How It Actually Happened

Chapter 2

by aniranzracz

Disclaimer: I don't own Harry Potter universe. It is JK Rowling's.

Tidak ada yang bicara di sesi patroli malam itu. Hermione berjalan memimpin cepat-cepat, sementara Draco mengikuti di belakang dengan langkah malas-malas. Ia sudah memiliki rencana untuk pergi ke Ruang Kebutuhan saat ini, sehingga pikirannya penuh dengan persiapan apa saja yang ia lakukan sebelum ke sana.

Draco menatap rambut ikal Hermione yang tergerai dari belakang, lalu mendengus kecil. Meskipun Hermione tidak semenyebalkan Ron, Draco tidak bisa berbohong bahwa ia juga benci dengan perempuan ini. Perempuan ini, beserta teman-temannya yang sok pemberani dan tololnya luar biasa, adalah penyebab kenapa ayahnya ada di Azkaban sekarang.

Penyebab kenapa ia harus pergi malam ini, meninggalkan Hogwarts, dan menghabiskan malam tanpa tidur untuk berpikir tentang misinya.

"Sepertinya tidak ada apa-apa," ujar Hermione datar sambil mengintip ke dalam salah satu kelas kosong, lalu mengamati isinya sebentar.

"Hari ini hari Senin. Memang kau berharap menemukan apa?" tanya Draco. Ia merasa Hermione bodoh karena tidak tahu bahwa seluruh pesta ilegal harusnya terjadi dua hari lalu, di malam Minggu, dan semua orang beristirahat di hari Senin. Antara bodoh atau lugu ternyata bedanya cukup tipis.

"Bisa jadi apa pun, kan?"

"Kondom seperti yang ditemukan Weasley?" tanya Draco. "Kau terlalu polos."

Pipi Hermione memerah. Selain karena bahasan benda itu, juga karena ia teringat dengan gosip yang dibawa Ginny ke meja Gryffindor tempo hari. Benarkah Draco dan Pansy….?

"Aku bisa Legilimens, kau tahu," ujar Draco malas. Ia mulai menebak arah pikiran Hermione, walaupun sebenarnya ia belum mengimplementasikan Legilimens-nya.

Pipi Hermione bertambah merah. "Bohong. Legilimens membutuhkan kemampuan tingkat tinggi dan–"

"Kau pasti tahu bahwa anak Slytherin pasti akan menyiapkan kemampuan ini, kan, untuk menghadapi orang-orang sepertimu?" ujar Draco. Nadanya membuat kalimat itu seperti pertanyaan, tetapi sebenarnya kalimat itu adalah pernyataan jujur. Bellatrix bersumpah membuat rambut Severus Snape botak jika ia menolak mengajari Draco Occlumency dan Legilimency, sehingga itulah yang Severus Snape lakukan di musim panas kemarin.

Draco mengira Hermione akan menganggapnya tidak serius, tapi di luar dugaan, Hermione berbalik ke arahnya, lalu menatapnya lurus dan tajam. Pipi perempuan itu masih merah, tapi tidak menambah kesan "malu". Kesan tegasnya justru semakin terlihat.

"Kenapa kalian mempelajarinya?" tanya Hermione penasaran. Nadanya terdengar kasar.

Draco mendesah malas. "Kenapa tidak?"

"Mau membaca pikiran Voldemort sebelum ia mengatakannya, sehingga kau bisa mengerjakan perintahnya tanpa ia ucapkan lebih dulu?" tanya Hermione. Di dalam hatinya, Hermione mengakui bahwa pertanyaannya barusan amatlah kasar. Namun, ia merasa marah. Ia menganggap ucapan Draco mengenai "anak Slytherin pasti mempelajari kemampuan ini untuk menghadapimu" sebagai ancaman.

Draco mengernyit.

Hermione melanjutkan, "Mengerjakan perintahnya untuk membunuh orang-orang tak bersalah?"

