How It Actually Happened
Chapter 1
by aniranzracz
Disclaimer: Harry Potter dan seluruh dunianya adalah milik JK Rowling, saya cuma numpang.
Meskipun tahun keenam baru dimulai, Hermione dapat memastikan bahwa tahun ini adalah adalah tahun dengan hawa paling tidak menyenangkan seumur hidupnya di Hogwarts. Bahkan lebih buruk dari tahun ketiga, saat dimana dementor berkeliaran menjaga Hogwarts.
Mengapa?
Awalnya, Hermione tidak menyadari kenapa. Minggu pertama sekolah berjalan dengan normal, meskipun Harry datang terlambat dalam Aula Besar setelah turun dari Hogwarts Express–dengan hidung berdarah. Namun, setelah termenung lama, akhirnya Hermione tahu alasannya: Seluruh temannya–memasuki usia 16 hingga 17–sudah beranjak dewasa.
Hermione menyadari fakta itu di dalam rapat keduanya bersama para Prefek. Berbeda dengan tahun lalu, semua Prefek di tahunnya tampak lebih dewasa.
Mari kita bahas perubahan fisik terlebih dahulu: Para Prefek lelaki bertambah tinggi, lima hingga sepuluh sentimeter. Suara mereka pun terdengar lebih berat. Sementara itu, para wanitanya tampak lebih anggun dengan perubahan menonjol di bagian dada dan pinggul. Beberapa dari mereka bahkan mengoleskan riasan tipis, memberi kesan pangling bagi yang melihatnya.
Namun, tidak hanya perubahan fisik, pubertas juga membawa perubahan mental. Dari segi komunikasi, mereka sudah lebih dewasa. Semua tampak lebih segan dan "dingin" terhadap satu sama lain. Sudah tidak ada lagi candaan ribut yang kekanakan.
Bahkan tidak dari para Slytherin. Mereka memang masih menganggap diri mereka eksklusif dan hebat (Hermione dapat melihat itu dari nada bicara serta tatapan mereka), tetapi frekuensi cemoohan maupun ejekan yang berujung pada tawa kekanakan sudah tidak ada. Mereka semua tampak lebih dingin dan… waspada.
Apakah Hermione senang dengan perubahan tersebut?
Sepertinya iya. Mungkin. Ah, tidak tahu. Di tahun pertama hingga tahun kelima mereka, Draco Malfoy beserta kroninya memang sangat menyebalkan dengan ejekan serta keusilan mereka terhadap para Gryffindor. Walaupun ejekan-ejekan tersebut diutarakan dengan nada bandel kekanakan, Hermione tetap sering merasa kesal.
Namun, kali ini, diam dan dinginnya mereka justru tidak membuat Hermione senang.
Mereka terlihat lebih… berbahaya.
Ah, itu pasti hanya perasaanku saja, pikir Hermione sambil menggelengkan kepala. Ia berusaha melawan firasatnya sendiri, tetapi mau tak mau, pikirannya justru melayang pada kenyataan yang terjadi di dunia saat ini: Voldemort kembali. Kementerian telah mengakui kembalinya Dia-Yang-Tak-Dapat-Disebut-Namanya itu.
Dan, sebelum pengakuan tersebut, Hermione dan teman-temannya terlibat pertarungan sengit di Departemen Misteri, tempat di mana Sirius Black terbunuh oleh tangan wanita gila bernama Bellatrix Lestrange.
Alias? Tante Draco Malfoy, dan pastinya kerabat dekat maupun jauh dari beberapa Slytherin lain.
"Kapan akan kita mulai rapat Prefek ini?" tanya Pansy Parkinson dingin, membuyarkan lamunan Hermione. Suaranya yang lebih dalam membuat Hermione tersentak. Kapan suara cemprengnya berubah?
Hermione menatap Pansy, lalu tanpa sengaja, matanya menangkap sosok Draco Malfoy yang berdiri di samping perempuan berambut hitam itu.
