Don't like, don't read!
.
The Right Husband
.
Desclaimer : Naruto by Masashi Khisimoto
Pairing : Kiba/Ino
.
.
Membangun rumah tangga memang bukan perkara mudah. Betapa pun kau mencintai pasanganmu sebelum kau menikah, kau akan menemukan banyak kesalahan, ralat, kekurangan, entah dari pasanganmu atau dari keluarga pasanganmu. Dan Kiba sudah mengantisipasi ini sejak awal. Ia sadar betul, cintanya pada Ino tak main-main, kendati terlalu banyak rintangan dan hambatan untuk bisa hidup bersama dengan wanita itu, pada akhirnya mereka mampu mewujudkan impian tersebut, hidup bersama, meski banyak penentangnya.
Sejauh ini, sejauh pengalamannya, ia tak menemukan kekurangan dari diri Ino yang membuatnya ingin menyerah, yang ada ia justru dibuat kagum dengan segala cara wanita itu mengatur rumah tangga. Namun, tak ada yang sempurna di dunia. Karena kenyataannya, sejak ia dekat dengan Ino, ayah Ino, Tuan Yamanaka yang kolot itu tak menyukainya .
Sejujurnya, ia tak tahu kesalahannya dimana? Apa mungkin karena ia dari keluarga biasa-biasa saja? Atau karena Tuan Yamanaka menganggap penampilannya kurang meyakinkan untuk mendampingi Ino? Yang manapun sepertinya memang bukan hal yang ingin ia tahu.
.
.
"Ayolah Kiba, tahun kemarin dan kemarin nya lagi, kau sudah menghindari acara semacam ini. Untuk kali ini, ikut lah." Ino tengah menyisir rambutnya, sementara Kiba duduk di ranjang dengan rambut sedikit basah yang menguarkan aroma lemon.
Malam ini, istrinya meyakinkannya untuk menghadiri acara ulang tahun ke lima anak sang sepupu, dan Kiba sama sekali tak tertarik. Tak pernah tertarik dengan urusan keluarga sang istri. Yamanaka tua itu pasti ada disana, dan kalau pun ia ikut hanya akan membuatnya risih sepanjang waktu karena mendapati tatapan cemoohan dari sang mertua.
"Kau tahu? Ku rasa, sudah saatnya kau berdamai dengan ayah. Enam tahun sudah berlalu."
Berdamai? Yang benar saja. Ia tak menyahut, dan sibuk menatap helaian pirang panjang yang mengingatkannya pada si tokoh Rapunzel. "Mana mungkin ayahmu mau berdamai denganku, aku sudah merebut satu-satunya hal berharga dari hidupnya." Kalau saja Ino tahu, ia pernah hampir menempeleng lelaki itu setelah insiden ajakan minum di ruang kerja si mertua. Waktu itu belum jadi mertua, masih calon, yang menawarkan sekian juta yen dalam buku cek dengan jaminan ia harus pergi dari hidup Ino. Kiba masih ingat betul, jika kemarahannya waktu itu sampai membuat kepalanya pening.
'Ku biayai sekolah kedokteranmu, tapi tinggalkan putriku. Dia terlalu istimewa jika hanya akan hidup susah denganmu.'
Andai saja waktu itu ia tak ingat etika yang selalu diajarkan sang ibu, barangkali botol wine di meja sang tuan rumah sudah ia hantamkan ke kepalanya.
Inoichi Yamanaka pasti geram total ketika ia menolak keras tawarannya, sebab beasiswa dan hasil kerja paruh waktunya sebagai pelayan restoran masih lebih dari cukup untuk membiayai hidupnya. Apalagi ketika ia berhasil menikahi Ino di akhir bulan Juni, ketika musim panas tengah menunjukkan eksistensinya. Ia merasa menang banyak. Membuat pria itu mau tak mau harus menyaksikan si bocah yang ia benci menikahi putri kesayangannya.
"Waktu mungkin bisa merubah banyak hal, lagipula ayah bahagia sekali tiap kali Yuta main kesana. Dan kau pasti tak percaya itu." Jemari lentik wanita itu meletakkan kembali sisir ke meja rias dan mendekatinya.
Barangkali Tuan Yamanaka tak memiliki pilihan lagi, ia masih belum yakin sudah dimaafkan.