Emosi Draco tersulut. "Tutup mulutmu."

"Kenapa?"

"Karena mulutmu terlalu kotor," kata Draco. "Begitu juga pikiran dan darahmu."

"Lebih kotor mana dengan ibumu?"

Secara refleks, Draco mendorong Hermione kasar. Punggung Hermione membanting dinding dengan kencang, sehingga Hermione tahu ada tulang punggungnya yang memar. Draco menahan tangannya di dinding, lalu menggores kulit lengan Putri Gryffindor itu dengan kukunya. Draco dapat merasakan kulit seputih susu itu lecet.

Hermione menatap Draco, berusaha tidak gentar. Namun, di dalam hatinya, ia takut sekali. Seharusnya ia lebih berhati-hati. Draco baru saja menghajar Pansy, dan laki-laki itu pasti tidak takut untuk menghajarnya hingga pingsan.

Atau bahkan sampai mati sekalian?

Hermione berusaha menahan tangisannya, tapi ketika mengingat kata mati, ia merasa matanya berkaca-kaca. Sejauh yang ia ingat, kematian belum pernah terasa sedekat ini. Berita Muggle maupun Darah Lumpur terbunuh muncul setidaknya satu kali dalam seminggu di Daily Prophet, dan ia tidak tahan membayangkan jika ia ada di posisi itu.

Atau lebih buruk lagi, jika orangtuanya lah yang terbunuh.

Usai menggores tangan Hermione dengan emosi, Draco langsung disergap rasa bersalah.

Granger menangis, pikirnya. Sebentar lagi air matanya akan tumpah.

Selama beberapa detik, Draco tidak habis pikir. Hermione tidak pernah menangis. Perempuan itu bahkan pernah meninju hidungnya ketika mereka berada di tahun ketiga. Namun, apa yang terjadi sekarang?

"Mendengar berita kematian yang tidak henti-hentinya muncul di Prophet membuatku takut," ujar Hermione tercekat. "Namun, setelah kupikir-pikir, memang lebih baik aku mati sekarang, jika kau memang mau menghajarku sampai mati."

Setetes air mata Hermione jatuh, yang langsung ia usap dengan bahu seragamnya.

Lebih baik aku mati sekarang.

Pegangan Draco pada lengan Hermione melunak. Efek lima kata itu ternyata cukup dahsyat pada dirinya. Draco merasa lima kata itu seakan "meneruskan" rasa takut Hermione pada dirinya, membuat ia menahan napas dan tersadar: Saat ini, walaupun ia berada di sisi yang berlainan dari Hermione, ia juga takut. Tidak kalah takutnya.

Ia akan melakukan hal yang lebih menakutkan daripada "terbunuh": Membunuh.

Dan, dipikir-pikir, ia juga merasakan hal yang sama. Lebih baik aku mati sekarang.

Draco menatap Hermione. Perempuan itu mengalihkan wajahnya ke kiri, tidak mau menghadapi Draco.

Teringat pada beberapa omongan orang yang sampai di telinganya setelah ia memukul Pansy ("banci"), Draco mundur sejengkal, lalu perlahan-lahan melepaskan lengan Hermione. Sebelum benar-benar melepasnya, ia mengusap lembut noda darah yang sedikit muncul dari lengan Hermione yang tergores, lalu beranjak pergi. Darah lumpur itu.

Draco ingin meminta maaf, tetapi ia tahu, meminta maaf bukanlah kodrat seorang Malfoy.


Ruang Kebutuhan.

Sebelum mengetahui apa fungsinya, Draco pernah beberapa kali masuk ke dalamnya dengan perasaan bingung. Bukankah ini kemarin lemari sapu? Kenapa sekarang berubah menjadi kelas kosong? Lagipula kelas apa ini?

