His Royal Highness
BY : ewfzy
.
.
.
CHANBAEK STORY
Genre : Romance, Drama, Angst?
Untuk sementara Charles tidak ingin repot-repot memikirkan apakah keluarganya merasa cemas atau khawatir tentang dirinya. Saat ini Charles hanya butuh tempat sendiri, meski pergi ke kediaman keluarga Spencer bukanlah pilihan terbaik tapi setidaknya di sana ia tidak akan mendapat pertanyaan macam-macam. Ia butuh mengistirahtakan pikirannya sejenak sebelum kembali ke istana dan membuat kepalanya semakin pening.
Helmut, kuda kesayangan yang ia tunggangi mulai berjalan pelan pertanda jika ia telah memasuki estat milik Spencer. Sama seperti estat-estat di pedesaan lainnya, tapi kali ini lebih asri dan mewah. Charles bisa melihat deretan pepohonan yang selanjutnya mengarah ke perkebunan persik dan ceri. Lebih dekat dengan rumah itu ada kebun bunga berwarna-warni yang luas.
Beberapa meter berjalan Charles melihat ada banyak orang menunggu di beranda rumah untuk menyambutnya.
"Your Royal Highness." Charles segera disambut oleh Andreas teman sekaligus kerabatnya begitu turun dari kudanya. "Selamat datang." Pria itu menundukkan kepala memberi penghormatan yang dibalas pelukan hangat oleh Charles.
"Sudah lama sekali kita tidak bertemu."
"Sebuah kehormatan mendapat kunjungan pribadi anda Pangeran. Earl menitipkan salam untuk anda, beliau juga meminta maaf karena tidak bisa menjamu anda secara pribadi karena belum kembali dari kunjungan politiknya."
"Tidak apa-apa Andreas, seharusnya akulah yang meminta maaf karena kunjunganku terlalu mendadak."
"Tentu tidak Yang Mulia."
Charles balas tersenyum kemudian beralih pada Patricia yang berdiri sedikit di belakang Andreas, "Your Highness." Wanita itu memberikan curtsy dan dibalas Charles dengan mencium tangannya.
"Kau semakin cantik Patricia."
"Terimakasih Pangeran." Patricia menyembunyikan wajahnya malu-malu setelah mendengar pujian yang diberikan Charles untuknya.
Charles bergeser lagi, kali ini pada sosok mungil yang nampak asing baginya. Charles mengernyitkan dahinya sambil berusaha mengingat-ingat siapa sosok yang tengah berdiri di depannya. Ia belum sempat melihat wajahnya karena pria mungil itu lebih dulu menundukkan kepala, memberikan hormat sama seperti yang lain.
"Siapa ini?" Tanya Charles menyerah.
Andreas belum membuka mulutnya ketika si mungil di depan Charles itu lebih dulu menyela dengan kedua matanya yang melotot. "Kau melupakanku Pangeran?"
Charles berjengit mendapati teriakan dan pelototan tiba-tiba itu. Wajah mungil dengan mata biru yang menatapnya kesal lengkap dengan kerutan di dahi dan alisnya yang menukik tajam. Namun sepersekian detik pria mungil itu terkesiap dan dengan cepat menundukkan kembali pandangannya.
"Maaf atas ketidaksopanan adikku Pangeran." Andreas bersuara, merasa bersalah atas perilaku adiknya.
Eden merutuk dalam hati, sadar jika ia mungkin telah melewati batas. Mulutnya ia katupkan rapat dan bola matanya melirik takut-takut ke arah dua kakaknya. Patricia memberinya tatapan membunuh, wanita dengan tinggi 170 sentimeter itu seperti akan memakannya hidup-hidup sekarang, sedangkan Andreas hanya bisa meringis pasrah.
"Dia Eden, George Eden adikku yang paling kecil." lanjut Andreas memperkenalkan Eden.
"A-ah!" Seolah baru mengingat sesuatu Charles menatap wajah mungil itu sekali lagi. "Dia sudah sebesar ini?"
"Maafkan atas kelancangan saya Yang Mulia," Eden tak punya muka lagi, ia hanya bisa menunduk sembari meremas tangannya.
Charles tidak menanggapi permintaan maafnya alih-alih membahas hal lain. "Seingatku dulu tinggimu hanya sebatas pinggangku Eden dan sekarang kau sudah sebesar ini."
