Desclaimer: Naruto, Masashi Kishimoto
Old Yellow Bricks
Unagyux
2023
CHAPTER 3: SO LONG
Di kebanyakan negara, tahun 80-an merupakan tahun yang tidak stabil dan banyak terjadi perubahan. Namun, di sebuah tempat yang disebut Hanabana, segala sesuatu tetap tertata rapi dan tenang. Hanabana, diluar kebiasaan adalah nama sebuah bangunan milik Inoichi Yamanaka. Memang tak semua bangunan boleh dibilang rumah, karena Hanabana juga merupakan sebuah rumah, maka katakanlah Hanabana itu tempat tinggal. Namun karena Hanabana juga merupakan tempat usaha, maka selanjutnya aku akan menyebutnya sebagai sebuah ruko. Didalam ruko itu aku tinggal bersama Ibu dan Ayah.
Orang-orang di desa, di prefektur Kagoshima tepatnya di kota Kirishima, segera tertarik dan memberikan kepercayaan penuh kepadanya ketika Danzo hendak membawa anak-anak berumur dibawah 15 tahun untuk menempuh pendidikan di Tokyo. Kepercayaan didapat begitu saja karena pertama, ia adalah bekas sersan satu yang sudah sering melakukan perjalanan menjelajah jepang, dan yang kedua adalah pergi ke Tokyo bagi mereka adalah sebuah impian.
Kagoshima adalah kampung halaman ibu Danzo, ia cukup terkenal di desa ini karena ayahnya dikenal sebagai salah satu unit serangan khusus tentara jepang yang dikirim ke Amerika, namun ibunya meninggal sebelum sempat mendapati kabar pindah tugas ayahnya ke Amerika. Danzo, terseret masuk dalam jajaran pahlawan daerah, sosok yang dikagumi dan tokoh sejarah.
Ia ikut andil juga dalam sejarah ceritaku.
Aku tidak perlu sebutkan satu persatu siapa anak-anak yang dibawa Danzo kecuali Sakura Haruno dan Ino Yamanaka. Sakura Haruno adalah teman akrab Ino Yamanaka, dan Ino Yamanaka adalah aku sendiri.
Umur kami berdua waktu itu masih 12 tahun, sedang yang lain sudah berumur 15 tahun. Sebagai remaja tanggung, aku bangga bisa berkesempatan pergi keluar kota, pergi jauh untuk menempuh pendidikan, memperbaiki keadaan keluarga di desa. Hanya itu yang ditanamkan oleh orang tuaku disini. Ayah ibuku berpesan agar aku menjaga diriku baik-baik disana, belajar yang benar dan membawakanku sedikit uang saku.
Ayah adalah seorang petani jagung sedangkan ibu adalah pengrajin bunga di desa. Tak banyak yang aku tau tentang ayah, selain fakta bahwa ia sangat menyukai makanan Ibuku. Di samping menanam jagung, Ayah juga membudidayakan bunga untuk kemudian Ibu rangkai di rumah. Ibu membawa keahliannya dari kota ke desa ini dan membuka Toko di rumah, merangkai bunga atau sebutannya Ikebana. Ibu mengajariku dengan apik, ibu bilang keahliannya ini bisa saja menyelamatkanku di masa depan. Sehari-hari sepulang sekolah Ibu mengajariku pengetahuan yang diperlukan untuk merangkai bunga, contohnya adalah cara merawat bunga, makna dari bunga dan cara menatanya untuk kemudian dijual.
Jika aku sedang berada di kamar tidurku sekarang, aku pasti sedang menyetel lagu city pop di radio. Walau terkadang aku harus membawa radioku ke atas lemari jati tinggi di kamar sebab sinyal radio agaknya sulit menjangkau desaku. Tapi sekarang aku sedang menuju perjalanan ke kota Tokyo, di kereta amat membosankan, sepanjang jalan aku hanya melihat dari jendela perkebunan dan sawah yang segera aku tinggalkan. Aku bertanya-tanya seperti apa di Tokyo nanti. Apakah seperti yang di deskripsikan di dalam majalah dan koran? Apakah semua orang disana benar-benar mengenakan pakaian trendi seperti di barat? Kira-kira bagaimana lingkungan disana? Apakah aku bisa berbaur?
Tenggelam dalam bayanganku sendiri sampai-sampai aku tertidur, ketika terbangun disanalah aku melihat Sakura yang sudah mengambil tasnya hendak membangunkanku.
Aku tiba di Tokyo setelah perjalanan yang memakan waktu 1 hari tersebut, hari hampir terang ketika aku tiba disana. Rasa takjub membuat wajahku—juga teman-temanku—tampak bodoh. Aku sangat bingung dan kagum dengan gedung-gedung pencakar langit yang mengelilingi kami, juga dengan lautan manusia yang berjalan beriringan di sepanjang jalan aspal besar yang tidak ada di desa. Di desa, kau tidak akan pernah melihat sekerumunan orang sebanyak ini kecuali saat festival musim panas dan tahun baru di alun-alun.
Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraanku dan membayangkan di suatu hari di masa depan aku sudah faham betul dengan Tokyo, membayangkan aku akan bekerja di salah satu gedung pencakar langit tersebut dan menikah lalu membawa serta orang tuaku dari desa.