Butuh beberapa waktu (lebih tepatnya setelah menyadari bahwa ruangan itu adalah ruangan tempat Laskar Dumbledore di tahun kelimanya), hingga akhirnya Draco tahu bahwa ruangan ini dapat berubah menjadi ruangan terhebat sedunia. Ruangan di mana yang hilang, termasuk dalam skala berabad-abad, disembunyikan. Lebih gila lagi, ada lemari kembar yang pasangannya terhubung dengan Borgin and Burkes di sana.

Misi membunuh Dumbledore terdengar jauh lebih mudah dengan adanya lemari itu, tetapi sayangnya, lemari itu masih rusak. Sudah puluhan surat yang Draco kirimkan kepada Borgin and Burkes untuk mengancam mereka agar memperbaikinya, tetapi belum ada upaya yang berhasil. Bellatrix dan Rodolphus sampai harus turun tangan, mengancam akan menguliti dan merampok toko itu jika tidak segera berhasil.

Upaya mereka baru membuat lemari itu mampu "mengirimkan barang" dari Borgin and Burkes, tetapi belum kuat untuk menteleportasi manusia. Di sesi "latihan" hari ini, Bellatrix mengirimkannya Wiski Api dengan kandungan alkohol terbesar melalui lemari tersebut.

"Gunakan untuk bersenang-senang. Jika sudah mabuk, pastikan kau membunuh setidaknya satu Darah Lumpur."

Begitulah tulisan di atas kertas yang Bellatrix kirimkan bersama Wiski Api.

Draco membuang napas, sedikit marah karena Bellatrix menganggap membunuh itu semudah menepuk nyamuk. Namun, mengingat tidak ada yang bisa ia lakukan, Draco berjalan keluar. Ia sempat terpikir untuk masuk lagi dan meminta ruangan itu berubah menjadi apa yang ia kehendaki, tapi kemudian ia tahu bahwa tidak ada yang ia inginkan selain mati.

Draco akhirnya berjalan menuju Asrama Slytherin. Selama perjalanan, kepalanya terasa pusing, entah karena beban mental atau karena ia melewatkan malam malam (sepertinya karena alasan pertama). Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi, dan ia terpaksa berjalan pelan-pelan agar tidak mengundang Filch.

Ia tiba di Asrama pukul 1.20 pagi. Sudah tidak ada siapa-siapa di sana, kecuali Pansy.

"Draco, aku–"

Kepala Draco masih pusing. Ia tidak bisa berpikir jernih. Entah apa yang merasukinya, Draco bergerak maju dan mencium Pansy.


Bulan November. Berminggu-minggu telah berlalu sejak insiden patroli Hermione bersama Draco Malfoy, di mana Hermione tidak pernah menceritakan sebenarnya tentang patroli itu, bahkan tidak kepada Ron dan Harry. Sudah berminggu-minggu pula Hermione tidak pernah berpatroli dengan Draco, apalagi berbicara padanya. Interaksi mereka hanya terbatas pada tatapan mata dingin yang tidak sengaja mereka berikan sesekali, itupun hanya jika Hermione maupun Draco kebetulan berbicara di rapat Prefek.

Mengenai Pansy, Hermione melihat bahwa gadis itu sepertinya sudah berbaikan dengan Draco. Mereka sudah saling menempel di meja Aula Besar, kelas, maupun rapat Prefek. Hanya saja, Hermione dapat melihat bahwa mereka berdua tidak sedekat yang dulu.

Seperti ada sekat di antara mereka berdua.

Mengenai dua sahabatnya, Ron dan Harry sedang sibuk-sibuknya. Selain berlatih Quidditch, Harry bahkan memiliki kesibukan untuk hadir di pelajaran Occlumency bersama Profesor Snape. Ron sendiri juga kerap berlatih Quidditch mandiri hingga malam, mengingat performanya belum berkembang secara signifikan, di sela-sela kesibukannya sebagai Prefek. Jika mereka berdua sudah kembali menemui Hermione, Ron akan tampak merana, sementara Harry akan mencoba membesarkan hatinya. Topik pembicaraan mereka tidak akan jauh dari Quidditch.