Sama seperti kebanyakan lelaki lain, Draco Malfoy juga bertambah tinggi. Hermione ingat bahwa tahun lalu, Draco sepertinya hanya terpaut 5 - 7 sentimeter lebih tinggi darinya. Namun, saat ini, sepertinya jarak antara tinggi mereka bertambah. 10 sentimeter? 20 sentimeter? Entahlah.
Hermione buru-buru membuang wajahnya, tersadar bahwa ia telah menatap Draco sepersekian detik lebih lama dari tatapan manusia normal. Ia sudah mempersiapkan diri untuk cemoohan khas Malfoy yang biasa ia terima ("Apa lihat-lihat?"), tetapi ajaibnya, Draco ikut membuang matanya. Lelaki berambut platina itu menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong.
Atau tatapan tidak peduli, entahlah. Tatapan itu tidak bergerak sedikitpun, meski Pansy Parkinson mulai menggamit lengan Draco dan mengajaknya berbicara berbisik-bisik.
"Baik," ujar Hermione sambil menatap Prefek lainnya. Suaranya sedikit tercekat. "Kita mulai pertemuan hari ini, mari kita mulai dengan bahasan mengenai jadwal rapat dan patroli Prefek."
Rapat pun dimulai. Hermione mendominasi rapat tersebut, sesekali ditimpali oleh Prefek Ravenclaw. Rasanya aneh melihat Draco dan Pansy tidak melemparkan satu cemoohan pun pada idenya, tetapi ternyata tanpa cemoohan Slytherin, pertemuan itu justru menjadi lebih hemat waktu.
Pertemuan berakhir setelah setengah jam berlalu.
"Hari Senin sampai Jumat, kita akan berpatroli bersama partner Prefek dari asrama masing-masing. Sebagai contoh, aku akan bersama Ron karena kami sama-sama dari Gryffindor. Namun, untuk hari Sabtu - Minggu, jadwal patroli akan diacak," ujar Hermione, menutup rapat sambil memberi kesimpulan. "Hal ini dilakukan untuk meminimalisir terjadinya konflik kepentingan."
Hermione menelan ludah, sedikit jengkel dengan pemilihan katanya. "Konflik kepentingan" adalah kata yang buruk. Pesan yang sebenarnya ingin ia sampaikan adalah, Aku tidak percaya pada beberapa dari kalian, terutama Malfoy dan Parkinson, jika berpatroli bersama di akhir minggu–mengingat akhir minggu rawan sekali disalahgunakan untuk pesta.
Hermione sudah siap menerima cemoohan lagi, tetapi tidak ada yang mengajukan protes. Hanya Pansy saja yang menatapnya dingin dan mendengus kecil. Dibandingkan dengan tingkahnya dulu, dengusannya ini dapat dihitung sebagai pujian.
"Apakah ada pertanyaan?" tanya Ron.
Hening.
"Baik, rapat selesai. Terima kasih untuk kerjasamanya," ujar Hermione. Terima kasih itu ia ucapkan dengan tulus–dan profesional–kepada seluruh Prefek yang rasanya kolaboratif sekali hari itu.
Beberapa orang bersiap beranjak pergi, tetapi tidak ada yang lebih cepat dari Draco Malfoy. Draco sudah menghilang di balik pintu bahkan sebelum kalimat Hermione hilang jejaknya.
Pansy mengikuti Draco, tetapi sebelum itu, ia menghampiri Hermione terlebih dahulu. "Kau tahu? Di luar sana memang belum ada berita resmi mengenai perang."
Mendengar itu, justru Ron-lah yang tersulut emosinya. "Lalu apa, Parkinson?"
Pansy tidak menatap Ron sama sekali. Mata hitamnya memandang lurus Hermione, dan di saat itu Hermione tahu bahwa matanya jauh lebih dingin dari sebelumnya. Pansy melanjutkan, "Namun, perang kita sudah dimulai."
Pansy langsung beranjak pergi mengejar Draco, meninggalkan Hermione dan Ron.
