lebih superior dari perempuan masih ada dalam dirinya. Kendati demikian, ia juga memuja wanita layaknya mereka adalah para dewi yang bilamana ditaklukan, seperti sebuah kebanggaan absolut baginya. Ia bisa bersikap baik-baik pada Nona Tsunade, pemilik tempat perjudian sohor yang cantik, bertubuh sintal dan awet muda.

Tampaknya sikap itu hampir sempurna, sebab tak terlihat seperti dibuat-buat. Dalam perkenalan yang panjang dengannya, aku tau Tuan Jiraiya terlatih untuk berbasa-basi dan dalam peresmian Icha-icha Paradise ini, ia turut mengundang Tuan Orochimaru selaku penguasa daerah Shibuya, setidaknya dalam periode ini sebelum digantikan oleh orang kepercayaannya selanjutnya, bisa jadi anaknya sendiri, tapi tentu ia tidak akan terkejut bila ternyata penggantinya adalah tangan kanannya.

Orochimaru hanya sekali datang ke Icha-icha Paradise, namun kedatangannya dalam peresmian tersebut amat membantunya dalam menciptakan relasi dengan orang-orang Shibuya, pembuktian bahwa ia bisa beramah-tamah dengan penduduk sekitar, sekaligus menunjukkan taringnya pada para preman cecunguk yang akan menjadikannya target empuk untuk di peras.

Lantas Anko, Geisha pertama di Icha-icha Paradise, memberikan gunting kepada ketua Yakuza tersebut. Pita yang membentang di depan gerbang itu pun digunting disertai dengan tepuk tangan dan sorak sorai gembira. Tuan Jiraiya mempersilahkan tamunya dengan ramah dan sopan, "Silahkan masuk, silahkan masuk." Ujarnya, seraya tangannya melambai-lambai kepada para tamu.

Disana para tamu duduk bersila diatas bantal tipis yang lebar, di hadapan mereka terdapat meja-meja pendek yang terbenam di lantai. Masing-masing orang, sangat terlihat dari wajah dan tingkah laku mereka bahwasanya mereka merasakan sesuatu yang berbeda disini, saling pandang dan akhirnya tersenyum.

Tentu saja ini bukan sebuah senyum meremehkan. Suasana Icha-icha Paradise ini tersaji dengan citra seni interior yang akrab dengan budaya jepang. Lampu lampion dengan kap kertas halus dalam sarangnya yang dibuat dari bambu terpilih dan dikerjakan dengan teliti sepenuh hati. Itu sebabnya, lebih tepat jika dikatakan para tamu ini dalam senyum yang asing itu,tamu-tamu ini sebetulnya senang. Ini pikiranku saja, bisa jadi meleset. Sulit untuk menerka-nerka pemikiran mafia daerah, hari ini mereka menyetujui keberadaan kami, esok hari bukan tidak mungkin mereka menghunuskan pedangnya kearah Tuan Jiraiya.

Aku bergidik membayangkannya.

Sepuluh tahun kemudian, Icha-icha Paradise telah berubah menjadi rumah pelacuran biasa. Dan para Geisha, tidak lagi dipandang sebagai "pribadi seni". Icha-icha Paradise tetap populer, bukan sebagai nama melainkan sebagai tempat.

Kembang-kembangnya yang menua, lebih banyak menerima hari tanpa harus berbuat sesuatu. Mereka merasa telah menua sebelum waktunya. Walau begitu, setiap hari mereka setia untuk merias wajah mereka, memakai kimono, dan menyanggul rambut mereka.

Jika ada orang-orang yang masuk ke Icha-icha Paradise beberapa bulan di tahun-tahun terakhir ini, tentulah orang itu bukan dari Shibuya, melainkan para pelancong mancanegara yang datang musiman ketika hari libur tiba. Setelah itu Icha-icha Paradise kembali sunyi. Para Geisha pun terkadang hanya duduk melipat kaki selama berjam-jam menunggu tamu yang tak kunjung tiba.

Ini yang banyak manusia masa kini, terutama turis mancanegara, gagal untuk memahami bahwa seorang Geisha layaknya sebotol wine—semakin tua, semakin berpengalaman, maka semakin mahal dan sangat bernilai harganya. Mungkin memang target pasar kami adalah kebanyakan masyarakat jepang, yang umumnya paham tentang kedudukan Geisha. Namun semenjak krisis, sarana hiburan kurang diminati dan semua asalkan terjangkau. Turis mancanegara, hanya melihat Geisha sebagai pelacur. Dan pelacur harus tetap muda.

