"Naruto …" Hinata menelan ludah dan alisnya berkerut. Dia perlahan bersimpuh di samping Sakura dan menampar pipi Naruto. Kanan dan kiri. Sekali, dua kali dan tiga kali. "Bangun, pirang menyebalkan! Kita tidak ada waktu untuk pingsan."
Shikamaru panik setengah mati, mencemaskan pukulan Hinata yang berkemungkinan membunuh Naruto, tapi syukurnya hal itu tidak terjadi. Semua orang bernafas lega ketika Naruto membuka mata, kemudian dia mendelik tajam. "Aku hanya perlu dua detik untuk menenangkan rasa sakit ini. Apa itu permintaan berlebihan?" Kesinisan dan jengkel menghiasi kata-katanya.
Hinata berdiri, tanpa acuh menanggapi, "Kita tidak punya waktu untuk istirahat. Bangun!"
.
.
.
Disclaimer : Demi apapun, Naruto bukan punya saya, punya Masashi Sensei, saya hanya pinjam saja.
202DIE
(Hati hati typo, tulisan mendadak hilang, OOC, AU dan lain-lain. Udh usahain sebagus mungkin)
202DIE by Authors03
Please.. Dont like dont read.. Thanks.
.
.
Chapter 14
.
.
.
.
Dua menit kemudian. Mereka mendapatmobil baru dan keadaan menjadi lebih senyap dari sebelumnya. Toneri mengemudi dengan nyaman, Shikamaru di sebelahnya menopang dagu, Sakura duduk memisahkan Naruto dan Hinata yang saling memalingkan wajah.
Shikamaru cemas membayangkan mereka akan melawan sesuatu yang bahkan mereka tidak tahu apa itu dan dari mana asalnya. Sakura melirik kanan dan kiri, mempertanyakan apa yang sedang teman-temannya pikirkan. Hinata berusaha tampil tenang, tidak mau siapa pun apalagi Naruto tahu bahwa tadi dia begitu panik. Hinata menampar dengan harapan luar biasa besar bahwa Naruto baik-baik saja dan syukurnya dia tidak terluka parah. Hinata tidak tahu mengapa, tapi rasanya seperti akan menyesal seuumur hidup andai tadi Naruto tidak terbangun, dia hanya tidak sanggup mengakui kejujuran itu.
Naruto menewarang keluar jendela dan ekpresi wajahnya bete. Dia ingin menggerutu bahkan adu mulut, tapi rasanya sia-sia setelah melihat kejam respon Hinata di saat dirinya bisa saja mati. Naruto memejamkan mata, membatin, "Mungkin dia memang tidak mencintai aku lagi." Naruto menaruh terlalu banyak harapan hingga hatinya tercubit.
Gaara? Gaara adalah yang paling berjasa dan gagah di dalam kelompok yang dipenuhi oleh pecundang, pendendam, dll. Jadi, dia pergi dengan mobil berbeda dan tiba di pinggir hutan terlebih dulu. Saat menyadari kedatangan temannya, Gaara dengan hati-hati berpindah dan menutup pintu pun secara pelan.
"Bagaimana, Gaara?" tanya Toneri setelah Gaara mengeringkan rambut menggunakan kain kecil yang diberi Sakura.
"Pertama, kita beruntung karena hujan masih turun. Aku sudah menunggu beberapa saat dan tidak ada monster yang terlihat. Aku tidak tahu di mana mereka, tapi sepertinya mereka menghindari hujan."
"Jadi, hujan benar-benar mengusir mereka?" Shikamaru menemukan secarik harapan. Awalnya tidak berani berharap, berpikir bahwa para monster pergi ketika hujan hanyalah kebetulan. Mereka terlalu fokus pada Naruto yang terjatuh, bahkan telat menyadari kala para monster telah tidak ada.
"Mengingat mereka bodoh, itu masuk akal." Toneri sedikit menimbang-nimbang. "Mungkin mereka berpikir hujan adalah peluru yang akan menyakiti."
"Jika begitu, ini adalah kesempatan kita," tambah Naruto, tidak sabaran untuk menjadi pahlawan.
"Kau mengetahui hal lebih dari itu, Gaara?" tanya Toneri lagi dan Gaara mengganguk.
"Aku memberanikan diri untuk masuk ketika aku melihat tidak ada siapa pun." Gaara menjeda dengan menunjuk pagar besi jaring-jaring yang tersobek lebar. "Kalian tidak akan suka," katanya ragu-ragu sebelum menjelaskan, "Itu adalah perbuatan manusia."
"Hah?" Semua orang kompak mengganga, menuntut penjelasan atas ungkapan Gaara. Reaksi mereka sama seperti reaksi Gaara ketika dia melihat sekumpulan orang-orang di dalam hutan, mereka membangun tenda dan melakukan sesuatu.