Oh, juga tentang Malfoy di dalam Quidditch.

"Aku mendengar rumor bahwa Malfoy sudah tidak menjadi Seeker lagi," ujar Ron. Mereka sedang sarapan di Aula Besar. Suasana Aula hari itu sangat suram dengan turunnya salju di balik jendela, di mana salju sihir juga turun dari langit-langit aula (dan hilang sebelum menyentuh kepala mereka).

"Entah strategi apa yang sedang mereka rencanakan," balas Harry sambil menyendok beberapa sosis babi dari piringan besar. Nadanya terdengar bingung. "Aku belum tahu siapa yang akan menggantikannya, tapi aku tidak melihat ada bakat Seeker lainnya dari tim itu. Jika mereka memang benar menggantikan Malfoy, maka kurasa strategi mereka adalah menguatkan penyerangan Chaser."

Ron tampak merana lagi. Ia tahu apa artinya itu: Jika strateginya berfokus pada Chaser, maka gawang Gryffindor akan dibobol habis-habisan. "Aku keluar saja, deh."

"Tunggu dulu," jawab Harry cepat. "Saat ujian masuk, kau-lah yang performanya paling baik dari seluruh pendaftar."

Ron tampak lebih merana. "Merlin, bagaimana aku bertahan jika Chaser mereka menyerangku?"

"Kita akan memastikan Chaser kita lebih mendominasi, sehingga mereka tidak punya kesempatan memegang bola," jawab Harry teguh. "Aku akan bicarakan ini pada Katie."

Pembicaraan terus berlangsung, tetapi Hermione tidak menanggapi apa pun. Matanya terfokus menatap Daily Prophet, yang lagi-lagi menyebarkan berita penyerangan terhadap Muggle. Meskipun tidak ada yang terbunuh di penyerangan tersebut, mood Hermione seketika memburuk.

Ia memutuskan melipat koran itu tanpa membacanya lebih lanjut, lalu bergabung dengan percakapan Harry dan Ron. Topiknya sudah berubah, dari strategi Quidditch menjadi kecurigaan mereka terhadap Malfoy.

"Sejak sebulan lalu, aku menangkap ada yang aneh pada Malfoy," ujar Harry. "Sepertinya dia mengerjakan sesuatu di Ruang Kebutuhan, tetapi ketika aku menguntitnya, ruangan itu tidak mau terbuka."

"Jangan melakukan itu," ujar Hermione. "Kau sudah cukup sibuk."

"Jangan membela Malfoy, Mione," timpal Ron. "Dia cukup jahat untuk berani merencanakan kejahatan di sana."

Di dalam pikirannya, Hermione membantah kedua pernyataan Ron. Pertama, Hermione tidak membela Draco; ia hanya memastikan Harry tidak membuang sia-sia pelajaran Occlumency yang Dumbledore harapkan padanya. Kedua, ia tidak tahu apakah Draco memang cukup jahat.

Belakangan ini, anak itu sudah tidak pernah mengganggunya. Ia lebih banyak diam, sedikit mengobrol bersama teman-teman Slytherin-nya, atau tidak menampakkan diri sama sekali. Sifatnya ini sangat berbeda dengan sifat lamanya, di mana ia haus akan perhatian dan selalu muncul di keramaian. Dulu, Draco selalu mencoba menonjolkan diri, sepertinya karena ia menyadari bahwa dirinya tampan dan memiliki nama belakang "Malfoy". Salah satu keluarga paling terpandang dan paling kaya di dunia sihir.

Paling murni.

"Kejahatan yang ia lakukan paling hanyalah menggunakan Kamar Kebutuhan untuk tidur," ujar Hermione dingin. Dengan wajah, perawakan tubuh, kekayaan, serta status darahnya, Hermione tahu beberapa perempuan akan mengesampingkan kriteria "karakter" dan "moral" untuk Draco Malfoy.