"Apa maunya, sih, cewek itu," keluh Ron asal-asalan. "Jika satu kali pun aku pernah tidak berperang dengan dia dan teman-teman kotornya, sudah kunobatkan diriku sendiri sebagai pahlawan kedamaian. Yuk, Hermione, kita ke Aula Besar. Makan malam pasti sudah siap."
Hermione berjalan bersisian dengan Ron. Ron sudah mengganti topik pembicaraannya (menjadi tentang sapu, atau cewek, atau entahlah), tetapi Hermione masih memikirkan ucapan Pansy. Dengan jumlah berita buruk di Daily Prophet yang semakin meningkat, mau tak mau ia merasa bahwa aura "suram" yang ada saat ini bukanlah karena anak-anak Slytherin bertambah dewasa.
Melainkan karena memang sedang ada perang yang terjadi.
"Aku akan pakai kamar malam ini," ujar Draco dingin, memberitahu teman-temannya yang sedang bersantai. Mereka semua mengeluh, tetapi tidak membantah. Hari ini memang sudah jadi jadwal Draco.
Mengenai jadwal, sebenarnya, ada satu kesepakatan rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir kecil penghuni Asrama Slytherin: Semua penghuni kamar tersebut (hanya penghuni kamar tersebut) berhak "memiliki" kamar mereka untuk diri sendiri hingga pukul empat pagi di hari-hari tertentu. Jadwalnya disusun dan diacak secara regular oleh Blaise Zabini.
Hari ini mungkin jadwal Draco, besok Blaise, lusa Theo, dan seterusnya.
Kamar itu dapat digunakan untuk apa pun, tetapi biasanya hanya satu antara dua hal: Pesta pribadi dengan tamu super eksklusif,
atau ketika ada perempuan yang ingin mampir.
Blaise menatap Draco dari sela-sela kelambu kasurnya. Di dalam pikirannya, Blaise berusaha menebak, apakah kali ini pesta atau perempuan?
Jika kasusnya adalah pesta, biasanya Draco sudah menyiapkan berbotol-botol minuman keras dan dekorasi maupun peralatan sebelumnya. Peralatannya pun beragam dan cukup mengerikan, termasuk konfetti, thong, dan borgol. Namun, karena kali ini tidak ada apa-apa, kasus kali ini pasti berkaitan dengan perempuan.
"Siapa, mate?" tanya Blaise.
"Pansy," jawab Draco asal-asalan sambil membuka sebotol wiski yang ia selundupkan di dalam lemari bajunya sendiri. Ia sudah resmi mengklaim dirinya sendiri sebagai pecandu alkohol. Ia tidak bisa hidup normal tanpa alkohol.
Blaise maupun teman-teman lainnya tidak menjawab lagi, meskipun mereka sedikit penasaran. Dibandingkan Blaise yang cukup sering menggunakan gilirannya untuk tidur bareng, Draco jarang sekali menggunakan jadwal kamarnya. Apalagi untuk alasan perempuan.
Draco memang tidak terlalu terbuka mengenai kehidupan ranjangnya, tetapi Blaise tahu bahwa Draco tidak suka menggunakan kamar. Pertama, karena ada limit-nya, yakni pukul empat pagi. Sebenarnya, Draco tidak peduli jika teman-temannya masuk ke dalam kamar walaupun urusannya dan perempuan itu belum selesai di atas pukul empat, tapi masalahnya, sedikit sulit menyelundupkan perempuan itu keluar ruangan nanti. Terutama apabila perempuannya tidak berasal dari Slytherin.
Kedua, Draco tidak akan sanggup menahan kesabaran untuk menunggu jadwal kamar. Si Malfoy itu lebih suka bertindak cepat dan spontan. Kelas kosong–atau bahkan lemari sapu–adalah tempat yang lebih ideal.
Draco merebahkan diri di kasur setelah menenggak dua teguk wiski. Ia tahu teman-temannya penasaran dan ingin bertanya, tetapi ia tidak peduli. Pikirannya sudah kalut sekali selama dua bulan terakhir ini.
