Disclaimer: Harvest Moon © Natsume. Tidak ada keuntungan material apapun yang saya dapat dari pembuatan fanfiksi ini.

.

.

.


Memang ya, yang namanya berharap pada manusia itu selalu saja diakhiri dengan kecewa.

Elli baru saja kembali ke Kota Mineral. Selama beberapa hari terakhir, gadis berambut pendek itu bermaksud mengunjungi kekasihnya, Trent sang dokter, di ibukota. Tiga bulan yang lalu, pria itu dipanggil ke ibukota untuk membantu sebuah operasi besar. Selama satu bulan pertama, mereka masih rajin berkirim surat. Namun, memasuki bulan kedua, Trent tidak pernah membalas surat-surat Elli. Gadis itu bingung, tentu saja, tetapi ia belum menyerah. Ia terus mengirimi Trent surat meski tidak mendapat jawaban.

Akhirnya, karena rasa penasaran, Elli memutuskan untuk pergi ke ibukota. Gadis itu tahu alamat Trent, jadi ia bisa mengunjunginya di sana. Tentu, ia memastikan untuk mengirimkan surat kepada Trent sebelum pergi, mengabari sang pemuda kalau ia akan datang. Elli memang ingin ini menjadi sebuah kejutan, tetapi ia juga tidak mau menyusahkan Trent yang barangkali sedang sibuk.

Namun, setibanya di tempat tinggal Trent di ibukota (setidaknya berdasarkan alamat yang Elli punya), yang gadis itu temui adalah seorang perempuan tak dikenal. Tentu saja, Elli otomatis bertanya tentang Trent. Gadis itu memasang wajah sinis. Ia lalu segera memperkenalkan diri sebagai ... tunangan Trent. Mereka akan menikah dua bulan lagi.

Tentu saja Elli syok! Siapa yang tidak akan syok begitu mendengar kabar pernikahan kekasih sendiri? Sambil berusaha menjaga ekspresinya, Elli mengucapkan terima kasih kepada perempuan itu, lalu cepat-cepat pergi. Sepanjang perjalanan dari "kediaman Trent" menuju dermaga, air mata Elli terus mengalir. Kok bisa Trent setega itu...?

Elli memutuskan untuk berhenti bertanya-tanya dan mencari tahu. Saat ini, satu-satunya hal yang dapat ia lakukan adalah pulang ke Kota Mineral. Ia masih harus menjalankan klinik, tentu saja. Ia bersyukur karena dapat sedikit bantuan dari Claire dan Mary yang bersedia untuk menjaga klinik selama Elli pergi. Meski awam, kedua orang itu cukup telaten dalam urusan pertolongan pertama. Jadi, kalau ada apa-apa, setidaknya mereka bisa mengamankan situasi sampai Elli kembali.

Untungnya, saat Elli benar-benar kembali ke Kota Mineral, klinik tampaknya aman-aman saja. Claire bilang beberapa penduduk kota datang, tetapi hanya untuk membeli obat-obatan. Mary bilang ia memeriksa persediaan bahan obat dan melihat bahwa beberapa di antaranya hampir kosong, jadi ia mencari beberapa tanaman di kaki bukit untuk membantu Elli. Sang perawat sangat berterima kasih karena kedua temannya dapat diandalkan.

Kebetulan sekali, Elli kembali di hari Selasa. Setiap hari Rabu, seperti biasa, klinik libur, jadi gadis itu bisa beristirahat sebentar setelah perjalanan panjangnya. Namun ... rasanya ia belum mau pulang. Neneknya pasti akan menanyakan soal Trent, dan Elli tidak begitu ingin menanggapi itu. Jadi, gadis itu melangkahkan kakinya ke penginapan. Doug pasti punya kamar kosong yang bisa ia gunakan untuk semalam. Selain itu, barangkali ia bisa minum-minum sedikit...

(Sebenarnya Elli tidak suka minum-minum, tapi kali ini ia butuh.)

Setibanya di penginapan, Elli melihat Cliff, Ann, Gray, dan Doug di area makan. Keempat orang itu sedang duduk bersama di satu meja sembari mengobrol, kelihatannya. Ann adalah orang pertama yang menyadari kehadiran Elli. Gadis itu sigap mengangkat dan melambaikan tangannya. "Elli! Sini, sini!"