Icha-icha Paradise berada di tengahnya, zaman tak bisa didamaikan dan dalamnya, ia mulai merasa goyah terseret-seret zaman. Dalam tahun 1979 bukan hanya Icha-icha Paradise saja sebagai perusahaan yang menanggung rugi. Masalah menurunnya Icha-icha Paradise adalah masalah kejatuhan ekonomi di seluruh dunia. Tahun dimana orang-orang banyak membicarakan tentang laju inflasi, pemberian kredit terlambat, serta orang berbondong-bondong manarik deposito.

Masalah berubahnya zaman memang tak dapat diatasi oleh satu orang Tuan Jiraiya. Apa boleh buat, Icha-icha Paradise pun harus menyesuaikan diri dengan keadaan.

Kini di puncak sepi pada tahun 1981, kalau saja ada seorang tamu yang datang ke Icha-icha Paradise, maka bisa dikatakan tumben. Dan seorang tamu yang tumben tersebut adalah seseorang bermata satu yang kemudian aku kenal sebagai Tuan Danzo. Tuan Danzo adalah pensiunan tentara jepang yang selamat dalam pertempuran dengan Amerika, pengalaman demi pengalaman telah membuatnya ternahak. Dulu ia menjabat sebagai sersan satu dan mendapat cacat mata di akhir perang, kala itu usianya masih 20 tahun.

Ketika perang berakhir, ia merasa amat patah mengetahui pemerintahan jepang menyerah. Ayahnya adalah pasukan jepang yang ditawan oleh Amerika dan hingga kini belum diketahui keberadaannya. Sejak saat itu ia suka berpindah-pindah tempat, menghabiskan uang pensiunannya sembarangan dan kini ia berada di Shibuya. Walau matanya hanya satu namun ia berhasil menemukan jalannya menuju Icha-icha Paradise.

Tuan Jiraiya memperlakukan tamunya yang tumben ini secara berlebih-lebihan, ia membungkuk dan melambai-lambai seakan-akan tamunya ini memegang separuh nyawanya. Ternyata kedatangan Danzo ke Icha-icha Paradise memberi Tuan Jiraiya secercah harapan. Aku pun tidak mengerti bagaimana mereka berdua bisa menjadi sangat akrab.

Mulanya Danzo datang ke Icha-icha Paradise sebab ia sudah lama mendengar desas-desus tentang Rumah Geisha, tapi ia sama sekali tak pernah ingin mengunjungi Shibuya—kampung halamannya, rumah ayahnya. Hanya rasa pahit yang tersisa di kota ini baginya.

Ketika ia tiba, Icha-icha Paradise persis di ambang kebangkrutan, Tuan Jiraiya tidak menyia-nyiakan waktu untuk menawarkan jasa—tentu saja dengan bahasanya yang menyenangkan. Tak ada lagi sentuhan-sentuhan keindahan baik itu menyanyi, bermain musik, atau tarian. Langsung saja Danzo ditawari satu persatu para Geisha yang sudah menua tersebut.

"Tunggu," Kata Danzo bertahan. "Saya disini hanya untuk minum."

Agak kecewa dengan pernyataan Tuan Danzo, namun Tuan Jiraiya segera menghapus kekecewaan itu dari air wajahnya sebab bagaimanapun, pelanggan ini adalah salah satu dari sedikit pelanggan di periode sulit ini yang mau menghabiskan uangnya untuk hiburan.

"Mari, mari. Aku menyediakan Sake yang enak karena ini produksi sendiri" ujar Tuan Jiraiya, ia segera menarik Danzo masuk ke meja para pelanggan. "Para Geisha akan menemani anda untuk minum."

Para Geisha senang, wajah mereka gembira karena sudah lama sekali rasanya tidak didatangi tamu, "Apa tuan meminta mereka menyanyi?" tanya Tuan Jiraiya mempersilahkan Tuan Danzo duduk di kursi depan yang dahulu merupakan sebuah restoran berwibawa, mengingatkan kembali dengan harapannya.

"Ya, Boleh" Setelah beberapa gelas minuman telah masuk ke mulutnya, ia baru mulai pembicaraan dengan Tuan Jiraiya.

"Sudah lama saya ingin kesini, namun Shibuya hanya berisi kenangan pahit bagi saya. Saya dengar tentang sebuah tempat dimana para Geisha cantik berkumpul dan melakukan keahlian-keahlian mereka, namun nampaknya mereka layu karena tak sering disiram, dan kelihatannya tempat ini tak lagi seramai tahun-tahun kejayaannya."

"Harga Geisha sudah sangat mahal di Mukojima." Berjeda sebentar, Tuan Jiraiya melanjutkan "Alasan kedua, agak sulit mencari orang baru yang mau melakukan pekerjaan seperti ini. Bahkan Maiko disana sudah sangat mahal harganya. Zaman sudah berubah, anak muda sekarang menganggap pekerjaan seperti ini adalah pekerjaan hina dan kurang relevan dengan jaman." Tukas Jiraiya, wajahnya murung mengingat-ingat lagi masa kejayaan mereka 10 tahun lalu. "Menjadi Geisha, perlu pengabdian, dan tidak banyak anak muda telaten. Terlebih peraturan baru yang mengatur tentang anak dibawah umur untuk di latih sebagai Geisha."