Setelah ayahnya dijebloskan ke Azkaban karena gagal menyelamatkan ramalan di Departemen Misteri, keluarga Draco terpukul. Terutama ibunya. Ada kalanya Narcissa mampu menegakkan diri di hadapan masyarakat sihir, seperti yang ia lakukan saat mengajak Draco berbelanja jubah di toko Madam Malkin's; waktu di mana ia bertemu dengan Trio Gryffindor sialan itu. Namun, saat-saat itu semakin jarang sekali. Narcissa lebih sering menghabiskan waktu untuk menangis diam-diam di Malfoy Manor, tentu apabila The Dark Lord sedang tidak di sana.
Seminggu sebelum Draco berangkat ke Hogwarts, depresi Narcissa semakin berat. Ia harus bergantung pada Ramuan Tidur Tanpa Mimpi yang Severus Snape kirimkan secara rutin atas permintaan–lebih tepatnya pemaksaan–tante Draco, Bellatrix Lestrange.
Draco sudah berpikir untuk meninggalkan sekolahnya, lalu fokus menemani ibunya. Toh apalah arti sekolah di dunia yang sebentar lagi akan hancur ini.
Namun, Bellatrix menolak keras. Bukan karena sayang padanya, tetapi karena Draco harus melaksanakan misi yang diturunkan Pangeran Kegelapan untuknya.
"Pangeran Kegelapan mempercayaimu, Drakie," ujar Bellatrix, berbisik di telinga Draco, tepat dua bulan lalu di Malfoy Manor. Draco baru saja mendapatkan misinya dari Pangeran Kegelapan, tepat satu hari setelah Lucius ditawan di Azkaban. "Sudah seharusnya kau bangga. Jangan pernah berpikir untuk mengkhianati-Nya, kita abdi-Nya yang paling setia….."
Saat itu, Draco menahan napas. Ia mengerti bahwa ia seharusnya bangga. Untuk misi inilah Darah Murni sepertinya hidup dan dibanggakan, kan? Apalagi, ia adalah penyihir termuda yang pernah diberikan misi oleh Pangeran Kegelapan.
Namun, ia tidak bisa berbohong bahwa ia takut. Tidak ada ayahnya yang siap menggelontorkan harta mereka untuk menyuap dan membebaskannya kali ini. Tidak ada ibunya yang anggun dan kuat kali ini.
Yang ada hanya ia sendiri, dan ia tahu bahwa ia juga akan dijebloskan ke Azkaban–atau bahkan lebih buruk–jika ia gagal.
Masalahnya, jika misinya adalah membunuh Dumbledore, maka kemungkinan gagalnya adalah 99%.
Draco menghela nafas frustasi, lalu menenggak wiskinya lagi. Mulutnya hanya cukup untuk tiga teguk, tapi ia paksakan hingga setengah botol habis. Bibirnya segera terasa kering terkena kadar alkohol yang cukup tinggi dan ia merasakan keinginan untuk minum air putih, tetapi pandangannya mulai tidak fokus. Ia memejamkan mata sembari menyuruh teman-temannya ke luar, mengingat Pansy akan tiba sebentar lagi.
"Have fun," ujar Blaise sebelum menutup pintu.
Draco tidak menjawab dan masih memejamkan mata. Ia tidak tahu berapa lama, tapi tahu-tahu Pansy muncul di hadapannya.
Draco tidak ingat apa-apa lagi setelah itu, tapi ia masih ingat berkata ia meremas dada Pansy dan berkata, "Aku haus, biarkan aku minum dari sini."
Draco segera menyesali keputusannya untuk menghabiskan malam dengan Pansy. Tidak hanya karena Theo dan Blaise kerap menggodanya ("Wow, posisimu di pukul empat pagi!"), tetapi juga karena entah apa yang terjadi, Pansy menjadi benar-benar terikat padanya.
"Kau harus terus bersamaku," ujar Pansy memaksa. Saat ini, mereka sedang berada di Asrama Slytherin, sedang bersiap-siap sarapan. Kepala Draco pusing akibat efek alkohol, tetapi ia memaksakan diri untuk tetap beraktivitas.