"Tentu saja Pangeran, itu sudah sepuluh tahun berlalu dan mana mungkin aku tidak tumbuh dan berkembang. Meskipun aku masih tetap pendek seperti kurcaci jika berdiri di dekatmu." Eden mengucapkannya dengan nada penuh kesopanan -menurutnya, tapi entah mengapa Charles malah menertawakannya.
Mendengar pewaris Inggris itu tertawa, secara otomatis membuat Andreas dan Patricia ikut tertawa. Meskipun keduanya sama-sama bingung apa yang Sang Pangeran tertawakan. Eden mendongak, tidak mengerti alasan kenapa semua orang tiba-tiba tertawa. Tidak ada hal lucu di sini, lalu apa yang mereka tertawakan? Maksudnya, memangnya apa yang salah dengan kalimatnya?
Tawa Charles mereda, tetapi senyumnya masih tertinggal. Charles menatap mata Eden yang kebingungan "Kau benar, Mungil." Ucap Charles sembari mengusak rambut Eden gemas. "Tentu saja kau sudah tumbuh dan berkembang." Charles tersenyum menampilkan lesung pipinya.
...
Ketika kesadaran Charles mulai terkumpul, Ia membuka matanya. Menemukan kamar dalam keadaan sunyi, tak ada gangguan-gangguan dari pelayannya, tidak ada laporan dan keluhan tentang ini itu. Terlalu tenang, hingga perlahan-lahan rasa hampa itu datang lagi memenuhi hati dan jiwanya.
Setiap kata yang Isabella katakan dan tulis dalam suratnya kembali menghantui Charles, mereka seolah tak ingin meninggalkannya sendiri. Dadanya sekali lagi sesak memikirkan apa kesalahannya. Otaknya buntu tak menemukan penyebab kekasihnya tiba-tiba mencampakkannya seperti itu.
"Sial!" umpat Charles ketika mendapati botol brendi miliknya telah kosong.
Charles berteriak memanggil Karl yang tak pernah berada jauh dari radarnya, selalu berada pada jarak teriakannya.
"Anda membutuhkan sesuatu Pangeran?"
"Aku butuh minuman untuk mengalihkan pikiranku."
"Maaf jika saya lancang Pangeran, tapi tidakkah ini terlalu awal untuk minum? Lagipula anda belum sarapan dan semoga anda tidak lupa jika kita sedang berada di kediaman Spencer."
Charles mendesah kecewa, ia baru ingat jika ia sedang berada di Sandringham, lebih tepatnya rumah Andreas. Semalam setelah jamuan makan yang mereka siapkan Ia dan Andreas minum-minum hingga dini hari tadi. Wajah kusutnya ia usap kasar, mencoba menata kembali pikirannya.
"Jam berapa sekarang?"
"Sekarang sudah jam 11 siang Yang Mulia."
Charles berdecak, "Kenapa tidak ada yang membangunkanku?"
"Tadi pagi Lady Patricia datang untuk mengundang Anda sarapan bersama, tapi ketika beliau tahu jika anda masih tertidur dia melarang kami membangunkan Anda dan mengatakan jika pelayan akan mengantarkan sarapan ketika Anda bangun."
Charles tak mengatakan apapun lagi, memilih bangun dari tempat tidur dan meminta pelayan menyiapkan air mandi untuknya.
Matahari sudah berada di atas kepala ketika Charles keluar dari kamar. Langkahnya tenang menuruni anak tangga dan hendak berbelok menuju koridor sayap kiri ketika tiba-tiba seseorang menabrak dadanya dengan keras.
"Auw!" Eden mengadu sakit sedangkan tubuhnya terpental mundur.
"Kau tidak apa-apa?" Suara berat itu bertanya dengan nada khawatir.
"Aku baik-baik saja, maafkan aku Pangeran aku tidak sengaja. Aku sedang buru-buru." Ujar Eden dengan cepat, langkahnya melesat menaiki tangga menuju kamar miliknya. Ia terlihat sangat terburu-buru hingga tidak sempat menyapa Putra Mahkota dengan benar. Eden hanya memiliki waktu satu jam untuk mengambil beberapa perkakas dan membeli bahan-bahan yang dibutuhkan di pasar.