Elli tersenyum tipis. Minum-minum bersama teman sepertinya tidak buruk juga, iya kan? Ia pun menghampiri meja tersebut. "Halo."

"Bagaimana perjalananmu?" tanya Ann dengan wajah girang. "Ibukota itu seperti apa sih? Apakah bagus? Apakah jauh lebih menyenangkan?"

"Wah, wah, tenang dulu, Ann." Doug menghentikan putrinya yang terlalu bersemangat. Pria itu tertawa pelan. "Elli pasti lelah setelah perjalanan jauh. Mau minum apa, Elli? Alkohol, barangkali?"

Sang perawat tampak bimbang sejenak.

"Ayah harusnya tahu kalau Elli itu hanya minum minuman sehat!" tegur Ann sambil berkacak pinggang. "Elli, kuambilkan jus—"

"Aku mau alkohol," potong Elli cepat.

Ann bengong. Doug bengong. Bahkan Gray dan Cliff juga bengong. Apa yang ada di dalam benak mereka sama: seorang Elli minum alkohol?!

"Oke, Elli, ada masalah apa?" tanya Ann sambil berpindah duduk ke samping Elli—ia harus mengusir Cliff dari situ, tapi gadis itu tidak peduli. Belum sempat Elli menjawab, Ann mengangkat kepalanya ke arah ayahnya. "Ayah! Mana minumannya? Ayo cepat!"

"Oh, i-iya." Doug buru-buru lari ke belakang konter untuk menyiapkan minuman yang dimaksud. Ann yang marah itu ... agak menyeramkan baginya.

"Apakah kami harus pergi?" tanya Cliff dalam rangka mewakili Gray karena keduanya sama-sama tidak tahu harus melakukan apa.

Ann menyipitkan mata lalu menatap Elli. "Bagaimana, Elli? Keputusanmu."

Elli memasang senyum kecil. "Kondisiku tidak separah itu, kok. Kalian boleh tinggal."

"Aku tidak," sahut Gray sambil bangkit dari duduknya. "Besok aku harus ke toko kakek pagi-pagi sekali, jadi aku akan tidur duluan."

Elli mengangguk paham. "Sampaikan salamku untuk Saibara, ya."

Gray membalas dengan satu kali anggukan sebelum mengarahkan dirinya ke lantai dua penginapan. Elli tidak tahu pemuda itu memang harus pergi pagi atau hanya tidak nyaman, tapi tidak apa-apa. Ia tidak perlu banyak orang tahu soal masalahnya dengan Trent.

"Oke, jadi," Ann menepuk pundak Eli dua kali, "apa yang terjadi? Kau berhasil menemui Trent, kan?"

Tentu saja, Elli menggeleng.

Spontan, Cliff dan Ann merespons, "Hah?"

"Aku tidak bertemu dengan Trent, tapi aku bertemu dengan tunangannya. Dia bilang mereka akan menikah dua bulan lagi. Setelah itu, aku langsung kembali ke Kota Mineral."

"HAHHHHH?!"

Elli tersenyum lemah. "Sayangnya begitu."

"Kenapa kalian memulai cerita ini tanpa menungguku kembali?!" tanya Doug sambil membawakan segelas besar minuman beralkohol untuk Elli. "Ann, ulangi ceritanya."

Ann terkekeh lalu mengulang apa yang baru saja Elli katakan. Setelah cerita itu selesai, Doug menganga cukup lama. Elli harus mengetuk meja dua kali untuk membuat pria tua itu "sadar" kembali. "Doug, kau tidak apa-apa?"

"Yang benar saja." Doug menggelengkan kepalanya. "Mana mungkin Trent seperti itu?"

"Ayah, kau tidak boleh menyalahkan Elli begitu!" omel Ann. "Kalau mau, salahkan saja perempuan kurang ajar itu! Masa merebut kekasih orang seenaknya?!"