Yeah, Kiba lebih memilih tak mempercayai itu. Lagipula Yuta bukan dirinya, bodoh saja rasanya kalau sampai ayah Ino tak menyayangi Yuta. Bocah itu tak tahu apa-apa perihal hubungan buruk ayah dan kakeknya, dan lagi, Yuta juga masih dalam garis keturunan Yamanaka.
"Kau besok libur kan? Jangan banyak alasan, aku bisa membaca sorot matamu."
Kiba menolak keras, tentu saja. Masih lebih baik ia pergi main futsal bersama Shikamaru daripada pergi ke acara keluarga Yamanaka, dan menyusahkan diri dengan berpura-pura baik-baik saja meski diabaikan, serta tidak dianggap.
.
.
Tapi disinilah Kiba keesokan harinya. Berbaur dalam keramaian acara yang tak sepenuhnya membuatnya paham, ini acara ulang tahun atau acara penyambutan presiden? Terlalu mewah, dan untuk apa karpet merah yang di pasang sepanjang jalan menuju tangga itu? Padahal ini hanya ulang tahun bocah lima tahun.
Ino menurunkan Yuta, dan sibuk menemani bocah itu berjalan kesana kemari, senyum dan tawa di bibir mungilnya sesekali muncul. Bocah dua tahun itu barangkali merasa bahagia bisa berada dalam kerumunan itu, meski tak tahu tujuan dia berada disana untuk apa, bena-benar terbalik dengan suasana hati sang ayah.
Minuman dingin di tangannya tak terlalu menarik, tapi Kiba tak memiliki pilihan. Ia duduk paling ujung, dekat dengan gerombolan ibu-ibu soasialita, dan beberapa tamu undangan yang berisiknya minta ampun. Barangkali ia tadi sempat dengar ada yang membicarakannya, sebagiannya lagi membicarakan pekerjaannya. Tapi, masa bodoh, ia sudah muak dan ingin segera pergi dari sana.
Dari tempatnya yang, yeah tak bisa dibilang nyaman juga, ia melihat Yamanaka Inoichi--sang ayah mertua--tampak tak terlalu sehat. Meski demikian, pria itu masih sempat menggendong Yuta, mengajaknya bercanda, dan antusias menemaninya kesana kemari, menggantikan Ino yang sepertinya masuk ke dalam rumah untuk membantu menyiapkan sesuatu.
"Hei Bro."
Lelaki Inuzuka itu menoleh, dan mendapati Naruto Uzumaki berjalan ke arahnya. Naruto adalah sepupu Ino, sekaligus teman semasa SMA nya. Hubungan mereka tidak bisa dibilang dekat juga, namun mengingat dulu berada di tim sepak bola yang sama membuat segala macam sapaan ini tak terlalu canggung. "Hai, kau disini juga?"
Uzumaki duduk di sampingnya, dan mengamati hiruk pikuk yang makin menjadi itu. "Yeah, memuakkan sekali kan?"
Kiba tersenyum, rasanya itu betul.
"Tuh mertuamu sibuk menjaga anakmu, kau malah duduk disini." Arah tatapan Naruto menunjuk pada Yuta yang sekarang tengah berjalan si atas karpet merah, sementara ayah mertuanya menggandengnya, menuntunnya pelan-pelan.
"Kau mau aku bagaimana? Mengambil Yuta dari sana? Dan Inoichi akan mengamuk menuduhku menjauhkannya dari sang cucu?" Ia terkekeh pelan. "Biarkan saja begitu, tidak peduli seberapa baik niatku, dia bakal tetap menganggapku tak pantas berada disini."
Naruto paham betul masalah keluarga sang paman dan anak menantunya ini. Belum mendapat restu sampai hari ini, menurut Kiba mungkin begitu. Tapi dari sudut pandangnya, kebencian pamannya sudah agak luntur semenjak Yuta lahir. Anak tak berdosa itulah yang mampu melumerkan hatinya yang keras. "Dan kenapa kau berada disini?"
Malas menjawab, Kiba hanya mengedikkan bahu. Kalau bukan karena Ino memaksa, ia juga enggan berada di tempat ini.
.
.
"Ibu menanyakanmu, kau tak mau menemuinya?"