Setelah turun dari kereta kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Dari stasiun, jaraknya lumayan jauh, tapi kami terbiasa berjalan jauh. Dan inilah kami, berada di mulut jalan Shibuya, melangkahkan kaki dengan rasa senang memulai kehidupan baru di kota besar, rasanya seperti berada didalam sebuah cerpen di majalah, melewati Shibuya crossing yang sangat terkenal. Rasa lelah tak terasa tertutup rasa senang, sampai kami berada di tempat hiburan jepang: Dogenzaka Alley.
Kami masuk ke dalam, ke sebuah gang buntu tempat Tuan Jiraiya mengurus perusahaannya. Tuan Danzo duduk berhadapan dengan Tuan Jiraiya dibatasi dengan meja besar, aku dan teman-teman berada di belakang Tuan Danzo, di bagian yang jelas bisa menatap kearah wajah Tuan Jiraiya. Sambil berbicara sedikit berbisik, Tuan Jiraiya menatap tajam kearah kami semua satu-persatu.
"Lima, sesuai kesepakatan."
Tuan Jiraiya menatap langsung kepadaku, ia berdiri dari kursinya lalu berjalan menghampiriku. Aku terkejut dan takut, sebab tepat didepanku, tangannya yang keras dan sedikit kasar memegang daguku, mendangakkan kepalaku sedikit dan menatap mataku yang berwarna biru langit, dengan begitu ia bisa melihat wajahku dengan jelas. Aku kira berhenti sampai disana, ternyata ia kemudian berjongkok untuk memegang tangan dan kakiku, kelihatannya sedang memeriksa apakah ada bekas luka. Setelah itu ia melakukan hal yang sama kepada Sakura dan teman-temanku yang lain.
Ia kembali duduk tanpa memberikan tanggapan ke Danzo, itu membuat Danzo yang terlebih dahulu membuka kemungkinan untuk tanggapan tersebut.
"Jadi bagaimana?"
"Saya hanya mau bayar yang dua." Kata Tuan Jiraiya.
"Tidak, tidak. Tidak bisa, tidak sesuai kesepakatan. Saya rugi, tiket kereta mereka di hitung dewasa, bukan anak-anak."
"Tapi tiga diantaranya tidak mulus."
Setelah memberi waktu sedikit untuk bernapas dan menimbang, akhirnya Tuan Jiraiya berhasil, sebagai seorang pedagang, mempermainkan Danzo.
"Saya berhasil mendapat koneksi dari distrik Asakusa. Membayar dua Geisha yang sudah berpengalaman akan lebih menguntungkan bagiku walau dengan harga yang lebih tinggi daripada harus mengajari anak-anak ini bagaimana cara menjadi Geisha dari awal."
Tuan Danzo gelisah, ia telah bangkit dari duduknya sambil menimbang-nimbang keputusannya.
"Ambil semua, setengah harga untuk sisanya."
Tuan Jiraiya tersenyum, ia mengeluarkan tangannya lalu keduanya berjabat tangan. Tuan Jiraiya membuka laci yang berisi sejumlah uang dan diberikannya uang itu kepada Danzo. Sampai sejauh itu, aku tidak mengerti apa yang terjadi. Kami semua hanya mengira, Icha-icha Paradise adalah sekolah yang dijanjikan Tuan Danzo kepada kami, namun aku tidak mengerti kenapa kepala sekolah membayar uang kepada Tuan Danzo dan bukan sebaliknya.
Ketika Danzo menerima uang itu ia langsung keluar, ia bahkan tidak meninggalkan pesan apa-apa kepada kami. Kami semua bingung, menatap satu sama lain. Bersamaan dengan menghilangnya Danzo di daun pintu, masuklah Anko.
Kami semua terdiam ketika Anko masuk dengan pakaian Geisha-nya. Karena merasa asing, aku jadi terganggu dengan suasana yang membuat tidak betah. Tapi Anko kelihatan menawarkan keramahan kepada kami, ia membuka sebelah tangannya yang sebelumnya terkatup di pahanya, membawanya kedepan lalu memberikan arah yang saat itu juga kami langsung pahami untuk keluar dari ruangan itu.
Kami semua menuju lorong dan masuk ke ruangan paling belakang. Disana tersedia meja-meja dan Anko memberikan kami seragam Kimono sederhana untuk kemudian kami kenakan. Hari-hari pertama di Icha-icha Paradise, dimulai dengan menanamkan sikap-sikap luhur kepribadian yang indah. Setelah itu aku belajar semuanya hingga suatu saat nanti layak disebut sebagai Geisha. Dan memang, aku senang disebut Geisha.
Perasaan demikian, aku yakin tidak aku lalui hanya melalui kegembiraan saja, tetapi melalui banyak waktu yang dihabiskan dengan darah, keringat, air mata juga getir, rasa bersalah, dan pedih yang terlewati disini, hingga perasaan tersebut akhirnya terkonversi dalam kebanggaan mencapai predikat sebagai, sekali lagi, seperti yang terus-terusan Anko suarakan kepadaku..
Geisha—Pribadi seni.
...
Glosarium
Ikebana: Seni merangkai bunga yang memanfaatkan berbagai jenis bunga, rumput-rumputan dan tanaman dengan tujuan untuk dinikmati keindahannya
City Pop: gaya musik baru di Jepang yang muncul pada sekitar tahun 70 hingga 80-an