"Ayah tidak menyalahkan, ayah cuma—"

Sebelum Doug sempat menyelesaikan kalimatnya, pintu penginapan terbuka. Tenang saja, ini bukan cerita horor, karena sosok yang membuka pintu tua itu hanyalah sang polisi kota, Harris. Tentu saja, pria berseragam itu secara otomatis menjadi pusat perhatian para manusia yang berkumpul di satu meja itu. Harris ikut memerhatikan pakaiannya dari bawah sampai atas sebelum bertanya, "Ada yang salah?"

"Tidak ada, Harris," balas Elli cepat. Yang lain tampaknya terlalu bingung untuk merespons—mengapa mendadak penginapan menerima banyak pengunjung hari itu? "Ayo, bergabung di sini. Kami hanya sedang mengobrol."

"Aku akan menyediakan minuman," ujar Doug sambil, lagi-lagi, pergi ke belakang konter.

"Terima kasih, Doug," ucap Harris sambil melepas topinya dan menduduki satu kursi kosong di meja yang ditempati Elli, Ann, dan Cliff. "Apakah obrolan ini bisa kuikuti, atau aku sebaiknya tidak tanya?"

"Bisa, kok." Elli tersenyum kecil. "Aku hanya sedang bercerita soal perjalananku ke ibukota."

"Ah, benar. Kau baru pulang hari ini, kan? Selamat datang kembali." Harris mengangguk sekali. "Apakah perjalanannya menyenangkan?"

"Nah, sebaiknya itu jangan ditanya," sambung Ann yang tampaknya tidak mau ketinggalan berbicara. Gadis itu lalu menatap Elli. "Atau kamu mau cerita, Elli?"

Elli mengangkat dan mengibaskan tangan kirinya. Di saat yang sama, tangan kanannya meraih gelas. Disesapnya isi gelas itu sedikit sebelum menjawab, "Hanya cerita patah hati."

"Ah, cukup. Tidak perlu cerita lagi." Harris buru-buru menyela. "Cerita patah hati tidak pernah menyenangkan untuk diceritakan."

Ann tersenyum puas. "Benar sekali, Harris."

"Tolong jangan memulai cerita sebelum aku kembali dari konter," ujar Doug yang datang dengan segelas minuman untuk Harris. "Oh iya, Harris, aku lupa bertanya tadi, tapi karena kau sedang bertugas, tanpa alkohol?"

Harris mengangguk. "Terima kasih, Doug."

Kelima orang itu mulai mengobrol. Awalnya, karena tidak tahu harus membahas apa lagi, Ann menanyakan perihal ibukota kepada Elli. Setelah itu, pembicaraan dialihkan kepada Cliff yang sempat tinggal di luar Kota Mineral sebelum menetap di kota ini. Harris yang sempat menempuh pendidikan di luar Kota Mineral juga diminta bercerita. Pokoknya, obrolan itu berlangsung cukup lama. Tahu-tahu, malam semakin larut.

Saat sedang tidak ada yang berbicara, Ann yang bosan melirik jam penginapan. "Oh, tidak! Aku harus tidur sekarang! Maafkan aku, Elli. Kalau kau mau mengobrol, kita bisa mengobrol lagi besok?"

"Tentu," angguk Elli. "Tidurlah."

"Aku juga harus undur diri," ujar Cliff sambil bangkit dari duduknya. "Maaf, Harris, aku bukan bermaksud meninggalkanmu atau bagaimana..."

"Sama sekali tidak!" sahut Harris. "Kalian tidurlah."

"Aku juga akan tidur." Doug ikut berdiri. "Elli, kalau kau mau menginap di sini, kamar nomor 3 sudah kusiapkan. Harris, kau tahu cara mengunci pintu penginapan dari luar, bukan?"

Elli menatap Harris bingung. "Bagaimana caranya?"

Harris terkekeh pelan. "Aku punya kuncinya."

Semua kembali tertawa mendengar guyonan Harris. Mereka saling mengucapkan selamat malam sebelum akhirnya meninggalkan Elli dan Harris berdua di restoran penginapan. Sedikit ... canggung, karena mereka belum pernah mengobrol berdua sebelumnya. Harris selalu aktif di malam hari, di saat semua orang tidur, sementara Elli selalu bekerja di siang hari, di saat Harris tidak sedang mengelilingi kota. Jadi, keduanya sama-sama tidak tahu apa yang harus dibicarakan.