Kiba mengambil alih Yuta dari Ino, wanita itu agak tampak kepayahan. Dan dalam gendongannya, Yuta mulai berceloteh menceritakan para sepupu jauhnya yang entah siapa saja namanya itu. Ibu mertuanya memang baik, yeah setidaknya lebih baik daripada ayah mertuanya. Tapi tetap saja, Kiba tak terlalu menyukai wanita itu. Wanita penurut yang terlalu patuh pada suaminya, terkesan tak memiliki pendirian. Namun Ino selalu membelanya dengan alasan bahwa ibunya tak ingin ada pertengkaran dengan ayahnya. Jadi, kalau Inoichi tetap membencinya, barangkali ibu mertuanya juga akan tetap berpura-pura membencinya. "Nanti saja lah kalau mau pulang, sekalian pamit."
Ino mendecak, ia kehabisan banyak cara untuk membujuk Kiba agar menjadi lebih baik. Ego Kiba dan sang ayah sama-sama tingginya, membujuk salah satu tak lantas membuat keduanya jadi baikan.
"Hei jagoan, apa kau sudah merasa bosan berada disini?" Kiba melontarkan pertanyaan itu pada sang putra, namun Ino justru menangkap rentetan kata itu sebagai ungkapan atas perasaannya sendiri. Tapi melihat bagaimana mata putra nya justru melebar serta menggelengkan kepala membuatnya nyaris tertawa.
Yuta malah kembali berceloteh, "senang, senang sekali." Yang makin membuat ekspresi Kiba keruh.
Acara itu memang sudah nyaris selesai, barangkali tinggal foto keluarga dan obrolan singkat lainnya seputar pertanyaan apa kabar kepada setiap kerabat. Namun, teriakan histeris dari arah dalam menyita perhatian banyak orang. Sejenak Kiba dan Ino saling pandang, bingung dengan kehebohan yang tak mereka pahami penyebabnya.
"Hei, paman Yamanaka. Paman Yamanaka pingsan."
"Ayah? Ayah pingsan? Kenapa? Bagaimana mungkin?" Jantungnya seolah jatuh ke dasar perutnya, "Kiba, ayah pingsan." Ino panik ketika berlari ke arah kerumunan di dalam rumah.
"Mama, mama." Yuta yang tak paham dengan situasi genting itu menjerit, seolah tak rela jika Ino berlari meninggalkannya.
Yakinlah, Kiba berjalan cepat menyusul sang istri bukan karena penasaran dengan sang ayah mertua, namun semata-mata karena ia takut jika putranya akan menangis dan membuat keributan lain disana.
"Ayah."
Inoichi tergeletak di lantai linoleum di dekat meja. Apel dan pecahan gelas berserakan di sekeliling nya. Rupanya dia sedang memegang gelas ketika jatuh pingsan. Orang-orang panik, bingung, hanya berdiri di sekitar tanpa tahu apa yang harus mereka lakukan. Dan ibu mertuanya justru menangis kencang, campuran terkejut dan tak percaya. Ino memegang salah satu pergelangan tangan sang ayah dan mendongak, menatap Kiba dengan wajah cemas.
"Tolong aku, Kiba," katanya. "Tolong ayah. Dia sepertinya sekarat."
"Minggirlah dulu." Ia menurunkan Yuta, dan andai saja bukan karena permohonan sang istri yang membuatnya iba, mungkin ia sudah memilih meninggalkan tempat itu. Setelah Ino berdiri dan mengamankan Yuta, Kiba berlutut. Dia meraba pergelangan tangan Inoichi dan merasakan sesuatu yang lemah, tipis, dan cepat--bukan detakan, hanya kejang otot biasa. Aritmia akut, jalan menuju serangan jantung.
Kiba meletakkan telapak tangannya di dada Inoichi, bergerak seirama, dia menelengkan kepala dan mulai melakukan RJP. "Ino, dengarkan aku," ujarnya. Pangkal tangan kiri di sepertiga atas tulang dada--empat sentimeter di atas tulang taju pedang. Tangan kanan mencengkeram pergelangan tangan kiri, menguatkannya, menambah tekanan. Jaga kekuatanmu, tapi jangan terlalu keras menekan tulang-tulangnya. Tidak perlu panik, bukankah ini bukan pertama kalinya melakukan RJP.
"Aku disini." Sembari menggendong Yuta yang kebingungan, Ino serabutan menghapus air matanya.
"Telfon rumah sakit terdekat, suruh mereka mengirimkan ambulans kemari."