Eden turun dengan membawa sekotak besar barang bawaan. Wajah mungilnya bahkan tak terlihat karena tertutupi kotak yang ia bawa. Charles yang masih berada di bawah tangga mengamati Eden. Setelah kotak pertama si mungil itu naik lagi entah apa yang tertinggal. Charles yang penasaran akhirnya tak bisa menahan mulutnya yang gatal untuk bertanya.
"Kau mau ke mana dengan kotak besar itu?"
"O-oh, Anda masih di sini Yang Mulia?"
"Kau tidak menjawab pertanyaanku."
Eden mencibir mendengar penuturan itu, padahal dia kan hanya berbasa-basi. "Aku harus pergi ke desa untuk mempersiapkan teater."
"Teater?"
"Nanti malam akan ada pesta rakyat, aku dan teman-temanku sedang mempersiapkan sebuah pertunjukan kecil."
"Kalau begitu ajak aku bersamamu!"
Eden tak pernah terpikir akan membawa serta putra mahkota ikut bersamanya berbaur dengan rakyat biasa seperti ini. Ia sudah berusaha menolak permintaan Charles, tapi Pangeran Inggris itu adalah pria yang sangat keras kepala. Dia tetap memaksa bahkan dengan tidak peduli turut menyeret pengawal pribadinya ikut.
"Kita sedang menyamar atau apa?" komentar Charles ketika melihat pantulan dirinya di depan cermin. Tidak ada lagi kemeja sutra maupun doublet yang biasa ia gunakan, semua diganti dengan setelan berwarna putih yang sudah tidak putih lagi warnanya.
"Anda benar, aku tidak ingin orang-orang tahu identitas asli Anda dan lagi kita akan terlihat sangat mencolok dengan pakaian itu Pangeran." Ujar Eden mengarah pada pakaian mahal yang sebelumnya mereka kenakan.
Charles memutuskan untuk tidak banyak protes dan menuruti saja apa yang Eden katakan. Mereka bertiga berjalan melewati pasar menuju lapangan terbuka di ujung desa. Charles bisa melihat ada sebuah panggung kecil yang tengah dihias oleh belasan orang di sana. Kedatangan Eden disambut antusias oleh teman-temannya, kotak besar yang mereka bawa segera diambil alih.
"Siapa pria yang kau bawa Ed?" tanya salah seorang wanita berambut pirang yang pertama kali menyadari kedua sosok tinggi yang datang bersama Eden.
"Oh- mereka berdua kerabat jauhku."
Baekhyun memperkenalkan Charles dan Karl pada teman-temannya. Mereka berdua langsung disambut baik oleh teman-teman Eden, selain karena sama-sama tampan Charles dan Karl bisa dengan cepat berbaur dengan mereka. Namun sayang mereka hanya sempat berbincang sebentar karena pekerjaan yang menanti sangatlah banyak.
Eden menarik Charles menjauhi kerumunan. "Pangeran maafkan aku tidak bisa menemanimu, ada banyak pekerjaan yang harus kulakukan. Di selatan jalan akan ada bazar, jika kau merasa bosan kau bisa melihat-lihat atau jalan-jalan ke sana."
"Jam berapa acara kalian dimulai?"
"Jam 5 pertunjukannya dimulai."
"Baiklah, kalau begitu aku akan kembali nanti."
Charles memutuskan untuk berjalan-jalan dengan ditemani Karl. Menikmati penyamarannya sebagai rakyat biasa. Rupanya menyenangkan juga bisa berjalan-jalan di tempat umum dengan bebas. Ia bisa bergerak tanpa pengawal yang selalu mengekorinya. Ia juga bisa melakukan apapun sesuka hati tanpa takut akan aturan yang selalu membelenggunya.
Puas berkeliling dan bersenang-senang Charles memutuskan kembali menuju lapangan tempat diadakannya pertunjukan teater Eden. Panggung kecil itu kini terlihat cantik dengan hiasan sederhana yang Eden dan teman-temannya buat. Kursi-kursi juga sudah tertata rapi di depan panggung.
"Ada apa dengan bajumu?" Charles menghampiri Eden dan langsung berkomentar akan apa yang pria mungil itu kenakan.
"Apakah jelek?" Eden balik bertanya, mematri kembali penampilannya merasa cemas jika ia terlihat buruk.