Meski begitu, anehnya, Elli belum ingin tidur. Ia raih kembali gelasnya yang masih terisi, lalu diminumnya cairan berwarna itu.

"Sangat butuh minum?" tanya Harris, berusaha memecah keheningan.

"Ya," jawab Elli sambil meminum beberapa teguk lagi. "Menyedihkan sekali. Biasanya aku tidak minum-minum."

"Minum-minum?" Harris tersenyum tipis. "Elli, kau bahkan belum selesai meminum satu gelas penuh."

Pipi Elli memerah. "Tentu saja karena aku sudah lama tidak minum...!"

Harris tertawa renyah. Pria itu kembali menyesap minumannya. Memang sih, akan lebih mudah untuk menghabiskan sesuatu yang tidak menggunakan alkohol, jadi wajar kalau gelas Harris hampir kosong, sementara gelas Elli masih terisi setengah. Meski gadis itu tiba lebih dulu, rupanya ia benar-benar tidak begitu kuat minum.

"Ah, patah hati itu menyebalkan sendiri," keluh Elli. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja, lalu menyandarkan kepalanya di atas kedua tangan itu. Awalnya, dahinya menghadap meja, tetapi ia putar kepalanya supaya bisa berhadapan dengan Harris. "Rasanya aku ingin menghilang saja."

Harris menghela napas. Kata-kata Elli itu benar-benar menusuk perasaannya karena ... yah, Harris pun pernah berada di posisi yang serupa. "Meski aku tidak benar-benar tahu apa masalahmu, Elli, aku bisa bilang kalau aku paham bagaimana perasaanmu."

Kedua mata Elli membulat dan membesar. "Benarkah?"

"Sayangnya, iya." Seulas senyum tipis penuh luka muncul di wajah Harris. "Wanita ini adalah teman baikku. Kami tumbuh besar bersama. Suatu hari, ia memutuskan untuk pergi dari sini. Kami masih saling berkirim surat selama beberapa saat sampai akhirnya, ia mengirim kabar bahwa ia akan menikah."

Ah, tampaknya Elli tahu mengenai cerita ini berkat gosip ibu-ibu. Selain itu, karena jarak umurnya yang tidak begitu jauh dengan Harris, Elli tahu benar siapa wanita yang pria itu maksud. Meski begitu, Elli tidak merasa perlu untuk membahas profilnya. Tidak ada untungnya juga.

"Sejak saat itu, mau tidak mau, aku hanya melihatnya sebagai teman," lanjut Harris. Tangannya mengepal keras, tampak berusaha menahan emosi. "Tidak mudah, memang, tetapi aku beruntung karena ia tidak ada di sini, jadi prosesnya lebih mudah. Kau hanya butuh waktu, Elli, dan semuanya akan baik-baik saja."

Elli ingin merespons, tetapi matanya berat sekali. Perlahan, Harris mulai buram, lalu menghitam. Namun, gadis itu masih berusaha membuka mata. Kembali ia buka, dan dapat ia lihat lagi pria itu, tetapi Elli tahu ia akan tertidur lagi.

"Oooh, tidak. Elli, apakah kau mengantuk karena mabuk?" tanya Harris setengah panik. Ia melihat kanan dan kiri, sadar bahwa tidak ada siapa pun yang bisa menolongnya saat ini. "Oke, baik. Uh, biar kubantu ke lantai dua, oke? Kau masih sanggup berjalan, kan?"

Sayangnya, Elli sudah tidak sanggup menjawab lagi.

.

.

.

Paginya, Elli terbangun dalam keadaan bingung. Kepalanya juga terasa sedikit sakit. Semalam ... sepertinya semalam dia minum alkohol? Oke, iya, perlahan-lahan memorinya mulai kembali. Ia ingat datang ke penginapan dalam keadaan berantakan. Ia ingat ... mengobrol dengan beberapa orang, sepertinya Ann, Cliff, dan Doug ada di sana. Ada satu sosok lagi yang ikut mengobrol dengan mereka juga, sang gadis ingat itu. Orang itu jelas bukan Gray, karena ia pergi tidur lebih awal. Siapa yang malam-malam selalu terjaga, ya...?