"Tidak," kata Draco, menolak dengan keras. Kondisi mentalnya yang buruk sudah membuatnya cukup sulit menghadiri kelas, mengerjakan misi Voldemort, dan menjalankan tugas Prefek sekaligus. Ia sudah merelakan Quidditch, tetapi tugasnya masih tetap terlalu banyak. Jika ditambah dengan Pansy yang terus mengekor dan menggelayuti lengannya, bisa dipastikan ia akan gagal tidak hanya di misinya, tetapi juga di kelasnya.
"Kau tidak ingat, ya?" ujar Pansy. Suaranya centil, tetapi terdengar tulus dan penuh perhatian. "Kau mabuk sekali tadi malam, tapi aku tahu kau jujur."
"Apa?"
"Kau membutuhkan support, baby," ujar Pansy. "Aku akan bersamamu hari ini."
Draco mengernyit. Apa maksudnya?
Pansy melanjutkan, "Dan malam nanti, selamanya."
Cukup.
Draco berjalan meninggalkan Pansy pergi. Ia tidak suka bahwa izinnya semalam–membiarkan Pansy tidur di sampingnya dengan layak (dan bukannya di lemari sapu seperti biasa)–disalahartikan sebagai tanda bahwa ia serius dengan Pansy.
Padahal, malam tadi tidak ada artinya sama sekali. Malam itu malam yang biasa, sama biasanya dengan malam-malam yang Draco habiskan dengan tidur normal.
Perempuan itu berlari kecil menyusulnya sambil merajuk. Panjang sekali.
Namun, setelah beberapa langkah, Draco muak.
"Diam, Pans!"
Draco berbalik ke arah Pansy, lalu tangannya mendorong Pansy kasar.
Refleks.
Perempuan itu terjatuh. Pantat lebih dulu, diikuti oleh telapak tangannya yang bertumpu pada lantai batu. Terdengar sedikit bunyi krek, yang dapat menjadi tanda bahwa tulang pergelangan tangannya mungkin bergeser.
Pansy sontak menangis kaget, tapi tidak mampu bersuara atau bergerak.
Beberapa anak Slytherin lain, yang baru keluar dari Asrama dan berjalan menuju Aula Besar, menatap mereka dengan heran, tetapi tidak ada yang bersedia berhenti dan membantu. Pansy tetap terduduk di lantai sambil menangis diam, sementara Draco berdiri terpaku.
Draco merasakan dadanya berdegup kencang, tidak menyangka bahwa ia baru saja melakukannya: Mendorong Pansy dengan keras.
Melakukan kekerasan.
Draco tahu, ia memang kasar. Ia dilahirkan untuk menjadi kasar. Sudah sejak kecil ia dibesarkan dengan orangtuanya yang tidak mengenal emosi, juga mendengar bagaimana ayahnya membanggakan–bahkan mensponsori–kegiatan-kegiatan tak bermoral Voldemort. Ia sering saling tinju dengan laki-laki, juga sering kasar–di tempat tidur–bersama perempuan.
Tapi, ia tidak ingat kapan ia melakukan kekerasan di dunia nyata terhadap perempuan.
Baru kali ini.
Blaise Zabini, yang kebetulan lewat, bergerak membantu Pansy berdiri. "Kau tidak apa-apa?"
Pansy terlalu takut menjawab.
Blaise menatap Draco, hendak meminta penjelasan. Namun, melihat ekspresi, tatapan, dan lingkar hitam di mata Draco, Blaise mengurungkan diri. Ia telah mengenal Draco sejak kecil dan tentu tahu bahwa keluarga Draco sedang dalam masalah besar. Memutuskan bahwa tak bijak untuk menambah beban Draco, Blaise memapah Pansy dan membawanya ke Madam Pomfrey sebelum kelas dimulai.
Entah bagaimana caranya, berita mengenai Draco yang menyakiti Pansy tersebar. Gosip itu tidak seheboh gosip mengenai Harry Potter (yang selalu hangat, tentu), tetapi tetap tergolong populer. Salah satu yang mendengarnya adalah Ginny Weasley, di mana berita itu diteruskan kepada Harry, Ron, dan Hermione saat makan siang.