"Tidak, hanya saja- kenapa semua berwarna hijau?"
"Karena aku berperan sebagai pohon." jawab Eden polos.
Charles refleks tertawa akan penuturan spontan itu. "Dari sekian banyak karakter kenapa kau menjadi pohon?"
Eden mengerucutkan bibirnya, "Karena aku tidak mau jadi pusat perhatian maka dari itu aku hanya bersedia memerankan tokoh kecil."
Menyadari ekspresi tidak nyaman itu, Charles segera menghentikan tawanya. "Aah- aku mengerti. Baiklah kalau begitu aku akan keluar sekarang dan menanti penampilanmu."
Kursi di depan panggung kecil itu sudah terisi penuh, bahkan banyak penonton yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Beruntung Charles dan Karl datang lebih awal jadi mereka bisa duduk di kursi paling depan. Pria itu terlihat amat menikmati pertunjukan yang Eden dan teman-temannya bawakan. Sepanjang pertunjukan Charles tak henti-hentinya tertawa, ia bahkan sampai meneteskan air mata saking lucunya.
"Bagaimana pertunjukannya Yang Mulia?" Tanya Eden ketika acara telah usai dan kini mereka bertiga tengah berjalan pulang.
Kedua tangan Charles tergenggam di belakang tubuh, langkah kaki jenjangnya menapak tenang. Kepalanya sedikit ia dongakkan membuat gestur seolah-olah tengah berpikir. "Mmmm..."
Melihat gerak-gerik sang putra mahkota membuat jantung Eden berdebar cepat. Ia begitu cemas menunggu jawaban Charles, khawatir jika pria itu tak menyukai pertunjukannya.
"Haruskah aku mengatakan yang sejujurnya?" Tanya Charles nampak tidak yakin dengan jawaban yang hendak ia berikan.
"Tentu Pangeran, kau harus katakan yang sejujurnya."
Charles menyeringai tampan melihat raut wajah Eden. Meski ia mencoba tersenyum tapi Charles tahu jika si mungil itu tengah menahan gugup.
"Bagus, sangat menghibur, kalian melakukannya dengan baik." jawab Charles pada akhirnya.
Mendengar itu senyum Eden segera merekah. Ia merasa amat senang, senyumnya mengembang sangat lebar hingga matanya menyipit. Usaha dan kerja keras yang ia lakukan bersama teman-temannya terbayar sudah. Ia juga sangat bersyukur karena acara berjalan lancar, bahkan penonton yang melihat sangat jauh dari perkiraan awal. Eden tak menyangka akan seramai itu orang yang datang.
"Syukurlah jika Anda suka Yang Mulia." ungkapnya berbunga-bunga.
Mereka melanjutkan perjalanan pulang dalam perbincangan lama juga sedikit nostalgia tentang masa kecil mereka.
Langkah kaki jenjang Charles terhenti ketika Eden menghentikan langkahnya secara tiba-tiba." Ada apa?"
"Maafkan aku Pangeran, sepertinya Anda harus masuk terlebih dulu."
Charles mengernyitkan dahinya, padahal gerbang rumah si mungil itu sudah di depan mata. "Kenapa?"
"Aku harus masuk melalui pintu belakang. Sebenarnya aku diberi instruksi ketat agar berhenti bermain dengan penduduk desa, tapi aku sudah berjanji kepada diriku sendiri jika ini yang terakhir."
"Aku pergi dulu Pangeran, selamat malam." Eden memberikan penghormatan kepada Charles sebelum berlari menuju pintu belakang.
Sepeninggal Eden Charles masih tersenyum, pria itu menggelengkan kepalanya merasa tidak habis pikir dengan kelakuan si mungil itu.
"Tidakkah kau berpikir jika dia menggemaskan?" tanya Charles pada pengawal pribadinya. Kelereng bulatnya masih mengawang jauh ke arah di mana tubuh Eden menghilang.
Karl mengikuti arah pandang sang junjungan sebelum mengiyakan pertanyaannya. "Iya Yang Mulia, Lord Eden memang menggemaskan. Dia juga terlihat begitu murni dan polos."
Charles membalikkan badannya untuk berhadapan dengan Karl. "Apa karena dia masih anak-anak? Tapi dia berusia 17 tahun. Ya, tentu saja 17 itu masih sangat muda."