"Astaga." Elli menepuk dahinya pelan. "Apa aku tertidur di depan Harris?"

Sadar bahwa hal itu mungkin saja terjadi karena Elli memang tidak ingat apa-apa, ia buru-buru bangkit dari kasurnya. Ah, kepalanya masih sedikit sakit, jadi ia mungkin sebaiknya tidak buru-buru. Perlahan, gadis itu berjalan menuju pintu dan membukanya. Oke, benar, ia ada di penginapan. Sebelum pergi, mungkin ada baiknya dia sarapan dulu di sini.

"Selamat pagi, Elli," sapa Doug yang sedang mengelap piring di balik konter. "Ah, tampaknya minum-minum bukan keputusan yang baik untukmu."

Elli terkekeh malu. "Sayangnya tidak. Adakah menu sarapan untuk menghilangkan sakit kepala ini?"

"Tentu." Doug mengangguk. "Sebentar ya, akan kusiapkan."

Sang perawat mengangguk pelan. Ia melirik ke kanan dan kiri, berusaha mencari kalender. Tampaknya... oke, dia hanya tertidur semalam, tidak lebih. Akan gawat jadinya kalau ia tidur selama berhari-hari.

"Tapi, Elli, dengan sakit kepala separah itu, hebat sekali kau bisa naik sendiri ke kamar penginapan," ujar Doug sambil mulai menyiapkan sarapan untuk Elli. "Yah, meski kau tidak minum banyak, sih."

"Sejujurnya, aku hampir tidak ingat apa-apa," tutur Elli. "Aku sempat mengobrol sebentar dengan Harris setelah kalian semua pergi, tetapi setelah itu ... aku tidak ingat lagi."

"Wah, kau benar-benar tidak boleh minum," balas Doug sambil menggelengkan kepala. Elli tertawa pelan dan mengiakan. Memang sudah benar sejak awal: ia seharusnya tidak minum alkohol.

Elli memakan sarapannya ditemani cerita-cerita Doug. Pria tua itu juga bilang kalau Elli butuh apa-apa, ia bisa selalu datang ke penginapan. Setelah selesai, gadis itu mengucapkan terima kasih, membayar semuanya (tentu saja ia harus bayar), dan melenggang pergi. Ia harus segera kembali ke rumah. Neneknya akan khawatir!

"Oh, Elli."

Mendengar namanya dipanggil, Elli spontan menoleh. Ada ... Harris? Tepat setelah Elli keluar dari penginapan, ia langsung menemui pria itu? Duh, rasanya ia belum siap. Malu sekali mengingat bahwa semalam, ia tertidur tepat di hadapan pria itu. Ditambah lagi, meski sudah tinggal bertetangga sejak lama, Elli dan Harris tidak dekat-dekat amat! Malunya makin-makin saja.

"Ternyata benar kau." Harris tersenyum sambil menghentikan langkahnya tepat di hadapan Elli. "Semoga keadaanmu baik-baik saja, ya? Semalam kau sepertinya sangat lelah, jadi tertidur di meja."

Elli meringis. Benar, kan? Memalukan. "Aku ... baik-baik saja, terima kasih sudah bertanya," jawab gadis itu sambil berusaha menghindari kontak mata dengan sang polisi. "Maaf karena kau harus melihat itu. Sungguh memalukan."

"Ah, tidak apa-apa. Kita semua pernah mabuk sekali atau dua kali, bukan?" Harris tersenyum sopan, bermaksud menenangkan Elli yang tampaknya masih merasa tidak nyaman. "Tapi, yah, kau benar-benar sulit dibangunkan semalam itu."

"Oh?" Elli mengerutkan dahi. "Lalu, apa yang kaulakukan supaya aku terbangun?"

Harris kelihatan bingung. "Aku tidak melakukan apa-apa. Kau tidak bangun meski badanmu kugoyangkan sekalipun."

"Lalu...?"