Menyedihkan.

"Untuk apa pun itu," ujar Harry serius. "Akan sangat menyenangkan jika bisa memergokinya melakukan satu kesalahan–atau kejahatan–di sana."


Hari ini hari Sabtu pagi. Ada sedikit waktu luang, sehingga Draco diam-diam menyelinap ke Hutan Terlarang untuk menenangkan dirinya dan beristirahat, sebelum memasuki Ruang Kebutuhan lagi dari siang hingga malam. Duduk di atas rerumputan sambil bersandar pada batang pohon membuatnya tenang.

Tidak banyak murid yang keluar di tengah dinginnya udara bulan November. Kebanyakan dari mereka memilih untuk menghangatkan diri di dalam Asrama, duduk berkemul selimut di depan perapian. Meskipun salju tidak turun, angin yang berembus dari Danau Hitam terasa menggigit tulang.

Namun, Draco tidak keberatan. Alasan pertama, ia sudah terbiasa dengan udara dingin. Alasan kedua, ia juga sudah menenggak beberapa botol beer sebelumnya, sehingga dapat ia rasakan ada hangat yang menjalar dari perutnya ke otot-otot tubuhnya.

Di perjalanannya, Draco melewati lapangan Quidditch. Draco mengira lapangan itu akan kosong, tetapi ternyata ada beberapa figur beterbangan di atas sapu hari itu. Mereka semua mengenakan ornamen berwarna hitam dan merah, sehingga Draco tahu bahwa Gryffindor telah memesan jadwal lapangan hari ini untuk latihan.

Draco menghentikan langkahnya sejenak, lalu mengawasi latihan tersebut dari jauh, tersembunyi di balik tribun. Draco melihat Harry Potter terlihat frustasi, diam saja di dekat Ron. Sepertinya ia mengorbankan waktu latihannya sebagai Seeker untuk mengawasi kawan Goal Keepernya yang bodoh itu.

Sementara itu, wajah Ron Weasley sudah lebih merah dari rambutnya, berkali-kali ia meloloskan Quaffle yang dilemparkan Katie Bell. Katie Bell sendiri sudah tampak sama frustasinya dengan Harry Potter. Berkali-kali perempuan berambut cokelat itu menoleh kepada Harry, lalu menggelengkan kepalanya kecil tanda pesimis.

Gryffindor akan kalah.

Draco menyeringai, merasa senang. Tak bisa dipungkiri, ia sedikit merasa bersalah karena meninggalkan Quidditch tahun ini. Namun, jika situasi tim lawan seperti ini, Harper si Idiot itu akan tetap mampu menangkap Snitch lebih dulu jika Harry terus menghabiskan waktunya untuk mengawasi Ron.

Sebuah suara mengagetkannya dari belakang. "Kau tidak berhak menonton sesi latihan Gryffindor."

Suara itu halus, tetapi tegas. Sangat familiar.

Draco berbalik, lalu menemukan Hermione Granger di belakangnya. Perempuan itu terlihat kepayahan menahan dingin sambil memeluk buku dan merapatkan mantelnya, tetapi ia masih berdiri mendongak menatap Draco dengan berani, lalu berkata lagi, "Sebagai Seeker Slytherin, kau tentu tahu bahwa tidak etis jika kau menonton latihan lawanmu. Lalu, sebagai Prefek, kau pasti tahu bahwa hal ini tidak dapat dibenarkan."

Jika saat ini Gryffindor bermain dengan bagus dan Draco tidak berada di dalam pengaruh bir, ia akan langsung meninggalkan Hermione. Namun, ia memutuskan untuk menyeringai. "Kau menyebutkannya seakan-akan Gryffindor layak ditonton."

"Ini bukan tentang layak atau tidak, tetapi tentang etika."