"Akan ku lakukan." Dengan jemari gemetaran, ia mematuhi perintah Kiba.
Tiba-tiba Inoichi mendengkur panjang, kelopak matanya bergetar, pria itu hanya menatap sang menantu dengan bingung. Kiba bersumpah, ia menyesal telah menyelamatkan orang ini, meski di dalam hatinya yang paling dalam, ia diam-diam merasa lega.
"Ya Tuhan, Inoichi." Suara orang-orang penuh dengan rasa syukur, lebih-lebih ibu mertuanya.
Kiba terengah-engah dan berkeringat. Hanya paramedis di TV yang bisa membuat RJP tampak mudah. Memijat dada secara teratur membakar banyak kalori, dan kerja keras otot lengan serta bahu akan membuatnya nyeri besok.
.
.
Kiba sedikit enggan ketika memeriksa denyut nadi Inoichi lagi, dan pria itu justru membiarkannya tanpa perlawanan. Detakan nadinya terlalu cepat. Jantungnya seolah mengirimkan sandi morse, denyutnya teratur, lalu tiba-tiba kencang, nyaris melonjak-lonjak. Bertepatan dengan itu, ambulans datang.
"Siapa yang memanggil ambulans?"
"Saya," Kiba setengah bergumam. "Ayah kau perlu dibawa ke rumah sakit."
"Oh, jangan rumah sakit."
"Ya... rumah sakit," kata Kiba. "Observasi lima hari, pengobatan, lalu pulang dengan segar bugar. Ini tidak akan semenakutkan yang ayah bayangkan."
Inoichi masih bimbang, namun istrinya mendesaknya. Mengatakan jika dirinya hampir saja kehilangan nyawa.
.
.
"Oh Tuhan, aku benar-benar berterima kasih padamu." Dalam balutan gaun tidurnya yang tipis, dan wajah tanpa riasan, Ino mengalungkan tangannya pada leher Kiba, membuat lelaki itu menyunggingkan senyum tipis.
Hari ini orang-orang memujinya, mengatakan jika dia adalah penyelamat, mengakui bahwa Kiba seorang dokter hebat--padahal ia hanya melakukan apa yang memang harus dilakukan, dan hanya kuasa Tuhan yang menyebabkan semua hal itu terjadi. Tapi, ya sudahlah. "Kau sudah mengatakan terima kasih berkali-kali tadi." Ia menatap ke dalam kubangan biru jernih iris mata sang istri, dan merasa tenggelam di dalamnya. Kiba tahu apa yang diinginkan Ino malam ini, dan ia pun juga demikian. "Maaf ya, aku tidak tahu kalau ayahmu, yeah, tidak se sehat itu."
"Tadi ibu menelfon, kita harus datang ke rumah sakit besok. Sepertinya ayah ingin bertemu denganmu."
Untuk pertama kalinya, setelah enam tahun pernikahan, sang ayah mertua ingin bertemu dengannya. Agaknya, kejadian tak terduga kemarin membuat segalanya berbalik.
"Aku mencintaimu, Kiba." Ino bernjijit, dan mulai menciumnya duluan.
Tak butuh waktu lama hingga keduanya tenggelam dalam hasrat yang membara, malam ini dunia seolah hanya milik berdua.
"Yeah, aku juga mencintaimu." Kiba mendorong Ino pelan ke arah ranjang, dan mulai melepas piyamanya. Ini akan jadi malam yang panjang.
.
.
Shift paginya berakhir sekitar pukul lima sore, dan dengan perasaan aneh yang sepanjang pagi ini bergelayut dalam dadanya, ia menuruti ajakan Ino untuk menjenguk ayahnya. Lagipula, permintaan sang ayah mertua untuk bertemu dengannya terdengar mendesak sekali.
Sementara Ino hanya menunggu di luar kamar bersama Yuta dan si ibu mertua, Kiba masuk sendirian ke dalam kamar rawat Inoichi. Segala hal dalam pikirannya lolos ketika melihat pria setengah baya itu berbaring di ranjang rumah sakit dengan selang infus terpasang di tangannya. Ia sudah terbiasa dengan aroma obat dan pengapnya kamar rawat pasien, tapi sepertinya yang kali ini adalah pengecualian.
"Hai Dok, bagaimana kabarmu?" Senyum tipis pria itu terukir di bibirnya yang pucat.