Mengingat gosip itu sudah disebarkan melalui beberapa "rantai", derajat akurasinya sudah melenceng jauh dari apa yang sebenarnya terjadi. Menurut cerita Ginny, Malfoy menonjok Pansy berkali-kali hingga Pansy meraung dan dilarikan ke Madam Pomfrey sambil digotong.
"Memang banci, si Malfoy itu," ujar Ron dengan mulut penuh puding.
Harry, yang belakangan ini terlalu sibuk mengurus Quidditch-nya sampai malas bicara, bahkan sampai mengeluarkan kalimat yang cukup panjang untuk menanggapi kasus ini. "Ya. Aku bisa paham jika dia menyakiti hati Parkinson, tetapi aku tidak tahu dia bisa menyakiti hingga ke level fisik, kau tahu?"
Ginny menambahi, "Kudengar tangan Parkinson retak."
"Ah, seandainya kepalanya juga ikut retak," jawab Ron serampangan.
Tanpa janjian, mereka berempat kompak menatap meja Slytherin. Draco tampak ogah-ogahan menyantap makanannya bersama Theodore Nott dan Blaise Zabini di ujung meja, sementara Pansy berkumpul bersama beberapa teman ceweknya di meja yang lain. Dari jauh, mereka masih dapat melihat mata Pansy bengkak.
"Parkinson pasti terpukul sekali," ujar Hermione. Dia sampai tidak menempel pada Malfoy.
"Ada gosip bahwa Parkinson merasa takut pada Malfoy," lanjut Ginny. "Ini kali pertama Malfoy benar-benar marah padanya. Padahal, salah satu anak kelas empat Slytherin menyebutkan bahwa mereka baru tidur bareng."
Ron mengernyit. Ia ingin menegur adiknya karena membicarakan topik tak senonoh itu, tetapi rasa penasarannya jauh lebih besar. "Jadi, apa maksudmu? Malfoy menonjok Parkinson karena sesuatu yang mereka lakukan di tempat tidur?"
Hermione memutar matanya, memutuskan untuk tidak bergabung dengan percakapan antara Harry, Ron, dan Ginny yang semakin panas. Salah satu hal lain mengenai "tumbuh dewasa" yang Hermione sadari adalah semakin banyaknya pembahasan mengenai ini.
Topik ini sendiri tidak pernah menarik perhatiannya. Alasan pertama, ia merasa masa mudanya terlalu berharga untuk dihabiskan dengan urusan hormonal seperti ini.
Alasan kedua, tidakkah masa-masa bangkitnya Voldemort ini sudah terlalu menyeramkan? Saking menyeramkannya, sejujurnya Hermione tidak bisa memikirkan hal lain selain keselamatan dirinya sendiri, keselamatan orangtuanya, dan keselamatan teman-teman Darah Lumpur lainnya.
Hermione terbangun setiap pagi dengan perasaan khawatir, dan menghabiskan sisa hari dengan perasaan lebih khawatir lagi. Makin lama, ia semakin sadar bahwa ia lebih suka perangai anak-anak Slytherin yang dulu–mengeluarkan makian sambil tertawa terasa lebih manusiawi dibandingkan tatapan dingin mereka saat ini.
Di mata Hermione, tatapan itu seakan mengisyaratkan bahwa ia akan jadi makhluk paling rendah setelah Voldemort kembali berkuasa nanti. Lebih rendah dari kotoran.
Hermione menatap Draco, Blaise, dan Theo diam-diam dari jauh. Pikirannya melayang pada pertemuannya dengan Draco dan Narcissa Malfoy di Madam Malkin's, saat Draco menepis tangan Madam Malkin yang hendak menyentuh lengannya.
Apakah ada Tanda Kegelapan di sana?
Jika nanti Voldemort berkuasa dan ternyata Hermione menemui ajalnya, apakah Draco dan teman-temannya yang akan membunuhnya?