"Aku tidak ingin menonton Gryffindor," jawab Draco dingin. "Aku hanya lewat, lalu tidak sengaja melihat Gryffindor latihan dan berhenti sebentar."

"Lewat di sini? Memangnya kau mau ke mana?"

Hutan Terlarang. "Bukan urusanmu."

"Jangan gunakan informasi apa pun yang kau dapatkan hari ini untuk membantu performa Slytherin."

Seringai di wajah Draco bertambah lebar. Ia semakin merasa bahwa Hogwarts benar-benar konyol. Semua orang di sini, termasuk Hermione yang katanya adalah penyihir terpintar di angkatan mereka, masih mengurusi hal remeh-temeh seperti kecurangan Quidditch. Hanya Draco (dan beberapa teman Slytherin-nya) yang menyadari bahwa masalah mereka sudah jauh lebih besar (dan berbahaya) dari hal-hal seperti ini.

Dumbledore akan mati dan yang mereka pedulikan hanyalah Quidditch.

"Pertama-tama, aku tidak akan bermain untuk Slytherin tahun ini. Kau bisa katakan itu pada Potter, aku tidak peduli," ujar Draco, lalu ia menunduk dan memajukan wajahnya sedikit ke telinga Hermione untuk berbisik. Dari posisinya saat ini, ia dapat melihat lekukan tulang selangka Hermione dari tampak atas.

Mengabaikan lekukan cantik itu, Draco lanjut berbisik, "Aku, atau bahkan sebagian besar tim Slytherin, sepertinya juga tidak akan bermain Quidditch tahun depannya."

Hermione tercekat untuk tiga alasan. Pertama, kali itu adalah kali pertama Draco benar-benar berada di dekatnya. Kedua, ia dapat mencium bau alkohol bercampur mint dari mulut Draco.

Ketiga, Hermione penasaran. Apa yang lelaki ini sedang kerjakan?

Dari tiga alasan di atas, Hermione memutuskan untuk fokus pada alasan ketiga. "Hati-hati, Malfoy."

Draco memundurkan kepalanya, kembali ke jarak awalnya dengan Hermione. "Kenapa aku harus mendengarkanmu?"

"Harry tahu bahwa kau sedang mengerjakan sesuatu," ucap Hermione cepat. "Di lantai ketujuh."

Lantai ketujuh, tempat Ruang Kebutuhan.

Saat mengucapkannya, sebenarnya Hermione ragu akan kebenaran pernyataan itu. Walaupun Harry sudah bersikeras bahwa Draco sedang mengerjakan sesuatu di Ruang Kebutuhan, sebenarnya Hermione tidak mempercayai Harry. Draco Malfoy, tak peduli seberapa berpengaruh, kaya, dan kotor latar keluarganya, tetaplah remaja laki-laki berusia enam belas tahun.

Tidak akan ada hal berbahaya yang bisa Draco lakukan.

Namun, ekspresi kaget Draco membuat Hermione mencelos.

Jadi, Draco Malfoy benar-benar sedang mengerjakan sesuatu.

"Aku pikir kau hanya tidur dengan perempuan-perempuan bodohmu di sana," ujar Hermione pelan, membuat Draco sedikit kaget karena perempuan itu ternyata tahu mengenai hal-hal seperti ini. Ia masih kesulitan melihat Hermione sebagai wanita yang juga mulai beranjak dewasa, bukan lagi anak kutu buku yang hanya tahu belajar.

"Ya, aku memang menggunakannya untuk tidur," jawab Draco cepat. "Lain kali akan kubukakan pintunya untuk Potter jika ia ingin bergabung, tentu jika partner-ku—"

"Aku tidak bodoh, kau tahu?" potong Hermione. "Tentu aku tidak mempercayainya. Apa yang sedang kau lakukan, Malfoy?"

