Hari sudah larut malam. Mereka bermain tanpa sadar bahwa sekarang sudah pukul 8 malam. Saking serunya dengan bumbu baru, lelah pun tidak terasa lagi.

Gaya bermain Tetsuya cukup membuat orang-orang di first string tak menyangka. Bola yang dilemparkan oleh si A ke arah si B secara ajaib berpindah posisi ke arah si C dengan begitu mudahnya. Awalnya memang sedikit kacau dan sering miss karena timing pelemparan tidak begitu pas dengan tempo bermain anggota lain. Belum lagi karena kegugupannya, dia malah tersandung sampai mencium lapangan basket. Hingga mimisan pula. Akan tetapi setelah Seijuurou menemukan letak errornya ada di mana, permainan langsung berubah menjadi sesuatu yang cukup menguntungkan tim yang ditempati Tetsuya.

Benar-benar melebihi ekspektasi Seijuurou.

Ia meniupkan peluit, "Time Out! Mini game cukup sampai di sini! Bereskan semua sebelum kita pulang!"

Dengan kompak mereka mengiyakan lalu berlari kesana kemari untuk membereskan barang-barang mereka. Ada yang menyusun bola, mengepel lapangan, mengumpulkan handuk bekas, dan lain sebagainya.


Selesai sudah kegugupannya di hari ini. Setelah berpamitan di gerbang sekolah, Tetsuya berjalan dengan langkah gontai menuju ke tempat tinggalnya. Sungguh! Dari tadi semangat bermainnya itu sangat membara, sampai-sampai ia tidak merasa seperti mau mati. Tapi setelah semuanya usai, badannya benar-benar terasa jompo.

Harusnya aku lebih tau diri tadi.

Ia menghela nafas panjang.

"Otsukare."

Tetsuya merinding mendengar suara khas satu ini. Pantas saja sejak tadi ia merasa diikuti, ternyata makhluk merah ini toh yang mengikutinya.

Langkahnya terhenti.

"Terima kasih sudah mengizinkan ku untuk bermain dengan kalian. Aku sungguh menghargai kesempatan yang sudah diberikan," ujarnya membungkuk ke arah Seijuurou ala tahap awal presentasi yang hanya membalas dengan mengibaskan tangannya.

"Sekarang tinggal menunggu hasil tes mu. Aku hanya bisa merekomendasikan dirimu pada pelatih dan membuat beliau menyaksikan pembuktiannya. Tapi keputusan akhir tetap pada beliau. Berdoalah."

Tetsuya bergedik ngeri. Pemegang julukan 'Raja iblis' menyuruhnya untuk berdoa? Hebat. Namun Tetsuya tetap tersenyum samar. Walau dengan julukan itu, yang dia rasakan hanyalah ketulusan dari seorang Akashi Seijuurou. Benar-benar menyukakan hatinya.

"Akashi-san mau kemana? Apa rumahmu juga mengarah ke sini?"

-san?

"Hanya menemanimu. Kau terlihat seperti mau mati soalnya."

Tiga sudut bertengger dijidat Tetsuya. Apa dia selemah itu di matanya?

"Tidak perlu, Akashi-san. Lebih baik kau pulang saja. Aku takut nanti kau malah tersesat," balasnya sarkastik.

"Tidak akan. Kalaupun begitu, handphone ku sudah dilengkapi dengan GPS, jadi supir pribadiku pasti bisa langsung menemukanku."

Tetsuya sweatdrop.

Kok malah pamer?

Kalau begitu kenapa tidak diantar pulang saja langsung sama supirmu?

"Kata nenek tidak boleh membiarkan orang asing mengikuti kita sampai di rumah."

"Kenapa bukan kata papa-mama?"

"Aku tidak punya orang tua, Cuma punya nenek dengan bibi," jawabnya enteng melemparkan dark-jokes. Yang satu jadi tidak enak.

"… Maaf"

"Tidak masalah."

"…"

"Rumahku di seberang sana," Tetsuya menunjuk ke sebuah rumah minimalis warna coklat.

Rumahnya gelap.

"Kenapa Akashi-san yang gelisah?"

Gelisah?

"Kau tinggal sendiri?"

Tetsuya mengangguk, "Nenek dan bibi tinggal di kota lain."

"….. Kau cukup berani, ya?"

"Tuntutan kehidupan. Tidak ada yang spesial."

"…."

"Kalau begitu aku pamit duluan, Akashi-san. Terima kasih untuk hari ini," ujarnya sambil membungkuk sekali lagi. Kali ini bagai gadis yang sudah diajak kencan pertama.