"Oh, apa kau bermaksud bertanya kenapa kau bisa ada di kamar penginapan?" tebak Harris yang dengan segera disambut oleh anggukan Elli. "Itu ... maaf kalau tidak sopan, tapi aku yang membawamu ke sana..."

Elli mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia ... tidak bisa berkata-kata. Ia malu sekali. Sudah tertidur di hadapan sang polisi, ditambah pula ia merepotkan Harris dengan membuat pria itu membopongnya ke kamar?! Benar-benar memalukan! Sungguh, Elli tidak akan minum alkohol lagi seumur hidupnya!

"T-tapi jangan khawatir! Kau tidak mengatakan hal aneh apa pun!" Harris buru-buru menambahkan, meski tampaknya ia tidak tahu masalah apa yang ada di kepala Elli. "Sebaliknya, kau tidak mengatakan apa pun. Jadi, tidak perlu khawatir."

"Harris..." Elli menghela nafas. Sepertinya ia harus jujur saja. "Bukan omonganku yang aku khawatirkan. Aku ini ... astaga, memalukan sekali. Kita tidak dekat, bukan? Tapi di hari pertama saat kita mengobrol lama, aku justru ... tertidur, lalu kau harus mengurusku yang tertidur. Memalukan sekali."

"Ah." Harris menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Pria itu tampak sama malunya dengan Elli. "Aku ... tidak masalah, kok. Aku justru senang."

Elli mengangkat kedua alisnya. "Senang, katamu?"

Pelan, pria itu mengangguk. "Seperti yang kubilang kemarin, aku paham soal patah hati. Aku ... juga pernah mengalaminya. Jadi, aku akan sangat senang kalau ... yah, kalau kita bisa bicara lebih banyak soal itu ... lalu mungkin menjadi lebih dekat lagi?"

Respons spontan Elli adalah mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Ini ... barusan Harris bilang apa? Dia ingin menjadi lebih dekat lagi? Dengan siapa? Dengan Elli? Polisi itu berharap mereka bisa mengobrol lebih sering dan menjadi dekat yang ... seperti itu? Dekat seperti, ujungnya, Trent dan Elli sebelum Trent kembali ke ibukota?

"Oh! Maaf kalau bicaraku lancang!" Harris buru-buru menambahkan, tetapi tampak tidak berniat meralat kata-katanya. Kelihatannya, pria itu serius. "Kupikir, karena kau patah hati, maka―"

"Iya." Elli tersenyum kecil. "Kita bisa kok, mengobrol lebih sering. Hanya saja, aku masih belum tahu ... akhir hubunganku dengan Trent seperti apa. Apakah kamu keberatan menunggu sampai kami sama-sama pasti? Aku tidak mau memberimu janji yang tidak bisa kutepati."

Harris mengangguk pelan. "Sampai saat itu tiba, kita bisa mengobrol."

"Benar."

Mungkin ini ... suatu pertanda baik?

.

.

.

FIN


A/N

AKHIRNYA KELAR JUGA INI meski akhirnya kayak agak diburu-buru, hhhh X')

Aku nggak punya banyak yang dikatakan selain ... oke ada sih, jadi aku sama Rasya kan bikin proyekan LAGI, terus aku TELAT 4-5 HARI soalnya deadline kami Sabtu kemarin :) tapi aku berusaha menulis kok, dan ah, jadi juga ternyata T-T kami ini pakai acak karakter. Rasya dapat Sasha dan Karen, aku dapat ... Harris dan Elli. Ini GIMANA YA BIKIN CERITANYA- SUSAH LOH- HARRIS INI FOREVER GAGAL MOVE ON DARI AJA SEMENTARA ELLI KAYAKNYA HIDUPNYA ANTENG AJA KALO GAK NIKAH SAMA JACK, YA SAMA TRENT, KALO NGGAK YA JOMBLO. Tapi ya akhirnya jadi begini deh T-T

Entah kenapa Doug di sini level keponya serupa Manna, Anna, dan Sasha kalo ngegosip deh wkwkwk tapi ya justru bagian yang asyik adalah pas nulis mereka ngobrol sih XD

Akhir kata, semoga suka!