Karl hanya diam, bingung juga harus merespon seperti apa. Pertanyaan Pangeran seperti tidak ditujukan untuknya melainkan terhadap dirinya sendiri.
...
Hari ini Charles tidak tertarik untuk menikmati teh paginya alih-alih menghabiskan waktu di ruang kerja pribadi milik Andreas.
Andreas dengan senang hati menunjukkan ruang kerja miliknya. Charles pergi untuk melihat-lihat sebentar, sebenarnya tidak terlalu tertarik karena tujuan utamanya bukanlah itu.
"Terlihat cukup nyaman." komentar Charles setelah Andreas menjelaskan panjang lebar meski ia tidak yakin apa saja yang ia katakan.
Charles menyadarkan tubuhnya pada sebuah lemari tinggi berisi berkas-berkas penting milik Andreas. Tangannya terlipat di dada dengan satu kaki sebagai tumpuan tubuhnya.
"Sekarang ceritakan padaku..." ujar Charles sengaja menggantung kalimatnya. "Adikmu, Eden... ceritakan padaku tentangnya." lanjutnya.
Ada hening yang tercipta sebelum Andreas tersenyum canggung mendengar permintaan Charles, sedikit khawatir kenapa putra mahkota tiba-tiba menanyakan perihal adiknya. "Apa yang ingin anda tahu tentangnya Your Highness?"
"Semuanya. Ceritakan semuanya padaku."
"Dia adalah seseorang yang penuh semangat, dia lebih suka bertemu banyak orang daripada duduk sendiri di perpustakaan sambil membaca buku, dia anak yang menyenangkan."
Charles mengangguk-agukkan kepalanya. "Apa lagi?" tanyanya.
Andreas mengangkat satu alisnya, "Hal apa yang ingin Anda ketahui Pangeran?"
Charles mengetuk-ngetukkan jarinya nampak tengah berpikir. "Mmm... Mungkin kau bisa beri tahu aku tentang hobinya, makanan kesukaan, atau hal yang dia benci."
"Hobinya ... dia suka bernyanyi ah— akhir-akhir ini dia juga gemar mengoleksi perangko. Untuk makanan, dibandingkan daging merah Eden lebih suka buah-buahan segar. Makanan yang paling ia benci adalah mentimun, bocah itu akan langsung mual begitu mencium baunya."
"Akan kucatat, terimakasih Andreas. Kau bisa lanjutkan pekerjaanmu."
Charles menepuk pundak rekannya sebelum berlalu pergi. Meninggalkan Andreas dengan tanda tanya besar di kepalanya.
...
Charles tersenyum ketika mata hitam keabu-abuannya menemukan pria mungil yang sedang berjongkok di depan semak yang berada di pinggir taman.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Charles tidak bisa menahan diri untuk tidak menghampiri Eden. Pria tinggi itu berdiri di samping si mungil yang tengah memandangi entah apa di sana.
Eden langsung berdiri begitu sadar jika ada Charles di belakangnya, "Oh- Yang Mulia."
"Apa yang kau lakukan? Tanya Charles mengulang pertanyaannya.
"Aku hanya sedang melihat-lihat."
"Memang apa yang menarik dari semak hijau itu?"
"Kau pernah dengar cerita tentang peri yang tinggal dibalik semak? Aku sedang mencarinya."
Charles mengangkat salah satu alisnya, "Peri?" Tanyanya memastikan.
Pertanyaan itu dibalas dengan anggukann semangat.
"Kau percaya pada hal-hal semacam itu?"
"Ya, tentu saja kenapa tidak? Mereka kan berukuran sangat kecil, jadi bukan tidak mungkin mereka memang ada."
Charles menggigit bibir dalamnya, hampir tak bisa menahan tawanya.
"Kenapa?" Tanya Eden merasa tersinggung.
Charles berdeham mengenyahkan pemikiran konyolnya lantas menghilangkan senyuman dari bibirnya. "Lupakan. Daripada memandangi semak itu selama berjam-jam lebih baik temani aku."
"Mau ke mana?"
"Aku ingin berburu, tapi tidak terlalu mengerti daerah hutan di sini. Sebenarnya aku ingin mengajak Andreas tapi dia belum kembali dari kunjungan kerjanya. Kau bisa menunggangi kuda bukan?"