"Akashi-san juga harus cepat pulang. Nanti dikira melarikan diri dari rumah," pesan terakhirnya sebelum menyebrang lalu menghilang dari balik pagar. Meninggalkan Seijuurou yang mulai menimang-nimang, apa nanti ketahuan warga kalau ia melempar batu ke arah rumah minimalis itu atau tidak.


Musim telah berganti. Salju tidak lagi menunjukkan kilaunya dimana-mana. Sekarang sudah waktunya bagi pohon dan bunga yang mulai bermekaran untuk memamerkan keindahan musim semi.

Tahun ajaran baru sudah dimulai sejak 2 minggu yang lalu. Wajah-wajah baru pun mulai terlihat menghiasi SMP Teiko dengan senyuman dan semangat baru. Sebagian sudah mulai terbiasa dengan lingkungan baru mereka, sebagian lagi masih sedikit canggung di sekolah barunya.

Dan yang satunya lagi merasa tidak begitu bersemangat.

Namanya Kise Ryouta. Siswa baru SMP Teiko yang mulai bergabung di sekolah ini sebulan sebelum ujian pergantian semester. Bukan karena dia adalah anak yang nakal, tapi hanya karena tuntutan pekerjaan orang tuanya. Ayahnya seorang nahkoda , sedangkan ibunya seorang aktris. Ibunya dipindah tugaskan ke Tokyo untuk syuting film terbarunya yang mungkin akan menjadi bagian penutup dari perjalanan profesinya. Jadi, untuk lebih memudahkan, mereka semua pindah ke kota ini.

Kise terlahir dengan wajah tampan dan memiliki karakter yang mudah bergaul. Sedikit cerewet tapi lebih memancarkan keceriaannya saja. Tidak hanya itu, dia juga memiliki bakat yang cukup unik. Entah apakah itu diturunkan dari sang ibu yang jago berakting sejak kecil ataukah murni bakat spesial dirinya seorang, tapi ia mampu menirukan berbagai jenis kegiatan atau tindakan yang dilakukan oleh orang lain tanpa perlu latihan ekstra.

Copycat, istilahnya.

Hanya saja, dengan kemampuannya yang cukup unik, ia mulai merasa jenuh dengan kegiatan apapun yang ia jalani. Menghibur diri dengan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah juga tidak begitu mengubah apapun.

Tim Voli?

Big no. Dia malas kalau harus menderita karena bola.

Tenis?

Terlalu mudah.

Sepak bola?

Dialah pencetak gol terbanyak walaupun ia baru bergabung dalam beberapa hari.

Baseball?

Tidak ada yang mampu mengajarinya lebih jauh lagi.

Semuanya ia mampu lakukan dengan mudahnya tanpa perlu diajari oleh pelatih maupun senior. Benar-benar membuatnya bosan. Teman-teman satu timnya juga seakan-akan bergantung saja pada dirinya. Tidak mau berusaha.

Dan jangan harap ia memilih ekstrakurikuler bidang akademik. Otaknya sudah cukup mumet hanya karena berjuang dengan pelajaran setiap hari.

Ia mendengus. Bibirnya dimonyongkan beberapa centi.

'Mou! Tak adakah sesuatu yang berbeda yang bisa membuatku semangat?!'

Dibelikan jet pribadi misalnya.

Ia mendengus lagi. Menghayal di sore hari tidak begitu baik untuk kesehatan otaknya.

"Yosh!" Ia bangkit menyemangati diri. "Mari kita berjuang, Kise Ryo—!"

"Awas!"

Terlambat. Tepat saat ia membalikkan kepalanya ke arah sumber suara, d saat bersamaan, sebuah bola oranye yang cukup besar mencium wajahnya mesra.

BUKK!

"Ittaiiiii!"

"Maaf maaf! Kau baik-baik saja?," ujar remaja yang teridentifikasi seperti ganguro di pandangan Kise.

Baik-baik saja? Sakitnya minta ampun dan kau tanya baik-baik saja?!

"Kan sudah kubilang jangan terlalu berlebihan melempar, nanodayo!"

"Kan sudah kubilang kalau aku tidak sengajaaa, oi kacamata!"

Apa yang sedang terjadi sih?! Semuanya terlalu ribut. Bahkan membuatnya semakin pusing. Mana wajahnya masih nyut-nyutan lagi. Sangat tidak manusiawi.

"Ano,, maaf sedikit lancang," sapa(?) Tetsu yang langsung menarik kedua tangan Kise yang sedang menutupi wajah tampannya.

