—Disclaimer—

Highschool DxD - Ichiei Ishibumi

[Demise—]

Present by @Mizkevna


Aenina - Her Name


.

.

Aenina—

Atau begitulah dulu orang itu memanggilnya. Gadis kecil lusuh nan rapuh yang kehilangan akal sehatnya. —Baik dulu maupun sekarang seolah tak ada yang berubah. Melihat kodisi dirinya saat ini di cermin seolah menyaksikan betapa buruknya penampilannya saat itu. Itu membangkitkan kembali akan ingatan palsu yang tak menyenangkan.

Rambut blonde panjang yang biasa dia rawat kini tampak kusut. Bibir mungilnya yang biasa mengulas senyuman lembut kini membentuk lengkungan garis lurus. Pipinya tampak kusam dan jelas terasa sedikit lengket akibat cairan yang mengalir dari kedua matanya.

Benar. Mata beriris biru safir itu selalu dan selalu saja tampak bersinar, itu mengkhianati semua emosi buruk di wajahnya. Itu seolah-olah memiliki cahaya cemerlang yang takkan pernah pudar meski saat ia menangis, marah ataupun saat ia sedang merasa frustasi akan kejamnya kenyataan pahit yang dirasakannya.

Itu memiliki warna yang sama dengan mata yang dimiliki orang itu.

Mata yang sangat ia benci, namun sangat ia rindukan kehadiran—nya.

Meski ingatan-ingatan itu semuanya palsu, ia tidak pernah sekalipun memerdulikannya. Itu bukanlah sesuatu yang layak dikenang, akan tetapi dia juga tak ingin kehilangan kenangan yang terasa nyata itu.

Kehangatan dan rasa aman serta nyaman yang tak pernah lagi dirinya rasakan. Hanya dia. Hanya orang itu lah yang mampu memberinya perasaan-perasaan yang amat ia rindukan. Tidak lagi. Tak ada lagi perasaan se-menyenangkan seperti saat bersama dia.

Ia bahkan tak menghiraukan pintu kamarnya yang terketuk dan terbuka pelan. Ia hanya tak tahu harus apa saat ini, apa yang ingin dia lakukan, dan apa yang dirasakannya. Dia benar-benar tidak tahu lagi.

"Lavinia..."

Dia bergeming. Bahkan seandainya tempat ia tinggal dijatuhi bom atom sekalipun dia tidak peduli. Bukan bermaksud tidak sopan. Hanya saja ia benar-benar terpaku akan penampilan tak sedap dipandang-nya di cermin. Seakan jiwa dan pikirannya terhisap ke dalam sana dan meninggalkan hanya sisa raganya. Meski dia dipanggil orang yang telah merawatnya selama 12tahun ini, dia masih diam, tak ingin bicara sedikitpun.

"Lavinia. Tolong kembalilah. Segera kita akan pergi ke suatu tempat... lalu menemui orang itu."

Sebuah pelukan halus dan bisikan lembut, perlahan berhasil menariknya kembali ke realita.

"...Glenda."

Wanita dewasa yang dia panggil itu, semakin mengeratkan pelukannya dan terasa sedikit bergetar. Semakin erat terasa semakin sesak. Seolah-olah wanita itu berusaha menghisap seluruh kebimbangannya. Dan rasa bimbang itu sedikit berubah menjadi kebingungan.

"Apa maksudnya itu, Glenda?"

Dengan lembut wanita itu, Glenda, memaksa tubuhnya berbalik membuat mereka saling bertatapan. Glenda tersenyum keibuan.

"Selama sembilan tahun ini aku menyelidiki orang yang kamu cari-cari, walau terkadang sering terhambat. Maaf kalau aku baru bicara sekarang. Bagaimanapun aku tidak bisa diam saja setiap kali melihat kamu yang seperti ini."

Do-kun!

Perasaannya tiba-tiba membeludak dan firasatnya mengatakan akan ada sesuatu yang tidak mengenakan terjadi. Sontak saja ia dengan kasar mendorong Glenda. Ia mundur. Memegang kepala, dan menarik rambutnya keras. Rambut yang sudah kusut pun semakin kusut dibuatnya.

Glenda yang melihatnya pun terkejut.

"Hentikan, Lavinia!"

"Ne! Ne... Glenda! Kenapa kamu melakukan itu tanpa membicarakannya denganku!? Aku tidak suka itu! Aku tidak tahu! Shishou sudah lama mati! Mati! Mati! —Jangan bercanda!"

Ini perubahan suasana yang tidak masuk akal. Gadis pirang itu, dia seperti akan kehilangan akal sehatnya kapanpun. Ia tak henti-hentinya meracau 'jangan bercanda!' berkali-kali.

———Tidak!

Tatapan Glenda sulit diartikan. Tampak sedih, namun dengan perhatian dia berkata—.

"Aku menemukan sebuah petunjuk. Lihatlah dulu. —Aku tidak bisa membiarkanmu terus menerus seperti ini."

"Kamu tidak hanya berbohong kan, Glenda?"

Suasana pun kembali berubah. Glenda sedikit tersenyum, walaupun suhu di kamar gadis ini tiba-tiba turun secara drastis. Dingin. Sangat dingin.

Cahaya biru nan briliant itu terasa menusuk mencapai jiwanya. Glenda tidak bisa untuk tidak bergetar melihat senyum kegilaan yang tampak di wajah gadis itu.

"A-Aku tidak berbohong."

Nafasnya tersendat, suaranya pun tercekat. —Dan dia kembali harus dikejutkan ketika gadis itu tiba-tiba saja menubruknya, memeluknya dengan sangat erat. Seperti ingin meremukkan tubuhnya berkeping-keping.

Glenda pun sempat berpikir, 'Kalau memang gadis-ku ingin membunuhku disini, sepertinya aku tidak bisa melawan.' Tapi apa yang selanjutnya dia temukan adalah, gadis yang dia besarkan selama 12tahun ini, mulai mengendurkan pelukannya dan mulai merintih. Mau tidak mau dia pun tersenyum hangat.

"Bersemangat lah, nak. Aku yakin kamu akan menemukan apa yang selama ini kamu cari."

.

.

.

—TBC—


Omake:

"Ne, Glenda..."

"I-Iya?" yup, Glenda bingung melihat gelagat Lavinia yang membenamkan wajahnya di dadanya.

"Bisakah... Sekali saja. Bisakah kamu sekali saja memanggil aku... Aenina?"

Ah, dia kira apa ternyata sesuatu yang seperti itu. Glenda tak bisa menahan senyuman tipis. Ia mengangguk sambil mengelus lembut surai pirang gadisnya.

"Baiklah, baiklah. Aku mengerti. You got it. . . Aenina~."

Si gadis pirang mendongak, ia memamerkan deretan gigi putihnya sambil cekikikan. Raut wajahnya tampak sumringah.

Seperti anak kecil saja, huh.