Draco tidak langsung menjawab. Koridor pikirannya kembali ke kejadian patroli mereka, berminggu-minggu lalu, ketika Hermione mengira Draco bisa membunuhnya. Ketika Hermione, orang paling Gryffindor yang pernah ia temui, mengaku takut dengan semua kejadian di luar sana.

Draco menunduk menatap Hermione. Secara fisik, walaupun perempuan itu membawa aura singa Gryffindor, ia tampak kecil kali ini. Tatapan matanya sama dengan tatapan yang Draco lihat berminggu-minggu lalu, saat mereka berpatroli bersama. Tatapan takut yang sama.

Draco mengeluarkan sebotol kecil Wiski yang selalu ia bawa, lalu menenggak seperempat isinya dalam sekali teguk. Ia meminumnya sebelum ketakutan Hermione menular padanya.

"Potong tiga puluh poin dari Slytherin karena meminum minuman keras," kata Hermione tegas, lalu menarik botol itu dari tangan Draco, berusaha menyitanya.

"Jangan ambil obatku, Darah Lumpur," ujar Draco sambil merebut balik botol tersebut dari tangan Hermione. Tenaganya yang lebih kuat, dibantu oleh kekagetan Hermione saat Darah Lumpur diucapkan, membuat upaya Draco berhasil.

Hermione terdiam, berusaha mencerna apa yang Draco maksud dengan "obat". Draco pun tidak berusaha mengoreksi kalimatnya, karena apa yang ia katakan itu memang benar. Sudah berminggu-minggu ini ia bergantung pada alkohol–dan perempuan–untuk menjaga kewarasan dan jadwal tidurnya.

Obatnya.

"Aku tak tahu apa yang terjadi padamu maupun apa yang kau lakukan," jawab Hermione, mulai menyerah. Sambil merapatkan mantelnya, ia berujar, "Jika kau sangat frustasi, percayalah aku juga sama frustasinya dengan situasi di luar sana, Malfoy. Namun, aku tentu tahu bahwa aku tidak bisa bergantung pada alkohol untuk—"

"Cobalah," ujar Draco sambil menyodorkan botol itu.

Hermione menggeleng keras. "Potong tiga puluh poin lagi dari Slytherin karena menawari penggunaan minuman keras."

Draco tertawa. Sekalipun poin asrama Slytherin dikurangi seluruhnya, ia tidak peduli. Di dunia yang akan hancur ini, poin asrama dapat dinobatkan sebagai hal yang paling tidak penting sekarang.

Draco menenggak botol Wiski-nya sekali lagi, lalu berkata, "Di saat ayahmu masuk Azkaban, ibumu sebentar lagi gila, dan keluargamu hampir mati menghamba pada Dia-Yang-Namanya-Tak-Dapat-Disebut, setidaknya kau dapat menjadi waras karena minuman ini, Granger."

Hermione menahan napas mendengar pengakuan Draco itu. "Tidak akan, aku—"

"Kau mungkin mau meminumnya nanti," ujar Draco sambil berjalan menjauhinya, berjalan menuju Hutan Terlarang. "Saat keluarga Muggle-mu juga masuk penjara sihir dan hancur di dalamnya, sama seperti keluargaku."

Hermione merasa dorongan kuat untuk menyihir Draco Malfoy saat ini. Berani-beraninya lelaki itu menggunakan kata "keluarga", "Muggle", dan "penjara sihir" di dalam satu kalimat, lalu mengucapkannya keras-keras di depan wajah Hermione. Namun, melihat lelaki itu berjalan gontai sambil menenggak sisa wiski, Hermione tak sampai hati.

Hermione menyadari bahwa dirinya memang nyaris hancur… tetapi Draco Malfoy mungkin sudah hancur lebih dulu.


TBC.

Setelah bertahun-tahun HIATUS, aku sudah agak lupa bagaimana cara mengoperasikan ffnet. Aku juga lupa untuk memasukkan beberapa hal penting di chapter pertama kemarin, tapi sudah kuedit, ya! Terima kasih.