Danzo mengangguk-angguk, mengerti benar tentang permasalahan Jiraiya yang rumit. Ia meraih gelas dan ia teguk gelas itu. "Pengaruh orang-orang barat ya, mereka tidak tau-menau tentang Geisha."

"Iya, mereka tidak memperdulikan apa itu nilai keindahan, bagi mereka pelacur ya pelacur, dan pelacur muda bagi mereka lebih menarik. Sungguh sekelompok orang bodoh, tak bisa menghargai tradisi."

"Ya, aku pikir perubahan jaman memaksa semua orang mengikutinya, ketangguhan dibutuhkan untuk mempertahankan jati diri. Bukankah kita semua begitu?" Danzo mengerti bahwa persoalan yang dialami Tuan Jiraiya sulit, sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya sesuatu untuk memanfaatkan kesulitan Jiraiya, mengajaknya mencari untung.

"Saya bisa membawakan anda orang-orang baru," Danzo berjeda sebentar, ia menatap Jiraiya yang kini memberi tatapan bertanya. "Kalau sulit membeli Geisha dari Mukojima, lebih baik mengajari awam saja. Kau punya Geisha berbakat, mereka pasti bisa menurunkan ilmunya."

Tuan Jiraiya terkekeh sedikit, ia menyahuti "Saya terkejut anda berpikir bahwa jalannya akan sangat mudah, tapi kalau begitu adanya, tentu saya sudah lebih dulu memikirkannya. Saya menghargai keputusan anda untuk membantu, tapi kalau harus berurusan dengan hukum, itu adalah hal lain."

"Saya menyanggupinya, saya punya banyak relasi di kepolisian dan firma hukum. Tapi itu artinya kita akan bekerjasama sebagai seorang pedagang. Nah, berapa anda mau membayar untuk satu orang yang saya bawa?"

Tidak langsung menjawab tantangan itu, Tuan Jiraiya dengan hati yang senang berkata, "Saya butuh 5 orang saja, dan umur mereka tidak boleh lebih dari 15 tahun. Tentu saja harus mulus, lembut dan tidak boleh ada bekas luka."

"Itu mudah," Kata Danzo memotong, "Yang penting soal harga."

"Baik, silahkan."

"Saya minta 200.000 yen untuk satu orang, tidak ada tawar menawar. Selama kaki saya masih menapak disini, itu kesepakatannya. Kalau kaki saya sudah keluar, kesepakatannya akan berubah."

Tuan Jiraiya didesak berpikir dan menimbang-nimbang dengan cepat. Hanya orang yang terlalu yakin pada dirinya sendiri, baginya justru Danzo, berkat pengalaman demi pengalaman yang menderanya, yang mampu membuatnya mendesak seperti ini. Apalagi, seperti pemain sandiwara, Danzo berpura-pura ia tidak terlalu butuh dengan uang banyak yang ia tawarkan lewat kesepakatannya itu. Akhirnya, Tuan Jiraiya pun termakan.

"Setuju," Katanya.

Danzo pun berdiri, mengulurkan tangannya untuk dijabat, lalu mereka pun saling berjabat.

"Bulan Januari 1982, saya sudah berada disini membawa kesepakatan kami," Kata Danzo.


Glosarium:

Maiko: Sebutan untuk calon Geisha yang mana usia mereka biasanya masih belia, yaitu antara 15 hingga 19 tahun.


Author's Note:

Halo, Pembaca ^^

Ini adalah cerita yang sudah lama mau saya tuangkan tapi baru di tahun ini terwujud. Alur ceritanya akan berjalan lambat—persiapkan diri anda.

Semoga walau berjalan lambat, kalian tidak bosan dalam mengikuti alurnya ya, karena saya juga masih belajar banyak dalam hal character development. Ini mungkin pertama kalinya juga saya menulis dalam sudut pandang orang pertama.

Lowkey berharap tidak ada yang baca karena merasa cerita ini tentative kedepannya, di posting hanya supaya ada pertanggung-jawaban bisa update secara berkala (dan saya harap semoga saya bisa memenuhinya).

(Jujur saya masih bingung apakah saya harus tulis catatan kaki di bawah cerita atau mau dibuat didalam tanda kurung saja untuk istilah-istilah jepang. Mohon kritik dan saran)

Terimakasih perhatiannya teman-teman, sampai bertemu di chapter selanjutnya. Toodaloo~