Lumpur kotor ada dimana-mana, bau tidak sedap akibat kotoran kuda amat menyengat. Itulah alasan mengapa Eden jarang sekali menginjakkan kaki ditempat itu, selain karena ia memang tidak terlalu suka berkuda.
Namun hari ini ada yang berbeda, para penjaga kandang sedikit tercengang dengan kehadiran Eden secara tiba-tiba. Lelaki berperawakan mungil itu meminta agar pelayan menyiapkan kudanya segera.
Sementara pelayan tengah mempersiapkan kudanya, Eden dengan tergesa menemui Patricia untuk meminta izin kepadanya.
"Kalian akan pergi berburu?"
"Ya, begitulah yang Pangeran katakan."
Patricia terdiam, ia sibuk menimbang keputusan apa yang harus ia berikan. Jika ia tidak memberikan izin Pangeran sudah pasti merasa tidak senang. Tapi jika ia memberikan izin, ia tidak yakin Eden akan bisa diandalkan.
"Tenang saja aku hanya berperan sebagai penunjuk jalan untuk Pangeran. Lagipula aku sudah sering pergi berburu bersama ayah jadi aku pasti hafal tempatnya."
Patricia menghembuskan napas panjang. "Baiklah kau boleh pergi, tapi ajak Pedro bersamamu."
"Baiklah, kalau begitu aku pergi sekarang." Pamitnya, sambil sedikit berlari keluar.
"Eden! jangan lupa bawa mantelmu!" Teriak Patricia ketika Eden belum sepenuhnya menghilang dari balik pintu. Eden mengabaikan teriakan kakaknya, ia terlalu bersemangat untuk pergi berburu bersama pangeran. Lagipula ini sangat terik, dan Eden tidak mau mati kepanasan dengan memakai mantelnya.
...
Rambut emasnya berkibar tertiup angin, kuda yang ia tunggangi membelah hutan bersama dengan Pangeran dan beberapa pengawal. Semakin dalam mereka masuk kedalam hutan, semakin pelan juga kecepatan kuda yang mereka naiki.
Pohon-pohon yang awalnya memiliki jarak berjauhan dengan daun yang tidak terlalu rimbun, kini menjadi semakin berdempetan jaraknya. Mereka sudah masuk ke bagian tengah hutan. Sang Pangeran memutuskan turun dari kudanya yang segera diikuti oleh yang lain.
Charles, Eden, Karl, dan Pedro berjalan masuk lebih dalam dengan berbekal busur dan anak panah. Sementara pengawal Charles yang lain menunggu dan menjaga kuda-kuda mereka di tempat sebelumnya.
"Kita berpencar, kau dan Pedro pergilah ke arah barat, aku dan Eden ke arah timur." titah Charles kepada Karl yang segera diangguki setuju.
Sesuai rencana awal mereka berempat berpisah, Charles dan Eden bergerak lebih dalam menuju hutan di sebelah timur.
"Hewan apa saja yang biasa kalian tangkap di sini?" tanya Charles kepada Eden.
"Kami biasanya hanya berburu hewan kecil seperti kelinci, ayam hutan, dan jenis burung-burungan tapi jika sedang beruntung kami akan mendapatkan rusa atau kambing hutan yang besar." jelas Eden sambil terus waspada mengikuti langkah Charles di depannya.
"Krek", dengan cepat mata lebar sang pangeran berbalik, sementara Eden mematung di tempatnya.
Suara ranting kering yang terinjak membuatnya sadar bahwa ada 'sesuatu' di dekatnya. Perlahan ia berjalan mendekat ke asal suara. Charles mengeratkan genggaman pada busur
yang ia bawa dan perlahan mengintip dari balik pohon jati besar yang ada di hadapannya.
Seekor rusa merah sedang asik mengunyah rumput liar, membuat Charles dan Eden bertukar pandang sambil mengulas senyum senang. Berselebrasi dalam hati karena mereka akan pulang dengan hasil buruan besar.
Tangan cekatan Charles langsung mengambil anak panah yang berada di punggungnya. Sang pangeran mulai memposisikan dirinya di balik pohon, berusaha setenang mungkin agar rusa itu tidak menyadari keberadaannya.