Tenang. Bukan karena Tetsuya tergoda pada lelaki tampan. Tapi dia harus memastikan si korban baik-baik saja dan -si tersangka- dirinya tidak perlu ikutan ganti rugi bermilyaran.

Namun harapannya seketika pupus.

"….. hidungmu berdarah."

He?

Kise berkedip tidak konek. Pantas saja wajahnya berasa sangat panas. Ternyata darahnya lagi pada ngumpul di wajah toh.

Belum lagi dia kira kalau ingusnya yang keluar bagaikan niagara waterfall. Ternyata malah mimisan.

Seketika kepalanya semakin berdenyut. Entah karena kekurangan darah, atau karena terkejut dengan informasi yang baru saja ia terima, atau malah karena kemunculan makhluk datar nan bringas tidak dikenal yang menghentakkan kedua tangannya tanpa aba-aba sembari memberitahu kabar buruk, entahlah. Otaknya sudah tidak bisa lagi memproses data. Semakin lama kepalanya semakin terasa ringan, hingga telinganya pun menyerah dengan suara bising disekitarnya dan akhirnya semua menjadi tenang dan gelap.


Ckiiiiittttttt

"Sebelah sini, Tetsu!"

Bwoozzzhhh

"Nice pass!"

Sebenarnya ia belum sadar betul. Penglihatannya pun masih cukup buram, sedangkan kepalanya sendiri terasa sangat ringan. Tapi suara bising dan decitan sepatu disekitarnya cukup membuat dirinya penasaran.

Ia mencoba berkedip, berusaha mengumpulkan nyawa dan fokusnya.

"Ah! Kau sudah sadar?"

Anehnya, penglihatannya hanya menangkap sekelebat warna pink.

Eh? Masa' aku jadi … buta?

Demi apa dia harus kehilangan penglihatannya hanya karena sebiji makhluk gelap tidak berperasaan?

Rasa paniknya memuncak. Ia langsung bangun bak orang dikejar hantu. Dan tersungkur sepersekian detik tepat setelah dia berdiri.

Terlalu lincah.

Iya, lincah salah.

"Mou! Jangan terburu-buru seperti itu! Kau 'kan baru saja mimisan dan pingsan!"

"Ugghh…," peningnya bukan main. Setidaknya dia bisa belajar kalau habis pingsan tidak boleh langsung terbang.

Kelopak matanya kembali berkedip, berusaha mengfokuskan cahaya yang masuk. Dan oh! Ternyata dia tidak buta. Hanya overreacting semata.

Kedua iris mata Citrine-nya kini menganalisa sekitarnya. Kalau dilihat-lihat, sepertinya dia sedang berada dalam gedung olahraga. Hanya saja, gedung yang ini jarang ia datangi. Bisa dibilang, rata-rata jadwal pelajaran olahraga dan ekstrakurikulernya lebih sering menggunakan lapangan outdoor daripada gedung olahraga.

"Maaf ya," Kise menoleh sejenak.

"Dai-chan memang sedikit bodoh. Tampangnya juga cukup liar. Tapi dia tidak bermaksud menyakitimu, kok!"

Ia terkekeh-sweatdrop. Tidak sengaja saja sudah bisa membuatnya merasa bak gegar otak. Bagaimana kalau sengaja?

Fokusnya jatuh pada suara bising yang kembali mencuri perhatiannya. Bola yang terbang kesana kemari terlihat cukup mengesankan dengan kecepatan yang bukan main.

Wajar saja dia pingsan.

Perhatiannya kini teralihkan oleh makhluk-makhluk yang menerbangkan sebiji bola oranye. Gerakan yang cepat namun stabil, bola yang tidak pernah lepas dari lajur permainan, fokus penuh pada pertandingan tapi tetap memasang wajah cerah, benar-benar membuat mereka terlihat memukau. Tim pengisi headline majalah sekolah memang terasa perbedaan kastanya.

Kerja sama mereka dan semangat yang terpancar dari orang-orang tersebut membuatnya sedikit… iri.

Benar-benar sesuatu yang langka dan jarang ia temui.

"Cobalah."

Kise berkedip, gagal merespon.

"Basket. Dengan mereka."

Ia menoleh. Makhluk satu ini ngomong apa sih?

"Coba saja bermain dengan mereka. Mungkin bisa membuatmu tertarik untuk mengubah ekstrakurikulermu. Kalau tidak salah… yang sekarang lagi-lagi membosankan, bukan?"

Si kuning membengong keheranan. Iblis dari mana pula makhluk merah satu ini. Pasalnya, ia tidak pernah cerita pada siapapun mengenai kegalauan hatinya. Pacarnya saja tidak tahu apapun.