"Mereka membuat ritual. Ini sangat sulit untuk aku percaya bahkan ketika aku melihatnya secara langsung. Mereka menyembah sesuatu yang terlihat seperti guci dan meminta sesuatu darinya. Bahkan tadi, mereka melakukan ritual menghentikan hujan."
"Kau becanda." Hinata kesulitan mempercayai apa yang baru saja dia dengar, rasanya hanya tidak masuk akal.
"Menurutmu ada yang masuk akal, Hinata?" tanya Gaara, dia paham semua orang ragu dan begitu pula dirinya. "Guci itu mengeluarkan semacam asap kabut dan mari simpulkan dari situlah para sumo keluar."
"Itu masuk akal." Ragu-ragu Toneri bergumam, "Ingat? Para sumo itu kecil sebelumnya dan sekarang mereka adalah raksasa. Jika Gaara benar, maka alasan mereka bisa bertambah besar telah terpecahkan."
"Jadi, mereka tidak terdiri dari banyak bentuk dan rupa, namun bertumbuh entah tubuh atau otak."
"Oke, oke! Mengetahui darimana raksasa itu berasal tidak memecahkan masalah, tapi bagaimana cara kita menyudahi bencana ini?" Hinata menambahkan, "Kita bahkan tidak tahu apa tujuan mereka melakukan semua itu."
"Tepat." Gaara berkata, "Itu mengapa kita di sini dan itu adalah apa yang akan kita lakukan. Kesempatan kita terbatas, hanya ketika hujan masih turun dan mereka masih bodoh." Semua orang kompak mengganguk paham, mengerti satu sama lain tanpa harus lebih banyak berbicara.
"Aku tidak tahu apa yang coba mereka lakukan, tapi aku benar-benar akan menghajar mereka." Semua orang mencari senjata, membiarkan rintik-rintik hujan yang mulai deras membasahi. Mereka kompak memasuki hutan, mencoba mengabaikan perasaan takut.
"Aku benar-benar penasaran di mana monster-monster itu bersembunyi," gumam Naruto sembari diam-diam mengikuti pergerakkan teman-temannya, Gaara berada di bagian depan. "Mengingat mereka bertubuh besar, tidak mudah untuk menghilang tanpa jejak."
"Aku tidak yakin, tapi bisa saja di antara kita." Mereka hanya tidak mendengarkan dan merasakan hawa apa pun karena hujan. Tidak ada yang tahu kapan bahaya bisa menyerang, setiap detik ketika hujan berhenti.
Tidak dibutuhkan waktu lama untuk mendekati lokasi tujuan. Tempat itu hanya dilindungi oleh tenda murahan dan seperti kata Gaara, mereka melihat dupa-dupa, lilin dan lain sebagainya di sekitar guci bewarna putih. Benda kecil itu mengeluarkan asap bewarna abu-abu. Tujuh orang menggelilingi meja, tempat di mana guci itu berada dan seolah-olah sedang melakukan suatu ritual.
Semua yang bersembunyi di balik semak-semak saling menatap. "Apa rencananya?"
Hinata menyela, "Kau yakin cuma mereka bertujuh di sana?"
"Jika iya, kita bisa menyerang membabi buta, tapi jika ternyata tidak. Kemungkinan besar kita akan mati." Naruto hanya berbicara, tapi malah mendapat delikkan tajam dari Hinata. Sebelum perempuan itu sempat katakan apa pun, buru-buru Naruto memotong, "Aku tidak ingin bertengkar, Hinata. Seperti katamu kita tidak punya waktu untuk bertengkar. Namun, aku tidak akan menolak jika kau ingin beradu mulut setelah semua ini selesai."
Hinata tersinggung karena niatnya hanya melototi Naruto dan tanpa bertengkar. Reaksi Naruto membuat amarah mengambil alih, membuatnya tidak ragu memekik, "Kau pikir aku suka berdebat? Aku hanya benci melihatmu! Aku benci mendengar suaramu!"
"Guys, kita tidak punya waktu untuk ini!" Buru-buru Shikamaru menjeda, tidak ingin suara apa pun itu berbalik menjadi boomerang dan membunuh mereka. "Hujan bisa berhenti kapan saja."
"Tidak, tidak. Aku benar-benar jengkel." Naruto tidak mau menyudahi pertengkaran kecil yang seharusnya bisa dihindari. Dia berdiri dan diikuti oleh Hinata. Mereka saling melototi, sangat dekat seolah-olah mata akan segera menempel. Naruto katakan, "Aku sangat ingin berdebat denganmu sepanjang hari dan malam setelah semua ini selesai, Hinata."
"Kau sebaiknya siap-siap, Hina …."
TO BE CONTINUE…
Hi, Guysss. Author kembali. Sedih bangat lihat ada yang baca dan tinggalin komentar. Terakhir kali aku menulis untuk mendapat uang dan sekarang aku pengen kembali menulis karena hobi. Nantikan banyak cerita dan one piw piw dari aku ya!
"Lope you, guys!"