Baru saja ia menarik panahnya, rusa itu mendongak kaget dan langsung berlari
kencang kearah berlawanan. Charles melebarkan matanya ikut terkejut dan spontan mundur membuat Eden yang berada di belakangnya ikut mundur. Namun Eden yang tak begitu siap dengan pergerakan mendadak itu tanpa sengaja tersandung akar pohon besar hingga membuatnya terjengkang. Eden refleks menarik lengan Charles mencari pegangan, tapi pria itu malah ikut kehilangan keseimbangan dan mereka berdua berakahir jatuh terperosok ke dalam jurang.
BRUKK
"Akh!" Charles merasakan punggungnya menghantam tanah dengan keras. Sedangkan Eden jatuh di atasnya. Charles mengerang akan rasa sakit yang luar biasa. Tulangnya terasa remuk, untuk beberapa saat ia tak bergerak dan memilih membiarkan badannya terbaring.Jatuh pada ketinggian 3 meter adalah yang terburuk yang pernah dia alami.
Sadar bagaimana posisinya Eden dengan panik bangun dan segera menyingkir dari tubuh sang pangeran. "Anda baik-baik saja Yang Mulia?"
"Tulang belakangku rasanya patah."
"Maafkan aku Pangeran." ucap Eden merasa bersalah. Eden dengan cekatan membantu Charles bangkit. Tubuh Charles ia sandarkan pada sebuah pohon besar lantas melepaskan busur dan panah yang masih tergantung di tubuh sang pangeran.
Setelah istirahat selama beberapa menit dan membiasakan diri dengan rasa sakit di punggungnya Charles berdiri. Mengikuti Eden yang sedang berusaha mencari bantuan.
Mereka berdua sudah mencoba berbagai cara, tapi tak menemukan sesuatu yang berarti. Teriakan mereka berdua sama sekali tak mendapat sahutan. Entahlah, sepertinya Karl dan Pedro sudah sangat dalam masuk ke hutan di bagian barat.
Keadaan semakin memburuk ketika awan hitam mulai menyelimuti langit. Suara petir yang menyambar membuat firasat akan datangnya hujan semakin kuat. Dan, benar saja lima menit kemudian hujan deras mengguyur kawasan hutan sore itu.
Charles dan Eden mencari tempat berteduh, mereka berdua berlindung di bawah pohon mahoni besar berharap bisa terhindar dari hujan. Namun hujan deras yang tak kunjung reda itu dengan mudah membuat keduanya basah kuyup. Langit sudah semakin gelap dan tak ada tanda-tanda mereka akan segera ditemukan.
Eden menggigil, bibir merah mudanya berubah biru akan rasa dingin. Pria mungil itu memeluk dirinya sendiri berharap sedikit kehangatan.
"Kau tidak membawa mantelmu?" Tanya Charles kepada Eden. Ia bisa melihat jubah satin yang Eden kenakan berubah transparan hingga membuat pakaian dalamnya terlihat. Baju yang Eden kenakan menempel sempurna mengikuti lekuk tubuh Eden, Kulit putihnya juga terekspos kemana-mana.
Eden menggeleng mulai merutuki dirinya karena tak mendengarkan perkataan Patricia agar memakai mantelnya tadi.
"Kau menggigil, " Suara Charles berdengung, nadanya lebih rendah dari biasanya.
Eden tak bisa mengatakan apapun karena seluruh tubuhnya bergetar kedinginan. Bibir tipisnya berubah bengkak, pipinya juga memerah akibat dingin.
Charles merapatkan tubuhnya dan entah dorongan darimana tangan Charles dengan lembut menyelinap ke balik rambut di sekitar lehernya. Eden tak mengerti apa yang hendak Charles lakukan. Namun ketika perlahan-lahan Charles menariknya mendekat, Eden tidak bisa mencegah apa yang diketahuinya akan terjadi.
Ia seolah terkena sengatan listrik statis ketika bibir itu menyentuh miliknya. Geli tapi menyenangkan, ini pertama kalinya Eden merasakan seperti ada jutaan kupu-kupu yang terbang di dalam perutnya.
Jantungnya berdebar keras sekali, ia bisa melihat mata hitam keabu-abuan itu menatapnya. Sangat intens, lambat laun semakin menggelap hingga Eden merasa tidak kuat lagi menatapnya.