Dok? Seperti bukan ayah mertuanya sekali, "baik ayah, tentu saja." Dia berjalan mendekat. "Bagaimana keadaan ayah? Apa sudah merasa lebih baik?"
Inoichi mengangguk, segala tatapan kebencian tiap kali melihat Kiba sekarang sudah tak tersisa lagi. "Berkat kau."
Inuzuka mengibaskan tangan, sedikit malu dengan pujian berlebihan itu.
"Orang-orang bilang aku berhutang nyawa padamu."
"Tentu tidak ayah, aku hanya melakukan apa yang memang harus ku lakukan."
Hening, tak ada yang mulai bicara lagi. Dan suasana canggung semacam ini benar-benar memuakkan.
"Yeah, pokoknya selain terima kasih, aku juga mau minta maaf. Ada banyak hal yang mungkin bakal sulit untuk kau maafkan."
Barang kali itu benar, tapi melihat keadaan Inoichi yang seperti ini membuat perasaannya iba. Seberapa pun besar kebencian di hatinya, dan rasa direndahkan yang masih teringat betul, masih tak mampu menandingi rasa kasihannya. Waktu mungkin mengubah banyak hal, termasuk mengubah keadaan hatinya. "Tak masalah ayah, mari kita lupakan itu. Lagipula, aku sudah disini, sebagai anak menantumu sekaligus suami Ino. Anda tidak menyesali itu kan?"
Tak ada jawaban, Inoichi justru tertawa pelan. "Aku selalu merasa kau ini anak kurang ajar, tapi sejauh ini tiap kali Ino menceritakan segala hal tentangmu, dia selalu bersemangat, selalu bahagia, tak pernah ada beban. Jadi kurasa, pilihannya untuk menikah denganmu bukanlah kesalahan." Ia diam sejenak, mengatur irama nafasnya. "Dan Yuta juga bahagia, yang tidak ku tahu, kau sudah berhasil menjadi kepala rumah tangga yang baik."
Segala kata terangkai acak di dalam otak, dan Kiba tak memiliki kalimat apapun untuk diucapkan. Ketimbang rasa terimakasih yang diucapkan sang ayah mertua, kalimat tulus bahwa ia adalah kepala rumah tangga yang baik membuatnya terkesima.
.
.
Tidak ada lagi sambutan menjengkelkan tiap kali ia datang ke rumah sang mertua atau ke rumah kerabat Ino yang lain. Kiba diterima baik disana. Dan demi apapun, dia justru lebih disegani dan diperlakukan dengan sangat baik. Cerita-cerita tentang dirinya yang agak di lebih-lebih kan kadang-kadang membuatnya muak dan nyaris tergelak, tapi ya sudahlah. Terserah mereka mau berkata apa. Rasa nyaman yang baru ini membuat hidupnya lebih berarti.
.
.
"Ayah bilang aku tidak salah memilih suami." Ino tertawa pelan, tak ingin Yuta yang tengah tidur dalam pelukannya terbangun. Sementara lagu it's you milik Henry terputar dengan pelan.
You're the right time
at the right moment
You're the sunlight
keeps my heart going
Mereka berdua baru saja pulang dari liburan singkat di Furano, menikmati indahnya taman bunga dan sejuknya udara Hokkaido. Kelegaan tipis memenuhi dada Kiba, dan segala beban pekerjaan agak mereda dalam kepalanya. Ia ikut tertawa, dan membayangkan suara sang ayah mertua lewat telfon, sekarang Ino makin sering menelfon orang tuanya dan tak lagi sungkan jika Kiba mengetahuinya.
"Padahal dulu dia yang paling menentangmu, mengataimu pemuda bandel yang tak punya masa depan." Ino melanjutkan kalimatnya, dan Kiba makin tergelak.
"Yeah, manusia itu dinamis, Ino. Kita tidak akan pernah tahu apa yang bakal terjadi di depan." Dan ia juga mendapati dirinya mulai berubah. Sudah tidak ada lagi kebencian yang bertumpuk dalam dada tiap kali bertemu Inoichi, dan bukankah memang seharusnya begini hubungan normal ayah mertua dan menantu lelakinya? Akrab dan saling percaya? Sebab mereka menyayangi orang yang sama, betul kan?
End
.
~Lin
23 Februari 2024
.