Walaupun gosip mengenai dirinya dan Pansy menyebar lebih cepat dari persebaran wabah cacar naga, Draco tetap bersyukur. Pansy jadi takut padanya, dan itu memberikannya lebih banyak waktu untuk mengerjakan misi di dalam Ruang Kebutuhan. Meskipun Narcissa mengirimkannya surat lewat burung hantu yang memintanya berbaikan dengan Pansy ("...kita harus berbaik hati pada Darah Murni yang tersisa, Draco. Kita tidak punya siapa-siapa lagi"), Draco tetap tidak ingin berbaikan dengan perempuan itu.
Sudah beberapa hari ini Draco berpatroli sendiri, dan bahkan sesekali mangkir dari kewajibannya. Ia tidak tahu apakah Pansy juga berpatroli sendiri atau tidak berpatroli sama sekali, yang jelas ia tidak peduli.
Mungkin aku harus mendorong Pansy lagi lain kali, pikir Draco sambil berjalan menuju salah satu ruang kelas, tempat pertemuan Prefek hari itu diadakan. Atau betulan menonjoknya seperti gosip yang beredar.
Draco tiba di ruang Prefek. Sudah ada beberapa orang di sana, termasuk Ron dan Hermione. Untungnya, tidak ada Pansy.
"Kudengar kau bertengkar dengan Parkinson," ujar Hermione ketika Draco memasuki ruangan.
"Apa urusanmu?"
"Kami sedang membahas jadwal patroli Prefek, Bodoh," lanjut Ron. "Kami tahu bahwa kau sering tidak berpatroli karena kau terlalu malas–atau terlalu takut–berpatroli sendiri, begitu juga dengan Parkinson. Karena tidak ada yang berpatroli di tempat tertentu, beberapa kejahilan di daerah itu dilaporkan oleh Filch kepada Dumbledore."
"Hanya kejahilan, demi Merlin," ujar Draco malas. Dumbledore akan mati dan Pangeran Kegelapan sudah siap menggempur dunia jika ia mau, tapi kau masih memikirkan kejahilan yang Filch laporkan? "Kau berlebihan."
"Kami menemukan kondom di sana," timpal Prefek dari Ravenclaw.
"Atau justru kau yang menggunakan kondom tersebut, Malfoy?" sindir Ron kesal.
"Kalaupun iya, setidaknya aku masih memiliki uang untuk membelinya," ujar Draco. Ia sedang malas berdebat, tapi karena ia benci sekali melihat si rambut merah itu, ia memaksakan diri menambahkan, "Kudengar dari seorang jalang Hufflepuff bahwa kau menggunakan plastik bekas?"
Ron mengeluarkan tongkatnya, diikuti oleh Draco secara refleks.
Hermione berisiniatif memisahkan keduanya. Salah seorang Prefek Hufflepuff menahan Draco, sementara Hermione dibantu oleh Michael Corner untuk menahan Ron.
"Tidak ada gunanya bertengkar," ujar Ketua Murid Putri tegas. Suaranya terdengar lelah. "Aku tidak peduli apa yang kalian gunakan, tapi yang jelas, kita akan mengganti jadwal patroli Prefek. Kita coba acak saja setiap hari."
Ron terlalu marah untuk mendengarkan, sementara Draco tidak menanggapi. Dalam hati, ia justru merasa senang karena tidak perlu berpatroli dengan Pansy lagi.
Ketua Murid Perempuan lanjut memimpin pertemuan singkat tersebut, membahas beberapa masukan dari Profesor McGonagall, lalu membubarkan pertemuan sambil menyebarkan informasi mengenai jadwal patroli terbaru.
Draco melihat namanya dan Hermione bersisian di jadwal patroli malam ini.
TBC
Note: Hi, I am back! Setelah bertahun-tahun nggak menulis, aku nggak nyangka bahwa aku sangat menikmati proses menulis fanfiction ini. Thank you for reading, don't worry I promise I will finish this multichapter story dan nggak "kentang" lagi seperti yang dulu-dulu, hahaha.