Bibir tebal Charles terasa dingin pada awalnya namun ketika sang pangeran mulai bergerak dan semakin memperdalam ciumannya, suhu tubuh Eden perlahan meningkat. Eden tak tahu harus melakukan apa dan bagaimana, ia hanya menerima semua perlakuan Charles padanya.
Detik berlalu ciuman sepihak itu akhirnya berbalas. Mengikuti instingnya, Eden kini turut menggerakkan bibir dan lidahnya. Ia tidak peduli jika itu sedikit kaku, Eden hanya berusaha meniru apa yang Charles lakukan.
Bunyi kecipak lidah itu semakin keras ditengah deras guyuran hujan, suara desahan dan erangan kecil pun turut terdengar. Lidah Charles meluncur bebas diantara gigi Eden dan dengan leluasa menjelajah mulutnya. Tubuhnya yang dingin semakin memanas. Tangan Eden entah sejak kapan sudah bertengger nyaman di leher Charles, tubuhnya yang ramping secara naluriah mendesak maju tanpa dorongan berarti dari Charles.
Charles takjub dengan respon yang Eden berikan, ia pikir si mungil itu akan memberikan penolakan tapi malah mendapati tubuhnya yang pasrah. Lengan kekarnya melingkar manis di pinggang Eden. Pria itu terlihat begitu polos dengan mata sipitnya yang tertutup rapat memamerkan bulu matanya yang lentik, wajah cantiknya benar-benar membuat Charles terpesona.
Andai mereka tidak butuh oksigen untuk bernapas mungkin Charles tidak akan sudi melepaskan bibir tipis itu darinya.
Eden merasa limbung ketika ciuman berakhir. Matanya perlahan terbuka, terkesiap ketika kembali mengenali keadaan. Tubuhnya mundur mengambil jarak dari Charles, mengumpulkan kendali diri meski denyut jantungnya masih melompat-lompat.
Eden hanya bisa tertunduk malu,
Ia tak berani menatap wajah pria itu. Pipinya semakin memerah sedangkan tangannya ia gunakan kembali untuk menutupi tubuhnya yang basah.
"Pakai ini." Sebuah mantel tiba-tiba tersampir di pundaknya.
"Aku akan berkeliling untuk mencari bantuan."
Eden dengan cepat meraih pergelangan tangan Charles "Aku ikut!" Ia tanpa tahu diri menahan Charles pergi. Mengabaikan rasa malunya, karena demi Tuhan ia takut ditinggalkan sendirian di tengah hutan gelap begini.
"Kau di sini saja. Aku berjanji tidak akan lama." Charles melepaskan belitan tangan mungil itu. Kemudian segera mengambil langkah menjauh dari Eden.
Sejujurnya Charles bukanlah pria bajingan yang pergi begitu saja setelah mencium orang sembarangan. Tapi kenyataan jika Eden berhasil menyulut gairahnya membuat ia harus menjauh dari si mungil itu sekarang juga. Nafsunya sudah di ujung kepala, otaknya menyuruh untuk berhenti tapi tubuhnya tidak ingin mengerti. Ketika Eden menempelkan tubuhnya kepadanya, Charles hampir menyerah dengan membiarkan gairahnya lepas.
Darahnya berdesir sementara suhu tubuhnya memanas akan pikiran-pikiran liar yang ia buat dalam skenario otaknya.
Bayangan pria mungil itu melepas jubah basahnya terus terputar dalam kepalanya. Tubuh mungil yang mulus terus terbayang-bayang dalam pikiranya. Charles bahkan bisa melihat bayangan bagaimana pria mungil itu pasrah di bawahnya.
Sial sial sial! Kendalikan dirimu Charles demi Tuhan dia masih anak-anak.
Charles berusaha menyingkir sejauh matanya tak akan bisa melihat Eden lagi, ia butuh mendinginkan pikiran dan mencoba mencari jalan keluar akan kondisi mereka sekarang.
...
..
.
TBC
CAST
Chanyeol as Crown Prince Charles Alexander Mountbatten Windsor
Baekhyun as Lord George Eden Frances Spencer
Kristal Jung as Lady Patricia Fellowes Spencer
Suho as Lord Andreas Maurice Luther Spencer
Kai as Karl Decebal