Eh? Ehem.

Bukannya mau pamer yaa, tapi ini benar kok. Kalau boleh jujur, ia sebenarnya belum begitu tertarik untuk mulai berpacaran. SMA saja belum, lulus SMP saja masih berjuang. Ia sebenarnya lebih tertarik untuk membangun karirnya sejak dini. Ibunya juga sering mengenalkan dirinya pada produser-produser terkenal. Ia bahkan sudah pernah menjadi pemeran pembantu dalam drama yang dibintangi oleh ibunya. Hanya saja, passion nya hanya terpaku sebagai model semata.

Soal pacaran, untuk kali ini dia merasa tidak tega saja. Setidaknya perempuan ini yang selalu peduli dan membantunya sejak dari awal ia menginjakkan kaki di SMP Teiko. Belum lagi, dia anak yang cantik dan periang. Setidaknya dia perempuan yang baik-baik. Semoga.

Balik lagi ke topik awal. Sungguh! Sangat tidak masuk dalam otak minimalisnya. Kok bisa makhluk satu ini seakan-akan mengenal dirinya? Saling sapa saja tidak pernah, apalagi mau curhat.

"Hanya insting," celetuk Seijuurou.

Tuh, 'kan? Batinnya menghorror.

"Kise Ryouta benar?"

Kise mengangguk.

"Jadi bagaimana, Kise? Kau ingin mencobanya atau tidak? Aku tidak suka jika harus menanyakan hal yang sama berulang kali."

"Ayo coba, Kise-kun! Tidak ada salahnya kalau kau mencoba!," ujar Momoi membeo.

Kise tampak berpikir sejenak. Memang benar sih. Mencoba bermain basket dengan ahlinya tidak ada masalah, 'kan?

Akhirnya ia mengangguk.

Peluit yang sejak tadi terabaikan, kini ditiupkan dengan nyaring. Membuat seluruh mata yang ada di lapangan tersebut tertuju pada sumber suara. Seketika lajur permainan terhenti.

Seijuurou hanya memberikan kode untuk berkumpul di dekatnya. Satu per satu, surai warna-warni mulai menuju ke tempat Seijuurou berdiri.

"Dia akan menuntutmu, Aomine-kun," bisik Tetsuya dari balik punggung Aomine yang kini bergidik ngeri. Satu tepukan di pundak turut diberikan oleh Haizaki yang langsung melenggang maju lebih dulu sambil menahan tawa.

Dalam sekejab, semuanya mengitari sang kapten bak anak ayam yang mengitari induknya.

"3 vs 3, half court. Tim siapa yang lebih dulu mencetak skor 50 poin, dialah pemenangnya." Akashi melirik pada sosok jangkung di sampingnya. "Namanya Kise Ryouta. Dia ingin mencoba bermain basket bersama kita. Dia akan setim dengan Midorima dan Aomine."

"Yosshaaa!"

Segera mereka mempersiapkan diri untuk latih tanding. Aomine langsung mengajak Kise ikut dengan dirinya dan si kacamata untuk mengambil tempat di sisi kiri lapangan basket. Sementara yang lainnya mulai mengambil sisi yang kanan.

Tetsuya mencoba mengatur nafasnya yang masih belum stabil dari latihan tadi. Bisa bergabung di first string tidak lama setelah uji coba memang bagaikan mendapat peluang emas, tapi jangan lupakan penderitaan yang mulai dia alami saat latihan. Berulang kali dirinya merasa seperti login – logout dari dunia. Termasuk yang hari ini. Namun karena sudah paham bahwa ia berada di tim sebelah kanan, ia pun mulai beranjak mengikuti yang lainnya.

Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundaknya. Langkahnya terhenti.

"Kali ini biar aku yang main. Aku ingin kau yang mengobservasi soal Kise."

"Eh?"

Tetsuya hanya terdiam memandangi punggung Seijuurou yang menjauh. Sejujurnya, ia memang sudah mau mati rasanya karena kelelahan. Dan kalau pertandingan selanjutnya juga dia ikuti, percaya saja, paling dia hanya pingsan. Jadi dia sangat bersyukur karena dia tidak perlu bermain hingga akhir.

Tapi untuk mengobservasi? Apa kaptennya tidak salah pilih?

"Heii, Tetsu-kuunnn! Sini sini!," sahut Momoi yang membuyarkan lamunannya. Gadis itu menepuk-nepuk bagian bench yang kosong.

Setelah semuanya siap, permainan pun dimulai.


RnR please? uwu